PENJELASAN TENTANG MASYARAKAT TRADISIONAL DAN TRADISI TRADISIONAL


Nama               : Yuliarti Kurnia Pramai Selli
Kelas/Off.       : B
Prodi               : S1 Pendidikan Sejarah
NIM                : 140731606196
Makul              : Studi Masyarakat Indonesia

PENJELASAN TENTANG MASYARAKAT TRADISIONAL DAN TRADISI TRADISIONAL

A.    MASYARAKAT TRADISIONAL (Masyarakat Pedesaan)
Masyarakat berasal dari akar kata Arab “syaraka” yang artinya “ikut serta, berperan serta”. Sehingga, bisa dibilang bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling berinteraksi. Suatu negara, kota, atau desa bisa disebut sebagai masyarakat jika memiliki ciri-ciri, yaitu :
a.       Adanya interaksi antarwarga.
b.      Adanya adat istiadat, norma-norma, hukum, serta aturan-aturan yang mengatur semua pola tingkah laku warga.
c.       Adanya kontinuitas dalam waktu.
d.      Adanya rasa identitas yang kuat dan mengikat semua warga.
Dari empat ciri-ciri tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 2003: 119-122). Sedangkan, tradisional adalah suatu keadaan dimana masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat sekitar atau yang bersangkutan dan sampai sekarang tetap dipakai, tetap diperhatikan, dihormati, dan dilakukan secara turun temurun walaupun tidak tahu bagaimana awal sejarahnya (Hadikusuma, Hilman, 1992: 33). Jadi, rnasyarakat tradisional adalah suatu bentuk persekutuan abadi antara manusia dan institusinya dalam wilayah setempat, yaitu tempat mereka tinggal dirumah-rumah pertanian yang tersebar dan di kampung yang biasanya menjadi pusat kegiatan bersama. Pada umumnya yang dimaksud dengan masyarakat tradisional adalah masyarakat pedesaan atau masyarakat pertanian (G. Kartasapoetra, Hartini. 1992).
Ciri-ciri masyarakat tradisional, yaitu :
a.       Berpindah-pindah (nomaden).
b.      Teknologi masih primitif.
c.       Sumber kekuasaan yang hidup (animate).
d.      Pembagian kerja yang sederhana.
e.       Swasembada unit-unit sosial.
f.        Produksi primer.
g.      Tradisi suci.
h.      Organisasi komunal.
i.        Solidaritas mekanistik.
j.        Sistem status berdasarkan keturunan.
k.      Semangat kerakyatan (folk spirit) (Abraham, 1991: 12-13).
Selain itu, ada pendapat lain tentang ciri-ciri masyarakat tradisional, yaitu :
a.        Warga masyarakat tradisional atau pedesaan mempunyai hubungan yang erat dan mendalam.
b.      Sistem kehidupan berkelompok atas dasar kekeluargaan.
c.       Hidup dari pertanian, pekerjaan lain hanya dianggap sebagai sambilan.
d.      Tidak semua orang mempunyai tanah dimana sistem kepemilikan tanah ada empat macam, yaitu milik umum, milik komunal dengan pemakaian bergiliran, milik komunal dengan pemakaian tetap, dan milik individu.
e.       Cara bertani masih tradisional, tidak efisien, karena belum mengenal mekanisasi (Ismawati, Esti, 2012: 53).

B.     TRADISI TRADISIONAL
Menurut penulis, tradisi adalah suatu hukum adat yang berlaku dalam suatu wilayah atau lingkungan dimana hukum atau adat tersebut harus ditaati oleh masyarakat. Jadi, tradisi tradisional adalah bagian dari wujud atau unsur adanya masyarakat tradisional. Sehingga, tradisi tradisional adalah suatu hukum adat yang berlaku dalam suatu wilayah dimana hukum tersebut masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat sekitar sehingga sampai sekarang hukum adat tersebut masih dipakai, tetap diperhatikan, dihormati, ditaati, dan dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat sekitar (yang bersangkutan) (Hadikusuma, Hilman, 1992: 33).
Penulis mengambil salah satu contoh hukum adat, yaitu suku Dayak di Kalimantan Barat dalam hal tradisi sekitar upacara dan kebiasaan makan. Salah satu unsur kebudayaan yang menyelimuti hampir di setiap aktivitas kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn adalah sistem religi yang diwujudkan dalam bentuk upacara-upacara yang bersifat keagamaan yang menghubungkan antara manusia dengan dewa-dewa yang dipercaya merupakan kekuatan besar di luar manusia yang mampu mempengaruhi kehidupannya. Bagi masyarakat Dayak Kanayatn dewa yang dianggap berkuasa dan mempengaruhi kehidupan manusia disebut “Jubata”. Sehingga, dalam kehidupan kemasyarakatan selalu dihubungkan dengan dewa tersebut. Salah satu aspek yang mendukung kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn bahwa ada yang lebih agung dan harus dihormati serta disembah, maka diciptakanlah unsur-unsur religi atau berbagai benda-benda dan makanan yang dikeramatkan. Dapat dikatakan bahwa masyarakat Dayak Kanayatn menciptakan beberapa karya dalam bentuk fisik (berupa benda-benda untuk upacara tradisional) maupun non fisik (makanan sesajian seperti doa/mantra-mantra, sikap mental yang selalu berorientasi pada Jubata, larangan-larangan, dan lain-lain) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997: 50-51).
Sejak manusia dilahirkan sampai meninggal, selama hidupnya senantiasa menjalani proses upacara tradisional yang dilakukan pada setiap masyarakat. Upacara-upacara ini biasanya berkaitan dengan berbagai jenis makanan dan adat kebiasaan makan pada masyarakat bersangkutan. Upacara tersebut dilakukan oleh setiap individu sebagai anggota dalam masyarakat yang mempunyai makna-makna tertentu dan hal tersebut berkaitan dengan hak dan kewajiban individu bersangkutan. Upacara tersebut pada suku Dayak disebut sebagai Upacara Daur Hidup dan Kebiasaan Makan dimana terdapat empat upacara daur hidup pada Suku Dayak Kanayatn di Desa Saham meliputi upacara kelahiran, sunatan, perkawinan, dan kematian. Tetapi, penulis memilih salah satu upacara tersebut, yaitu upacara kelahiran.

Upacara Kelahiran
Upacara ini dilaksanakan setelah bayi tujuh hari dan disusul dengan pemberian nama yang disebut “Buak”. Upacara tersebut dinamakan “Batalah”. Upacara ini juga menyediakan berbagai makanan yang dijadikan sesajian sebagai syarat bagi penyerahan manusia kepada para dewa. Berikut adalah berbagai jenis makanan beserta maknanya, yaitu :
a.       Beras pulut sepinggan à bermakna bahwa pengabaran kepada para dewa bahwa ada seorang anak yang akan diberi nama dan mereka memohon agar dijauhkan dari bahaya atau gangguan.
b.      Beras biasa sepinggan à bermakna bahwa hasil kerja manusia semuanya dipasrahkan pada para dewa demi keselamatan anak tersebut.
c.       Telur ayam mentah à melambangkan persatuan di antara mereka atau agar anak tersebut dapat membawa persatuan di antara warga.
d.      Jarum satu batang à melambangkan bila terjadi kesalahan yang diperbuat manusia maka meminta pengampunan.
e.       Minyak tengkawang à melambangkan agar anak tersebut dijauhkan dari penyakit.
f.        Mata uang lama à melambangkan agar anak tersebut setelah dewasa mudah mencari uang.
g.      Air putih à melambangkan agar dalam kehidupannya anak tersebut selalu berada di jalan yang benar.
h.      Pelita (penerangan) à melambangkan agar anak tersebut selalu mendapat penerangan dari Yang Maha Kuasa.
i.        Ayam jago satu ekor à bermakna bahwa anak tersebut diharapkan akan mempunyai kegagahan seperti ayam jago (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997: 56-58).
Dalam upacara tersebut terdapat proses pemberian nama seorang anak dari ia lahir, yaitu :
a.       Pertama kali bayi itu lahir ke dunia orang tua memberi nama dimana nama tersebut masih diberikan atas prakarsa orang tua dan belum disetujui oleh para dewa. Sehingga, biasanya orang tua dari anak tersebut akan minta pertolongan seorang bidan kampung (pangarabantatu) untuk menentukannya.
b.      Penentuan secara adat dimana dengan menggunakan tangkai pinang muda sebanyak tujuh buah kemudian pinang tersebut dibelah menjadi dua dengan pisau. Setelah itu, belahan pinang tersebut dilemparkan ke atas. Jika posisi kedua pinang setelah dilemparkan ke atas tertelentang atau tertelungkup semua berarti nama yang diberikan tidak sesuai.
c.       Pada umumnya, jika ada keluarga Dayak Kanayatn yang melahirkan anak, maka pada tangga naik rumah dipasang sebuah tangga dari kayu yang dihias dengan daun limau dan daun mestawak. Jika tanda tersebut dipasang si sebelah kanan, maka anak yang akan dilahirkan adalah anak laki-laki dan sebaliknya. Kemudian di bawah tanda tersebut diletakkan sarak-‘ng (tembuni) yang telah diberi ramuan-ramuan obat.
d.      Seorang ibu yang telah melahirkan selama tujuh hari tidak boleh turun ke tanah dan tidak boleh dilihat orang (amalik barumbukng baranak) karena takut jukat atau setan yang akan melemahkan semangatnya. Bila hal tersebut dilanggar, maka yang akan melihat bayi tersebut harus memakan sirih dan air sirih kemudian dioleskan ke dahi si anak agar jukat tersebut berlaku.
e.       Setelah upacara pemberian nama selesai dilaksanakan, maka seorang ibu yang telah melahirkan diharuskan menjalani upacara pangarus (mandi-mandi ke sungai) yang dipimpin oleh seorang bidan dengan mengenakan tarinak (tudung) yang diujungnya diberi tanda tiga buah dawat (peluru sempitan) serta membawa tobokng (tempat air yang terbuat dari bambu).                                                               
Setelah prosesi acara pemberian nama selesai, maka diadakanlah acara makan bersama yang diperuntukkan bagi warga setempat. Acara makan ini merupakan wujud syukur atas kebahagiaan yang telah diberikan Jubata pada keluarga tersebut. Jenis makanan yang dipakai pada acara tersebut biasanya beras yang sudah dimasak bersama dan kemudian dimakan secara beramai-ramai. Dalam pembagian makanan atau acara makan disini yang dipentingkan adalah berkat yang dibagikan itu akan membawa keselamatan dan ketenangan bagi keluarga (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997: 58-59). Dari penjelasan di atas, maka penulis dapat menjelaskan secara umum perbandingan antara masyarakat tradisional dengan tradisi tradisional dimana masyarakat tradisional sebagai pelaku utama dalam melakukan tradisi tradisional. Sedangkan tradisi tradisional adalah salah satu bagian dari unsur adanya masyarakat tradisional.

DAFTAR RUJUKAN

Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi 1. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Abraham, M. Francis. 1991. Modernisasi di Dunia Ketiga Suatu Teori Umum Pembangunan. (Terjemahan M. Rusli Karim). University Press of America.
Hadikusuma, Hilman. 1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: CV Mandar Maju.
G. Kartasapoetra, Hartini. 1992. Kamus Sosiologi dan Kependudukan. Jakarta: Bumi Aksara.
Ismawati, Esti. 2012. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Yogyakarta: Ombak.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1997. Tradisi dan Kebiasaan Makan pada Masyarakat Tradisional di Kalimantan Barat. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH MASUKNYA AGAMA KONGHUCU DI INDONESIA

Kamu yang Kusayang

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BERBASIS NILAI