“Rasisme dan Multikulturalisme Amerika” MEWUJUDKAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA (SEBUAH KAJIAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI BERBAGAI NEGARA)


Makul : Sejarah Amerika

Nama Kelompok : 10
1.      Bagas Enggar Adinata                     (Off.B/2014)
2.      Yuliarti Kurnia Pramai Selli           (Off.B/2014)

Materi Pembanding Kelompok 13 :

“Rasisme dan Multikulturalisme Amerika”

MEWUJUDKAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA (SEBUAH KAJIAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI BERBAGAI NEGARA)
Pendidikan di AS pada mulanya hanya dibatasi pada migran berkulit putih, sejak didirikan sekolah rendah pertama tahun 1633 oleh imigran Belanda dan berdirinya Universitas Harvard di Cambridge, Boston tahun 1636. Baru pada tahun 1934 dikeluarkan Undang Undang Indian Reservation Reorganization Act di daerah reservasi suku Indian. Tujuan pendidikannya adalah proses Amerikanisasi. Suatu kelompok etnis atau etnisitas adalah populasi manusia yang anggotanya saling mengidentifikasi satu dengan yang lain, biasanya berdasarkan keturunan (Phierquinn, 2013). Pengakuan sebagai kelompok etnis oleh orang lain seringkali merupakan faktor yang berkontribusi untuk mengembangkan ikatan identifikasi ini. Kelompok etnis seringkali disatukan oleh ciri budaya, perilaku, bahasa, ritual, atau agama.
Kemudian pendidikan multikultural di Amerika Serikat mulai mencuat kembali sekitar tahun 1960-an, lewat sebuah gerakan  reformasi  yang ditujukan pada perubahan pendidikan yang selama ini melakukan tindak diskriminasi terhadap masyarakat “minoritas,” yaitu masyarakat yang berada di luar “white-male-Protestant-Anglo Saxon (WMPA).” Gerakan pendidikan multikultural itu adalah gerakan untuk mereformasi lembaga-lembaga pendidikan agar memberikan peluang yang sama kepada setiap orang, tanpa melihat asal-usul etnis, budaya, dan jenis kelaminnya, untuk sama-sama memperoleh pengetahuan, kecakapan (skills), dan sikap yang diperlukan untuk bisa berfungsi secara efektif dalam negara-bangsa dan masyarakat dunia yang beragam etnis dan budaya (Banks, 2002).
Menghilangkan diskriminasi sebagai salah satu tujuan utama gerakan pendidikan multikultural itu dengan tegas dinyatakan Banks sebagai berikut. Latar belakangnya adalah adanya pengalaman pahit kelompok-kelompok etnis Afro-Amerika, Pribumi Amerika, Asia-Amerika, dan Latino-Amerika yang pernah dan masih sedang menjadi korban diskriminasi, bukan saja dalam kehidupan kemasyarakatan, melainkan juga secara legal kelembagaan (dalam undang-undang pun terdiskriminasikan). Terdapat empat jenis dan fase perkembangan pendidikan multikultural di Amerika (Banks, 2002), yaitu:
  1. Pendidikan yang bersifat segregasi yang memberi hak berbeda antara kulit putih dan kulit berwarna terutama terhadap kualitas pendidikan;
  2. Pendidikan menurut konsep salad bowl, di mana masing-masing kelompok etnis berdiri sendiri, mereka hidup bersama-sama sepanjang yang satu tidak mengganggu kelompok yang lain;
  3. Konsep melting pot, di dalam konsep ini masing-masing kelompok etnis dengan budayanya sendiri menyadari adanya perbedaan antara sesamanya. Namun dengan menyadari adanya perbedaan-perbedaan tersebut, mereka dapat membina hidup bersama. Meskipun masing-masing kelompok tersebut mempertahankan bahasa serta unsur-unsur budayanya tetapi apabila perlu unsur-unsur budaya yang berbeda-beda tersebut ditinggalkan demi untuk menciptakan persatuan kehidupan sosial yang berorientasi sebagai warga negara as. Kepentingan negara di atas kepentingan kelompok, ras, dan budaya
  4. Pendidikan multikultural melahirkan suatu pedagogik baru serta pandangan baru mengenai praksis pendidikan yang memberikan kesempatan serta penghargaan yang sama terhadap semua anak tanpa membedakan asal usul serta agamanya. Studi tentang pengaruh budaya dalam kehidupan manusia menjadi sangat signifikan. Studi kultural membahas secara luas dan kritis mengenai arti budaya dalam kehidupan manusia
Pendidikan Multikultural di Australia
Kedatangan bangsa kulit putih di benua Australia telah membawa implikasi-implikasi terhadap tatanan tradisional etnik pemukim asli. Kegiatan eksploitasi terhadap sumber kekayaan alam yang berlangsung kemudian telah memunculkan perubahan-perubahan besar dalam berbagai lapangan kehidupan. Dengan dibukanya ladang-ladang emas di daerah-daerah pertambangan seperti di Victoria, New South Wales dan Australia Barat, telah meningkatkan taraf perekonomian masyarakat. Dampak penemuan emas ini ternyata juga berpengaruh pada peningkatan imigran yang datang ke Australia, seperti dari Cina, Asia, Jepang dll. Dengan demikian pertumbuhan penduduk semakin meningkat pesat. Akibat dari ini semua adalah timbulnya perpecahan dikalangan masyarakat, terutama antar ras, seperti pengalaman-pengalaman di beberapa tambang Victoria pada tahun 1957.
Multikulturalisme, kemudian menjadi gagasan yang muncul untuk mengatasi heterogenitas etnis yang terdiri dari berbagai etnis dengan latar belakang budaya yang berbeda. Upaya untuk penyatuan pola budaya ini semula sudah dirintis melalui gagasan assimilasi dan integrasi dalam rangka mencegah perpecahan antar etnis di Australia. Gagasan multikulturalisme yang kemudian diperkenalkan, dalam konteks yang sesungguhnya adalah legitimasi hak atas berkembangnya berbagai kultur di Australia secara sama. Namun dalam prakteknya gagasan multikulturalisme ini hanya menekankan aspek kultural semata tanpa dibarengi dengan pandangan yang sama terhadap kesempatan kerja. Sehingga, gagasan ini, oleh sementara pihak hanya dianggap sebagai upaya radikal untuk mempromosikan kepentingan etnis tertentu saja.
Pada akhir tahun 1940an, ketika Australia membuka pintunya terhadap para imigran-imigran non British dan mengizinkan mereka tinggal dan menetap, beberapa persyaratan ditetapkan untuk mengasimilasikan mereka agar menjadi warga Australia yang sesungguhnya dan dapat melupakan kebudayaan asli mereka. Ketika imigran-imigran pertama yang berasal dari Itali dan Greek pada akhir tahun 1940 masuk ke Australia, mereka mengalami diskriminasi rasial dari orang-orang Inggris dan Irlandia. Para imigran ini mencoba untuk menguasai bahasa Inggris serta meniru pola hidup orang Australia. Ini dianggap suatu cara asimilasi yang kemudian sangat bermanfaat ketika kebijakan White Australia, namun tidak demikian halnya dengan asimilasi untuk imigran dari Asia dan Afrika karena perbedaan fisik mereka dengan orang Australia sangat menonjol .
Pada tahun 1966 pemerintah Australia mengubah kebijaksanaan imigrasi yang memungkinkan orang-orang non-Eropa dapat memperoleh izin untuk tetap tinggal di Australia, namun ketika pada tahun 1970an masuk para imigran dari Asia, ternyata mereka tidak disambut dengan hangat oleh masyarakat Australia, karena, disamping perbedaan fisik yang sangat menonjol, juga latar balakang budaya dan pola hidup yang sangat berbeda. Kenyataan inilah yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan asimilasi pada dasarnya tidak bermanfaat banyak bagi para imigran Asia dan Afrika hitam. Ketika Gough Withlam terpilih sebagai perdana menteri Australia pada tahun 1972, ia mencoba untuk menghapuskan konsep asimilasi berdasarkan white Australia untuk kedamaian dan kesejahteraan negara dan atas nama kebenaran. Untuk upaya ini ia mengangkat Al Grassby sebagai Menteri Imigrasi dan kepala Komisi Hubungan Masyarakat. Withlam menyediakan pendidikan bahasa Inggris untuk para imigran dalam rangka membantu mereka dalam pergaulan sehari-hari. Melalui pemerintahan Withlam konsep multikulturalisme diperkenalkan sebagai tindakan konstruktif untuk pencapaian identitas baru masyarakat Australia.
Pada tahun 1978 Galbally Report menyarankan prinsip-prinsip dasar kebijaksanaan multikulturalisme yang sampai saat ini masih diperpegangi. Pertama, ditekankan agar kesempatan yang sama harus diberikan kepada semua orang untuk merealisasikan potensinya. Kedua, setiap orang harus dapat menjaga kebudayaan mereka tanpa mengalami prasangka apapun. Ketiga, kursus-kursus dan pelayanan-pelayanan khusus harus dipersiapkan untuk para imigran sambil kebutuhan jangka pendek mereka diberikan. Keempat, Semua program yang dibentuk untuk para imigran harus dengan konsultasi para imigran tersebut.
Pada tahun 1987, Hawke mendirikan Office of Multicultural Affair (OMA) dan berada di bawah Departemen Perdana Menteri. Melalui Badan ini dikembangkan konsep-konsep multikulturalisme secara lebih mendalam dan menekankan batasan-batasan konsep itu serta ide Australia sebagai suatu unsur unifikasi. Dengan begitu imigran-imigran diharapkan memberikan loyalitasnya terhadap Australia. Bahkan OMA, melalui agenda nasionalnya menjelaskan dan mempertajam defenisi multikulturalisme sebagai suatu istilah yang menggambarkan diversitas budaya dan etnik dalam Australia Baru (Londom dalam Shamad, 2009).Tiga acuan yang dirumuskan Hawke dalam membatasi konsep multikulturalisme, yaitu : pertama, semua orang boleh mengekspressikan warisan kebudayaan nenek moyang mereka, asalkan tidak bertentangan dengan hukum yang ada. Kedua, semua masyarakat Australia berhak atas keadilan sosial tanpa melihat warna kulit, bahasa, agama serta keturunan, dan ketiga, effesiensi ekonomi yang mengandung keperluan untuk meneruskan dan mengembangkan serta menggunakan semua potensi-potensi komunitas baru Australia.
Sebagaimana telah dikemukakan, munculnya gagasan multikulturalisme di Australia didorong oleh berbagai motivasi, salah satunya yang terpenting adalah karena terus mengalirnya para imigran dari negara-negara tetangga Asia, namun kebijaksanaan ini memunculkan reaksi-reaksi dari kalangan Anglo-Australian yang ingin mempertahankan bentuk masyarakat yang homogen. Menurut mereka, dengan diterapkannya kebijaksanaan ini, berarti terancamnya hegemoni unsur-unsur kebudayaan Anglo di Australia. Yang lebih ekstrim lagi adalah pandangan mereka bahwa multikulturalisme telah menghancurkan kebudayaan nasional. Keluhan-keluhan seperti ini secara tidak langsung telah mendorong munculnya perasan dislokasi, bahkan menumbuhkan gejolak rasisme, terutama di kalangan orang-orang Anglo Australia yang merasa kehilangan hegemoni identitas dan kebudayaan.
Di kalangan imigran juga muncul berbagai reaksi atas kebijakan multikulturalisme karena dalam prakteknya multikulturalisme menekankan pada etnisitas. Banyak kalangan yang menganggap bahwa multikulturalisme sebagai semboyan kosong yang justru bersifat rasisme struktural terutama terlihat dari prilaku ekonomi dan pasar tenaga kerja. Kenyataan kontradiktif pelaksanaan kebijakan multikulturalisme juga terlihat dari kelompok masyarakat asli “Aborigin”. Pengalaman- pengalaman pahit yang dialami oleh penduduk asli ini semenjak mereka kehilangan tanah-tanah mereka seperti white Australian policy, assimilasi, hingga multikulturalisme, menjadikan mereka kehilangan kepercayaan terhadap negara dan pemerintahan Australia sendiri. Mereka merasa bahwa berbagai kebijakan yang diterapkan tidak lain hanyalah upaya kontrol sosial terhadap kebudayaan mereka. Posisi Aborigin pada akhirnya merupakan dilema tersendiri dalam kebijakan multikulturalisme. Oleh karena itu di tingkat birokrasi dibentuk Aboriginal Reconsiliation Council yang bekerja sama dengan The National Multicultural Advisory Council. Di sini, penekanan diberikan kepada ‘cultural diversity’ dari pada multikulturalisme, dengan harapan hal ini akan lebih mudah diterima. Namun yang paling dirasakan dalam penerapannya ialah tidak adanya upaya anti rasisme yang serius, terutama dalam mengatasi diskriminasi rasial yang berlaku dalam segala tingkatan masyarakat.
Mewujudkan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Untuk membangun bangsa ke depan, diperlukan upaya untuk menjalankan asas gerakan multikulturalisme menjadi sebuah tujuan bangsa dalam masyarakat yang plural. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa. Sebelum lanjut, dalam konteks implementasinya di Indonesia, pendidikan multilkultural itu dapat dilihat atau diposisikan sebagai berikut, (Amirin, 2012):
  1. Sebagai falsafah pendidikan; yaitu pandangan bahwa kekayaan keberagaman budaya Indonesia hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengembangkan dan meningkatkan sistem pendidikan dan kegiatan belajar-mengajar di Indonesia guna mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (berbarkat) dan bahagia dunia akhirat.
  2. Sebagai  pendekatan pendidikan; yaitu penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan yang kontekstual, yang memperhatikan keragaman budaya Indonesia.
  3. Bidang kajian dan bidang studi;  yaitu disiplin ilmu yang—dibantu oleh sosiologi dan antropologi pendidikan, menelaah dan mengkaji aspek-aspek kebudayaan, terutama nilai-nilai budaya dan  perwujudannya (norma, etiket atau tatakrama, adat-istiadat atau tradisi dan lain-lain—mencakup “manifestasi budaya” agama) untuk/dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan.
Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia merupakan counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Model pendidikan multikultural bukanlah sebuah formalitas yang sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi lebih luas dari itu, pendidikan multikultural dituntut untuk dapat mereformasi sistem pembelajaran itu sendiri. Untuk mewujudkan hal tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski (dalam Mahfud, 2009), yang mencakup tiga jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat. Pada kegiatan transformasi diri, pendidikan multikultural harus dapat mengarahkan peserta didik untuk dapat mengubah mindset mereka akan pandangan etnosentrisme yang sempit menjadi pandangan multikultralisme sebagai sebuah keniscayaan yang menjadi anugerah tuhan YME. Pada kegiatan transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, pendidikan multikultural haruslah menjadi prioritas utama dalam membangun kebersamaan diantara berbagai perbedaan.
Guru sebagai fasilitator dituntut untuk dapat mengarahkan peserta didik kedalam bentuk-bentuk pembelajaran yang memungkinkan terjadinya hubungan dialogis yang harmonis dalam mensikapi adanya perbedaan kultur, agama dan budaya. Pada kegiatan transformasi masyarakat, harus tercipta sebuah tatanan masyarakat yang mengutamakan sebuah interaksi yang selaras dan seimbang dalam mensikapi adanya perbedaan. Masyarakat haruslah melebur ke dalam sebuah tatanan masyarakat kosmopolitan yang tidak lagi memandang dominansi suatu kelompok terhadap kelompok lain, sikap antipati dalam berinteraksi dengan kelompok lain dan saling menghargai akan adanya perbedaan dalam stuktur sosial masyarakat.
Dalam mewujudkan pendidikan multikultural di Indonesia, menurut Kurmaryani (tanpa tahun) setidaknya terdapat 4 hal utama yang perlu di tekankan antara lain: Pertama, model kurikulum yang dapat digunakan dalam pendidikan multicultural di Indonesia haruslah mencermikan nilai-nilai budaya Indonesia. Kurikulum yang disusun tersebut harus dapat mengintegrasikan proses pembelajaran nilai, pengetahuan dan keterampilan “hidup” dalam masyarakat yang multicultural, seperti: terampil bernegosiasi, mengemukakan dan menghadapi perbedaan, resolusi konflik, cooperative learning dan  problem solving yang diharapkan dapat meningkatkan internalisasi nilai-nilai kebudayaan Indonesia di dalam kehidupan perserta didik.
Kedua, guru juga memainkan peranan penting dalam mewujudkan pendidikan multikultural di Indonesia. Seorang guru yang mengajar melalui pendekatan multicultural harus “fleksibel”, karena untuk mengajar dalam multikultur seperti di Indonesia, pertimbangan “perbedaan budaya” adalah hal penting yang harus menjadi perhatian guru. Faktor-faktor, seperti membangun paradigma keberagamaan inklusif dan moderat di sekolah, menghargai keragaman bahasa, membangun sikap sensitive gender, membangun pemahaman kritis terhadap ketidakadilan dan perbedaan status social, membangun sikap anti diskriminasi etnis, menghargai perbedaan kemampuan dan menghargai perbedaan umur harus dikemas dalam ranah pembelajaran  dan penyadaran di persekolahan, sehingga tercipta suatu paham untuk memahami dan menerima segala perbedaan yang ada pada setiap individu peserta didik dan pada akhirnya peserta didik diharapkan mampu memiliki karakter kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis.
Ketiga, proses pembelajaran yang dikembangkan harus menempatkan peserta didik pada kenyataan social di sekitarnya. Artinya, proses belajar yang mengandalkan peserta didik untuk belajar secara kelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi kompetitif yang positif. Dengan cara ini, perbedaan antar individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan peserta didik terbiasa hidup dengan berbagai keragaman budaya, social, ekonomi, intelektual dan aspirasi politik. Keempat, evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Asesmen kinerja, asesmen portofolio,  asesmen rubric, pedoman obsevasi, pedoman wawancara, rating scale, skala sikap, cek-list, kuesioner dan lain sebagai sebagai alat penilaian yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pembelajaran yang menggunakan pendekatan multikultural.

Daftar Pustaka

Amirin, T.M. 2012. Implementasi Pendekatan Pendidikan Multikultural Kontekstual Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia. Jurnal Pembangunan dan Pendidikan. Vol 1: (1)
Banks, J. A. 2002.  An Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn and Bacon.
Deviani, H. 2013. Dinamika Multikulturalisme Kanada (1968-2006). htttp://heidistoria.blogspot.com. Online diakses 15 September 2013.
Kusmaryani, Y. Tanpa tahun. Pendidikan  Multikultural; Suatu Kajian Tentang Pendidikan Alternatif di Indonesia Untuk Merekatkan Kembali Nilai-nilai Persatuan, Kesatuan dan Berbangsa di Era Global. Online (12 September 2013)
Mahfud, C. 2009. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ramly, N. 2005. Membangun Pendidikan Yang Memberdayakan dan Mencerahkan, Jakarta: Grafindo
Parekh, B. 2000. Rethinking Multivulturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Cambridge: Havard University Press
Phierquin. 2013. Perbandingan Multikulturalisme di Berbagai Negara. http://phierda.wordpress.com/ Online (diakses 15 September 2013)
Suparlan, P. 2002. Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia. Jurnal Antropologi Indonesia. Vol 6 (1-12)
Tilaar, HAR. 2005.  Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan Dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta: Kompas
—————- 2004. Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: P.T Remaja Rosdakarya.

Sumber Rujukan : Afandi. 2013. Mewujudkan Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia: Sebuah Kajian Pendidikan Multikultural di Berbagai Negara, (Online), (https://pandifkipuntan.wordpress.com/2013/12/01/mewujudkan-pendidikan-multikultural-di-indonesia-sebuah-kajian-pendidikan-multikultural-di-berbagai-negara-2/), diakses tanggal 8 Mei 2017.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH MASUKNYA AGAMA KONGHUCU DI INDONESIA

Kamu yang Kusayang

MENGINAP SAMBIL MENGENANG MASA LALU: FENDI’S GUEST HOUSE MALANG