Menganalisis AS pada Masa Perang Dingin dan Keterlibatannya dalam Berbagai Konflik Masa Kontemporer
Matakuliah : Sejarah Amerika
Kelompok 10 :
1.
Bagas Enggar Adinata (Off.B/2014)
2.
Yuliarti Kurnia Pramai
Selli (Off.B/2014)
Materi Pembanding Kelompok 11 :
Menganalisis AS pada Masa Perang Dingin dan
Keterlibatannya dalam Berbagai Konflik Masa Kontemporer
Amerika Serikat Pasca Perang Dunia II
Sejak suasana perang masih berkobar, sudah ada usaha
untuk menciptakan dunia baru yang didambakan oleh umat inanusia. Pertcmuan antara dua tokoh, yaitu mendiang
Franklin D.Roosevelt dengan Winston Churchill yang melahirkan Atlantic Charter, memberikan inspirasi pembentukan organisasi
dunia baru yaitu "United
Nations"'(Perserikatan Bangsa Bangsa). Di Dumbarton Oaks, sebuah tempat yang indah di Washington pada 12 April 1944, hadir 200 utusan dari 50 negara
membicarakan rencana pembentukan PBB. Perserikatan Bangsa bangsa secara resmi berdiri pada tanggal 24 Oktober 1945. Sikap Amerika
Serikat
terhadap organisasi yang baru dibentuk ini berbeda dengan sewaktu pembentukan League of Nations (Liga Bangsa Bangsa). Senate Amerika memberikan persetujuannya
untuk menjadi anggota PBB, pada
tanggal 28 Juli 1945. Berbagai
masalah segera menghadang organisasi baru ini untuk dapat mengatasinya. Masalah politik, munculnya ideologi sosialisme-komunisme
yang siap bersaing dengan ideologi liberalisme-demokratik. Rusaknya supra
struktur dan infra struktur diberbagai
negara masalah ekonomi yang hancur akibat perang, masalah sosial kemanusiaan, masalah hak-hak asasi manusia. menjadi masalah yang rumit dan diperlukan
program-program pemulihan secara bijak.
Amerika Serikat yang ikut terlibat perang, kondisinya
masih paling kuat dibandingkan dengan negara-negara Eropa. Berbagai program dalam rangka rekonstrusi pasca perang
segera disusun. Penyusunan
program yang dibuat Amerika Serikat tidak lepas
dari kepentingan baik politik, ekonomi, sosial dan kemanusiaan dan yang paling mendapat perhatian adalah adanya persaingan pengaruh ideologi. Disinilah
kepentingan Amerika dipertaruhkan.
Berbagai program yang patut untuk dicatat adalah kebijakan Harry S.Truman dengan "The Truman Doctrine ". Pada prinsipnya kebijakan ini memberikan bantuan
kepada Yunani yang sedang dilanda
perang sipii, dan negara-negara kawasan Eropa selatan yang sudah
mendapat pengaruh komunisme Moskow.
Sedangkan untuk bantuan yang dicanangkan Amerika Serikat dalam rangka
rekonstrusi atau program pemulihan terhadap negara-negara terutama pemenang
perang adalah bantuan yang dibuat oleh George Marshall, ia adalah
arsitek politik luar negeri yang dikenal
dengan (Marshall Plan). Pada tahun-tahun
berikutnya Amerika sibuk terlibat dalam berbagai masalah internasional, dari pengawasan senjata atom, perang Korea,
dan berbagai masalah lainnya.
Perkembangan dunia setelah Perang
Dunia II, adalah munculnya dua kubu kekuatan baru yang berlatarbelakang
ideologi yang mengancam perdamaian dunia. Kedua kubu kekuatan yang siap berhadapan dan jika perlu dengan kekuatan senjata adalah kelompok negara dengan ideologi
Sosial-komunis yang dimotori oleh
Uni Sovyet dengan kubu kekuatan yang berideologi
Liberalis-demokratik yang dimotori oleh Amerika Serikat. Persaingan ke dua
kekuatan itu menyebabkan lahirnya dua pakta militer yaitu North
Atlantic Treaty Organisation (NATO) dan Pacta Warsawa. Perjalanan
bangsa-bangsa memasuki periode tahun 50-an
kedua kelompok tersebut terlibat dengan
apa yang disebut "Cold War "(Perang Dingin).
Doktrin Strategi Perang Dingin dan Sesudahnya
Kehadiran senjata nuklir dalam
hubungan internasional telah mengubah tatanan dunia. Sejak bom atom dijatuhkan
di Hirosima dan Nagasaki masing-masing 6 dan 9 Agustus oleh Amerika Serikat,
banyak doktrin perang dan strategi hubungan internasional berubah. Senjata
pamungkas ini mengubah wajah perang menjadi kehancuran umat manusia. Gambaran
jamur raksasa yang membumbung tinggi ke angkasa setelah jatuhnya bom atom itu
mentransformasikan sebuah “perimbangan kekuatan” (balance of power) menjadi
“perimbangan teror” (balance of terror). Pemilik nuklir tak bisa lagi
menggunakan senjata terakhir ini untuk menyerang musuhnya bila negara sasaran
memiliki senjata yang sama.
Amerika Serikat dan Uni Soviet
telah menjadi kekuatan nuklir pertama yang saling berlomba mengungguli. Sifat perang berubah
dari bentrokan militer konvensional yang melibatkan tank dan pesawat-pesawat
tempur menjadi adu strategi nuklir. Karena skala kehancurannya yang mengerikan,
maka kedua negara adidaya tidak berani memulai perang meski permusuhan ideologi
diantara mereka sangat tajam. Maka berkembang pula strategi-strategi baru
sejalan dengan perkembangan kualitas dan kuantitas senjata nuklir. Makalah ini
akan mengulas perkembangan strategi nuklir dalam hubungan internasional yang
diakibatkan oleh kehadiran senjata pamungkas ini. Dengan meminjam kerangka yang
digunakan Charles W Kegley Jr dan Eugene R. Wittkopf (1993)[1],
makalah ini membagi perkembangan strategi nuklir menjadi tiga tahap, 1945-1962,
1962-1991 dan 1992- sekarang.
Menurut Morton H Halperin seperti
dikutip Couloumbis[2],
tujuan nasional, kemauan untuk mengerahkan kekuatan, kesiapan menerima
kemungkinan perang besar dan pertimbangan politik domestik memberikan parameter
bagi kebijakan nuklir. Jika terjadi krisis nuklir maka pertimbangannya adalah
sejauh mana serangan pertama itu efektif. Namun dalam perkembangannya asumsi
serangan pertama ini pun mengalami perubahan.
Diplomasi Koersif (1945-1962)
Negara-negara yang menikmati superioritas
militer terhadap lawannya sering berpikir bahwa senjata adalah instrumen
diplomasi untuk tujuan mengubah perilaku negara lain. Amerika Serikat yang
merupakan negara nuklir pertama menikmati kekuatan senjata ini sampai 1949 saat
Uni Soviet meledakkan percobaan nuklirnya. Compellence
(Pemaksaan) melukiskan tentang doktrin stratetgi AS saat superioritas nuklir
dimilikinya. Strategi ini membuat senjata nuklir instrumen untuk mempengaruhi
negara lain. Untuk meraih kemenangan politik Menlu AS John Doster Dulles
mempraktekan apa yang disebut brinkmanship yang melukiskan keinginan
untuk mengejar tujuan AS sampai hampir batas perang dengan mengancam musuhnya
menggunakan senjata nuklir. Brinkmanship ini masuk akal tatkala AS
menikmati superioritas nuklir. Praktek itu bagian dari strategi AS yang disebut
massive retliation (pembalasan besar-besaran). Praktek brinkmanship
dan massive retaliation ini mencemaskan Uni Soviet.
Mutual Deterrence (1962-1983)
Pada saat superioritas nuklir AS mengalami
erosi, para pembuat kebijakan di AS mulai mempertanyakan asumsi mereka tentang
penggunaan senjata nuklir untuk instrumen politik luar negeri. Setelah krisis
rudal Kuba tahun 1962 yang nyaris mendorong AS dan Uni Soviet ke arah perang
nuklir, Washington memikirkan kembali penggunaan senjata berbahaya ini. Oleh
sebab itulah kemudian berkembang pemikiran di Washington bahwa senjata nuklir
ini dialihkan dari berpotensi dipergunakan sebagai senjata strategis menjadi senjata
pencegah serangan. Perubahan kebijakan strategis ini dari compellence
(pemaksaan) kedalam deterrence (penggetar/pencegah) adalah cara untuk
mencegah lawan menggunakan apa yang ingin dilakukan pihak lainnya. Pada periode
ini kedua negara adidaya mengejar postur extended deterrence (penggetar yang
diperluas) Tujuan strategi ini adalah mencegah serangan kepada pemilik nuklir
tetapi juga sekutunya. Berkembanglah aliansi seperti terjadi di Eropa dengan
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Mutual Assured Destruction (MAD)
Para pengambil kebijakan terutama di AS
menyebut Mutual Assured Destruction (MAD) untuk menunjukkan
perimbangan strategis yang muncul selama tahun 1960-an dan awal 1970-an. Secara
harfiah singkata itu bisa diartikan kehancura bersama yang disingkat mad (gila).
Istilah itu sebenarnya merujuk pada jalan buntu yang dialami dua negara adidaya
dengan doktrin saling mencegah dalam penyerangan. Mereka kini berpikir bahwa
keduanya bisa hancur sama-sama jika terjadi perang nuklir. Kesadaran ini
menimbulkan perasaan bahwa jika perang nuklir terjadi tak ada yang bisa
selamat. Dengan situasi seperti ini, perdamaian - setidaknya stabilitas -
merupakan produk kerawanan dari kedua pihak pemilik nuklir. Jika salah satu
negara diserang maka imbalannya adalah kehancuran yang sama. Dengan demikian
tidak ada yang selamat dari perang nuklir.
Menurut Couloumbis, MAD ini tergantung
pada kemampuan kedua negara adidaya dalam menahan serangan nuklir pertama dan
berkemampuan membalas sehingga menimbulkan “kerusakan ayang tidak bisa
diterima” oleh penyerangnya. Kalangan pakar strategis nuklir menyebutnya
kemampuan membalas itu sebagai sebagai “kemampuan serangan kedua”. Dengan
adanya doktrin seperti ini maka, kemampuan membalas serangan itu menjadi
tumpuan sehingga harus kuat dan mobil. Hal ini ditujukan agar senjata nuklir
bisa selamat dari serangan pertama. Sistem senjata ofensif memainkan peran
penting. Kemudian berkembanglah apa yang disebut dengan MIRV (multiple
independently targeted reentry vehicle). Ini adalah satu jenis rudal yang bisa
melepaskan sejumlah hulu ledak termasuk hulu ledak tipuan. MIRV ini dapat
dipasang di rudal balistik antar benua atau rudal yang diluncurkan dari kapal
selam.
Teori Utilisasi Nuklir (Nuclear Utilization Theory)
Hubungan politik diantara negara adidaya
memburuk cepat pada wal 1980-an. Situasi itu mengubah kerja sama antar dua
musuh besar ini menjadi konfrontasi. Kemudian muncul debat tentang peran dan
tujuan senjata nuklir. Timbul pula pertanyaan apakah senjata nuklir masih bisa
digunakan untuk bertahan atau mencegah serangan ? Saat hubungan dua adidaya itu
memburuk, di AS berkembang tentang cara terbaik melindungi kepentingan nasional
melalui senjata strategis. Penganut MAD masih melanjutkan sikapnya untuk
bersama-sama hancur jika terjadi perang nuklir. Namun kemudian muncul pula
penganut teori utilisasi nuklir atau pendekatan NUT. Pendekatan itu beranggapan
senjata nuklir tak hanya digunakan sebagai pencegah tetapi juga digunakan dalam
perang. Sikap ini perlu diambil, kata pendukung NUT, karena Uni Soviet siap
perang nuklir dan memenangkannya.
Dari Ofensif ke Defensif
Tantangan baru terhadap pemikiran
strategis berkembang tahun 1983 saat Presiden AS Ronald Reagan mengusulkan
pertahanan yang berlandaskan angkasa luar dalam melawan rudal balistik. Secara
resmi kebijakan Reagan itu disebut Strategic Defense Initiative (SDI) atau
Prakarsa Pertahana Strategis. Kebijakan baru itu malah lebih populer disebut
Star Wars. Strategi pertahanan ini akan menggunakan teknologi canggih untuk menghentikan
laju rudal nuklir di angkasa luar sehingga, seperti dikatakan Reagan, membuat
senjata nuklir “impoten dan ketinggalan jaman”.
Strategi AS Pasca Perang Dingin
AS menggelar sejumlah strategi baru dalam
memasuki abad ke-21. Diantara butir-butir strategi AS itadalah :- Menggerakkan
strategi AS dari menyiapkan perang melawan Uni Soviet dan menggunakan senjata
nuklir menjadi persiapan perang yang menggunakan senjata pamungkas.- Menerima
visi Eropa bebas nuklir.- Menggantungkan diri pada pasukan. AS mengupayakan
perang jangka pendek.- AS akan memobilisasi struktur kekuatan perimbangan untuk
menghadapi kekautan yang akan muncul.- Menggunakan senjata konvensional modern,
bukan senjata strategis.- Pengaturan apa yang disebut sebagai konflik
intensitas menengah.
Strategi Rusia Pasca Perang Dingin
Rusia juga memikirkan strategi baru untuk
menghadapi tatanan dunia baru selepas Uni Soviet bubar.1. Menjamin adanya
kontrol atas senjata nuklir.2. Menjamin tak ada kekuatan asing menyerang atau
intervensi untuk memulihkan ketertiban.3. Memperkuat persemakmuran
negara-negara merdeka (CIS) menjadi sebuah konfederasi yang
terintgrasi.Berdasarkan permasalahan yang dihadapi Rusia itu dikembangkan
pemikiran strategis baru:1. Para pemimpin Rusia akan tetap menjamin bahwa
arsenal Rusia dapat diandalkan.2. Rekonstruksi angkatan bersenjata Rusia akan
berusaha menghasilkan “militer yang lebih efisien tapi tak mengancam dunia”.3.
Melindungi komando senjata strategis Rusia dan mencegah kehilangan kontrol atas
senjata nuklir ke negara lain.4. Penekanan pada penggunaan senjata non nuklir
yang canggih.
Penutup
Senjata nuklir telah membawa perubahan
dalam sejarah strategi negara adidaya dan negara nuklir lainnya seperti
Inggris, Perancis dan Cina. Perang Dingin menekankan penggunaan nuklir tetapi
bisa mencegah terjadinya perang yang menakutkan itu. Pasca Perang Dingin
melahirkan berbagai doktrin strategis baru yang menekankan pada penggunaan
senjata konvensional. Namun demikian sebagai salah satu senjata yang prestise,
nuklir tetap dicari seperti terjadi pada negara nuklir baru yakni India dan
Pakistan. Menurut George F Kennan, mantan Dubes AS di Uni Soviet, potensi
destruktif perang nuklir global sangat besar sehingga tidak ada alasan politik
untuk membenarkannya. Arnold J Toynbee berpendapat, pengembangan senjata nuklir
mungkin membuat perang menjadi kuno sama seperti berburu makanan tiap hari
menjadi tidak penting. Akhirnya, Liddle-Hart’s menegaskan, tujuan perang yang
sah adalah perdamaian yang lebih baik. Pernyataan ini berarti perang pada era
nuklir menjadi kehilangan kegunaannya sebagai instrumen kebijakan (http://www.the-worldpolitics.com/?p=47), diakses tanggal 15 April 2017.
Sekutu Amerika Serikat di
Luar NATO
Selama perang
dingin terdapat 2 kelompok/kubu,
yaitu blok barat yang dipimpin oleh Amerika
Serikat dan blok timur yang dipimpin oleh Uni Soviet.
Amerika Serikat dibantu oleh NATO atau negara-negara Eropa Barat pada saat itu, tetapi ada beberapa negara
diluar daripada NATO/Eropa Barat yang membantu Amerika Serikat selama perang
dingin (umumnya negara di benua Amerika),
yaitu : Pakistan, Iran, Arab
Saudi, Kanada, Chili, Afghanistan (Mujahideen), Bolivia, Venezuela, Argentina,
Peru, Meksiko, Republik Dominika, Puerto Rico, El-Salvador, Kosta Rika,
Kolombia, Ekuador, Guatemala, Honduras, Nikaragua, Panama, Paraguay, Uruguay,
Greenland (saat itu masih koloni Denmark), Thailand, Malaya (Malaysia Barat
sekarang), Jepang, Korea Selatan, Bangladesh, Vietnam, Philipina, Taiwan,
Australia, Israel, dan Selandia Baru. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sekutu_Amerika_Serikat_diluar_NATO_%28Perang_Dingin%29), diakses tanggal 15 April 2017.
Komentar
Posting Komentar