ETNOGRAFI
SUKU TENGGER
UNTUK
TUGAS MATAKULIAH
Dasar-Dasar Antropologi
yang
dibina oleh Bapak Drs. Irawan S, Hum
Oleh :
Yuliarti
Kurnia Pramai Selli
140731606196

UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
JURUSAN
SEJARAH
PRODI
PENDIDIKAN SEJARAH
September 2014
1. Pengertian Suku Tengger
Menurut Wikipedia, Suku Tengger (IPA: /tənggər/)
adalah sebuah suku yang tinggal di sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur, yakni menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang. Suku Tengger merupakan sub suku Jawa menurut sensus BPS
tahun 2010.
2.
Asal-Usul Nama
Dari namanya asal-usul kata tengger berasal
gabungan dua kata, yaitu teng dan ger. Keduanya
merupakan akhiran kata dari dua nama, yaitu Roro An-teng dan Joko Se-ger. Hal itu terkait Legenda Roro
Anteng dan Joko Seger. Menurut penuturan masyarakat setempat, diyakini bahwa
mereka adalah keturunan Roro Anteng, yaitu seorang putri dari raja Majapahit
dan Joko Seger, yaitu putera seorang Brahmana.
Asal mula nama suku Tengger diambil dari
nama belakang Rara Anteng dan Jaka Seger. Keduanya membangun pemukiman dan
memerintah di kawasan Tengger ini kemudian menamakannya sebagai Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger atau
artinya “Penguasa Tengger yang Budiman”.
Disebutkan bahwa Rara Anteng adalah wanita
yang sangat cantik sehingga banyak pria berebut untuk memperistrinya. Akan tetapi, Rara
Anteng sendiri jatuh hati pada seorang putra Brahma bernama Joko Seger. Hubungan mereka
terhalang oleh seorang penjahat sakti bernama Kyai Bima dan ingin menjadikan
Rara Anteng sebagai istri. Rara Anteng menolak pinangan Kyai Bima dengan
isyarat mengharap dibuatkan lautan pasir di atas gunung dalam waktu satu malam.
Tidak dikira ternyata Kyai Bima
menyanggupinya kemudian berupaya membuat lautan pasir menggunakan tempurung
(batok) dan untuk mengairi lautan pasir tersebut dibuatlah sumur raksasa.
Melihat Kyai Bima hampir berhasil, Roro Anteng kemudian bergegas
menggagalkannya dengan cara menumbuk padi sekeras mungkin agar ayam berkokok
dan burung berkicau sebagai pertanda pagi hari telah tiba.
Hal itu ternyata membuat Kyai Bima
terkecoh dan menyerah sehingga meninggalkan pekerjaannya. Sisa-sisa pekerjaan
Kyai Bima terlantar di kawasan ini, yaitu: hamparan lautan pasir di bawah
Gunung Bromo yang disebut Segara Wedhi, sebuah bukit berbentuk seperti tempurung di selatan
Gunung Bromo yang disebut Gunung Batok, serta gundukan tanah yang tersebar di
kawasan Tengger, meliputi: Gunung Pundak-Lembu, Gunung Ringgit, Gunung Lingga, Gunung Gendera, dan lainnya.
·
Ada 3 teori yang
menjelaskan asal nama Tengger :
a.
Tengger berarti berdiri tegak atau berdiam tanpa gerak, yang melambangkan
watak orang Tengger yang berbudi pekerti luhur, yang harus tercermin dalam
segala aspek kehidupan.
b.
Tengger bermakna
pegunungan, yang sesuai dengan daerah kediaman suku Tengger.
c.
Tengger berasal dari
gabungan nama leluhur suku Tengger, yakni Roro Anteng dan Joko Seger.
3.
Keadaan
Geografis
Luas daerah Tengger kurang lebih 40km dan
utara ke selatan; 20-30 km dan timur ke barat, di atas ketinggian antara 1000m
- 3675 m. Daerah Tengger teletak pada bagian dari empat kabupaten, yaitu :
Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Tipe permukaan tanahnya
bergunung-gunung dengan tebing-tebing yang curam.
Kaldera Tengger adalah lautan pasir yang
terluas, terletak pada ketinggian 2300 m, dengan panjang 5-10 km. Kawah Gunung
Bromo, dengan ketinggian 2392 m, dan masih aktif .Di sebelah selatan menjulang
puncak Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 m. Tingkat pertumbuhan penduduk suku Tengger yang berdiam di kawasan
pegunungan Tengger ini tergolong rendah.
Masyarakat Suku Tengget berjumlah sekitar 40 ribu (1985) tinggal di
lereng gunung Semeru dan di sekitar Kaldera Tengger. Meskipun keberadaan mereka
terpusat di sekitar kawasan tersebut tetapi persebarannya kini telah mencapai
sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang.
4. Mata
Pencaharian
Penduduk di sekitar Taman
Nasional Bromo kurang lebih sebanyak 128.181 jiwa dengan distribusi sebagai
berikut: petani penggarap 48.625 orang (37,93%), buruh tani 10.461 orang
(8,16%), karyawan dan ABRI 1.595 orang (1,24%), pedagang 3.009 orang (2,38%),
pengrajin/industri kecil 343 orang (0,01%), dan lain-lain sekitar 64.140 orang
(50,05%).
Penduduk masyarakat
Tengger pada umumnya bertempat tinggal berkelompok di bukit-bukit mendekati
lahan pertanian. Mereka hidup dari bercocok tanam di ladang, dengan pengairan
tadah hujan. Pada mulanya mereka menanam jagung sebagai makanan pokok, akan
tetapi saat ini sudah berubah.
Pada musim hujan mereka
menanam sayuran seperti kentang, kubis, bawang, dan wortel sebagai tanaman
perdagangan. Pada penghujung akhir musim hujan mereka menanam jagung sebagai
cadangan makanan pokok.
Sejak zaman pemerintahan
Majapahit, tingkat perkembangan penduduk Tengger tergolong lambat. Sejarah
perkembangan masyarakat Tengger tidak diketahui dengan jelas, kecuali secara
samar sebagai hasil penelitian Nancy (1985).
Masyarakat Tengger saat
ini sudah ada yang membuka usaha Jasa ( Persewaan Home Stay dan Jeep Hard Top
sebagai transportasi ke Bromo ),hal ini di lakukan semenjak Bromo di buka
sebagai obyek wisata.
5. Wilayah Adat
Wilayah Adat Suku Tengger terbagi menjadi dua wilayah yaitu
Sabrang Kulon (Brang Kulon diwakili oleh Desa Tosari Kecamatan Tosari Kabupaten
Pasuruan )dan Sabrang Wetan ( Brang Wetan diwakili
oleh Desa Ngadisari, Wanantara, Jetak Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo ). Perwakilan oleh Desa Tosari dan tiga desa tersebut, mengacu pada Prosesi Pembukaan Upacara Karo yang sekaligus
membukla Jhodang Wasiat / Jimat Klontong.
Adapun desa-desa yang merupakan
Komunitas Suku Tengger adalah sebagai berikut : Desa Ngadas,
Wanatara, Jetak, dan Ngadisari ( Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo ), Desa Wanakersa, Ledokombo, Pandansari ( Kecamatan Sumber
Kabupaten Probolinggo ), Desa Tosari,
Baledono, Sedaeng, Wonokitri, Ngadiwono, Kandangan, Mororejo ( Kecamatan Tosari
Kabupaten Pasuruan ), Desa Keduwung (
kecamatan Puspo Kabupaten Pasuruan ), Desa Ngadirejo, Ledok
Pring ( Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan ), Desa Ngadas ( Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang), dan Desa Ranupani ( Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang).
6.
Keadaan Tanah
dan Tanaman
Keadaan tanah daerah Tengger gembur
seperti pasir, namun cukup subur. Tanaman keras yang tumbuh terutama adalah agathis laranthifolia, pinus merkusii, tectona, grandis leucaena, dan swietenia
altingia excelsa, anthocepalus
cadamba. Di kaki bukit paling atas ditumbuhi pohon cemara sampai di
ketinggian 3000 dpl yaitu lereng Gunung Semeru.
Tumbuhan utamanya adalah pohon-pohonan yang tinggi, pohon elfin dan pohon
cemara, sedangkan tanam-tanaman pertanian terutama adalah kentang, kubis,
wortel, jagung,bawang prei (plompong tengger), dsb.
7.
Jenis Hewan
Jenis hewan piaraan yang ada antara lain lembu, kambing, babi dan ayam
kampung. Jenis binatang yang hidup secara liar di hutan-hutan adalah babi hutan
(sus scrofa) rusa timur (cervus timorensis), serigala atau (muncak muntiacus), dan berkembang pula
jenis macam tutul (panthera pardus),
terdapat pula species burung-burungan, misalnya burung air.
8.
Iklim dan Cuaca
Iklim daerah Tengger adalah hujan dan kemarau. Musim kemarau terjadi antara
bulan Mei-Oktober. Curah hujan di Sukapura sekitar 1800 mm, sedangkan musim
hujan terjadi pada bulan November-April, dengan persentase 20 hari/ lebih hujan
turun dalam satu bulan.
Suhu udara berubah-ubah, tergantung ketinggian, antara 3 - 18 Celsius.
Selama musim hujan kelembaban udara rata-rata 80%. Temperaturnya sepanjang hari
terasa sejuk, dan pada malam hari terasa dingin. Pada musim kemarau temperatur
malam hari terasa lebih dingin daripada musim hujan.
Pada musim dingin biasanya diselimuti kabut tebal. Di daerah perkampungan,
kabut mulai menebal pada sore hari. Di daerah sekitar puncak Gunung Bromo kabut
mulai menebal pada pagi hari sebelum fajar menyingsing.
9.
Agama Suku Tengger
Masyarakat Suku Tengger menganut empat agama dari lima agama yang diakui
oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Agama Hindu, Islam, Kristen dan Budha.
10. Pemimpin Suku
Tengger
Masyarakat Suku Tengger tidak mengenal dualisme
kepemimpinan, walaupun ada yang namanya Dukun adat. Tetapi secara formal
pemerintahan dan adat, Suku Tengger dipimpin oleh seorang Kepala Desa (
Petinggi ) yang sekaligus adalah Kepala Adat. Sedangkan Dukun diposisikan
sebagai pemimpin Ritual / Upacara Adat.
Proses pemilihan seorang Petinggi ,dilakukan
dengan cara pemilihan langsung oleh masyarakat , melalui proses pemilihan
petinggi.
Sedangkan untuk pemilihan Dukun, dilakukan melalui
beberapa tahapan tahapan ( menyangkut diri pribadi calon Dukun ).yang pada
akhirnya akan diuji melalui Ujian Mulunen ( ujian pengucapan mantra yang
tidak boleh terputus ataupun lupa ) yang waktunya pada waktu Upacara Kasada
bertempat di Poten Gunung Bromo.
11. Kesenian
Tari Sodor dan Tari Ujung, Peralatan Musik Gamelan, Musik
Ketepung, dan Terompet.
12. Makanan Khas
Nasi ARON ( nasi yang terbuat dari jagung tengger dengan masa tanam kurang lebih 8
bulan ), dan sambal Krangean bahannya terbuat dari bahan sambal terasi seperti
biasanya, hanya saja di tambah buah Krangean ( hanya tumbuh di Tengger), bentuknya
kecil seperti buah merica dan baunya harum seperti daun kemangi, warnanya hijau
masih segar (baru petik) dan hitam (kalau sudah layu atau kering).
13. Sistem Kalender
Suku Tengger
Suku Tengger sudah mengenal dan mempunyai sistem kalender sendiri yang
mereka namakan Tahun Saka atau Saka Warsa., jumlah usia kalender suku tengger
berjumlah 30 hari (masing-masing bulan dibulatkan),tetapi ada perbedaan
penyebutan usia hari yaitu antara tanggal 1 sampai dengan 15 disebut tanggal
hari,dan 15 sampai 30 disebut Panglong Hari (penyebutannya adalah Panglong
siji,panglong loro dan seterusnya) .
Pada tanggal dan bulan tertentu terdapat tanggal yang digabungkan yaitu
tumbuknya dua tanggal. Pada tanggal Perhitungan Tahun Saka di Indonesia jatuh
pada tanggal 1 (sepisan) sasih kedhasa (bulan ke sepuluh), yaitu sehari setelah
bulan tilem (bulan mati), tepatnya pada bulan Maret dalam Tahun Masehi
(Supriyono, 1992).
Cara menghitungnya dengan rumus : tiap bulan berlangsung 30 hari, sehingga
dalam 12 bulan terdapat 360 hari. Sedangkan untuk wuku dan hari pasaran
tertentu dianggap sebagai wuku atau hari tumbuk, sehingga ada dua tanggal yang
harus disatukan dan akan terjadi pengurangan jumlah hari pada tiap tahunnya.
Untuk melengkapi atau menyempurnakannya diadakan perhitungan kembali setiap
lima tahun, atau satu windu tahun wuku. Pada waktu itu ada bulan yang
ditiadakan, digunakan untuk mengadakan perayaan Unan-unan, yang kemudian
tanggal dan bulan seterusnya digunakan untuk memulai bulan berikutnya, yaitu
bulan Dhesta atau bulan ke-sebelas.
MECAK (Perhitungan Kalender Tengger ).
MECAK (Perhitungan Kalender Tengger ).
Istilah mecak biasanya digunakan untuk menghitung atau mencari tanggal yang
tepat untuk melaksankan Upacara-upacara besar seperti Karo,Kasada maupun
Upacara Unan-unan.
Setiap Dukun Sepuh telah mempunyai persiapan atau catatan tanggal hasil
Mecak untuk tiap tiap Upacara yang akan dilaksanakan sampai lima tahun ke
depan.
14. Nama-Nama Hari
Suku Tengger
1)
DHITE = MINGGU
2)
SHOMA = SENIN
3)
ANGGARA = SELASA
4)
BUDHA = RABU
5)
RESPATI = KAMIS
6)
SUKRA = JUM’AT
7)
TUMPEK = SABTU
15. Nama-Nama Bulan
Suku Tengger
1)
KARTIKA = KASA
2)
PUSA = KARO
3)
MANGGASTRI =
KATIGA
4)
SITRA = KAPAT
5)
MANGGAKALA =
KALIMA
6)
NAYA = KANEM
7)
PALGUNO =
KAPITU
8)
WISAKA = KAWOLU
9)
JITO = KASANGA
10)
SERAWANA = KASEPOLOH
11)
PANDRAWANA =
DESTHA
12)
ASUJI = KASADA
Adapun Tahun
yang Digunakan adalah Tahun Saka (Caka).
16.
Adat Istiadat (
Sifat dan Sikap Suku Tengger )
1)
Konsep tentang
Manusia menurut Falsafah Tengger.
Sifat umum di dalam kehidupan sehari-hari orang
Tengger mempunyai kebiasaan hidup sederhana, rajin dan damai. Mereka adalah
petani. Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak yang
berbukit-bukit. Alat pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dari
cangkul,sabit dan semacamnya.
Hasil pertaniannya itu terutama adalah jagung,
kopi, kentang, kubis, bawang prei, Wortel dsb. Kebanyakan mereka bertempat
tinggal jauh dari ladangnya, sehingga harus membuat gubuh-gubuk sederhana di
ladangnya untuk berteduh sementara waktu siang hari. Mereka bekerja sangat
rajin dan pagi hingga petang hari di ladangnya.
Pada umumnya masyarakat Tengger hidup sangat
sederhana dan hemat. Kelebihan penjualan hasil ladang ditabung untuk perbaikan
rumah serta keperluan memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Kehidupan masyarakat
Tengger sangat dekat dengan adat- istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya
secara turun-temurun.
Dukun berperan penting dalam melaksanakan upacara
Adat. Dukun berperan dalam segala pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan,
kematian atau kegiatan-kegiatan lainnya. Dukun sebagai tempat bertanya untuk
mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah kehidupan.
Kehidupan pada masyarakat Tengger penuh dengan
kedamaian dan kondisi masyarakatnya sangat aman. Segala masalah dapat
diselesaikan dengan mudah atas peranan orang yang berpengaruh pada masyarakat
tersebut dengan sistem musyawarah. Pelanggaran yang dilakukan cukup
diselesaikan oleh Petinggi ( Kepala Desa) dan biasanya mereka patuh.
Apabila cara ini tidak juga menolong, maka si
pelaku pelanggaran itu cukup disatru (tidak diajak bicara) oleh seluruh
penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan segala peraturan pemerintah yang ada,
seperti kewajiban membayak pajak, kerja bakti dan sebagainya.
2)
Bahasa Tengger
Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Jawa yang masih berbau Jawa
Kuno. Mereka menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu ngoko, bahasa sehari-hari terhadap sesamanya, dan krama untuk
komunikasi terhadap orang yang lebih tua atau orang tua yang dihormati. Pada
masyarakat Tengger tidak terdapat adanya perbedaan kasta, dalam arti mereka
berkedudukan sama.
Contoh : Aku ( Laki-laki) = Reang , Aku ( wanita ) = Isun , Kamu ( untuk
seusia)= Sira , Kamu ( untuk yang lebih tua) = Rika, Bapak/Ayah= Pak , Ibu =
Mak , Kakek=Wek , Kakak= Kang , Mbak= Yuk.
3)
Asal-Usul Manusia menurut Falsafah Tengger
Ajaran tentang asal-usul manusia adalah seperti
terdapat pada mantra purwa bhumi. Sedangkan tugas manusia di dunia ini dapat
dipelajari melalui cara masyarakat Tengger memberi makna kepada aksara Jawa
yang mereka kembangkan. Adapun makna yang dimaksudkan adalah seperti dibawah
ini:
-h.n.c.r.k
: hingsun nitahake cipta, rasa karsa.
-d,t,s,w,l
: dumadi tetesing sarira wadi laksana.
-p,
dh, j, y, ny : panca dhawuh jagad yekti nyawiji.
-m,
g, b, th, ng : marmane gantia binuka thukul ngakasa.
- Apabila diartikan secara harfiah
kurang lebih sebagai berikut: Tuhan Yang Maha Esa menciptakan cahaya, rasa dan
kehendak pada manusia, (manusia) dijadikan melalui badan gaib untuk
melaksanakan lima perintah di dunia dengan kesungguhan hati, agar saling
terbuka tumbuh (berkembang) penuh kebebasan (ngakasa menuju alam bebas
angkasa).
- Pada hakikatnya manusia adalah
ciptaan Tuhan, yang dilahirkan dari tidak ada menjadi ada atau dari alam gaib,
untuk mengemban tugas di dunia ini melaksanakan lima perintah-Nya dengan
menyatukan diri pada tugasnya, agar di dunia ini tumbuh keterbukaan dan
perkembangan menuju kesempurnaan.
- Masih ada lagi tafsiran tentang
aksara Jawa yang dikaitkan dengan cerita tentang Aji Saka, yaitu bahwa ada
utusan, yang keduanya saling bertengkar (berebut kebenaran). Keduanya sama
kuatnya (sama-sama berjaya), yang akhirnya keduanya mengalami nasib yang sama,
yaitu menjadi mayat. Hal ini mengandung makna bahwa baik-buruk, senang-susah,
sehat-sakit, adalah ada pada manusia dan tak dapat dihindari. Kesempurnaan
hidup manusia apabila dapat menyeimbangkan kedua hal itu.
4)
Hubungan Badan dan Roh menurut Falsafah Tengger
Masyarakat
Tengger beranggapan bahwa badan manusia itu hanya merupakan pembungkus sukma (roh).
Sukma adalah badan halus yang bersifat abadi. Jika orang meninggal, badannya
pulang ke pertiwi (bumi), sedangkan sukmanya terbebas dari mengalami suatu
proses penyucian di dalam neraka, dan selama itu mereka mengembara tidak
mempunyai tempat berhenti.
Cahaya,
api dan air dari arah timur akan melenyapkan semua kejahatan yang dialami sukma
sewaktu berada di dalam badan. Masyarakat Tengger percaya bahwa neraka itu
terdiri dari beberapa bagian. Bagian terakhir ialah bagian timur yang disebut
juga kawah candradimuka, yang akan menyucikan sukma sehingga menjadi bersih dan
suci serta masuk surga. Hal ini terjadi pada hari ke-1000 sesudah kematian dan
melalui upacara Entas-entas.
5)
Hubungan Antar-Manusia menurut Falsafah Tengger
Sesuai dengan ajaran yang
hidup di masyarakat Tengger seperti terkandung dalam ajaran tentang sikap hidup
dengan sesanti panca setia, yaitu:
a.
setya budaya artinya, taat, tekun, mandiri.
b.
setya wacana artinya setia pada ucapan.
c.
setya semya artinya setia pada janji.
d.
setya laksana artinya patuh, tuhu, taat.
e.
setya mitra artinya setia kawan.
Ajaran tentang kesetiaan berpengaruh besar
terhadap perilaku masyarakat Tengger. Hal ini tampak pada sifat taat, tekun
bekerja, toleransi tinggi, gotong-royong, serta rasa tanggung jawab. umpamanya menunjukkan
bahwa pada umumnya mereka bekerja di ladangnya dari jam 6 pagi sampai jam 6
sore setiap hari secara tekun.
Sikap gotong-royongnya terlihat pula pada waktu
mendirikan pendopo agung di Tosari, adalah sebagai hasil jerih payah rakyat
membuat jalan sepanjang 15 km dari Tosari menuju Bromo (tahun 1971-1976).
Demikian pula tanggung jawab mereka terhadap lingkungan sosial tercermin pada
kesadaran rakyat untuk ikut serta menjaga keamanan, serta merelakan sebagian
tanahnya apabila terkena pembangunan jalan.
Sifat lain yang positif adalah kemampuan
menyesuaikan diri terhadap perkembangan, yaitu kesediaan mereka untuk menerima
orang asing atau orang lain, meskipun mereka tetap pada sikap yang sesuai
dengan identitasnya sebagai orang Tengger.
Hubungan antara pria dan wanita tercermin pada sikap bahwa pria adalah sebagai pengayom bagi wanita, yaitu ngayomi, ngayani, ngayemi, artinya memberikan perlindungan, memberikan nafkah, serta menciptakan suasana tenteram dan damai.
Hubungan antara pria dan wanita tercermin pada sikap bahwa pria adalah sebagai pengayom bagi wanita, yaitu ngayomi, ngayani, ngayemi, artinya memberikan perlindungan, memberikan nafkah, serta menciptakan suasana tenteram dan damai.
6) Sikap dan Pandangan Hidup dan
Pandangan tentang Perilaku
Sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada
harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian,
sandang), wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan
teknologi, berpengetahuan dan terampil).
Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut pengetahuan tentang watak yaitu :
Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut pengetahuan tentang watak yaitu :
i.
prasaja
berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya.
ii.
prayoga
berarti senantiasa bersikap bijaksana.
iii.
pranata
berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau pemerintah.
iv.
prasetya
berarti setya.
v.
prayitna
berarti waspada.
Atas dasar kelima pandangan hidup tersebut, masyarakat
Tengger mengembangkan sikap kepribadian tertentu sesuai dengan kondisi dan
perkembangan yang ada. Antara lain mengembangkan sikap seperti kelima pandangan
hidup tersebut, di samping dikembangkan pula sikap lain sebagai perwujudannya.
Mereka mengembangkan sikap rasa malu dalam arti
positif, yaitu rasa malu apabila tidak ikut serta dalam kegiatan sosial. Begitu
mendalamnya rasa malu itu, sehingga pernah ada kasus (di Tosari) seorang warga
masyarakat yang bunuh diri hanya karena tidak ikut serta dalam kegiatan
gotong-royong.
Sikap toleransi mereka tercermin pada kenyataan bahwa
mereka dapat bergaul dengan orang beragama lain, ataupun kedatangan orang
beragama lain. Dalam keagamaan mereka tetap setia kepada agama yang telah
dimiliki namun toleransi tetap tinggi, sebab mereka lebih berorientasi pada
tujuan, bukan pada cara mencapai tujuan.
Pada dasarnya manusia itu bertujuan satu, yaitu mencapai
Tuhan, meskipun jalannya beraneka warna. Sikap toleransi itu tampak pula dalam
hal perkawinan, yaitu sikap orang tua yang memberikan kebebasan bagi para
putra-putrinya untuk memilih calon istri atau suaminya. Pada dasarnya
perkawinan bersifat bebas.
Mereka tetap dapat menerima apabila anak-anaknya ada
yang berumah tangga dengan wanita atau pria yang berlainan agama sekalipun.
Namun dalam hal melaksanakan adat, pada umumnya para generasi muda masih tetap
melakukannya sesuai dengan adat kebiasaan orang tuanya.
Sikap hidup masyarakat Tengger yang penting adalah
tata tentrem (tidak banyak risiko), aja jowal-jawil (jangan suka mengganggu
orang lain), kerja keras, dan tetap mempertahankan tanah milik secara
turun-temurun. Sikap terhadap kerja adalah positif dengan titi luri-nya, yaitu
meneruskan sikap nenek moyangnya sebagai penghormatan kepada leluhur.
Sikap terhadap hasil kerja bukanlah semata-mata hidup
untuk mengumpulkan harta demi kepentingan pribadi, akan tetapi untuk menolong
sesamanya. Dengan demikian, dalam masyarakat Tengger tidak pernah terjadi
kelaparan. Untuk mencapai keberhasilan dalam hidup semata-marta diutamakan pada
hasil kerja sendiri, dan mereka menjauhkan diri dari sikap nyadhang
(menengadahkan telapak tangan ke atas).
Masyarakat Tengger mengharapkan generasi mudanya mampu
mandiri seperti ksatria Tengger. Orang tua tidak ingin mempunyai anak yang
memalukan, dengan harapan agar anak mampu untuk mikul dhuwur mendhem jero,
yaitu memuliakan orangtuanya.
Sikap mereka terhadap perubahan cukup baik, terbukti
mereka dapat menerima pengaruh model pakaian, dan teknologi, serta perubahan
lain yang berkaitan dengan cara mereka mengharapkan masa depan yang lebih baik
dan berkeyakinan akan datangnya kejayaan dan kesejahteraan masyarakatnya.
7)
Siklus Hidup menurut Falsafah Tengger
Ada 3 (tiga) tahap penting siklus kehidupan menurut pandangan masyarakat Tengger, yakni:
1. umur 0 sampal 21 (wanita) atau 27 (pria), dengan lambang bramacari yaitu masa yang tepat untuk pendidikan.
1. umur 0 sampal 21 (wanita) atau 27 (pria), dengan lambang bramacari yaitu masa yang tepat untuk pendidikan.
2.
usia 21 (wanita) atau 27 (pria) sampai 60 tahun lambing griasta, masa yang
tepat untuk
membangun rumah dan mandiri.
membangun rumah dan mandiri.
3.
60 tahun ke atas, dengan lambang biksuka, membangun diri sebagai manusia usia
lanjut untuk lebih mementingkan masa akhir hidupnya.
Pada masa griasta ada ungkapan yang berbunyi kalau
masih mentah sama adil, kalau sudah masak tidak ada harga, yang dimaksudkan
adalah hendaklah manusia itu pada waktu mudanya bersikap adil dan masa dewasa
menyiapkan dirinya untuk masa tuanya dan hari akhirnya.
8)
Pertunangan dan Perkawinan
Pada umumnya masyarakat Tengger mempunyai pendirian
yang cukup bermoral atas perkawinan. Poligami dan perceraian boleh dikatakan
tidak pernah terjadi. Perkawinan di bawah umur juga jarang terjadi.
Dalam pertunangan (pacangan), lamaran dilakukan oleh
orangtua pria. Sebelumnya didahului dengan pertemuan antara kedua calon, atas
dasar rasa senang kedua belah pihak. Apabila kedua belah pihak telah sepakat,
maka orangtua pihak wanita (sebagai calon) berkunjung ke orangtua pihak pria
untuk menanyakan persetujuannya atau notok.
Selanjutnya apabila orangtua pihak pria telah
menyetujui, diteruskan dengan kunjungan dari pihak orangtua pria untuk
menyampaikan ikatan (peningset) dan menentukan hari perkawinan yang disetujui
oleh kedua belah pihak. Sesudah itu barulah upacara perkawinan dilakukan.
Sebelum acara perkawinan biasanya telah dimintakan
nasihat kepada dukun mengenai kapan sebaiknya hari perkawinan itu dilaksanakan.
Dukun akan memberikan saran (menetapkan) hari yang baik dan tepat, papan tempat
pelaksanaan perkawinan, dan sebagainya. Setelah hari untuk upacara perkawinan
ditentukan, maka diawali selamatan kecil (dengan sajian bubur merah dan bubur
putih).
Sebagai kelengkapan upacara perkawinan, maka pasangan
pengantin diarak (upacara ngarak) keliling, diikuti oleh empat gadis dan empat
jejaka dengan diiringi gamelan. Pada upacara perkawinan pengantin wanita
memberikan hadiah bokor tembaga berisi sirih lengkap dengan tembakau, rokok dan
lain, sedangkan pengantin pria memberikan hadiah berupa sebuah keranjang berisi
buah-buahan, beras dan mas kawin.
Pada upacara asrah pengantin, masing-masing pihak
diwakili oleh seorang utusan. Para wakil mengadakan pembicaraan mengenai
kewajiban dalam perkawinan dengan disaksikan oleh seoran dukun. Pada upacara
pernikahan dibuatkan petra (petara: boneka sebagai tempat roh nenek moyang)
supaya roh nenek moyangnya bisa hadir menyaksikan.
Biasanya setelah melakukan perkawinan kemanten pria harus tinggal dirumah (mengikuti) kemanten wanita.
Biasanya setelah melakukan perkawinan kemanten pria harus tinggal dirumah (mengikuti) kemanten wanita.
9)
Hak Waris
Pada dasarnya masyarakat Tengger mempertahankan hak
waris tanah untuk anak keturunan mereka saja. Apabila ada keluarga yang
terpaksa menjual hak tanah, diusahakan untuk dibeli oleh keluarga yang
terdekat. Pewarisan kepada anak-turunannya ditentukan oleh kerelaan pihak orang
tua, bukan atas dasar aturan ketat yang dibakukan.
10) Tata
Rumah
Rumah penduduk Tengger dibangun di atas tanah, yang
sedapat mungkin dipilih pada daerah datar, dekat air, atau kalau terpaksa
dipilih tanah yang dapat dibuat teras, dan jauh dari gangguan angin.
Rumah-rumah letaknya berdekatan atau menggerombol pada suatu tempat yang dapat
dimasuki dan berbagai jurusannya yang dihubungkan dengan jalan sempit atau tidak
lebar antara satu desa dengan desa lain.
Desa induk yang disebut Jcrajan biasanya terletak di
tengah dengan jaringan jalan-jalan yang menghubungkan dengan desa lain. Pembangunan
sebuah rumah selalu diawali dengan selamatan, demikiah pula apabila bangunan
telah selesai diadakan selamatan lagi. Pada setiap bangunan yang sedang dikejakan
selalu terdapat sesajen, yang digantungkan pada tiang-tiang, berupa makanan,
ketupat, lepet, pisang raja dan lain-lain.
Bangunan rumah orang Tengger biasanya luas sebab pada
umumnya dihuni oleh beberapa keluarga bersama-sama, Ada kebiasaan bahwa seorang
pria yang baru saja kawin akan tinggal bersama mertuanya. Tiang dan dinding
rumahnya terbuat dan kayu dan atapnya terbuat dan bambu yang dibelah. Setelah
bahan itu sulit diperoleh, dewasa ini masyarakat telah mengubah kebiasaan itu
dengan menggunakan atap dan seng, papan atau genteng.
Alat rumah tangga tradisional yang hingga sekarang
pada umumnya masih tetap ada adalah balai-balai, semacam dipan yang ditaruh di
depan rumah. Di dalam ruangan rumah itu disediakan pula tungku perapian (pra
pen) yang terbuat dan batu atau semen. Perapian ini kurang lebih panjangnya 1/4
dari panjang ruangan yang ada.
Di dekat perapian terdapat tempat duduk pendek terbuat
dari kayu (dingklik bhs jawa) yang meliputi kurang lebih separuh dan seluruh
ruangan. Apabila seorang tamu di terima dan dipersilakan duduk di tempat ini
menunjukkan bahwa tamu tersebut diterima dengan hormat.
Selain digunakan untuk penghangat tubuh bagi penghuni
rumah, perapian juga dimanfaatkan untuk mengeringkan jagung, atau bahan makan
lainnya yang memerlukan pengawetan dan ditaruh di atas paga. Dekat tempat
perapian itu terdapat pula alat-alat dapur, lesung, dan tangga. Halaman rumah
mereka pada umumnya sempit (kecil) dan tidak ditanami pohon-pohonan.
Di halaman itu pula terdapat sigiran, tempat untuk
menggantungkan jagung yang belum dikupas. Selain itu, sigiran dimanfaatkan
untuk menyimpan jagung, sehingga juga berfungsi sebagai lumbung untuk menyimpan
sampai panen mendatang.
11) Pusaka
yang Dimiliki oleh Suku Tengger
Jimat Klonthongan / Jodang Wasiat Jimat Klonthong /
Jodang wasiat jumlahnya ada dua, yang pertama disimpan oleh masyarakat Suku
Tengger Brang Wetan tepatnya di Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten
Probolinggo.bentuknya berupa kotak terbuat dari kayu.Sedang Jimat Klonthong /
Jodang Wasiat yang kedua disimpan di wilayah Brang Kulon yaitu di Desa Tosari
Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan dan bentuknya berbeda dengan yang ada di
wilayah brang wetan yaitu berbentuk bumbung terbuat dari kayu.
Kedua Jimat Klonthong / Jodang Wasiat tersebut merupakan
benda warisan nenek moyang ( Joko Seger dan Loro Anteng ) berisi gayung, sarak,
sodar, tumbu, cepel, Ontokusumo sejenis pakaian nenek moyang, dan sejumlah uang
satak (uang logam kuno). Termasuk mantra-mantra yaitu mantra Purwobumi dan
mantra Mandala Giri.
Lontar
(keropak) .
Di
Tengger masih terdapat lontar (keropak) sebanyak 21 ikat, berisi tulisan Jawa
lama, yang orang Tengger sendiri tidak bisa membacanya. Pusaka TRISULA yaitu
berbentuk Tombak yang mempunyai ujung mata tiga.
12) Peralatan
Upacara
Baju Adat Tengger Hitam, sehelai kain baju tanpa
jahitan,Udeng dan kain Selempang berwarna kuning. Hal ini sesuai dengan yang
diperoleh sebagai warisan dari nenek moyang Suku Tengger.
Prasen, berasal dari kata rasi atau praci (Sansekerta)
yang berarti zodiak. Prasen ini berupa mangkuk bergambar binatang dan zodiak.
Beberapa prasen yang dimiliki oleh para dukun berangka tahun Saka: 1249, 1251,
1253, 1261; dan pada dua prasen lainnya terdapat tanda tahun Saka 1275. Tanda
tahun ini menunjukkan masa berkuasanya pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi di
Majapahit.
Tali sampet, terbuat dari kain batik, atau kain
berwarna kuning yang dipakai oleh Dukun Tengger. Genta, keropak dan prapen,
sebagai pelengkap upacara.
13) Lain-Lain
Masyarakat Suku Tengger tidak mengenal nama Marga (
keluarga ) karena di dalam Suku Tengger tidak mengenal Kasta, namun biasanya
cara memanggil nama orang yang sudah berkeluarga dan mempunyai keturunan, mereka
memanggil nama yang bersangkutan dengan nama anak pertamanya.
SUMBER RUJUKAN
Komentar
Posting Komentar