PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BERBASIS NILAI
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN BERBASIS NILAI
RESUME
BUKU
UNTUK MEMENUHI TUGAS UAS MATAKULIAH
Pendidikan Kewarganegaraan
yang dibina oleh Bapak Drs. Joko Sayono,
M.Hum., M.Pd
Oleh :
Yuliarti Kurnia Pramai Selli
(140731606196)

UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
JURUSAN
SEJARAH
PRODI
S1 PENDIDIKAN SEJARAH
Maret
2015
KATA PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan
tugas UAS matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan dengan tugas meresume buku yang
berjudul “Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Nilai”.
Penulis
mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian tugas meresume buku ini. Kepada Bapak Drs. Joko Sayono, M.Hum.,
M.Pd selaku pembimbing, yang senantiasa memberikan pengarahan
kepada penulis dalam penyelesaian tugas UAS ini.. Tidak lupa kepada teman-teman
yang telah memberikan informasi dalam menyelesaikan tugas resume buku ini.
Penulis menyadari bahwa tugas resume buku yang dibuat masih belum sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat berguna bagi penulis untuk
penyempurnaan tugas UAS ini. Semoga tugas meresume buku ini berguna untuk
menambah pengetahuan tentang Pendidikan Kewarganegaraan kedepan.
Malang,
Maret 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .................................................................................................. v
Daftar Isi ............................................................................................................. vii
Bab
1 Pendahuluan
A.
Krisis dan Masalah
Pendidikan ................................................................ 3
B.
Model Pendidikan
Kewarganegaraan Berbasis Nilai .............................. 15
C.
Pendekatan Pembelajaran
dalam Kegiatan Belajar Mengajar ................. 17
D.
Materi Kewarganegaraan ......................................................................... 18
E.
Implementasi Kurikulum
2006/KTSP ..................................................... 19
Bab
2 Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Nilai di Sekolah
A.
Landasan Filosofis
Pendidikan Kewarganegaraan .................................. 23
B.
Kedudukan PKn dalam
Perspektif Pendidikan Nilai ............................... 37
C.
Pendidikan
Kewarganegaraan dalam Kurikulum 2006 ........................... 39
D.
Pendekatan Pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan ....................... 75
E.
Memaknai Model
Pembelajaran PKn Berbasis Nilai .............................. 80
F. Pendidikan
Berbasis Nilai dalam Materi PKn ........................................ 107
Bab
3 Implementasi Kurikulum 2006 dalam Pembelajaran PKN
A. Filsafat
Pendidikan Pembelajaran PKn pada Kurikulum 2006 .............. 115
B. Kerangka
Materi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ............. 119
C. Pendekatan
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ...................... 126
D. Konsep
Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Nilai dalam Pembelajaran di Sekolah sebagai
Implementasi Kurikulum 2006 ............................................................... 129
Bab
4 Pendidikan Nilai dalam Konsep Etika
A. Orientasi
Umum ..................................................................................... 147
B. Tinjauan
Tentang Masalah Etika ............................................................ 154
Daftar
Pustaka
Biodata
Penulis
BAB
I
IDENTITAS
BUKU
A.
Nama
buku : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BERBASIS
NILAI
B.
Penulis
buku : Dr. Ine Kusuma Aryani, M.Pd., Markum Susatim, S.S., M.Pd.
C.
Penerbit,
kota, tahun : Ghalia Indonesia, Bogor,
2010
D.
Jumlah
bab, halaman : 4, viii + 168 hlm
E.
Warna
cover buku : Abu-Abu Gelap.
BAB
II
RANGKUMAN
DAN PEMBAHASAN
I.
Rangkuman
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Krisis
dan Masalah Pendidikan
John Naisbitt (1995), mengatakan bahwa di tepi
Asia Pasifik telah tampak kebangkitan negara miskin meski tanpa sumber daya
alam melimpah. Jika negara dapat melakukan kesempatan itu seefisien dan
seefektif mungkin, maka investasinya dapat dikembangkan dan dimanfaatkan oleh
sumber daya manusia yang potensial, profesional, dan mampu berkompetensi.
Sumber daya manusia membuahkan fenomena
globalisasi yang menunjukkan banyak perubahan. Fenomena globalisasi yang
kontradiktif ini membawa nuansa baru yang sulit diprediksi oleh pemikiran
menusia saat ini. Krisis multidimensi menyebabkan manusia sulit memosisikan
dirinya bila tidak memiliki ketahanan mental, ketahanan diri, ketahanan tatanan
nilai, serta fleksibilitas diri menghadapi dampak negatif kemajuan IPTEK.
Fenomena krisis
tersebut tampak pada krisis kepercayaan, krisis kualitas kemandirian atau
krisis bangsa yang berkarakter, serta krisis akan nilai-nilai yang menjadi
pegangan dan acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga berdampak
pada kemajuan IPTEK telah lama menjadi masalah pendidikan.
Pendidikan
merupakan subsistem budaya yang memiliki peran serta dalam mendayagunakan
potensi manusia agar menjadi lebih baik, matang, mantap, utuh, dan produktif
dan dipersiapkan untuk mengantisipasi dampak buruk dari kecenderungan perkembangan
kebudayaan manusia.
Konsep Ki Hajar
Dewantara (1962) disebut sebagai modal manusia beradab seperti yang dimaksud
dalam tujuan utama pendidikan nasional, yaitu konsep belajar untuk berperilaku
bermoral atau budi pekerti. Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 menjelaskan bahwa terdapat dua arah
pendidikan di Indonesia, yaitu
a. Pendidikan
untuk mengembangkan kemampuan, membentuk manusia Indonesia yang cerdas, yang
memiliki pengetahuan dan keterampilan.
b. Pendidikan
untuk membentuk watak dan peradaban manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Satu langkah untuk
menerjemahkan arah pendidikan nasional tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk
substitusional kebijakan pendidikan berupa pentahapan pendidikan, salah satunya
adalah sekolah. Dalam praktik pendidikan, arah pendidikan tersebut
diterjemahkan lebih lanjut ke dalam suatu rencana terstruktur dan sistematis
berupa kurikulum yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Pasal 1 butir 19 UU
Nomor 20 Tahun 2003).
Berdasarkan UU
Nomor 20 Tahun 2003 penjelasan Pasal 37 ayat 1, ditegaskan bahwa pendidikan
kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang
memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Dalam kurikulum SD, SMP, dan SMA
tahun 1968, masalah berpikir kritis, kreatif, partisipasi dinamis, dan problem solving, sudah ditetapkan untuk
digunakan oleh guru-guru, namun walaupun telah ditetapkan, sampai saat ini
metode tradisional (unavoidable
indoctrination) ini masih tetap dilakukan.
Penyimpangan lain
yang nampak di persekolahan, yaitu masih merasakan adanya sesuatu yang salah
berkaitan dengan sistem sekolah, bahwa kurikulum yang dilaksanakan belum
memberikan kebebasan pada guru sebagai pengembang kurikulum dalam kelas. Upaya
memperbaiki proses pendidikan melibatkan seluruh komponen pendidikan dalam
suatu sistem (educational system),
yang terkait erat dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 9, bahwa
masyarakat berhak untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.
Sumber daya
manusia yaitu guru, merupakan ujung tombak pendidikan yang memikul peranan
serta tanggung jawab besar dalam menentukan keberhasilan pembelajaran. Konsep
pendidikan dalam era globalisasi tidak boleh terlepas dari pendidikan nilai
(afektif), begitupun dengan aspek pengetahuan (kognitif), dan keterampilan
(psikomotor). Hal ini sebaiknya terinci dalam materi pelajaran yang diberikan
kepada peserta didik. Sejak lahir dasawarsa 1970-an, para ahli pendidikan
secara sungguh-sungguh mengembangkan teori pendidikan yang memberikan perhatian
pada aspek nilai dan sikap.
Kurikulum 2006
dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam
perubahan, pertentangan, ketidakpastian, dan kerumitan-kerumitan dalam
kehidupan. Upaya kurikulum 2006 belum memberi gambaran kemudahan pada guru
dalam menyajikan pengalaman belajar yang sejalan dengan prinsip belajar
sepanjang hayat yang mengacu pada empat pilar pendidikan universal.
Kini dan masa
depan, proses pembelajaran kewarganegaraan akan membangkitkan potensi kemampuan
intelektual, sikap, dan keterampilan (kognitif, afektif, psikomotor) peserta didik.
Selain kemampuan tersebut, upaya melahirkan peserta didik menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab di tengah tuntutan era globalisasi,
melalui eksistensi mata pelajaran kewarganegaraan (cityzenship) sebagai salah satu mata pelajaran yang memfokuskan
pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosiokultural, bahasa,
usia, dan suku bangsa, dapat menjadikan warga negara Indonesia yang cerdas,
terampil, dan berkarakter, yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945
(Depdiknas, 2003 : 2).
Tanpa disadari,
untuk memenuhi tuntutan pembelajaran kewarganegaraan tersebut masih dirasakan
belum mencapai suatu pemahaman tatanan nilai. Masih diperlukannya memaknai
nilai merupakan suatu urgency
pendidikan nilai, yang dilakukan melalui internalisasi dan personalisasi
kebermaknaan dan nilai-nilai humanisme. Secara substansial, materi pendidikan
memuat tentang pandangan, tema topik, fenomena, fakta, peristiwa, prosedur,
konsep, generalisasi, dan teori.
Era globalisasi,
dihadapkan pada akselerasi perubahan kejut masa depan (future shock). Namun, manusia dan kehidupannya harus tetap sarat
atau padat norma nilai dan moral, karena tidak ada satu kehidupan pun yang
bebas nilai walau berada di tengah gelombang ilmu pengetahuan dan teknologi the third wave (Toffler : 1980).
B.
Model
Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Nilai
Model pendidikan kewarganegaraan berbasis nilai
(MPKBN), dimaknai sebagai model pendidikan yang berdimensi nilai (nilai agama,
nilai budaya, nilai pendidikan, dan nilai kebangsaan atau nasionalisme), moral,
dan norma, menjadikan seseorang mampu
memperjelas dan menentukan sikap terhadap substansi nilai dan norma dalam
sistem dinamika kehidupan beriman dan berbudaya, pembentukan jati diri, warga
negara yang bertanggung jawab, dan menjadi totalitas suatu bangsa yang memiliki
rasa kebangsaan dan cinta tanah air sebagai manusia Indonesia seutuhnya.
C.
Pendekatan
Pembelajaran dalam Kegiatan Belajar Mengajar (Kegiatan Guru Mengajar – Kegiatan
Siswa Belajar)
Pendekatan
pembelajaran dalam KBM yang dimaksud dimaknai sebagai cara-cara atau upaya
dalam proses belajar mengajar melalui serangkaian kegiatan pembelajaran yang
diperoleh baik di dalam maupun luar kelas. Pendekatan ini dimaknai sebagai
cara-cara dalam proses KBM atau upaya membelajarkan dengan menggunakan
pendekatan belajar kontekstual berdasarkan tradisi “social studies”. Pendekatan kontekstual dapat diwujudkan antara
lain dengan metode-metode : kooperatif, penemuan, inkuiri, interaktif,
eksploratif, berpikir kritis, dan pemecahan masalah.
D.
Materi
Kewarganegaraan
Upaya yang dapat
dilakukan adalah menyelenggarakan program pendidikan yang memberikan berbagai
kemampuan sebagai seorang warga negara melalui mata pelajaran kewarganegaraan.
Kewarganegaraan merupakan materi yang memfokuskan pada pembentukan diri yang
beragam.
Berdasarkan
kurikulum 2006, materi Kewarganegaraan mempunyai tujuan :
a. Mengembangkan
pengetahuan dasar sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah, kewarganegaraan.
b. Mengembangkan
kemampuan berpikir, inquiri,
pemecahan masalah, dan keterampilan sosial.
c. Membangun
komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
d. Meningkatkan
kemampuan berkompetensi dan bekerja sama dalam masyarakat yang majemuk, baik
dalam skala nasional maupun skala internasional (Depdiknas, 2003).
E.
Implementasi
Kurikulum 2006/KTSP
Kurikulum
2006/KTSP yang didalamnya adalah kurikulum berbasis kompetensi, merupakan
seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang
harus dicapai siswa, penilaian kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan
sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. Penerapan Materi
Kewarganegaraan dimaknai sebagai suatu proses yang dilakukan oleh pengembang
kurikulum di dalam langkah pemilihan secara tepat guna, dan langkah
pengondisian dari suatu konsep, proporsi, dan teori sebagai pengetahuan,
menjadi materi pendidikan yang bermakna dalam proses pembelajaran pada satu
mata pelajaran di sekolah.
Secara khusus
kurikulum 2006, komponen materi kewarganegaraan adalah kecerdasan warga negara,
keterampilan warga negara, dan karakter warga negara (Puskur, 2002), serta
membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta
tanah air yang memiliki tujuan akhir “manusia Indonesia seutuhnya”.
Tuntutan teoritis
dalam tulisan ini akan dilihat dari karakteristik, ciri, dan pendekatan dari
teori pembelajaran yang dikenal. Tuntutan kebutuhan belajar peserta didik
merupakan harapan yang dapat dihasilkan dari suatu proses pembelajaran
kewarganegaraan berbasis nilai di sekolah dalam wujud perolehan kemampuan dasar
pengetahuan, tatanan basis nilai, dan keterampilan dari peserta didik, sebagai
suatu pengalaman belajar dalam keseluruhan rentang kehidupan kewarganegaraannya
secara nyata disertai personalisasi dan internalisasi nilai-nilai (nilai agama,
nilai budaya, nilai pendidikan, dan nilai kebangsaan atau nasionalisme).
BAB II : PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BERBASIS NILAI DI SEKOLAH
A.
Landasan
Filosofi Pendidikan Kewarganegaraan
Deskripsi kajian
teoritis merupakan kerangka acuan dalam berpikir secara konseptual. Pemikiran
secara menyeluruh dan mendalam dalam konteks demikian sering disebut dengan
berfilsafat. Filsafat sendiri merupakan suatu metode berpikir reflektif,
penelitian penalaran, perangkat masalah-masalah, seperangkat teori, dan sistem
berpikir.
Pembahasan dalam
filsafat mencakup segala permasalahan yang dihadapi manusia dalam kehidupan,
termasuk dalam masalah pendidikan yang disebut dengan filsafat pendidikan.
Keterkaitan antara filsafat dengan pendidikan dilihat dari pendekatan yang dilakukan
menurut Kneller (1971 : 1), yaitu pendekatan spekulatif, preskriptif, dan
analitik.
Manfaat
filsafat pendidikan sebagaimana yang dikatakan Nasution (1982), bahwa :
a. Filsafat
pendidikan dapat menentukan arah ke mana anak-anak harus dibawa.
b. Dengan
adanya tujuan pendidikan (yang diwarnai oleh filsafat yang dianut), kita
mendapat gambaran yang jelas tentang hasil yang harus dicapai, individu yang
bagaimanakah yang harus kita hasilkan dengan usaha pendidikan kita.
c. Filsafat
dan tujuan pendidikan menentukan cara dan proses untuk mencapai tujuan
tersebut.
d. Filsafat
dan tujuan pendidikan memberi kesatuan yang bulat kepada segala usaha
pendidikan.
e. Tujuan
pendidikan memungkinkan si pendidik menilai usahanya, hingga manakah tujuan itu
tercapai.
f.
Tujuan pendidikan
memberikan motivasi atau dorongan bagi kegiatan-kegiatan pendidikan
Dalam perspektif
filsafat pendidikan, pandangan tersebut selanjutnya dikembangkan menjadi teori
pendidikan. Teori pendidikan klasik menurut Ornstein dan Levine (1985 :
193-198), ialah seluruh pengetahuan, ide, atau nilai-nilai, yang telah ada dan
ditemukan sebelumnya, sehingga pendidikan berfungsi memelihara, melestarikan,
dan meneruskan semua warisan budaya kepada generasi selanjutnya. Terdapat
setidaknya dua model teori dari aliran ini, yaitu perrenialisme dan essensialisme.
a.
Perrenialisme.
Perrenialisme
mulai berkembang di Eropa dalam masyarakat aristokrasi agraris, yang
berorientasi ke masa lampau dan kurang mementingkan tuntutan masyarakat yang
berkembang dinamis. Aliran perrenialisme
merupakan paham filsafat pendidikan yang menempatkan nilai pada supremasi
kebenaran tertinggi yang bersumber dari Tuhan.
Pendidikan menurut
aliran perrenialisme adalah kebenaran
yang konstan, abadi atau perrenial. Tugas pendidikan menurut filsafat
perrenialisme adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran yang pasti dan
abadi. Pendidikan tersebut merupakan suatu persiapan untuk hidup. Penganut perrenialisme sepakat bahwa latihan dan
pembinaan berpikir mental discipline
adalah salah satu kewajiban tertinggi dari belajar, atau keutamaan dalam proses
belajar (yang tertinggi).
b.
Essensialisme.
Essensialisme
berkembang di Amerika Serikat dalam masyarakat industri. Menurut essensialisme,
nilai-nilai kemanusiaan terbentuk secara berangsur-angsur melalui kerja keras
dan susah payah selama beratus tahun, dan di dalamnya berakar gagasan-gagasan
dan cita-cita yang telah teruji dalam perjalanan waktu.
Dalam perspektif
di atas, pendidikan diarahkan untuk mempersiapkan generasi muda terjun ke dunia
kerja dalam kehidupan sosial, dengan orientasi masa kini dan masa depan. Dengan
demikian, tujuan utama pendidikan yang baik dalam pandangan essensialisme,
adalah untuk :
1) Untuk
memperoleh pekerjaan yang lebih baik.
2) Untuk
dapat bekerja sama dengan orang lain dengan baik.
3) Untuk
memperoleh penghasilan yang memadai, karena pendidikan dipandang sebagai
langkah untuk meraih kesuksesan secara ekonomis.
B.
Kedudukan
PKn dalam Perspektif Pendidikan Nilai
Pendidikan Umum
atau Pendidikan Nilai, adalah suatu proses dalam upaya membantu siswa
mengekpresikan nilai-nilai yang ada melalui pengujian kritis, sehingga peserta
didik dimungkinkan untuk meningkatkan atau memperbaiki kualitas berpikir serta
perasaannya. Pendidikan mengupayakan seseorang memiliki bentuk kepribadian yang
utuh, mantap, matang, dan produktif dalam pengertian seseorang yang
paripurna-harmoni atau manusia Indonesia seutuhnya.
Pendidikan
berbasis nilai mencakup keseluruhan aspek sebagai alternatif pengajaran atau
bimbingan kepada peserta didik, agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan
keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan
bertindak yang konsisten. Dalam era globalisasi yang dipenuhi dengan persaingan
ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan nilai melalui materi PKn diperlukan
guna menangkal kesemerawutan (chaos-menurut John Briggs dan David Peat) krisis
multi dimensional. Pendidikan nilai dalam materi PKn, diharapkan mampu
melahirkan warga negara Indonesia yang seutuhnya, sebagaimana diungkapkan Cogan
(1998) dalam Djahiri (2002 : 92).
C.
Pendidikan
Kewarganegaraan dalam Kurikulum 2006
1.
Pendidikan
Nilai dalam PKn
Konsep Pendidikan
dalam arti luas berarti suatu proses untuk mengembangkan semua aspek
kepribadian manusia, yang mencakup pengetahuan nilai, sikapnya, serta
keterampilannya. Pendidikan mencakup kegiatan mendidik, mengajar, dan melatih.
Konsep
kewarganegaraan (cityzenship)
berdasarkan Depdiknas (2002 : 7), merupakan materi yang memfokuskan pada
pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia,
dan suku bangsa, untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil,
dan berkarakter, sesuai dengan yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
PKn dapat diperoleh melalui proses kegiatan belajar mengajar di sekolah,
sedangkan ilmu kewarganegaraan dapat diperoleh baik dari bangku sekolah maupun
di luar lingkungan sekolah.
Pendidikan
Kewarganegaraan memiliki keterkaitan erat dengan pendidikan nilai. PKn sebagai
pusat pendidikan nilai, bukanlah sekedar mentransmisikan isi nilai tertentu
kepada peserta didik, akan tetapi dimaknai sebagai upaya mengembangkan proses
penilaian dalam diri seseorang, semacam suatu keyakinan untuk memperkaya
peserta didik dengan sesuatu yang lebih krusial dan fungsional.
Melalui pendidikan
nilai, PKn menekankan pemaknaan dan pemahaman hubungan antara manusia dengan
masyarakat, hubungan manusia dengan lingkungan fisiknya, dan kajian mengenai
manusia dengan segala aspeknya dalam sistem hidup bermasyarakat. Dengan
demikian, pendidikan nilai melalui PKn diyakini perlu mengusung tujuan utama,
yaitu mengembangkan kompetensi kewarganegaraan dan kualitas pribadi yang
bernilai sebagai warga negara, berbudaya kewarganegaraan yang baik menuju
terbentuknya kepribadian yang mantap dan mandiri, memiliki rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan, serta membentuk peserta didik menjadi manusia
yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. (Pasal 37 Ayat (1) UU No.
20/2003).
2.
Pengertian
Kurikulum dan Kurikulum 2006/KTSP
Secara teoritis,
terdapat beragam pandangan tentang pengertian kurikulum, dilihat dalam
perspektif proses pendidikan di sekolah. Sebagai rancangan, kurikulum dapat
diartikan secara luas dan secara sempit. Dalam arti luas, rancangan kurikulum
mencakup seluruh perangkat kurikulum, mulai dari landasan atau dasar-dasar
kurikulum, struktur dan sebaran mata pelajaran, garis-garis besar program
pengajaran, silabus, sampai dengan satuan pelajaran, termasuk di dalamnya
program pengajaran, sumber belajar, dan pedoman-pedoman pelaksanaannya.
Rancangan
kurikulum dalam arti sempit, mencakup GBPP dan penjabarannya dalam bentuk
program tahunan, program semester atau cawu, deskripsi mata pelajaran, silabus,
satuan pelajaran, dan rencana pelajaran.
Kurikulum sebagai
aktivitas, merupakan implementasi atau penerapan dari rancangan kurikulum.
Kurikulum 2006 diarahkan pada penguasaan kompetensi akademis, berupa kemampuan
mengaplikasikan pengetahuan, konsep, prinsip, prosedur, dan lain-lain.
Kurikulum 2006
merupakan suatu model kurikulum yang memfokuskan tujuannya pada penguasaan
kemampuan atau kompetensi-kompetensi khusus oleh para peserta didiknya.
Kurikulum 2006 adalah kurikulum yang bermuatan dasar kompetensi, yang
dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian untuk bertahan hidup
dalam perubahan, pertentangan, ketidakpastian, dan kerumitan-kerumitan dalam
kehidupan.
3.
Implementasi
Kurikulum dalam Konteks Tujuan dan Materi Pendidikan
Implementasi
kurikulum 2006 lebih menekankan pada suatu pertimbangan keilmuan, serta seleksi
materi pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan belajar
peserta didik dalam kerangka tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan nasional yang
tertuang dalam kurikulum 2006, merupakan penjabaran esensi tujuan pendidikan
nasional yang hendak dicapai.
Tujuan dari materi
pendidikan diarahkan dalam upaya membangun kualitas kehidupan manusia melalui
pendidikan kelembagaan yang dilakukan terus-menerus, dan tidak akan berhenti
selama manusia ada. Manusia memiliki potensi untuk mengaktualisasikan dirinya
dalam memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
Dapat disimpulkan,
bahwa tujuan pendidikan secara potensial merupakan hal yang penting. Pendidikan
perlu menciptakan suatu keamanan dari dalam (inner-security), sebagai suatu penangkal bagi ketidakpastian di
masa mendatang.
D.
Pendekatan
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Bagi pembelajaran
PKn, sasaran utama agar dapat hidup secara damai dan tenteram bagi kehidupan
diri, keluarga, masyarakat berbangsa dan bernegara, diperlukan pemahaman makna how can learning to live together in harmony
(APNIEVE, 2000) dan how can learning to
be morally. Pemaknaan belajar hidup bersama dalam damai merupakan
pendidikan nilai untuk perdamaian, hak-hak asasi manusia, demokrasi, dan
pembangunan berkelanjutan untuk kawasan Asia Pasifik.
Metode
pembelajaran PKn sebaiknya memiliki prinsip pendidikan dalam proses belajar
mengajar yang dapat menempatkan metodenya dalam authority of method. Guru sebagai pendidik dalam proses
pembelajaran PKn, sebaiknya mempunyai itikad baik dalam pengabdian yang besar
kepada bangsa dan negara, selain dapat memberikan bimbingan kepada peserta
didik dengan menunjukkan sumber-sumber pengetahuan yang berhubungan dengan apa
yang sedang dibicarakannya dalam kelas.
E.
Memaknai
Model Pembelajaran PKn Berbasis Nilai
1.
Kerangka
Pembelajaran PKn Berbasis Nilai
Nilai merupakan
standar logika, estetika, etika, agama, dan hukum, serta menjadi acuan atau
sistem keyakinan diri maupun kehidupan. Definisi nilai menekankan dua fungsi
psikis manusia, baik aspek kognitif maupun afektif.
Dapat disimpulkan
bahwa nilai merupakan suatu konsepsi, baik berupa konsep, dalil, teori, atau
hukum, maupun suatu kepercayaan, yaitu : semangat, jiwa, harga, makna, isi,
pesan, dan fungsi, berkaitan dengan hal-hal yang dianggap penting dan
seharusnya diingini, yang memiliki sifat imperatif serta lebih disukai,
bersifat relatif tetap, eksplisit, dan implisit.
Pendidikan nilai
adalah pendidikan yang memperhitungkan objek dari sudut moral dan non-moral,
yang meliputi estetika, yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan
selera pribadi, dan etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam hubungan
antarpribadi.
Pendidikan nilai
dapat mengimplikasikan perubahan-perubahan dalam kognisi melalui pengenalan
pengetahuan, informasi, dan keterampilan baru, juga perubahan dalam segi
afektif yang berhubungan dengan perasaan, sikap, dan emosi. Diperlukannya
pendidikan nilai melalui model pembelajaran berbasis nilai, sebaiknya menjadi
suatu upaya untuk membentuk manusia seutuhnya dan berkepribadian, yang dilalui
dalam lingkungan sistem kehidupan agama, Pancasila, sosial, dan budaya.
Peserta didik
dalam pembelajaran pendidikan nilai memiliki kesempatan yang tidak hanya
sekedar mendengarkan mengenai informasi dan berpikir mengenai informasi, akan
tetapi harus aktif berpartisipasi dalam proses belajar mengajar.
2.
Model
Pembelajaran PKn Berbasis Nilai
Model pembelajaran
ini memiliki enam komponen yang mendasari kehidupan manusia Indonesia, yang
sebaiknya menjadi acuan diri manusia dalam kehidupan diri, bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, di bawah payung nilai agama dan budaya. Keenam nilai
tersebut harus dilandasi dengan suatu kesadaran, serta dasar mental religius
kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu nilai agama (imtak) dan budaya (dinamika sistem nilai), yaitu :
a. Nilai
Religius.
b. Nilai
Budaya.
c. Nilai
Kemanusiaan Humanisme.
d. Nilai
Pendidikan dan Teknologi.
e. Nilai
Politik.
f.
Nilai
Musyawarah/Demokrasi.
g. Nilai
Ekonomi.
h. Nilai
Kesehatan.
i.
Nilai Seni.
F.
Pendidikan
Berbasis Nilai dalam Materi Pkn.
PKn berbasis nilai,
perlu memahami batang tubuh pengetahuan nilai, “body of knowledge” berdasarkan
paradigma ilmu yang membagi wilayah ilmu ke dalam tiga bagian, yakni ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
1.
Ontologi
Nilai
Hakikat Nilai
bahwa nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Rujukan ini
dapat berupa norma, etika, peraturan perundang-undangan, adat kebiasaan, aturan
agama, dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi
seseorang, nilai bersifat abstrak, berada di belakang fakta, melahirkan
tindakan, melekat dalam moral seseorang, muncul sebagai ujung proses psikologis
dan berkembang ke arah yang lebih kompleks.
2.
Epistemologi
Nilai
Epistemologi nilai
membicarakan tiga hal, yaitu objek nilai, cara memperoleh nilai dan ukuran nilai.
3.
Aksiologi
Nilai
Bagian dari “body of knowledge” nilai ini menjelaskan
tentang kegunaan pengetahuan nilai dan cara pengetahuan nilai menyelesaikan
masalah, namun aksiologi juga dapat dikatakan sebagai teori tentang cara
menggunakan teori-teori nilai.
Berdasarkan kajian
tiga wilayah batang tubuh “body of
knowledge” nilai melalui suatu pemahaman yang mendalam terhadap body of knowledge di atas, dalam
pendidikan berbasis nilai melalui materi mata pelajaran PKn, menjadi landasan
kerangka acuan esensi kehidupan untuk mencapai “Manusia Indonesia Seutuhnya”.
BAB III : IMPLEMENTASI
KURIKULUM 2006 DALAM PEMBELAJARAN Pkn
A.
Filsafat
Pendidikan Pembelajaran Pkn pada Kurikulum 2006
Berdasarkan pada konteks hakikat, fungsi, dan
tujuan pembelajaran Pkn pada kurikulum 2006, maka materi Pkn (cityzenship) merupakan mata pelajaran
yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam, mulai dari segi agama,
sosiokultural, bahasa, usia, dan suku bangsa. Sedangkan fungsi Pkn, yaitu
sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil, dan
berkarakter, yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan
dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila
dan UUD 1945.
Dalam perspektif
sebagai program pendidikan, Pkn bertujuan untuk mengembangkan kognisi peserta
didik dan mengembangkan sikap peserta didik sebagai warga negara untuk
mencintai tanah air Indonesia. Sikap tanggung jawab merupakan dampak pengiring
dari proses pengembangan intelektualitas peserta didik.
Arah materi Pkn
2006 mendasarkan pada pertimbangan filsafat Pancasila dan filsafat pendidikan rekonstruksionisme, yang berdasarkan
pada pandangan hidup bangsa Indonesia secara utuh dan berakar pada budaya
bangsa, serta mendasarkan pada memelihara dan melestarikan pengetahuan
(intelektual) dengan cara berpikir kritis (kognitif), agar dapat membangun
karakter jati diri bangsa di masa yang akan datang.
B.
Kerangka
Materi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Kajian terhadap materi pendidikan pembelajaran
Pkn kurikulum 2006, senantiasa menganalisis aspek kerangka materi pembelajaran.
Analisis kurikulum 2006 terhadap struktur materi Pkn kelas VII, VIII, dan IX,
memiliki karakter materi yang berbeda, yaitu semakin mendalam dengan bobot
kajian materi yang lebih kompleks.
Materi
pembelajaran Pkn memiliki masalah dan kendala, yaitu tingkat kesulitan materi
dari perspektif perkembangan psikologis peserta didik dengan bobot kajian
konsep, juga teori yang terlalu banyak dan sulit (aspek kognitif) bila
dibandingkan dengan aspek afektif dan psikomotor yang dikaitkan dengan
pembelajaran nilai yang diharapkan. Kajian teoretis materi PKn yang terlalu
menitikberatkan pada aspek kognitif dalam pola kurikulum berbasis kompetensi
(KBK) pada kurikulum 2006, berimplikasi pada kesulitan guru dalam menerapkan
metode pembelajaran yang tepat.
Pada konteks ini,
terdapat saran untuk melakukan peninjauan terhadap materi Pkn, untuk selalu
mengaitkan aspek kognitif (pengetahuan) dengan aspek afektif (nilai-nilai
kemanusiaan/humanisme, politik, kebangsaan atau nasionalisme,
musyawarah/demokrasi, pendidikan, seni, ekonomi, dan kesehatan), seperti pada
pokok pembahasan otonomi daerah tentang desentralisasi berkaitan dengan UUD
1945 Pasal 18, yaitu kepala daerah bupati/walikota yang baik sebagai pemimpin
masyarakat.
Dalam konsep
tentang hak asasi manusia, yang perlu diangkat dalam proses pembelajaran adalah
nilai kemanusiaan atau humanisme, serta nilai musyawarah dalam memecahkan suatu
permasalahan. Disadari bahwa, ruang lingkup materi pembelajaran Pkn secara
kronologis historis, baik materi maupun istilah nama mata pelajarannya selalu
berubah-ubah setiap kurikulum (inkonsistensi),
dengan materi yang lebih menekankan pada aspek pengetahuan informatif.
C.
Pendekatan
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Salah satu tujuan pembelajaran Pkn adalah
menumbuhkan warga negara yang demokratis, bertanggung jawab, dan memiliki rasa
cinta tanah air. Sebagai guru profesional yang memiliki dedicated and well informed teacher, ada baiknya jika melaksanakan
konsep Authority of method yang dapat
membuat metode seefektif mungkin, sehingga dalam keadaan apapun metode dapat
mengatasi kesulitan-kesulitan guru, tanpa meninggalkan dasar-dasar mengajar
yang demokratis.
Sebaliknya, dalam authority of method (kekuasaan metode),
masih banyak guru Pkn yang menggunakan metode ini secara murni dan belum
memodifikasi dengan metode atau pendekatan pembelajaran lain yang sifatnya
lebih humanis atau menarik. Authority of method adalah di mana peran guru
dengan sikap yang bersahabat sebagai pembimbing dapat mengungkapkan
potensi-potensi kecerdasan, sikap, dan keterampilan siswa dengan mobilisasi
segala usaha metodologis, agar dapat mencapai peningkatan hasil belajar yang
sebaik-baiknya, yaitu peserta didik yang memiliki kompetensi dan siap berkompetensi
di masa depan.
Beberapa sekolah
dengan kreatif telah melakukan inovasi pembelajaran dengan melakukan pendekatan
pembelajaran yang diharapkan, sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan baik,
dan menimbulkan motivasi bagi peserta didik untuk belajar dengan aktif dan
kreatif, contohnya dengan melakukan permainan yang beragam diantaranya jigsaw,
cepat tanggap, dan diskusi interaktif antarkelompok.
D.
Konsep
Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Nilai dalam Pembelajaran di Sekolah sebagai
Implementasi Kurikulum 2006
Dalam perspektif
teori pengembangan kurikulum PKn di sekolah, kurikulum yang baik selayaknya
dapat bermanfaat bagi guru dalam membuat perencanaan pengajaran, dimana rencana
pengajaran tersebut diperuntukkan bagi bimbingan para peserta didik dalam
proses yang dilakukan. Adapun kurikulum 2006 yang sebaiknya selaras dengan
landasan filosofi dan budaya Pancasila, masih belum seutuhnya memadai harapan
yang diinginkan. Pembaruan materi pendidikan dalam kurikulum memang diakui
penting dalam mewujudkan kualitas proses pembelajaran, namun bukan menjadi
satu-satunya faktor yang dominan.
Perlu dipahami,
bahwa hakikat belajar bukan dari banyaknya konsep materi yang dikuasai,
melainkan dari pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik dari suatu
proses pembelajaran yang berguna bagi kepentingan hidup dan kehidupan peserta
didik itu sendiri. Dengan pemaknaan demikian, maka kedudukan kurikulum sekolah
secara nasional berfungsi sebagai pedoman kegiatan pembelajaran di sekolah,
yang dapat disesuaikan dengan fenomena yang terjadi di lapangan dan diserasikan
dengan kondisi lingkungan di daerah masing-masing.
Proses
pembelajaran PKn dimaknai sebagai wahana untuk pembentukan jati diri dan cinta
terhadap tanah air melalui internalisasi/personalisasi nilai agama dan budaya.
Tujuan dari proses pembelajaran PKn ini adalah mempersiapkan peserta didik
untuk menjalani kehidupannya pada masa kini dan masa depan, menumbuhkan
kebanggaan sebagai warga bangsa, dan menumbuhkan rasa saling pengertian
antarbangsa.
Dalam perspektif sebagai
program pendidikan, kurikulum 2006 lebih menekankan pada keterampilan proses,
standar kompetensi, orientasi belajar peserta didik, dan pengalaman belajar
peserta didik (life skill). Pada
hakikatnya, proses pendidikan di sekolah memerlukan kurikulum sebagai wahana
untuk mengintegrasikan proses belajar peserta didik dalam memahami dan menyerap
pengetahuan secara teoritis, menginternalisasi tatanan nilai, dan terampil
dalam memecahkan masalah yang ada di lingkungan kehidupan peserta didik
sendiri.
Materi pendidikan
merupakan komponen yang sering diabaikan dalam rangka efektivitas pembelajaran
di sekolah, termasuk pada proses pembelajaran Pkn di SMP dan SMA. Konsep
pendidikan kewarganegaraan dalam pengetahuan sosial merupakan suatu kesatuan
dan keterkaitan satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain, yaitu geografi,
sejarah, dan ekonomi, sehingga diupayakan dapat menjawab masalah sosial yang
sangat kompleks dan berkesinambungan (integrasi dengan bidang lain), yang pada
intinya masih dalam rangka pembentukan karakter warga negara Indonesia dan
warga dunia yang baik.
Bila memperhatikan
materi pendidikan yang termuat dalam kurikulum 2006 pada SMP dan SMA, akan
nampak bahwa sekuensi, kontinuitas (kesinambungan), dan kedalaman materi,
menjadi perhatian dan pertimbangan dalam proses pembelajaran Pkn yang
dilaksanakan, namun kurang menyentuh aspek pendidikan nilai.
Upaya perbaikan
dan pembaruan kurikulum terus dilakukan, meskipun harus diakui bahwa proses
pembaruan kurikulum masih terbatas pada upaya memperbarui materi pendidikan
yang termuat dalam kurikulum berperspektif akademis. Susunan materi pendidikan
yang termuat dalam kurikulum 2006 memang merupakan hasil seleksi dari beragam
materi pendidikan ilmu sosial secara konsepsional.
BAB IV : PENDIDIKAN NILAI
DALAM KONSEP ETIKA
A.
Orientasi
Umum
Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan
manusia yang menduduki tempat sentral di antara segala jenis kegiatan di dalam
eksistensinya di dunia. Objek ilmu pengetahuan ialah dunia fenomenal, dan
metode pendekatannya berdasarkan pada pengalaman (experience) dengan mempergunakan berbagai cara, seperti observasi,
eksperimen, survei, studi kasus, dan sebagainya.
Seorang ilmuan
biasanya berpikir dalam rangka kausalitas. Jika etimologi gejala-gejala telah
ditemukan, tentu hal itu akan memuaskan, karena kita dianggap telah mengerti
atau memahami relasi antara gejala-gejala itu. Pengertian kausalitas sebagai
suatu kerangka orientasi ilmu pengetahuan mempunyai nilai pragmatis dan sangat
bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Dengan kata lain,
manusia dapat menguasai gejala-gejala alam demi kepentingan hidupnya. Mengenal
kausalitas yang menguasai kejadian, tidak berarti bahwa manusia akan mengerti
makna hidup sebagai keseluruhan. Oleh karena itu, tidak semua segi dari
kenyataan dapat ditinjau dari kausalitas.
Masalah kausalitas
muncul karena manusia sering didorong oleh tendensi keilmiahan yang seakan-akan
ingin menerangkan segala-galanya dengan sikap yang telah dikemukakan, yaitu
bahwa manusia menduduki dwiperanan, hidup di alam materiil yang dikuasai oleh
hukum kausalitas, dan menghadapi misteri dirinya dan misteri hidup pada
umumnya, dimana kemerdekaan merupakan salah satu hakikat manusia.
Kausalitas,
determinisme, dan kemerdekaan kemauan manusia, bukanlah masalah ilmiah,
melainkan masalah filosofis. Perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan,
ialah bahwa ilmu pengetahuan bertolak dari dunia fakta (bersifat ontis), sedangkan filsafat bertolak dari
dunia nilai, yaitu selalu menghubungkan masalah dengan makna keseluruhan hidup
(bersifat deontis), walaupun kedua
bidang aktivitas manusia tersebut bersifat kognitif.
Ilmu pengetahuan
bukan filsafat, dan sebaliknya agama juga bukan filsafat dan bukan pula ilmu
pengetahuan, atau sebaliknya. Kedua alam tersebut berbeda hakikatnya, walaupun
berhubungan satu sama lain. Sifat-sifat khas kegiatan di bidang seni, ialah
kebebasan, kreativitas, penghayatan keindahan, bebas dari norma daya guna, dan
pemilikan.
Di dalam seni,
tujuan utama seniman ialah menciptakan dan menikmati keindahan yang tidak
terikat oleh tradisi dan egoisme, sehingga makna hidup dapat dihayati secara
mendalam. Jelaslah sudah bahwa nilai kesenian di dalam kehidupan manusia
bersifat hakiki, karena penghayatan makna hidup serta penikmatan keindahan yang
halus dan mendalam, terjadi di dalam jiwa seniman yang tulen.
Mengenai bidang
politik dapat dikatakan, bahwa politik tidak dapat dilepaskan dengan kekuasaan,
yang harus diperjuangkan dan dipertahankan, yang seringkali tanpa mempergunakan
prinsip-prinsip kesusilaan.
B.
Tinjauan
tentang Masalah Etika
Masalah etika
tidak dapat dipisahkan dari masalah hakikat manusia yang hidup di dunia dengan
segala dimensinya. Kita tidak akan jauh dari kebenaran, bila kita membahas
masalah etika dengan bertitik tolak pada hakikat manusia itu sendiri atau hatinya,
sebagai sumber kata hati atau konsiensi manusia, yaitu instansi yang dapat
menimbang dan memutuskan secara otonom dan bertanggung jawab apa itu kebaikan
atau kebenaran.
Kesimpulannya,
perbuatan susila ialah perbuatan yang mempertaruhkan seluruh kepribadiannya,
tanpa memperhitungkan untung rugi, kedudukan, kekuasaan, dan pangkatnya.
Sedangkan perbuatan etis adalah perbuatan yang bersumber pada hakikat manusia
itu sendiri, yaitu perbuatan yang asli, otentik, tidak palsu, dan tidak meniru,
tetapi yang kreatif, unik, bebas dari segala ancaman dan tekanan, bahkan bebas
dari situasi.
Jika masalah etika
bersumber pada kepribadian manusia itu sendiri, ketertiban, dan makna
kehidupan, hal tersebut sudah tentu akan bertalian erat dengan pandangan
tentang hakikat manusia dan hakikat dunia. Etika sebagai pedoman hidup manusia
tidak dapat dipisahkan dari tata tertib dunia atau kosmologi, yang tidak
diketahui organisasinya, terutama yang tersembunyi di belakang fenomena dunia
ini.
Dapat disimpulkan
bahwa, hidup etis tidak dapat dilepaskan dari dua dimensi hakikat manusia,
yaitu kebebasan dalam bentuk realisasi dirinya, dan keterlibatan atau
komitmennya terhadap Tuhan dan masyarakat. Kepribadian yang normal tidak dapat
dipisahkan dari konsepsi kesusilaan. Psycohygiene
atau kesehatan fisik, merupakan suatu kondisi mutlak bagi manusia yang
ingin hidup produktif, kreatif, progresif, dan positif.
Kesusilaan
bertalian erat dengan psycohygiene dan
agama. Sedangkan tanggung jawab sebagai dimensi psycohygiene mempunyai segi filsafat (ontologis dan normatif) dan
psikologis karena bersumber pada kepribadian manusia itu sendiri. Tanggung
jawab mempunyai segi normatif jika manusia memahami pengertian norma (pedoman
hidup bagi manusia) yang direalisasikan di dalam hidupnya sehari-hari. Tanggung
jawab bersumber pada kepribadian yang didukung oleh sikap berhati-hati dan
bijaksana. Dapat disimpulkan, tanggung jawab mengimplikasikan pengakuan
berlakunya norma.
II. Pembahasan
Dampak negatif
kemajuan IPTEK ini besar pengaruhnya terhadap perubahan sikap serta perilaku
peserta didik, sehingga terjadi beberapa krisis nilai, moral, norma, dan
dehumanisasi. Berbagai kebijakan dan pembaharuan sudah dilakukan, tetapi masih
saja dalam pengaplikasiannya selalu terhambat dan menantang, khususnya dalam
menentukan perilaku individu dalam arah dan tujuannya.
Sehungga,
pendidikan sangat perlu dalam membentuk karakter. Salah satunya dengan adanya
kurikulum 2006 yang menekankan pada aspek yang bertujuan menciptakan lulusan
yang kompeten dan cerdas serta bermutu, sehingga dapat mewujudkan karakter
nasional bangsa Indonesia.
Dalam konteks
pendidikan, filsafat berkedudukan dan berfungsi memberikan arah dan metodologi
terhadap praktek pendidikan. Materi Pkn dengan model berbasis nilai yang
tersusun, merupakan upaya alternatif bagi peserta didik dalam menghadapi
globalisasi serta dinamika kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Pengembangan model
pembelajaran pendidikan kewarganegaraan berbasis nilai lebih jauh
multidimensional dan secara konseptual. Untuk mencapai tujuan tersebut,
diperlukan suatu proses pembelajaran secara langsung dalam kelas. Materi
pembelajaran perlu dipilih dengan tepat agar kompetensi siswa mencapai nilai
yang optimal. Tujuan pendidikan nasional mengarahkan komponen materi pelajaran
menjadi suatu ilmu pengetahuan bagi peserta didik.
Tujuan pendidikan
nasional Indonesia diupayakan dapat teraplikasi melalui materi pelajaran
kewarganegaraan, sehingga peserta didik dapat menyatukan iman dan ketakwaan
yang mempunyai kebenaran mutlak. Model pembelajaran berbasis nilai bertujuan
menjadi acuan/petunjuk bagi guru dalam membina dan mendidik para siswa melalui
pemahaman nilai itu sendiri.
Model pembelajaran
berbasis nilai ini melibatkan siswa lebih banyak dalam proses belajarnya.
Pendidikan merupakan suatu tuntunan di dalam hidup dan perkembangan peserta
didik, sehingga menghasilkan kepribadian manusia yang matang secara
intelektual, emosional, dan spiritual.
Bila diamati,
kurikulum 2006 dalam kompetensinya masih belum memiliki landasan pertimbangan
filosofi pendidikan yang materi pembelajaran PKn-nya menyangkut tentang
pemaknaan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Pada umumnya, guru Pkn
belum secara sistematik dalam mengacu ke arah topik-topik pembahasan yang baru,
karena guru masih merasa asing dengan materi pembelajaran tersebut.
Fungsi dan tujuan
pembelajaran menyangkut pada arah yang akan dicapai dalam suatu proses
pembelajaran dari peserta didik. Lingkungan belajar juga merupakan pengaruh tidak langsung dari
kualitas proses pembelajaran di sekolah. Dan itu harus didukung satu sama lain,
yaitu antara guru dan peserta didik.
Perbedaan
perkembangan intelektual dan kepribadian peserta didik mempengaruhi kapasitas
penyampaian muatan materi. Pembahasan tentang susunan materi pendidikan dalam
kurikulum 2006 terkait dengan keluasan dan kedalaman materi.
Norma dalam dunia
nilai dan dunia ketertiban adalah penentu pemberian makna pada kehidupan.
Tanggung jawab mutlak secara vertikal sebagai koreksi atau evaluasi terhadap
tanggung jawab terhadap masyarakat. Tanggung jawab mengembalikan manusi ke
dalam totalitas kenyataan masyarakat dan Tuhan, juga merupakan suatu keadaan
manusia yang telah dapat menipiskan rasa keakuan atau isolasinya di dalam
kesunyian diri sendiri, serta dapat menebalkan rasa ketotalan dimensi
kepribadian yang utuh demi kepentingannya sendiri dan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Adimihardja, K. – Harahap (2000), Beberapa Catatan : Politik Pendidikan Tinggi. Dari
Masa Kolonial Hingga Reformasi Sekarang. Majalah Reformasi Pendidikan.
Bandung: Dialektika-Unpad.
2.
Ahmadi, A. (1991), Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
3.
Allen, J. (1960). The Rodel of Ninth Grade Civics in Citizenship Education, The High
School Journal, 44, 3: 106-111.
4.
Allport, G.W. (1960). Personality and Sosial Encounter: Selected Essays. Boston: Beacon
Press.
5.
Amirin, T.M. (1992). Pokok-pokok Teori
Sistem. Jakarta: CV Rajawali.
6.
Bachtiar S. (1998). Adz-Dzikraa Al-Quran. Bandung: Angkasa.
7.
Bahmueller, C.R. (1997). A Framewark For Teaching Democratic
Citizenship: An International Project In The International Journal of
School Education, 12, 2.
8.
-----, Patrict, J.J. (1998), Principles and Practices of Education for
Democratic Citizenship: International Perspectives and Project, USA: ERIC
Adjunct Clearinghouse for International Civic Education.
9.
Ballantine, J.H. (1985). School and Society. California: Mayfield
Publishing Company.
10.
Barr, R.D., Barth, J.L., Shermis, S.S.
(1978). The Nature of The Social Studies,
Palm Spring: An ETS Pablication.
11.
Barnadib, I., (1988), Ke Arah Perspektif Baru Pendidikan, Jakarta: P2LPTK Ditjen Dikti
Depdikbud.
12.
Beauchamp, G.A. (1975). Curriculum Theory, Wilmete: The King
Press.
13.
Bell, Daniel. (1980). The Coming of Post-Industrial Society: A Venture in Sosial Forecasting. New York: Basic Books.
14.
Brameld, T. (1965). Education as Power. USA: Holt, Rivehart and Winston, Inc.
15.
-----, (1970). Philosophies of Education. New York: Holt, Rinehart and Winston
Branson, M.S. (1998). The Role of Civic
Education, Calabasas:CCE.
16.
-----, (1999), Making the case for Civic Education: Where we Stand at the End of the 20 st Centure, Washington:CCE.
17.
Brubacher, J.S. (1950). Modern Philosophies of Education.
McGraw-Hill Book Company Inc.
18.
Best, W.J. (1977). Research In Education. (Third Edition). India: Prentice-Hall.
19.
Bregh, V.J. (1981). Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
20.
Bogdan R.C. and Biklen, S.K. (1992). Qualitative Research for Education. An
Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.
21.
Butt, Freeman, R. (1980). The Revival of Civic Learning A Rationale
for Citizenship Education in American Schools. Columbia University: A
Publication of The Phi Delta Kappa Educational Foundation.
22.
Capra, F. (1998). Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya.
23.
Caswell, H.L & Cambell, D.S. (1935). Curriculum Development. New York:
American Book Co.
24.
Chadwick, B.A., Bahr, M.H., and Albrencht,
S.L., Eds. (1984). Sosial Sciences
Research Methods. New Jersey: Englewood Cliffs.
25.
Clark, N. (1973). What Kind of Citizen Are You ?. Boston: Allyn Bacon.
26.
Cogan, J.J. (1999). Developing the Civic Society: The Role of Civic Education, Bandung:
CICED.
27.
Center For Civic Indonesian Civic
Education. (1998). Kami Bangsa Indonesia.
Bandung: Proyek Kewarganegaraan.
28.
Chamim, (2004). Pendidikan Kewarganegaraan, Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
29.
Civicus. (2001). Rekonstruksi Kurikulum PMPKN (Edisi 1- Mei). Jurusan PMPKn FPIPS
UPI.
30.
-----. (2002). Kompetensi Berdemokrasi Dalam Masyarakat Madani (Vol 1 No 2 - Juni).
Jurusan PMPKn FPIPS UPI.
31.
Coombs, P.H. (1968). The World Education Crisis A Sistems Analysis. New York: Oxford
University Press.
32.
Derricott, R., Cogan, J.J. (1998). Citizenship for the 21 st century: An
International Perspective on Education, London: Kogan Pake.
33.
Departemen Pendidikan Nasional, (2004). Standar Kompetensi Mata Pelajaran
Kewarganegaraan SMP dan MTs. Jakarta.
34.
Djahiri, A.K. (1990). Teori Keterampilan Belajar dan Mengajar menuju Guru Inkuiri yang
Reaktif. Bandung: Lab. Pengajaran PMP IKIP Bandung.
35.
-----. (1995). Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan Games Dalam VCT.
Bandung: Granesia.
36.
-----. (1996). Dasar dan Konsep Pendidikan Moral. Jakarta: Proyek Pendidikan
Tenaga Akademis.
37.
-----. (1996). Menelusuri Dunia Afektif (Pendidikan Nilai dan Moral). Bandung:
Lab. Pengajaran PMP IKIP Bandung.
38.
-----. (1999). Perkiraan-Perkiraan Kebijakan dalam Pendidikan Politik Pasca Reformasi
terhadap Materi PPKn (Semiloka). Purwakarta 24 Juni 1999: Rosdakarya.
39.
-----. (2002). Pembelajaran AJEL Portofolio-Terpadu Multi Dimensional dan Pendidikan
Budi Pekerti (Edisi Ke-3). Bandung: CICED-Lab PPKn FPIS UPI.
40.
Djamari. (1999). Cakrawala Pendidikan Umum-Suatu Upaya Mempertegas Body of Knowledge.
Bandung: Ikatan mahasiswa dan Alumni Pendidikan Umum (IMA-PU) PPS IKIP Bandung.
41.
Djuwita, P., (2005). Values and Moral Education (Collected Article’s from Internet).
UPI-PPS.
42.
Depdiknas. (2003). Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta.
43.
Depdiknas. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ke-3. Jakarta. Balai Pustaka.
44.
Dewey, J. (1956). Democracy and Education. New York: The Macmillan Company.
45.
Djohar, M.S. (2003). Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta:
LESFI.
46.
Dufty, D.G. (1970), Designing Integrated Course, dalam Teaching About Society, Sydney:
Rigby.
47.
Dunn, W.N., (1981), Public Policy Analysis: An Introduction, New York: Prentice Hall.
48.
Engkoswara, (1999). Menuju Indonesia Modern. Bandung: Yayasan Amal Keluarga.
49.
-----, (2002), Lembaga Pendidikan sebagai Pusat Pembudayaan, Bandung: Yayasan Amal
Keluarga.
50.
-----, (2002), Ilmu, Iman Amaliah Indah, Bandung:Yayasan Amal Keluarga.
51.
Fadjar, M. (2001). Pendidikan sebagai Praktis Pembangunan Bangsa. Makalah Seminar UPI-
Tidak Diterbitkan. Bandung:UPI.
52.
Fenton, E. (1964). Teaching the New Sosial Studies in Secondary School: An Inductive
Approach, Bloomington: Indiana University Press.
53.
Fowles, J. (1979). Handbook of Futures Reseach. London: Greenwood Press.
54.
Fraenkel, J.R. (1987). How to Teach about Values: An Analytic
Approach. Englewood Cliffs. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
55.
Gross, R.E and Zelleny, J.E. (1971, rev
1987). Educating Citizens for Democracy.
London: Oxford University Press.
56.
Hakam,
A.K. (2000). Pendidikan Nilai.
Bandung: CV Maulana.
57.
Hasan, A.S., (2005). Kurikulum dan Tujuan Pendidikan. Bandung: PPS UPI. Stadium General.
27 April 2005.
58.
Henry, N.B. (1952). The Fifty-First Yearbook of The National Society for The Study of
Education. Part I. General Education. Illinois: The University of Chicago
Press Chicago.
59.
Harahap, O.S., (2000). Pendidikan Tinggi Indonesia: Mencari Arah di
Persimpangan Jalan. Majalah Revolusi Pendidikan. Bandung: Dialektika-Unpad.
60.
Harefa. (2001). Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Kompas.
61.
Hortoonian, M. (1992). “The Sosial Studies and Project 2061. An
Opportunity for Harmony,” in The Sosial Studies 83 (4) July- August 1992.
P. 160-163.
62.
Horton, R.T., (1972). Reference Guide to Advanced Manajement Methods, American Manajement
Association.
63.
Hyman, R.T. (1973). Approach in Curriculum, New York: Printice Hall.
64.
Hutchins, R.M. (1936). The Higher Learning in America.
Connectitut: Yale University Press.
65.
Ismaun, (2002). Filsafat Ilmu, Bandung:UPI.
66.
Joyce, B. And Weil, M. (1986). Models of Teaching. New Jersey: Prentice
Hall. Inc. Rnglewood Cliffs.
67.
Johnson, M., (1970). Appropriate Research Direction in Curriculum and Instruction,
Curriculum Theory Network.
68.
Kahin G. Mc T., (1970). Nationalism and Revolution in Indonesia.
New York: Vail-Ballou Press Inc.
69.
Karhami, S.K.A., (2000). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Dasar dan
Menengah (Upaya Meningkatkan Tiga Kepantingan: Masyarakat-Pembelajar-Keilmuan),
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 6 (024), 281-294.
70.
Kartono, K. (1986). Pengantar Metodologi Riset Sosiologi. Bandung: Alumni.
71.
Kattsoff, L.D. and Albert J.S., (1965). The Elements of Philosophy. New York: Mc
Graw-Hill Book Company.
72.
Kennedy, P. (1995). Menyiapkan Diri Menghadapi Abad Ke-21. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
73.
Kerr, D. (1999), Citizenship Education: an International Comparison, London:
National Foundation for Education Research-NFER.
74.
Ki Hajar Dewantara, (1962), Pendidikan-Bagian Pertama, Jogjakarta:
Taman Siswa.
75.
-----, (1962), Kebudayaan – Bagian Kedua A, Jogjakarta: Taman Siswa.
76.
Kluckhohn, C. (1951). Values and Value-Orientations In The Theory of Action: An Exploration
In Definition and Classification. Dalam T. Person & E.A. Shils (Eds).
Toward A General Theory of Action. Cambridge: Harvard University Press.
77.
Kneller, G.F., (Ed), (1971). Foundation of Education., (Third
Edition), New York: John Wiley and Sons.
78.
Koentjaraningrat, (1997). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia.
79.
Kuhn, T. (1990). Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, (terjemahan). Bandung:
Remadja Rosdakarya.
80.
Kupperman, (1983). The Foundation of Morality. London: Josg Aclen & Unrim.
81.
Kusuma, I.A. (2002). Model Pembelajaran Portofolio dalam Membina Nilai Kepemimpinan pada
Diri Siswa. (Penelitian Tindakan pada Pembelajaran PKn di SLTP 9
Purwakarta). Bandung: Tesis PPS UPI.
82.
Lincoln, Y.S. and Guba, E,G. (1985). Naturalistic Inquiry, Beverly Hill, Sage
Publications.
83.
Mahmur, D. (1984). Guru dalam Proses Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
84.
Mahpudz. A. (2002). Model Pengorganisasi Materi Pendidikan IPS dalam Kurikulum Sekolah.
Disertasi PPS UPI – Tidak Diterbitkan. Bandung: UPI.
85.
McMillan, J. and Schumacher, S. (2001). Research In Education. New York: Addison
Wesley Longman.
86.
Mc
Neil, J.D. (1990). Curriculum: A
Comprehensive Introduction (4th edition), Scott Foresman Little
Browarga negara Higher Education, Glenview Illinois-London.
87.
Makagiansar, M. (1990). Dimensi dan Tantangan Pendidikan dalam Era
Globalisasi, Jurnal Pendidikan MIMBAR PENDIDIKAN, IX (4), 5-7 University
Press IKIP Bandung.
88.
Mehlinger, H.D. (1987). The Study of Emerican Political Behavior.
Bloomington: Indiana University Press.
89.
Metcalf E.L. (1971). Values Education, Rationale Strategies and Procedurs. Washington:
National Council for The Sosial Studies.
90.
Miles, M.B. dan Huberman, A.M. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber
Tentang Metode Baru. (terjemahan), Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Press.
91.
Miller, J.P. & Wayne Seller, (1985). Curriculum: Perspective and Practice.
New York: Longman.
92.
Moleong, L.J. (1993). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Rosdakarya.
93.
Mulyana, D. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Rosdakarya.
94.
Mulyana, R. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alafabeta.
95.
National Council for The Sosial Studies,
(1994), The Curriculum Standards for
Sosial Studies, NCSS, Washington DC.
96.
National Commision on Sosial Studies in
the School, (1990), Charting a Course:
Sosial Studies for the 21 st Century. Sosial Education 54 (7).
97.
Nasution, S. (1988). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
98.
-----, (1989). Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bina Aksara.
99.
Nisbitt, J. (1995). Mega Trends Asia-Delapan Megatrend Asia yang mengubah Dunia,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
100.
Nurhadi, (2004). Kurikulum 2004. Jakarta: Gramedia.
101.
Ohmae Keniche, (1991), The Borderless Word, McKinsey &
Company, Inc: Harper Business.
102.
Ornstein, A.C. and Daniel U. Levine,
(1985), An Introduction to The Foundation
of Education, (Thierd Edition), Boston: Houghton Mifflin Company.
103.
Oser, K.F., (1983). Handbook of Research on Teaching: Moral Education and Values Education-
The Discourse Perspective. Ohio University.
104.
Pangkahila, W. (2000). “Characters and Nasional Building”.
Bandung: Siaran Radio.
105.
Phenix, P.H. (1954). Realms of Meaning. New York: Mc. Graw-Hill Book Company.
106.
Pikiran Rakyat. (2004). 8 April; 13 April;
28 April 2004; 27 Juni, 4 Sept 2005.
107.
Poespadibrata, S. (1993). Sistem Nilai, Kepercayaan dan Gaya
Kepemimpinan Manajer Madya Indonesia dalam Konteks Budaya Organisasional.
Bandung: Disertasi UNPAD Bandung.
108.
Postman, N. (2002). Matinya Pendidikan Redefinisi Nilai-Nilai Sekolah. Yogyakarta:
Jendela.
109.
Power, Edward J. (1982). Philosophy of Education. New Jersey:
Printice-Hall. Englewood Cliffs.
110.
Pusat Kurikulum. (2002). Profil Hasil Belajar. Makalah Seminar KBK
dan Pembelajaran Siswa Aktif- Tidak Diterbitkan. Jakarta.
111.
Quigley, C.N., Buchanan, Jr. J. H.,
Bahmueller, C.F. (1991). Civitas: A
Framework for Teaching of Democracy in Schools, London: Department of
Education and Employment-DfEE.
112.
Rockeah, U. (1973). The Nature of Human Values. New York: The Free Press.
113.
Rosyada, D. (2004). Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana.
114.
Reigeluth, C.M. (1987). Instructional Theories in Action: Lessons
Illustrating Selected Theories and Models. New Jersey Lawrence Erlbaum
Associates Publ.
115.
Sadulloh, U. (2003). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
116.
Shane, (2002). Arti Pendidikan Masa Depan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Media
Pratama.
117.
Sanusi, A. (1988). Pendidikan Alternatif (Menyentuh Arah Dasar Persoalan Pendidikan dan
Kemasyarakatan). Bandung: PPS-IKIP & PT Grafindo Media Pratama.
118.
Sukun Pribadi, (1971). Peranan Filsafat Pendidikan. Bandung:
FIP IKIP.
119.
-----, (1972). Masalah Etika. Bandung: IKIP.
120.
Simon, B.S. (1972). Values Clarification: A Handbook of Practical Strategies of Teachers
and Student. New York: Hart Publishing Company, Inc.
121.
Smith, M.B. (1963). Personal Values in The Study of Live. Dalam R.W. (ed) The Study of
Live. Englewood Cliffs. New York: Prentice-all. Pp. 324-347.
122.
Smith, R.M., (1952). Learning How to Learn Applied Theory for Adults. Illinois: Follett
Publishing Company.
123.
Soejono. (TT). Pendahuluan Ilmu Pendidikan Umum. Bandung: CV Ilmu.
124.
Soemantri, N. (1975). Metode Mengajar Civics. Jakarta: Erlangga.
125.
-----, (1969). Pelajaran Kewarganegaraan di Sekolah, Bandung: IKIP Bandung.
126.
-----, (2001). Menggagas Pembaruan Pendidikan IPS, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
127.
Stenhouse, L. (1975). Introduction to Curriculum Research and Development, London: OU
Publication.
128.
Stanley, W. B. (1983). Review of Research in Sosial Studies
Education: 1976-1983, Wasington: NCSS.
129.
Surakhmad, W. (1986). Metodologi
Pengajaran Nasional. Bandung: Jemmars.
130.
Sumaatmadja, N. (2002). Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi.
Bandung: Alfabeta.
131.
Suriasumantri, J.S. (1984). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar.
Jakarta: Sinar Harapan.
132.
-----, (1986). Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik, Jakarta:
Gramedia.
133.
Syaodih, N.S. (2004). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Bandung: Remadja
Rosdakarya.
134.
-----, (2003). Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Dasar Konsep, Prinsip, dan
Instrumen. Bandung: Kesuma Karya.
135.
-----, (2005). Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi pada Pendidikan Dasar dan
Menengah, Bandung: Seminar Pengembangan Kurikulum PPS UPI, 27 April 2005.
136.
Taba, H., (1962). Curriculum Development: Theory and Practice, New York: Harcourt
Brace Jovanovitch Inc.
137.
Taba, H., Durkin, M.C., Fraenkel, J.R.,
and McNaughton, A.H. (1971), A Teacher’s
Handbook of Elementary Sosial Studies: An Inductive Approach, Reading:
Addison-Wesley.
138.
Taylor, S.J. and Bogdan, R., (1984), Introduction to Qualitative Research
Methods: The Search for Meaning, New York: John Wiley & Sons Inc.
139.
Tilaar, H.A.R. (2002). Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru.
Jakarta: Grasindo.
140.
Toffler, A., (1980). Gelombang Ketiga, Jakarta: Pantja Simpati.
141.
Tyler, R.W., (1975). Basic Principle of Curriculum and Instruction, Chicago: The
University of Chicago Press.
142.
-----, (2003), Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: Remadja Rosdakarya.
143.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Sistem
Pendidikan Nasional
144.
Unesco, (1997), Learning The Treasure Within, Paris: Unesco.
145.
Wahab, A.A. (1999). Budi Pekerti Education: A Model of Teaching Code of Conduct for Good
Indonesian Citizenship (paper). Presented in the Conference on Civic
Education for Civil Society. Organized by CICED in Collaboration with USIS.
Jakarta: Hotel Papandayan, Maret 16-17, 1999.
146.
Winataputra, U. (2001). “Membangun ‘Ethos’ Demokrasi Melalui
Proyek-Belajar Kewarganegaraan...Kami Bangsa Indonesia (PKKBI)”. Materi
Penataran. Bandung: CICED.
147.
-----, (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Sistemik Pendidikan
Demokrasi. Bandung: Disertasi PPS UPI.
148.
Winecoff, H.L. (1986). Values Education: Concept and Models.
Bandung: PPS-UPI.
149.
Wesley, E.B. & Wronski, S.P. (1958). Teaching Sosial Studies in High School.
Boston: DC. Health.
150.
Woolover, Roberta, M. (1987). Active Learning in Sosial Studies Promoting
Cognitive and Sosial Growth. London-Illinois: Scott Foresman and Company.
151.
Zavalloni, M. (1980). Values. Dalam H.C.
Triandis & R.W. Brislin (Eds). Handbook of Cross-Culture Psychology: Sosial
Psychology. Vol.5, Pp. 73-120. Boston: Allyn & Bacon.
Komentar
Posting Komentar