SISTEM PENDIDIKAN MASYARAKAT INDIES DI JAWA (Akhir Abad ke-19 sampai Awal Abad ke-20)

SISTEM PENDIDIKAN MASYARAKAT INDIES DI JAWA (Akhir Abad ke-19 sampai Awal Abad ke-20)

Yuliarti Kurnia Pramai Selli
Program Studi S1 Pendidikan Sejarah
Universitas Negeri Malang
yuliarti.selli13@gmail.com

ABSTRAK :
Pendidikan adalah wadah perubahan setiap orang yang sangat penting dilakukan untuk mencapai tujuan hidup dan mengubah paradigma kehidupan. Dalam hal ini, peran sistem pendidikan pada masa penjajahan Belanda sangat penting terhadap perubahan pendidikan di Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Sistem pendidikan tersebut membawa dampak positif maupun dampak negatif dimana dampak positifnya masyarakat Jawa dapat mengenal bagaimana kehidupan pendidikan orang Barat tetapi di sisi lain menimbulkan diskriminasi sosial dan stratifikasi sosial di masyarakat Jawa dimana jenjang pendidikan ditentukan berdasarkan golongan atau jabatan. Sehingga, nasib para pribumi hanya bisa mengenyam pendidikan dasar atau bisa disebut sebagai “Sekolah Dasar”. Untuk itu, pada pembahasan artikel ini akan terfokus pada sistem pendidikan yang dibawa oleh masyarakat Indis (Belanda).

         Kata kunci :Pendidikan, Masyarakat Indies, Hindia-Belanda, Masyarakat Jawa.

Pendahuluan
Sebelum kedatangan bangsa barat keHindia Belanda, masyarakat desa sudahmengenal pendidikan baik itu dari keluargamaupun dari lingkungan yangdiperoleh dalam keluarga. Orang tua sangatberperan aktif dalam mendidik anaknya agarmenjadi anak yang bermanfaat bagi diri sendiri,keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Selainitu, kedatangan Brahmana ke Hindia Belandauntuk memimpin acara keagamaan. Setelahkedatangan agama Hindu dan Budha, kedatanganagama Islam juga memberikan pengaruh terhadappendidikan di Hindia Belanda. Pendidikan yangdiajarkan agama Islam dilakukan di langgar danpondok pesantren (Kutoyo, S dan Sri Soetjiatingsih, 1981).
Sebelum kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia, orang Cina, India, Arab, dan Portugis telah hadir di Pulau Jawa dengan membawa kebudayaannya masing-masing. Pada abad ke-16, orang Belanda datang ke Indonesia dengan tujuan untuk berdagang yang kemudian tujuan tersebut berkembang menjadi penguasa di Indonesia. Dalam hal ini, kehadiran orang Belanda membawa pengaruh yang besar terhadap perubahan-perubahan sosial masyarakat Indonesia terutama di Jawa sebagai pusat kekuasaan Belanda khususnya dalam hal percampuran kebudayaan (kebudayaan). Kebudayaan itu meliputi aspek gaya hidup, bentuk bangunan rumah tradisional serta fungsi ruangannya, alat perlengkapan rumah tangga, bahasa, peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan, religi. Aspek-aspek atau unsur-unsur budaya di atas sudah masuk ke dalam tujuh unsur kebudayaan universal yang nantinya disebut dengan “Kebudayaan Indis” (Soekiman, Djoko, 2011: 1-2).
Kebudayaan Indis dikatakan sebagai suatu kebudayaan karena sesuai dengan penjelasan sebelumnya dimana menurut C. Kluckhohn unsur-unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia berjumlah tujuh buah yang dapat disebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan, yaitu :
a.       Bahasa.
b.      Sistem pengetahuan.
c.       Organisasi sosial.
d.      Sistem peralatan hidup dan teknologi.
e.       Sistem mata pencaharian hidup.
f.        Sistem religi.
g.      Kesenian.
Tiap unsur kebudayaan universal terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu sistem budaya, sistem sosial, dan unsur-unsur kebudayaan fisiknya (Koentjaraningrat, 2003: 80-81). Perkembangan budaya Indis sendiri pada awalnya dipengaruhi oleh kebiasaan membujang para penjabat Belanda dimana pada saat itu terdapat larangan membawa istri dan mendatangkan perempuan Belanda ke Hindia Belanda sehingga hal tersebut mendorong laki-laki Belanda menikahi penduduk setempat (wanita pribumi) dan terjadilah percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran serta budaya dan gaya hidup Belanda-Pribumi atau yang disebut dengan gaya Indis(Soekiman, Djoko, 2011: 3).
Kata “Indis” berasal dari bahasa Belanda, yaitu “Nederlandsch Indie” atau Hindia Belanda yang artinya adalah nama daerah jajahan Belanda di seberang lautan meliputi jajahan di kepulauan disebut Nederlandsch Oost Indie. Penggunaan istilah Indis sendiri difokuskan pada kebudayaan dan gaya hidup masyarakat pendukungnya yang terbentu semasa kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, khususnya Jawa. Digunakannya tenaga kerja pribumi berpendidikan Barat di dalam pemerintahan kolonial ataupun perusahaan-perusahaan swasta asing mendorong terciptanya masyarakat baru, yaitu golongan Indo-peranakan dan priyayi baru. Perkembangan budaya Indis berakhir bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda ke penguasaan Jepang selama tiga setengah tahun (Soekiman, Djoko, 2011: 4-7).
Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di Pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan, yaitu Barat (Belanda) dan Timur (Jawa) yang masing-masing didukung oleh etnis berbeda dan mempunyai struktur sosial yang berbeda pula. Dampak dari percampuran kebudayaan tersebut membawa pengaruh yang lambat laun semakin besar dalam berbagai bidang dan unsur kebudayaan, salah satunya adalah unsur budaya sistem pengetahuan yang difokuskan pada aspek pendidikan. Pengaruh yang besar tersebut diperkuat oleh dukungan dari golongan sosial baru, yaitu sejak abad ke-18 sampai awal abad ke-20 (Soekiman, Djoko, 2011: 11).
Menurut Sartono Kartodirdjo, perkembangan pendidikan dan pengajaran menumbuhkan golongan (stratifikasi) sosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru sesuai dengan diferensiasi dan spesialisasi dalam bidang sosial-ekonomi dan pemerintahan, yaitu :
1.      Elite birokrasi yang terdiri atas Pangreh Praja Eropa (Europees Binnenlands Bestuur) dan Pangreh Praja Pribumi.
2.      Priyayi birokrasi termasuk priyayi ningrat.
3.      Priyayi profesional (priyayi dibagi menjadi dua, yaitu priyayi gedhe dan priyayi cilik).
4.      Golongan Belanda dan golongan Indo yang secara formal masuk status Eropa dan mempunyai tendensi kuat untuk mengidentifikasi diri dengan pihak Eropa.
5.      Orang kecil (wong cilik) yang tinggal di kampung (Kartodirdjo, S., 1987: 11).
Dari penjelasan tersebut, maka bisa dibilang bahwa pendidikan pada masa itu sangat penting dilakukan dalam melancarkan tujuan atau visi misi dari penjajahan Hindia Belanda di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa yang nantinya akan mempengaruhi perjuangan bangsa Indonesia dalam hal kemerdekaan. Sehingga, bisa disimpulkan bahwa kebijakan atau sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia membawa dampak positif terhadap pendidikan di Indonesia pada masa itu.

Pembahasan
Kita ketahui sendiri bahwa dalam pandangan masyarakat tradisional (Jawa), orang yang beusia lanjut memiliki pengalaman yang luas karena disebabkan oleh akumulasi pengalaman yang dilihat dan didengar, sehingga orang berusia lanjut dianggap memiliki kebijakan dan kearifan. Dalam masyarakat Jawa, orang muda di Jawa harus mengikuti adat istiadat dan kebiasaan orang tua mereka. Proses belajar dan penyampaian pengetahuan serta nilai-nilai secara turun menurun, daru mulut ke mulut berperan sangat penting dimana setiap anggota masyarakat tunduk pada adat. Proses pendidikan tradisional Jawa yang semula berfungsi sebagai pelestarian budaya dan kesinambungan generasi mulai memudar dan tercampur oleh masyarakat Indis dimana banyak unsur budaya Jawa yang mempengaruhi anak-anak keturunan Eropa dan sebaliknya (pengaruh unsur Eropa pada anak-anak priyayi). Para priyayi pertama-tama menuntut kemajuan para putranya dengan pendidikan modern agar mereka dapat menduduki posisi jabatan dalam administrasi pemerintahan Hindia Belanda yang profesi tersebut oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai profesi yang terpandang (Soekiman, Djoko, 2011: 39-40).
Pendidikan umum dianggap sebagai alat penting untuk melatih seseorang dalam memegang suatu posisi jabatan dalam suatu status di masyarakat. Selain itu juga, pendidikan digunakan sebagai kriteria pengangkatan suatu jabatan dalam pemerintahan maupun swasta. Dalam hal ini, gaji pegawai atau seseorang didasarkan pada penyesuaian fungsi dan pendidikan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Barat menjadi daya tarik dan idaman pada masa itu sehingga orang menghargainya tanpa mengingat asal-usul seseorang tersebut. Bagi anak-anak perempuan, pendidikan Eropa (Belanda) kurang meresap dan dianggap kurang penting karena perempuan pada masa itu sekedar sebagai alat pendamping suami dalam bergaul dengan para pejabat Belanda, seperti waktu ada perjamuan, menerima tamu, dan sebagainya. Dalam hal ini, peran ibu sebagai pendidik anak-anak tetap dianggap penting walaupun banyak diserahkan kepada pembantu. Tetapi, paradigma tersebut mengalami perubahan dimana pada tahun 1920-1930 perempuan ikut berperan dalam meningkatkan pendapatan keluarga, seperti mendirikan usaha batik, berdagang, dan sebagainya. Hal tersebut tidak berlaku pada istri-istri keluarga Indis. Walaupun begitu, dalam kurun waktu tersebut pengajaran di perguruan tinggi memunculkan perempuan profesional dalam bidang pengajaran, kesehatan, dan umum (Soekiman, Djoko, 2011: 41).

Sistem Pendidikan Hindia Belanda
Dapat dikatakan bahwa Belanda membawa suatu jenis pendidikan baru di Indonesia dimana dalam banyak hal pendidikan ini berbeda dari lembaga-lembaga pendidikan pribumi, yaitu :
a.       Pendidikan yang dibiayai pemerintah Belanda adalah sekolah-sekolah umum yang netral terhadap agama.
b.      Pendidikan tidak terlalu memikirkan bagaimana caranya hidup secara harmonis dalam dunia, tetapi menekankan tentang bagaimana memperoleh penghidupan.
c.       Pendidikan diselenggarakan berdasarkan perbedaan kelompok etnis di dalam masyarakat.
d.      Pendidikan diselenggarakan untuk mempertahankan perbedaan kelas dalam masyarakat Indonesia, terutama kalangan orang Jawa.
e.       Pendidikan sebagian besar diarahkan pada pembentukan kelompok elite masyarakat.
Pada zaman VOC, yaitu awal abad ke-18, sekolah-sekolah pertama yang didirikan oleh Belanda sangat bersifat keagamaan dimana pada saat itu, Belanda memandang bahwa penyebaran agama Kristen di kalangan rakyat merupakan suatu kewajiban. Setelah VOC dibubarkan pada akhir abad ke-18, kekuasaannya diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda dimana mengadakan kebijakan pemisahan agama dari pendidikan dan pada tahun 1816 sekolah umum pertama yang didirikan Belanda di Weltervreden (sekarang wilayah bagian Jakarta) dan sejak saat itu sekolah-sekolah umum netral terhadap agama. Walaupun begitu, netralitas dalam hal agama bukan berarti pemerintah kolonial tidak berminat pada sekolah-sekolah yang memberikan pelajaran agama. Selama masa penjajahan Belanda, pendidikan yang diberikan pada sekolah-sekolah umum adalah terkait tentang kebudayaan Belanda di negara Belanda. Sebaliknya, dalam pelajaran-pelajaran di pesantren dan madrasah hanya ditujukan pada terciptanya dan terpeliharanya suatu keseimbangan sosial (Seomardjan, S., 2009: 407-410).
Beberapa pengamat mengatakan bahwa masyarakat sebelum perang bukan suatu masyarakat yang mempunyai keragaman kelompok, tetapi hanya masyarakat ganda yang terdiri dari orang Eropa dan orang non-Eropa (orang Barat dan orang Timur). Berdasarkan gagasan tentang dualisme ini, pemerintah Hindia Belanda menganut kebijakan pemisahan (segregasi) yang tidak hanya di bidang pendidikan tetapi hampir di setiap bidang yang menyangkut kepentingan umum. Sekolah untuk penduduk pribumi tidak mempunyai sistem yang seragam dalam artian perbedaan sosial antara kelompok-kelompok di kalangan penduduk pribumi terlalu besar untuk bisa membenarkan adanya satu jenis sekolah yang seragam. Sehingga, pemerintah mengadakan sistem sekolah dasar berstratifikasi dimana sejak tahun 1893 sudah ada “sekolah kelas satu” untuk anak-anak raja pribumi, orang-orang bumi terkemuka, dan orang kaya lainnya. Selain itu, juga ada “sekolah kelas dua” untuk orang-orang biasa. Pada tahun 1914, sekolah-sekolah kelas satu direorganisasi menjadi sekolah-sekolah Belanda Pribumi (HIS) dengan kurikulum tujuh tahun dan sekolah ini hanya bisa dimasuki oleh anak-anak yang orang tuanya mempunyai status terhormat dalam masyarakat pribumi, seperti jabatan, asal-usul, kekayaan, ataupun pendidikan (Seomardjan, S., 2009: 412-414).
Sistem pendidikan terpisah yang tidak memberikan prospek sosial dan materil yang memuaskan bagi kelompok-kelompok bawah, maka penduduk pedesaan tidak begitu menghargai pendidikan formal. Alasan lainnya adalah karena pada umumnya, masyarakat pedesaan belum punya kebiasaan membaca dan menulis.Penekanan pada kelompok elite pribumi bagi pemerintah Hindia Belanda adalah suatu alat untuk mencapai tujuan, yaitu dalam rangka mensuplai pemerintah yang cukup terlatih. Sistem sekolah untuk penduduk pribumi dimaksudkan sebagai sarana dalam memenuhi kebutuhan pemerintah dimana pemerintah membutuhkan pegawai untuk memenuhi kebutuhan kantor-kantornya (Seomardjan, S., 2009: 416-418).
Walaupun tradisi pengajaran telah berkembang dan gagasan mengembangkan pendidikan yang bersifat Indonesia untuk rakyat tidak diabaikan, tetapi sistem model Barat dianggap sangat berharga bagi rakyat Indonesia. Guru-guru bumiputera yang pertama pun mendapat pendidikan di bawah guru-guru Belanda sehingga mereka mengenal konsep-konsep pendidikan Barat. Seperti contoh kita ambil tokoh Pangeran Notodirdjo yang kritis terhadap pendidikan model Barat, tetapi pandangannya tetap positif terhadap pengaruh pendidikan umum. Selain itu juga, ada tokoh Dr. Wahidin Soedirohoesodo yang menggerakkan pengumpulan dana belajar untuk kalangan bumiputera agar tidak ketinggalan zaman. Dua tokoh di atas bekerja sama sebelum Budi Utomo terbentuk di tahun 1908. Kegiatan-kegiatan sekolah netral menunjukkan betapa kerjasama antara golongan Eropa (Belanda) dan bumiputera dimungkinkan oleh faktor kesamaan tingkat intelektualitas dan telah terjalinnya jalur komunikasi dalam masyarakat kota (Surjomihardjo, A., 2008: 76-79).
Pada permulaan 1850 didirikan sekolah kelas I lamanya 5 tahun yang tujuan pendidikan dan pengajaran pada waktu itu hanya diarahkan kepada pendidikan pegawai seperti pegawai juru tulis, mantri kabupaten, dan sebagainya. Pada akhir abad ke-19 didirikan sekolah kelas II (4 tahun) ditempatkan di kota-kota kabupaten dimana pengajaran pada kelas ini lebih sederhana daripada kelas I. Bisa dibilang pada masa itu tingkat kecerdasan bangsa kita pada waktu itu masih rendah sekali. Pada tahun 1875 didirikan Sekolah Dokter Jawa yang bisa dilanjutkan oleh lulusan Sekolah kelas I (Agung, Leo, S., 2012: 22-23).
Pada awal permulaan abad ke-20 pemerintah Belanda mulai memberikan perhatian lebih terhadap pendidikan di Indonesia salah satunya terbukti pada tahun 1903 diadakan peraturan mengenai pendirian “Sekolah Desa” dengan lama studi selama 3 tahun yang diselenggarakan oleh pemerintah dan desa bersama-sama. Pada tahun 1907 Sekolah kelas I diberi pelajaran Bahasa Belanda mulai kelas III sampai dengan kelas VI sehingga lamanya jadi enam tahun. Pada tahun 1914 Sekolah Kelas I dijadikan Hollandsch Inlandsche School (HIS) dengan lama studi tujuh tahun dan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah kelas II yang dulunya lama studi empat tahun diperpanjang menjadi 5 tahun. Pada tahun 1914 juga didirikan sekolah Mulo-HIS yang merupakan sambungan dari HIS dan Sekolah Rendah Belanda (Agung, Leo, S., 2012: 24-25).
Pada tahun 1920 pemerintah Belanda mendirikan sekolah baru yang disebut dengan Schakelschool yang menerima murid dan Sekolah Dasar dengan lama studi 5 tahun. Pada tahun-tahun selanjutnya diciptakan sekolah Algemene Middelbare School (AMS) yang memberi pendidikan dan pengajaran umum tingkat menengah yang terbagi dalam dua bagian, yaitu bagian Pasti dan bagian Sastra (sastra Barat dan sastra Timur). Murid-murid tamatan AMS mempunyai hak untuk ikut ke pendidikan dan pengajaran Tinggi, yaitu Sekolah Tinggi Kedokteran, Sekolah Tinggi Kehakiman, dan Sekolah Tinggi Teknik yang ada di Indonesia atau juga bisa melanjutkan ke perguruan tinggi di negeri Belanda. AMS disamakan dengan HBS (Sekolah menengah umum untuk anak-anak Belanda). Pemuda-pemuda atau murid kelas II Vervolkschool dan Sekolah Desa pengetahuannya masih sederhana sekali dimana pengetahuan tamatan ini adalah membaca bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan berhitung tanpa dibekali kecakapan menggunakan tangannya untuk bekerja dan berkarya dalam memajukan hidup (Agung, Leo, S., 2012: 25-27).

Kesimpulan dan Saran
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang dilaksanakan di Jawa oleh Belanda membawa dampak positif maupun negatif dimana dampak positifnya adalah masyarakat Jawa mengenal lebih luas tentang ilmu-ilmu atau pengetahuan baik ilmu pasti maupun sastra secara modern. Selain itu juga, masyarakat Jawa menjadi orang yang kritis dan menjadi cendekiawan yang dampaknya masih terasa sampai sekarang. Sedangkan, dampak negatifnya adalah terjadi diskriminasi sosial dalam hal pendidikan dimana terjadi stratifikasi atau pembedaan tingkatan sekolah berdasarkan jabatan pada masa itu, contohnya sekolah priyayi dengan masyarakat pribumi. Sehingga, tidak semua masyarakat Jawa bisa mengenyam pendidikan tinggi. Bisa dibilang bahwa kesempatan pendidikan masih kurang menyentuh lapisan-lapisan sosial yang ada di masyarakat Jawa sehingga menambah sifat pluralitas dalam masyarakat Jawa.
Saran dari artikel ini adalah pembaca bisa memahami isi dari artikel ini dan memberikan saran dan kritik dalam pengerjaan artikel ini. Sehingga, kedepannya penulis dapat menambah pengetahuan lebih tentang materi dan penulisan artikel yang baik dan benar.

Daftar Pustaka
Agung, Leo, S. & Suparman, T. 2012. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Ombak.
Kartodirdjo, S., 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi 1. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Kutoyo, S dan Sri Soetjiatingsih. 1981. SejarahPendidikan Daerah Jawa Timur. Jakarta:Balai Pustaka.
Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indis : dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Depok: Komunitas Bambu.
Soemardjan, S. 2009. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Depok: Komunitas Bambu.
Surjomihardjo, A. 2008. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe : Sejarah Sosial 1880-1930. Depok: Komunitas Bambu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH MASUKNYA AGAMA KONGHUCU DI INDONESIA

Kamu yang Kusayang

MENGINAP SAMBIL MENGENANG MASA LALU: FENDI’S GUEST HOUSE MALANG