KASUS FLORENCE
KASUS FLORENCE
UNTUK
TUGAS MATAKULIAH
Dasar-Dasar Antropologi
yang
dibina oleh Bapak Drs. Irawan, M.Hum
Oleh
Yuliarti
Kurnia Pramai Selli
140731606196

UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
JURUSAN
SEJARAH
PRODI
PENDIDIKAN SEJARAH
September 2014
Kasus Florence dan Permenungan bagi Dunia
Pendidikan
Liputan6.com, Jakarta Beberapa waktu terakhir, masyarakat
khususnya di Yogyakarta banyak yang memberikan perhatian pada kasus yang
dialami Florence. Florence adalah pendatang dari luar Yogyakarta dan sedang
menempuh pendidikan S2 di sebuah Universitas di Yogyakarta. Kasusnya dimulai
dari tuduhan menyerobot antrian BBM di SPBU hingga ekspresi pribadi Florence di
media sosial “path” yang dianggap menyakiti perasaan masyarakat Yogyakarta.
Ada banyak sisi yang dapat didiskusikan dalam kasus Florence. Mulai
dari sisi perilaku penggunaan media sosial, sisi hukum, hingga sisi
sosio-kultural. Tak kalah menarik adalah membahas pernyataan beberapa orang
yang muncul di media sosial sebagai tanggapan atas kasus Florence mengenai
tidak adanya hubungan antara pendidikan tinggi yang dimiliki seseorang dengan
kematangan pribadinya.
Perilaku menyerobot antrean (meskipun yang bersangkutan memiliki
pembenaran tersendiri) dan agresi verbal yang menggeneralisir sekelompok
masyarakat berdasarkan emosi marah sesaat yang diungkapkan di media sosial
(meskipun mungkin awalnya hanya dimaksud untuk kalangan terbatas), dipandang
beberapa orang di media sosial tidak mencerminkan pendidikan S2 yang sedang
dijalaninya. Jika pernyataan ini benar, apa yang perlu dibenahi oleh dunia
pendidikan di Indonesia?.
YOGYAKARTA,
KOMPAS.com — Sanksi
sosial berupa hujatan dan cacian yang datang bertubi-tubi hingga harus mendekam
di penjara selama dua hari akibat tulisan statusnya di media sosial menjadi
pengalaman hidup yang tidak dapat terlupakan bagi Florence Sihombing. Florence
pun mengambil pelajaran dari kejadian itu tentang bagaimana menghargai orang
lain.
"Pelajaran paling penting (dari kejadian ini) adalah
cuma satu dan itu paling berkesan dalam diri saya, yakni hargai orang
lain," ucap Florence Sihombing seusai bertemu dengan Sri Sultan HB X di
kantor Kepatihan, Kamis (4/9/2014).
Meski proses hukum yang menimpanya belum sepenuhnya selesai,
Florence Sihombing, yang dalam setiap kesempatan berulang kali meminta maaf,
menyatakan ingin kembali merajut masa depannya dengan menyelesaikan
pendidikannya di Yogyakarta.
"Saya ingin tinggal di Yogya dan menyelesaikan kuliah di
UGM. Itulah harapan saya saat ini," tandasnya. Setelah lulus, ia pun ingin menjadi
manusia yang lebih baik dari saat ini dengan menjaga nama baik almamater UGM
serta Yogyakarta, tempat yang diakuinya telah memberinya pengalaman hidup yang
sangat berharga.
"Setelah lulus dan ketika bersosialisasi dengan
masyarakat, saya akan menjaga nama baik almamater dan Yogyakarta," janji
Florence.
Sementara itu, Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
sekaligus Gubernur DIY Sri Sultan HB X meminta agar masyarakat Yogya memberikan
kesempatan kepada Florence Sihombing untuk bisa tinggal di Yogyakarta dan
menyelesaikan pendidikannya.
"Berilah kesempatan kepada Flo untuk tetap tinggal di
sini karena sudah pilihan dia kuliah S-2 di Yogya. Semoga Flo bisa
menyelesaikan kuliahnya," harap Sultan.
Siapapun
yang mendengarkan kata-kata seperti yang disampaikan oleh Florence Sihombing seperti tolol, miskin, tidak berbudaya
akan merasa kesal, sakit hati, kembali menghujat dengan kata-kata yang lebih
menyakitkan, membawa ke ranah hukum, atau bahkan keinginan untuk “membunuh”
adalah bentuk reaksi emosional yang mungkin saja terjadi––tapi maaf saya tidak
menyarankan hal itu terjadi.
Tapi
tidak seharusnya sebagai bangsa yang beradab, kita membalas keburukan dengan
keburukan. Alangkah indahnya apabila kita sebagai warga, masyarakat, komunitas
sosial, dan insan yang terdidik melihat segala sesuatu dengan cara yang jernih.
Saya tekankan, tidak berarti kelakuan buruk tidak mendapat ganjaran hukum
sesuai dengan undang-undang berlaku, ini mungkin bisa dilakukan sebagai
pelajaran bagi generasi saat ini atau mereka yang datang kemudian untuk
betul-betul menjaga tata krama, sopan santun, dan etika berbahasa.
Sebagai
mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan S2 di universitas ternama di negeri
ini, apakah Florence tidak diajarkan tentang bahasa yang santun, keelokan dalam
bertutur kata, membaca dinamika sosial dan konsekuensi logis atas setiap
ungkapan? Saya yakin se yakin-yakinnya, dari sekolah dasar, menengah, sampai
menempuh pendidikan di perguruan tinggi, Florence atau bahkan kita semua sudah
diajarkan untuk menyampaikan kata-kata sopan yang bisa menentramkan orang-orang
sekitar. Tentu kita semua pernah diajarkan oleh guru kita untuk bertutur kata
dan berlaku baik, sabar, adil, dan mencintai sesama.
Lalu
apa yang salah dengan Florence? Kata kuncinya adalah gagal melakukan
internalisasi dan aktualisasi atas nilai-nilai luhur yang diajarkan dibangku
sekolah dasar sampai pada pendidikan tinggi. Sebagai mahasiswi yang mengenyam
pendidikan di universitas ternama (UGM), kita tentu mafhum bahwa di UGM
terdapat puluhan guru besar yang dengan konsisten mengajarkan nilai-nilai luhur
kepada peserta didiknya.
Ada
tiga syarat yang harus kita penuhi untuk menjadi manusia yang berada: membaca,
memahami (internalisasi), dan aktualisasi. Ketiga hal tersebut harus berjalan
beriringan. Ketika kita hanya bisa membaca tapi tidak dibarengi dengan memahami
dan aktualisasi, maka yang muncul adalah manusia-manusia yang berkelakuan buruk
dan tidak mencerminkan tingginya pendidikan yang ia sandang.
Florence
adalah contoh pribadi emosional yang berpendidikan tinggi, mengenyam berbagai
macam teori dari berbagai ahli, namun gagal dalam memahami dan
mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus belajar banyak dari kasus
Florence, demi kebaikan dan masa depan bangsa ini.
TRIBUNNEWS.COM, SLEMAN -
Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Dekan Fakultas Hukum, Paripurna, secara
khusus mendatangi Mapolda DIY untuk menjenguk Florence Sihombing, Minggu
(31/8/2014). Akan tetapi dalam kunjungannya, dia tidak diizinkan bertemu dengan
Florence. "Bagaimanapun Florence adalah mahasiswa kita," ujarnya.
Dari sana Paripurna berencana akan datang kembali ke Mapolda DIY, Senin
(1/9/2014). Dia memaparkan bahwa kunjungannya menenangkan Florence dan mencari
masukan dari kepolisian atas apa yang terjadi sebenarnya. Lebih lanjut Paripurna menuturkan
bahwa kasus Florence adalah masalah yang sebetulnya masuk ranah etika dari pada
hukum.
Sehingga persoalan pendidikan atau akademik seharusnya sanksinya juga
akademik, tidak perlu sampai dipidana. Dari sana diharapkan agar kedepan tidak
menimbulkan kesan bahwa masyarakat Yogyakarta adalah masyarakat yang pendedam. Paripurna dalam kesempatan
tersebut juga memaparkan bahwa pihak UGM siap dan dengan senang hati memberikan
mediasi ke semua pihak.
"Kami akan menyelesaikan kasus ini secara lebih elegan, dengan meminta
saran dari kepolisian untuk kemudian mempertemukan pihak penasehat hukum
Florence dan pelapor, sehingga dalam hal ini masalah cepat selesai tanpa
menghabiskan banyak energi," tandasnya
YOGYAKARTA, KOMPAS.com —
Komite Etik Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) menjatuhkan
sanksiskorsing kepada
Florence Sihombing, mahasiswi Pascasarjana Kenotariatan Fakultas Hukum UGM,
yang merupakan pemilik akun Path yang menulis status mencela Yogyakarta.
"Florence
dijatuhi sanksi skorsing satu semester," ujar Dekan
Fakultas Hukum UGM, Paripurna, Senin (8/9/2014). Dia mengatakan, sanksi
tersebut dibacakan langsung di depan Florence dan kedua orangtuanya pada sidang
kode etik, Senin siang. Menurut Paripurna, Florence tidak mengajukan keberatan atas sanksi tersebut.
Sementara
itu, Kabid Humas UGM Wiwit Wijayanti mengatakan, diharapkan sanksi ini bisa
memberi waktu kepada Florence untuk belajar menata diri dan bersikap lebih baik
sesuai etika. "Jika Flo mau bekerja keras, dia masih dapat lulus tepat
waktu," ujar dia.
Seperti
diberitakan sebelumnya, Selasa (2/9/2014), Florence menjalani sidang etik
perdana di Fakultas Hukum UGM. Dalam sidang tersebut, Florence diminta
mengklarifikasi soal unggahannya di
media sosial tersebut. Setelah tiga jam persidangan klarifikasi,
Komite Etik Fakultas Hukum UGM menyatakan telah terjadi pelanggaran etik
kategori sedang.
Salah satu fenomena di Kota Yogyakarta mutakhir, semakin menguatkan sinyal
bahwa pendidikan kesantunan merupakan kebutuhan yang tidak boleh diabaikan.
Florence Sihombing, yang tercatat sebagai mahasiswi S-2 di salah satu perguruan
tinggi terkemuka Kota Yogyakarta, telah "melesatkan" makian buruk di
jejaring sosial Path terhadap Kota Yogyakarta.
Makian terhadap Kota Budaya meskipun dalam keluh di media sosial, praktis
menyisakan ketidaknyamanan bagi warga Yogyakarta. Sangat disayangkan, pelaku
pun merupakan kaum terpelajar yang semestinya memiliki kontrol diri dan
pemahaman yang bijaksana mengenai hal-hal yang kurang menyenangkan dalam
episode kehidupannya.
Tentu saja, dalam perguruan
tinggi pun pendidikan karakter santun dan bersahabat sangatlah diperlukan.
Diharapkan, pendidikan bukan hanya merupakan mesin "manusia cerdas",
melainkan juga sosok terpelajar yang mampu membaca kondisi dan menampilkan
perfoma sikap terbaik dalam setiap peristiwa kehidupan.
Kesantunan merupakan pilar
penyangga kewibawaan dan kebijaksanaan. Semakin seorang pembelajar memiliki
banyak ilmu, semestinya ia mampu untuk memandang peristiwa yang tidak nyaman
dalam berbagai perspektif sehingga hal ini membuahkan alternatif-aternatif
sikap dan pilihan kata yang lebih positif.
Dalam paradigma psikologi,
seseorang boleh saja memiliki perasaan negatif, misalnya, marah, ingin
berkelahi, dan ingin memaki. Akan tetapi, perasaan harus diolah untuk
menghasilkan perilaku atau sikap yang santun dan diizinkan. Dalam bahasa
ringkasnya, setiap perasaan boleh saja dimiliki, tetapi tidak semua perasaan
harus diwujudkan dalam perbuatan fisik. Manusia memiliki mekanisme pertahanan
untuk mengalihkan perasaan negatif menuju tindakan lain yang lebih positif.
Pendidikan kesantunan dan
karakter bersahabat merupakan hal yang sangat penting. Ini merupakan aset
kekayaan mental pendidikan yang seharusnya dapat dirawat dan diinternalisasikan
kepada siswa. Selanjutnya, pendidikan karakter ini memang harus dirawat sejak
pendidikan usia dini, dasar, menengah, dan seterusnya. Para orang tua pun harus
ikut merawat benih pendidikan karakter dengan cara memberikan iklim yang kondusif
dan hangat dalam keluarga.
Tidak sulit untuk mengawal
pendidikan kesantunan dan karakter bersahabat. Ia bukan merupakan pelajaran
hafalan yang dapat menambah beban kognitif siswa. Namun, pendidikan kesantunan
dan karakter bersahabat dapat dimulai dari pembiasaan sikap-sikap positif untuk
memahami etika sosial dan menerapkan aturan-aturan sosial dalam setting budaya
kelas.
Misalnya, sejak dini anak sudah
diajarkan untuk mengucapkan kata maaf apabila bersalah. Hal ini sepintas
terlihat sepele. Akan tetapi, ibarat benang-benang sikap, jika secara konsisten
kebiasaan baik dibina, benang-benang sikap yang "kecil" itu akan
menjadi kain yang menakjubkan, indah, dan memberikan "kewibawaan"
pekerti bagi pemiliknya.
Diperlukan keteladanan dan
kepekaan para pendidik bersama para orang tua. Pendidikan kesantunan dan
karakter bersahabat dalam bingkai gotong royong dan semangat menjaga
keharmonisan merupakan pilar penyangga keutuhan bersama. Praktis, hal ini dapat
dimulai dengan baik melalui jalur pendidikan, baik formal maupun nonformal.
Tidak hanya itu, pendidikan daya juang dan kesabaran pun perlu ditanamkan agar
kecerdasan emosi pun terasah sehingga motivasi belajar dan sikap positif
terpupuk alamiah.
Rasulullah SAW bahkan
mengemukakan keteladanan sikap santun yang dapat merawat keharmonisan
masyarakat. "Sesungguhnya Allah SWT memberi (keutamaan) pada kesantunan,
yang tidak diberikan-Nya pada kekasaran, dan tidak juga diberikan-Nya pada
sifat-sifat yang lain." (HR Muslim). Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW
bersabda, "Sesungguhnya kesantunan tidak melekat kepada sebuah pribadi
kecuali sebagai perhiasan dan tidak tercerabut darinya kecuali sebagai aib."
(HR Muslim).
Kesantunan merupakan produk
alamiah pada jiwa yang matang. Bahkan pada suatu kesempatan, Rasulullah SAW
tengah duduk bersama Aisyah RA. Lalu, melintaslah sekelompok orang Yahudi di
hadapan beliau. Tiba-tiba mereka menyapa Rasulullah SAW dengan memelesetkan
ungkapan "Assalamu’alaikum" menjadi "Assamu'alaika" (kebinasaan
atasmu, hai Muhammad).
Mendengar serapah orang-orang
Yahudi itu, Aisyah RA naik pitam dan balik memaki mereka. Namun, Rasulullah SAW
segera menenangkan Aisyah RA dan memintanya tak mengotori mulut serta hatinya
dengan kekasaran dan kebencian. Lalu, Rasulullah SAW memberikan alasan, "Sesungguhnya
Allah SWT Mahasantun dan menyukai kesantunan dalam segala hal." (HR
al-Bukhari).
Demikianlah, kasus Florence pada
gilirannya menjadi cermin nyata bagi dunia pendidikan. Peristiwa ini
mengisyaratkan bahwa ada banyak sikap positif dalam pendidikan yang harus
diasah seiring dengan proses belajar. Kesadaran ini harus kita pertajam.
Harapannya, pada masa kini dan akan datang, akan bertambah energi semangat
untuk semakin menguatkan karakter-karakter positif dalam pendidikan. Indonesia
sudah memiliki tokoh yang santun dan memiliki kecerdasan kenabian. Kini, kita
tinggal berupaya untuk memupuk budaya santun dalam pendidikan. Wallahu
a'lam. Nurul Lathiffah SPsi
Guru Pendamping pada Olifant Elementary School, Yogyakarta
Guru Pendamping pada Olifant Elementary School, Yogyakarta
DAFTAR RUJUKAN
Komentar
Posting Komentar