MOBILITAS SOSIAL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERIODE AWAL ABAD KE-20: SUATU KAJIAN SEJARAH SOSIAL
MOBILITAS SOSIAL DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA PERIODE AWAL ABAD KE-20 : SUATU KAJIAN SEJARAH SOSIAL
REVIEW BUKU
UNTUK
MEMENUHI TUGAS AKHIR MATAKULIAH
Filsafat Sejarah
yang
dibina oleh Ibu Indah Wahyu Puji Utami, S.Pd.,S.Hum.,M.Pd
Disusun
Oleh :
Yuliarti
Kurnia Pramai Selli
(140731606196)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
PRODI S1 PENDIDIKAN SEJARAH
Mei 2017
IDENTITAS BUKU :
Tema : Filsafat Sejarah
Pengarang : Drs. Riyadi Goenawan dan Drs.
Ag. Darto Harnoko
Judul
Buku : Mobilitas Sosial
Daerah Istimewa Yogyakarta Periode Awal Abad ke-20 : Suatu Kajian Sejarah
Sosial
Tahun
Terbit : 2012
Kota : Yogyakarta
Nama
Penerbit : Ombak
PENDAHULUAN
Kota adalah kawasan pemukiman yang
secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata
ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya
secara mandiri (Wikipedia, 2016, (Online)). Perubahan sosial adalah poses wajar
dan akan berlangsung terus menerus dimana tidak semua perubahan sosial mengarah
ke perubahan yang positif tetapi bisa menjadi perubahan yang negatif. Ruang
lingkup perubahan sosial meliputi bidang yang sangat luas (Pelly, U. &
Menanti, A. 1994: 189). Selo Soemardjan dalam Soekanto (1992: 337) mengatakan
bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya,
termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan perilaku di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Perubahan sosial meliputi berbagai
bidang, seperti bidang pendidikan, ekonomi, hukum, teknologi. Tetapi, perubahan
sosial yang terjadi dapat hanya meliputi bidang tertentu saja dan terbatas pula
ke dalamnya. Misalnya, perubahan pada bidang pendidikan yang baru mencapai
taraf norma dan nilai, belum sampai ke taraf perilaku (Pelly, U. & Menanti,
A. 1994: 189). Perilaku sosial sendiri dapat terjadi pada tingkat individu,
kelompok sosial, kelompok besar, maupun kelompok yang sangat besar. Perubahan
sosial pada bidang tertentu yang akan berlaku pada tingkat yang luas, misalnya
tentang timbulnya kesadaran terhadap usaha pelestarian lingkungan dalam
pembangunan. Lingkup perubahan sosial yang sangat luas memerlukan adanya
pembatasan pada saat membicarakannya pada suatu masyarakat, sehingga analisis
menjadi tidak kabur (Pelly, U. & Menanti, A. 1994: 190).
Mobilitas sosial adalah perpindahan
posisi seseorang atau kelompok dari lapisan (strata sosial) yang satu ke
lapisan yang lain. Mobilitas sosial merupakan suatu konsep dinamika sosial yang
secara harfiah seringkali diartikan sebagai suatu gerakan yang terjadi akibat
berpindah atau berubah posisi sosial seseorang atau sekelompok orang pada saat
yang berbeda (Ahli, Pengertian, 2016, (Online)). Dari ketiga pengertian
tersebut, suatu mobilitas sosial dipengaruhi dan dimunculkan oleh ketiga aspek
tersebut. Sehingga, kenapa pereview memilih buku ini karena pereview tertarik
untuk mengkaji ulang bagaimana peran ketiga aspek tersebut dalam mobilitas
sosial masyarakat kota Yogyakarta dimana kita ketahui sendiri bahwa kota
Yogyakarta adalah kota pendidikan atau pelajar. Dari pernyataan tersebut,
pereview mencoba mencari alasan dan sejarah mengapa kota Yogyakarta dijuluki
sebagai kota pelajar. Selain itu juga, proses mobilitas sosial kota Yogyakarta bisa
dibilang statis dimana banyak dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan orang
asing seperti orang Cina, Arab, dan Eropa (khususnya Belanda) yang nantinya
membawa akulturasi dinamis tetapi masih bercampur dengan kebudayaan Jawa yang
kejawen dan pastinya tidak ketinggalan dengan islam kejawennya. Alasan lain
pereview mengambil buku ini untuk direview karena buku ini menarik dalam hal
cover dan pembahasannya lebih difokuskan pada kota Yogyakarta. Karena kita
ketahui sendiri bahwa kota Yogyakarta selain terkenal dengan sebutan kota
pelajar juga terkenal dengan tempat wisatanya sehingga pereview tertarik akan
hal tersebut.
Latar belakang penulis baik Drs. Ryadi Goenawan maupun Drs. Ag. Darto Harnoko sama-sama lahir di Yogyakarta,
kuliah di UGM Yogyakarta, jurusan Ilmu Sejarah, suka menulis karya-karya
sejarah. Jadi, intinya kedua penulis tersebut memiliki latar belakang kehidupan
yang hampir sama karena dipengaruhi oleh lingkungan sekitar seperti pengaruh
lingkungan kampus UGM terhadap mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah terhadap
penulisan karya-karya sejarah dan jika dilihat kedua penulis tersebut dalam
karya-karya sejarahnya lebih terfokus pada pengalaman hidup pribadi setiap
penulis. Hal tersebut terbukti pada beberapa karya tulisan Drs. Ryadi Gunawan,
yaitu “Jagoan dalam Revolusi” yang dimuat dalam majalah Prisma tahun 1974,
artikel yang berjudul “Sumpah Pemuda: Di antara Pemuda, Peristiwa, dan
Kesadaran Sejarah” di Kedaulatan Rakyat tanggal 27 Oktober 1978 yang semua
tulisan tersebut dipengaruhi oleh beliau pada saat menjadi mahasiswa UGM,
beliau juga aktif dalam berbagai gerakan kemahasiswaan dan tulisannya dimuat di
berbagai media massa, baik lokal maupun nasional. Setelah menyelesaikan studi
di UGM, beliau menjadi dosen di Jurusan Ilmu Sejarah UGM dan bersamaan juga
aktif di berbagai LSM, meneliti berbagai masalah-masalah pembangunan,
kebudayaan, perubahan sosial, dan isu-isu politik sehingga tidak heran
masalah-masalah tersebut juga ditulis dalam karya-karya beliau. Sedangkan,
penulis Drs. Ag. Darto Harnoko banyak menulis berbagai karya di bidang sejarah
karena hal tersebut pasti tidak lepas juga dari pengalaman hidup pribadi, yaitu
beliau merupakan anggota Staf Peneliti pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional. Terbukti pada beberapa karya sejarah beliau, yaitu “Replika
Sejarah Perjuangan Rakyat Yogyakarta” tahun 1985, “Magelang saat Revolusi”
tahun 1984, “Temanggung pada Masa Agresi Militer Belanda II” tahun 1980,
“Sragen, Suatu Kajian Sejarah Sosial” tahun 1990, “Biografi Guru-Guru Besar di
DIY”, “Persepsi Masyarakat terhadap Raja di DIY”, dan “Upacara Tradisional
Jumenengan Sultan HB X, Suatu Studi tentang Tradisi Keraton Yogyakarta” tahun
1995. Dari beberapa karya sejarah beliau, dapat dilihat bahwa kebanyakan
mengkaji kota Yogyakarta atau kota Jawa Tengah karena selain tempat kelahiran
di Yogyakarta, beliau juga menjadi anggota Staf Peneliti yang sudah dijelaskan
di atas sehingga bisa dibilang bahwa beliau melakukan upaya atau cara pengkontribusian
kedudukan (jabatan) tersebut melalui tulisan-tulisan beliau yang dituangkan
dalam karya-karya sejarah beliau.
ISI
Isi dari pembahasan buku ini adalah adanya perubahan
sosial di dalam
masyarakat Yogyakarta yang nantinya memunculkan mobilitas sosial dimana dengan adanya pendidikan
bisa merubah status
sosial seseorang
yang nantinya melahirkan priyayi baru walaupun priyayi baru banyak mendapatkan
pertentangan dari priyayi lama. Perubahan
sosial tersebut dipengaruhi oleh dua hal yang dominan, yaitu aspek kultural dan
aspek keagamaan. Perubahan sosial tersebut berupa fisik maupun non-fisik sejak
awal berdirinya kota hingga tahun 1900-an. Mobilitas sosial tersebut dipengaruhi oleh aspek ekonomi, sosial, politik, kultural, dan
lain-lain yang mendorong terjadinya mobilitas sosial dan pastinya didukung oleh penduduk atau
masyarakat maupun ekologi dalam masyarakat tersebut. Deskripsi tentang kota Yogyakarta yang
dikemukakan dalam buku ini merupakan gambaran setelah tahun 1830.
Pada buku ini
terdapat empat bab dimana dalam bab 1 membahas tentang gambaran umum atas
keadaan kota Yogyakarta serta perkembangan geografis wilayah, penduduk, dan
sistem pemerintahan pada suatu kurun masa tertentu yang menyangkut masalah
mobilitas geografis, pertumbuhan penduduk, dan sejarah singkat pemerintah pada
masa Belanda, Jepang, dan Republik. Kota Yogyakarta bisa dibilang sebagai kota pelajar
sehingga kota Yogyakarta menjadi benih-benih pergerakan nasional yang kota
tersebut merupakan salah satu pusat gerakan perjuangan bangsa Indonesia di
samping kota Bandung dan Jakarta. Pendidikan di kota tersebut telah membentuk
mobilitas sosial dan hal tersebut dikenyam masyarakat kota sebagai motor
penggerak perubahan sosial, khususnya melalui tindakan penguasanya, yaitu Sri
Sultan Hamengkubuwono IX yang nantinya terdapat tindakan perubahan dalam tubuh
keraton/kesultanan terhadap berbagai macam upacara yang kemudian disusul dengan
perubahan fundamental birokrasi pemerintahan kesultanan sejak awal berdirinya,
yaitu tahun 1756. Secara astronomis, kota Yogyakarta terletak kurang lebih
antara 1100 23’ 79’-1100 28’ 53’ Bujur Timur dan terletak
lebih kurang 70 49’ 26”-70 50’ 84” Lintang Selatan.
Secara topografis, kota Yogyakarta terletak di zona tengah sehingga jarang
terkena musibah banjir. Secara administratif, kota Yogyakarta merupakan pusat
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri atas 14 kecamatan dengan 163
rukun kampung.
Mobilitas geografis kota Yogyakarta
menurut hasil penelitian ternyata dilakukan oleh golongan masyarakat Cina dimana
pada masa itu mata pencaharian golongan Cina adalah sebagai pedagang, pemungut
cukai, pemilik rumah-rumah candu dan pekerjaan tersebut sangat erat dengan
sistem perekonomian yang nantinya juga memunculkan jaringan transportasi kereta
api antara Yogyakarta dan kota pelabuhan Semarang tahun 1872. Selain itu, juga
ada golongan orang Arab selain orang Eropa dan Cina dalam memegang peranan
penting pada aspek ekonomi, yaitu dunia cukai. Perkembangan kota Yogyakarta
sangat pesat setelah tahun 1870 terbukti pada munculnya pabrik gula di sebelah
selatan dan barat kota khususnya yang dimiliki oleh orang-orang Belanda. Selain
itu juga, perkembangan jalur kereta api dalam kota bagian selatan sudah ada.
Selama 50 tahun (1900-1950), secara garis besar etnis masyarakat kota
Yogyakarta terdiri dari 3 golongan, yaitu :
1. Golongan etnis Eropa
(orang-orang Belanda, Jerman, Prancis, Spanyol, dan Portugal) yang memiliki
pekerjaan di bidang keamanan perkebunan dan leveransir kebutuhan hidup
masyarakat Eropa sekitar Loji Besar.
2.
Golongan
etnis Tionghoa dan Arab yang dimasukkan dalam kelompok orang-orang timur asing
yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang atau bergerak dalam lapangan
perekonomian seperti pemungut cukai pasar, jembatan, rumah gadai, serta rumah
candu. Selain itu juga merupakan penghubung masyarakat Eropa dalam pemenuhan
kebutuhan hidup di kota Yogyakarta.
3. Golongan etnik pribumi yang
secara garis besar diwakili oleh raja dan para kawulanya, yaitu orang Jawa,
Madura, Bugis, dan Bali (semuanya merupakan pasukan-pasukan istana dan telah
memiliki hubungan yang cukup lama dengan masyarakat Jawa semenjak munculnya
dinasti pedalaman yang menggantikan hegemoni dinasti pesisiran).
Menurut data yang ada setelah sensus
penduduk tahun 1930 mengatakan bahwa klasifikasi golongan masyarakat kota
Yogyakarta adalah Indonesia (89,27%), Eropa dan keturunannya (4,09%), Cina
(6,52%), dan lain-lain (1,12%). Data klasifikasi tersebut masih dianggap kurang
lengkap karena masih terdapat keterbatasan sumber yang diperoleh dan
dilangsungkannya sensus sendiri baru pada tahun 1930-an. Sejarah pemerintahan
Yogyakarta didukung oleh pemindahan bentuk-bentuk pemerintahan yang ada sejak
awal perkembangan hingga masuk ke dalam pemerintahan Republik, tepatnya dari
masa pemerintahan Kesultanan, Jepang, kemudian Republik.
Pada bab 2 membahas
tentang proses mobilitas sosial masyarakat kota Yogyakarta melalui kontak
peradaban dengan kebudayaan barat yang diwakili oleh gereja melalui petugas
lapangan dan balai-balai kesehatan yang didirikan untuk masyarakat sehingga
bisa dibilang bahwa proses mobilitas sosial masyarakat di kota Yogyakarta
selama awal abad ke-20-an dipengaruhi atau dilihat dari dua aspek kehidupan
masyarakat, yaitu aspek budaya (kultural) dan aspek agama (religi). Dua aspek tersebut dikaitkan dengan
situasi dan kondisi yang ada dalam kota Yogyakarta dimana struktur masyarakat
golongan atas yang terdiri dari raja dan bangsawan ikut menentukan hak atas
daerah tertentu yang pada gilirannya akan memberikan arti secara sosial atau
ekonomi kepada pemiliknya. Adanya pengaruh kehidupan kultural dalam masyarakat
Yogyakarta adalah karena timbulnya berbagai fungsi baru dalam kehidupan
masyarakat yang ternyata melemahkan kehidupan nyata terhadap masyarakat. Hal
tersebut bisa dikarenakan mundurnya kehidupan kultural akibat dari munculnya
para priyayi baru yang berpendidikan sehingga bisa dibilang gelar priyayi baru
ini mengikis gambaran kehidupan priyayi lama. Kontrol sosial bagi seorang
individu yang kurang memperhatikan hal tersebut, maka akan berakibat pada
tersingkirnya ia dalam pergaulan masyarakat. Moralitas sendiri muncul bersamaan
dengan proses pertukaran sosial yang merupakan dorongan atau sanksi pada
jaringan komunikasi kultural. Hubungan kekerabatan dalam masyarakat Jawa dapat
dilihat secara nyata dengan penggunaan istilah-istilah secara tertentu untuk
menyebut klasifikasi kekerabatan orang Jawa berdasarkan keturunan. Sistem
kekerabatan yang bersifat bilateral dalam masyarakat Jawa menjadikan seorang
individu diperhitungkan untuk mendapatkan warisan menurut garis keturunan ayah
maupun ibu.
Kehidupan agama dalam masyarakat
Yogyakarta sangat dipengaruhi oleh latar belakang dan perkembangan sejarah
persebaran agama di kota tersebut. Proses persebaran agama Islam mulai abad
ke-16 secara intensif oleh para ulama yang menjadikan kerajaan di Jawa menjadi
Kesultanan di Jawa. Agama Islam lebih dahulu dianut masyarakat yang kemudian
disusul dengan agama Kristen Protestan dan Katolik yang hal tersebut didasarkan
pada kedatangan orang-orang barat di daerah Yogyakarta. Aspek agama membawa
dampak pada sumbangan proses mobilitas sosial berupa kegiatan-kegiatan sosial
seperti dalam hal pembangunan kesehatan maupun pendidikan.
Pada bab 3
membahas tentang penjelasan bagaimana mobilitas sosial itu sendiri, saat
pendidikan menyerang ke dalam kubu pertahanan kaum feodal dengan mengambil
kasus di keluarga Pakualaman dan penggambaran tentang sekolah-sekolah yang ada
dan pernah diakui sebagai sarana mobilitas sosial masyarakat dimana pada zaman
kolonial Belanda, seiring dengan tuntutan kepentingan pemerintah Belanda untuk
melaksanakan politik Tanam Paksa, pintu pendidikan bagi masyarakat bumiputera
secara perlahan telah dibuka. Jadi, bisa dibilang bahwa penjelasan di atas
merupakan hasil dari berkuasanya golongan liberal dalam pemerintahan dan
pendidikan yang diadakan sebagai suatu bentuk tuntutan politik kolonial
golongan liberal.
Berbagai usaha dari kelompok liberal tersebut atas politik baru bagi daerah
jajahan adalah perubahan sistem pemerintahan tradisional menjadi ala Barat tanpa
mempertimbangkan kenyataan atas kondisi masyarakat yang ada. Sistem pendidikan
di masyarakat Jawa bisa dibilang sebagai sistem ajaran yang membentuk watak
manusia yang bersangkutan menjadi kesatria yang nantinya pada abad ke-20 muncul
sekolah Taman Siswa. Pendidikan dalam keratonn bisa dibilang sebagai pendidikan
agama yang bersifat agama Islam serta pendidikan Kejawen.
Kebutuhan akan pemenuhan tenaga terdidik
dalam kehidupan modern ternyata juga ikut mempengaruhi munculnya kehidupan
pendidikan modern pada masa itu dimana lebih menunjuk kepada hal-hal yang
berkaitan dengan sistem pengajaran yang lebih ditekankan dalam suatu ruang
tertentu dengan waktu. Kaitannya dengan keluarga Pakualaman, kebutuhan tenaga
terdidik tersebut membuat penguasa, yaitu Pakualam IV segera mengirimkan dua
orang abdinya untuk dididik dengan model pendidikan Barat dan hal tersebut
merupakan langkah awal dari salah seorang penguasa di Praja Kejawen untuk
berkontak langsung dengan budaya Barat melalui sistem pendidikannya. Pendidikan
modern yang dikembangkan untuk meningkatkan pengetahuan para kerabat Pakualaman
sebenarnya pada gilirannya menunjukkan kesadaran historis atas kehidupan
masyarakat sekelilingnya terbukti pada keterlibatan keluarga Pakualaman atas
gerakan pendidikan melalui organisasi Budi Utomo, berdirinya sekolah Adhi
Dharma, berdirinya sekolah Taman Siswa, dan lain-lain yang semua hal tersebut
nantinya menunjang mobilitas sosial kota Yogyakarta.
Pada bab 4
membahas tentang kesimpulan yang nantinya akan memberikan jawaban atas segala
pertanyaan yang pernah terlontar dalam bab-bab sebelumnya sehingga dalam bab
terakhir ini merupakan suatu gambaran sebenarnya bagaimana dan apa yang disebut
dengan mobilitas sosial dalam buku ini secara keseluruhan dimana kesimpulan tersebut
antara lain meliputi :
1. Masuknya
pendidikan modern di kalangan masyarakat kota Yogyakarta memiliki akibat yang
positif dan negatif dimana dampak positifnya bisa digambarkan sebagai mobilitas
vertikal dan dampak
negatifnya bisa digambarkan sebagai mobilitas horizontal.
2.
Kemerosotan status sosial golongan bangsawan atau
priyayi menimbulkan terbentuknya trah, khususnya trah keturunan bangsawan.
3. Organisasi trah
baik dari wong cilik atau priyayi
pada umumnya berpusat kepada tokoh leluhur.
Dari kesimpulan
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa mobilitas sosial yang ada di kota
Yogyakarta merupakan suatu proses yang membentuk suatu perkembangan dalam hal
perubahan sosial yang dinamis atau mobilitas sosial lahir karena adanya
perkembangan akibat dari proses dalam perubahan sosial di masyarakat kota
Yogyakarta yang
banyak dipengaruhi oleh dua aspek, yaitu aspek budaya (kultural) dan agama
(religi).
ANALISIS
Dalam konteks kekinian, sikap kultural
kita mempunyai tiga rancangan yang mengekspresikan tuntutannya. Pertama : sikap
kita terhadap tradisi klasik, kedua : sikap kita terhadap tradisi Barat, dan
ketiga : sikap kita terhadap realitas. Dua sikap yang pertama merupakan dua
sikap kultural dalam pengertian harfiah. Maksudnya adalah kedua sikap tersebut
biasanya berinteraksi dengan budaya-budaya baku dan didominasi oleh metode
penerjemahan dari ilmuan-ilmuan terdahulu (qudama)
maupun ilmu-ilmu modern (Hanafi, Hassan, 2015: 5). Kadang-kadang sikap kultural
kita dipusatkan pada sikap terhadap tradisi Barat dimana dalam tradisi tersebut
menguak budaya ilmiah rasional, gerakan reformasi, modernisasi, pendidikan
modern, dan sistem modern yang timbul secara optimistik untuk menyokong
kepentingan-kepentingan penguasa. Terkadang sikap kultural kita berpusat pada
bagian ketiga, yaitu realitas dimana peradaban nasional, gerakan-gerakan
perubahan sosial, dan revolusi-revolusi mutakhir lahir (Hanafi, Hassan, 2015:
6). Penjelasan tersebut terbukti dalam pembahasan tentang bagaimana penguasa
kolonial Belanda dalam memanfaatkan masyarakat kota Yogyakarta dengan
kebijakannya berupa pendidikan modern sehingga memunculkan pergerakan nasional
maupun modernisasi dalam masyarakat tersebut.
Kelompok sosial dengan watak
strukturalnya merupakan kelompok sosial yang harmonis, padahal dalam kelompok-kelompok
yang heterogen ada strata minoritas yang memegang otoritas dan strata silent majority di luar otoritas, maka
tradisi akan mengekspresikan pemisahan masing-masing strata sesuai dengan
pemahaman-pemahaman, kepentingan-kepentingan, konsepsi-konsepsi, dan
pembacaan-pembacaannya terhadap teks agama. Ketika kekuasaan berada di tangan
minoritas dan mayoritas merupakan pihak yang dikuasai, maka tradisi yang
pertama (kelompok minoritas) merupakan tradisi otoritas sedangkan tradisi yang
kedua (kelompok mayoritas) merupakan tradisi belenggu dan minimal menjadi
tradisi oposisi. Jadi, tradisi mengekspresikan konflik kelas dan politik yang
ada dalam setiap kelompok. Oleh karena itu, terdapat tiga tradisi, yaitu
tradisi penguasa dan tradisi yang dikuasai, tradisi kaum borjuis dan tradisi
kaum proletar, tradisi pemaksa dan tradisi yang dipaksa (Hanafi, Hassan, 2015:
204). Dalam buku ini, pereview beranggapan bahwa tradisi nomor satu (tradisi
penguasa dan tradisi yang dikuasai) sesuai dengan pembahasan buku ini dimana
tradisi penguasa adalah pemerintah kolonial Belanda (pihak minoritas) dan
tradisi yang dikuasai (pihak mayoritas) adalah masyarakat kota Yogyakarta dan
hal tersebut disebut dengan tradisi otoritas, salah satunya adalah dalam hal
kebijakan pendidikan modern di masyarakat kota Yogyakarta. Tradisi adalah
otoritas, nilai, dan argumentasi yang ada dalam kesadaran manusia dan yang
ditaati manusia tanpa tuntutan kepuasan, maka tradisi dipakai para penguasa
sebagai tuntutan ketaatan dan penetapan doktrin mereka. Tradisi tersebut
dimunculkan dalam perubahan sosial (Hanafi, Hassan, 2015: 204).
Filsafat adalah gerak sejarah dimana
filsafat akan mati ketika filsafat berada di luar sejarah (ahistoris) (Hanafi,
Hassan, 2015: 73). Filsafat sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang paling
krusial yang muncul di Barat. Apabila krusialitasnya tidak absolute, maka logika,
dunia-fisika, dan teologi-metafisika merupakan bagian yang kolaboratif antara
peradaban-peradaban Yunani, Kristen, dan Islam. Pasca transformasi filsafat
sejarah muncul dengan bertautan dengan manusia, kemajuannya, pertumbuhannya,
peningkatannya, risalahnya, relasi-relasi dengan yang lainnya,
penggabungan-penggabungannya dengan kelompok-kelompok, keluarga-keluarga,
suku-suku, dan bangsa, limitasi siklus-siklusnya dalam zaman, rotasi-rotasinya,
penumpukan-penumpukan kisahnya yang pada zaman berikutnya disebut sejarah
(Hanafi, Hassan, 2015:145). Oleh karena itu, Barat membanggakan diri karena
eksplorasinya terhadap lapangan-lapangan yang tidak diketahui oleh
peradaban-peradaban klasik (Hanafi, Hassan, 2015:146).
Filsafat spekulatif memandang sejarah
sebagai sebuah proses, dalam artian sebuah arus faktual yang didapatkan melalui
rekaan atau penyusunan ulang sebuah objek sejarah dengan meneliti proses
faktual secara keseluruhan (Darmodiharjo & Shidarta, 2006: 17). Menurut
Rapar J.H. (1996: 34), filsafat spekulatif (teoretis) bersifat objektif,
contohnya dalam bidang fisika, metafisika, biopsikologi, dan lain-lain. Tujuan utama
filsafat spekulatif adalah pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri. Proses
sejarah tersebut dijelaskan melalui sebuah teori dengan pendekatan pengungkapan
sejarah yang tersembunyi sehingga disebut sebagai spekulatif. Selain itu juga,
ada filsafat kritis dimana lebih mendasarkan pada rekaan objek melalui
aturan-aturan dan sarana-sarana yang ketat, seperti metodologi, pendekatan,
metode, prosedur, dan kaidah-kaidah yang sudah baku dan ditetapkan oleh ahli
dalam menentukan alur sebuah objek (Hadirman, 2007: 24). Dari penjelasan
tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam sejarah terdapat aspek
spekulatif dan aspek kritis dimana dalam suatu peristiwa sejarah kedua aspek
tersebut saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan sehingga dalam buku ini
juga membahas tentang aspek spekulatif dan aspek kritis. Aspek spekulatif dalam
buku ini terbukti pada pola gerak sejarah yang maju dalam hal pendidikan dan
agama dimana pendidikan modern memunculkan cendekiawan-cendekiawan baru
Indonesia yang nantinya merubah paradigma pandangan masyarakat tentang
pergerakan nasional, kemajuan bangsa, maupun proses kemerdekaan. Sedangkan,
aspek kritis dalam buku ini terbukti pada pendekatan sosial yang digunakan,
yaitu menurut pereview menggunakan pendekatan narativisme dimana suatu
persitiwa sejarah perlu ditafsirkan melalui interpretasi sejarawan karena fakta
atau bukti sejarah saja tidak cukup untuk menceritakan suatu kebenaran peristiwa
sejarah. Jadi, intinya dalam mengkaji suatu peristiwa sejarah tidak hanya
diperlukan aspek obyektivitasnya saja, tetapi juga diperlukan aspek
subyektivitasnya.
REFLEKSI
Dari penjelasan
singkat tentang isi buku dan analisa buku, maka penulis dapat mengambil
refleksi bahwa
perubahan sosial itu sangat penting dalam memajukan atau mengembangkan suatu
kota walaupun pastinya ada dampak negatifnya. Sehingga, dalam pernyataan
tersebut bisa dianalisa bahwa seorang penguasa harus pintar dalam memfilter
atau menyaring proses akuturasi maupun enkulturasi dari pihak lain dan pastinya
jangan melupakan sejarah. Karena tanpa sejarah kita tidak bisa mengkaji dan
mengevaluasi apa yang sudah terjadi untuk direnungkan agar nantinya kehidupan masa
depan menjadi lebih baik. Intinya, sejarah berguna untuk proyeksi masa depan
agar kesalahan-kesalahan masa lalu tidak diulangi lagi dan sejarah sendiri
berguna untuk masa lalu, masa kini, dan masa depan yang saling berhubungan
untuk tujuan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Terima kasih.
DAFTAR
RUJUKANNYA
Ahli, Pengertian,
2016. Pengertian Mobilitas Sosial,
(Online), (www.pengertianahli.com), diakses tanggal 14 April 2017.
Darmodiharjo, D.
& Shidarta. 2006. Pokok- pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Hanafi, Hassan.
2015. Studi Filsafat I : Pembacaan atas
Tradisi Islam Kontemporer. Yogyakarta: LkiS.
Hanafi, Hassan.
2015. Studi Filsafat II : Pembacaan atas
Tradisi Barat Modern. Yogyakarta: LkiS.
Hardiman, F.B. 2007.
Filsafat Fragmentaris: Deskripsi, Kritik, dan Dekonstruksi. Yogyakarta:
Kanisius.
Pelly, U. &
Menanti, A. 1994. Teori-Teori Sosial
Budaya. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Rapar, J.H. 1996. Pengantar
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Soekanto, Soerjono.
1992. Sosiologi : Suatu Pengantar.
Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Wikipedia. 2016. Kota, (Online),
(id.wikipedia.org/wiki/Kota), diakses tanggal 14 April 2017.
Identitas Diri :
Nama : Yuliarti Kurnia Pramai Selli
Kelas/Off. : B
Prodi : S1 Pendidikan Sejarah
NIM : 140731606196
Makul : Filsafat Sejarah
Komentar
Posting Komentar