KESENIAN REOG DI PONOROGO (MULAI RUNTUHNYA KERAJAAN MAJAPAHIT SAMPAI SEKARANG)
KESENIAN
REOG DI PONOROGO (MULAI RUNTUHNYA KERAJAAN MAJAPAHIT SAMPAI SEKARANG)
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Kebudayaan
yang dibina oleh Bapak Deny Yudo Wahyudi,
S.Pd., M.Hum
Disusun Oleh :
Yuliarti Kurnia Pramai Selli (140731606196)

UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
JURUSAN
SEJARAH
PRODI
S1 PENDIDIKAN SEJARAH
Oktober
2016
KATA
PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan
tugas matakuliah Sejarah Kebudayaan dengan makalah yang berjudul “Kesenian Reog
di Ponorogo (mulai runtuhnya Kerajaan Majapahit sampai sekarang) ”.
Penulis
mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
makalah ini. Kepada Bapak Deny Yudo Wahyudi, S.Pd., M.Hum selaku
pembimbing yang senantiasa memberikan pengarahan kepada penulis dalam
penyelesaian tugas makalah ini. Tidak lupa kepada teman-teman yang telah
memberikan informasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah yang
dibuat masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat berguna
bagi penulis untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat dan
menambah pengetahuan tentang Kesenian Reog Ponorogo.
Malang,
Oktober 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah .......................................................................................... 2
C. Tujuan
Penulisan ............................................................................................ 2
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan Asal Mula
Munculnya Kesenian Reog Ponorogo ..................... 3
B. Kebudayaan
Tradisi Grebeg Suro di Ponorogo ............................................ 10
C. Aspek
Nilai Dan Karakter Bangsa dalam Kesenian Reog Ponorogo ........... 13
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan ................................................................................................... .
15
B.
Saran .............................................................................................................. .
15
DAFTAR RUJUKAN ...................................................................................... . 16
LAMPIRAN ..................................................................................................... 17
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ponorogo
adalah wilayah atau daerah kabupaten yang berada di barat daya Provinsi Jawa
Timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah (diapit oleh gunung Lawu dan
gunung Wilis) yang didirikan pada tahun 1486 oleh Raden Katong (Bupati I) yang
masih keturunan Raja Brawijaya V. Sebelumnya diperintah oleh raja Klana
Sewandana yang wilayah tersebut dulunya adalah kademangan Wengker. Klana
Sewandana sendiri mempunyai patih bernama Klana Wijaya yang dikenal sangat
sakti dan setelah Kerajaan Wengker dikalahkan oleh Airlangga, sejarah Kerajaan
Wengker pun selesai. Selang dua ratus tahun, berdirilah kademangan Bantar Angin
yang didirikan oleh keturunan Raja Klana Wijaya, yaitu Ki Ageng Kutu
Suryangalam yang juga dikenal sakti tiada tanding (Achmadi, A., 2014: 9,
(Online)). Salah satu kesenian yang terdapat di daerah ini adalah kesenian Reog
Ponorogo yang kita ketahui tidak hanya terkenal di wilayah Indonesia saja
tetapi juga sampai ke manca negara. Kesenian ini pernah mengalami konflik dimana
salah satu negara tetangga kita, Malaysia mengakui bahwa Reog Ponorogo adalah
kesenian negaranya. Tetapi, permasalahan tersebut dapat diatasi dengan
mematenkan kesenian tersebut.
Kesenian
Reog Ponorogo mempunyai dua bentuk atau konteks yang berbeda, yaitu adanya Reog
Festival dan Reog Obyogan. Kesenian tersebut diwadahi dalam suatu acara yang
bernama Tradisi Grebeg Suro dimana dilakukan setiap tanggal 1 Muharram atau 1
Suro. Selain itu juga, sebagai penutup acara tersebut terdapat acara yang
bernama “Tradisi Larung Risalah Doa”. Adanya kesenian ini tidak hanya
berpengaruh terhadap keselamatan warga, tetapi juga berpengaruh terhadap
tingkat kesejahteraan perekonomian masyarakat setempat wilayah Ponorogo.
Kesenian ini juga dapat direfleksikan ke dalam nilai-nilai Pancasila maupun
nilai-nilai yang lainnya. Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan tentang kesenian Reog Ponorogo.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sejarah dan asal mula mula munculnya kesenian Reog Ponorogo ?
2. Bagaimana
kebudayaan Tradisi Grebeg Suro di Ponorogo ?
3. Bagaimana
aspek nilai dan karakter bangsa dalam kesenian Reog Ponorogo ?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui dan memahami sejarah dan asal mula munculnya kesenian Reog Ponorogo.
2. Untuk
mengetahui dan memahami kebudayaan Tradisi Grebeg Suro di Ponorogo.
3. Untuk
mengetahui dan memahami aspek nilai dan karakter bangsa dalam kesenian Reog
Ponorogo.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
dan Asal Mula Munculnya Kesenian Reog Ponorogo
Kesenian
adalah salah satu unsur yang menyangga kebudayaan dimana sejauh mana orang
tersebut mampu menghayati kesenian, maka hal tersebut nampak pada
pengekspresiannya terhadap suatu kesenian. Pengekspresian tersebut bisa melalui
suatu media sesuai dengan apa yang dirasakan dan dengan suatu bentuk keindahan
(Kayam, 1981: 15). Menurut Ki Hajar Dewantara, seni adalah segala perbuatan
manusia yang timbul dari perasaannya dan bersifat indah sehingga mampu
menggerakkan jiwa serta perasaan manusia tersebut (Soedarso, 1990: 1-2). Jadi,
seni adalah karya manusia yang mengkomunikasikan pengalaman-pengalaman batinnya
yang disajikan secara indah atau menarik sehingga menimbulkan pengalaman batin
kepada manusia laim yang menghayatinya (Soedarso, 1990: 5). Secara umum,
kesenian dapat dipahami dan dimaknai sebagai refleksi kehidupan manusia yang
dituangkan ke dalam ekspresi. Jika setiap manusia mempelajari jejak-jejak
peninggalan masa lalu, maka akan diperoleh gambaran bahwa kesenian itu tumbuh
dan berkembang sejajar dengan perkembangan kehidupan manusia di muka bumi ini (Oktyawan,
S.D., 2014: 12). Sedangkan, Reog adalah seni pertunjukan masyarakat Jawa yang
di dalamnya terdapat unsur-unsur (meliputi tari, drama, dan musik). Jadi,
kesenian Reog adalah kesenian berupa tarian yang dimainkan oleh sekelompok
orang dimana ada yang membawa dhadhak
merak, pemain jathil, penabuh gamelan, dan kelompok senggakan dan kesenian ini dibawakan dengan sangat dinamis dan
riang (Lisbijanto, H., 2013: 1).
Sejarah
dan asal mula munculnya kesenian Reog Ponorogo sendiri secara garis besar
dimana terdapat tiga versi, yaitu :
1. Legenda
versi Bantarangin.
Legenda ini menceritakan tentang seorang
raja Kerajaan Bantar Angin yang bernama Prabu Klana Sewandana dan karena
ketampanannya dijuluki Klana Bagus bermimpi bertemu dengan seorang putri cantik
yang membuatnya jatuh hati. Prabu Klana menceritakan mimpi tersebut kepada para
penasehatnya untuk mempersunting putri tersebut. Sehingga, para penasehatnya
melakukan pencarian terhadap putri tersebut dan ternyata putri dari Kerajaan
Daha, Kediri bernama putri Sanggalangit. Kemudian, raja mengutus patihnya yang
bernama Klana Wijaya alias Pujangga Anom alias Bujangganong untuk melamar putri
Sanggalangit ke Kerajaan Daha. Setelah patih menghadap raja Daha dan kemudian
raja menanyakan kepada putrinya atas lamaran Bantar Angin dan putri
Sanggalangit bersedia dengan beberapa syarat (bebana), yaitu pertama ingin
diciptakan suatu tontonan yang belum ada di dunia ini, kedua putri meminta
hewan-hewan seisi hutan untuk mengisi Taman Sari Kerajaan Kediri (dimana salah
satunya adalah seekor hewan yang terdiri dari dua jenis hewan tetapi satu
tubuh). Sesampainya di Kerajaan Bantar Angin, patih Klana Wijaya melaporkan
hasil perjalanannya dan laporan tersebut membuat Klana Sewandana sangat marah
karena syarat tersebut tidak masuk akal dan tidak mungkin terpenuhi. Tetapi
kemarahan raja ditepis oleh patihnya dengan sebelumnya sudah mempersiapkan
segala sesuatu yang menjadi syarat untuk melamar putri Sanggalangit. Kemudian,
berangkatlah Prabu Klana Sewandana dengan diiringi 144 pasukan berkuda yang
semuanya berwajah tampan ke Kerajaan Kediri. Beliau juga membawa seperangkat
gamelan berupa gong, kempul, kenong, kendang, angklung, dan slrompet
(terompet). Gamelan tersebut ditabuh sepanjang perjalanan mengiringi langkah
raja dan pasukan berkuda.
Di Kerajaan Kediri sendiri, patih
Singalodra alias Singabarong diam-diam juga jatuh hati kepada Putri
Sanggalangit sehingga beliau berusaha menggagalkan niat Prabu Klana Sewandana
untuk melamar putri Sanggalangit dengan cara menghadang perjalanan Prabu Klana
Sewandana dan rombongannya dan di tengah perjalanan berhasil dihadang oleh
patih Singalodra dan meminta agar lamaran tersebut dibatalkan. Prabu Klana
Sewandana menolak hal tersebut dan terjadilah perang. Satu persatu pasukan dari
kedua belah pihak tersebut gugur dan pada akhirnya perang tersebut dimenangkan
oleh Prabu Klana Sewandana berkat kesaktian senjata pusaka yang berupa pecut
(cambuk) Samandiman, yaitu sebuah
pusaka sakti yang mampu membelah gunung dan menguras samudra. Selain dibantu pasukan
berkuda, Prabu Klana Sewandana juga dibantu oleh patih Klana Wijaya dimana
patih tersebut dapat berubah wujud menjadi burung merak yang selalu
mengembangkan ekor indahnya sedangkan pada saat pertempuran patih Singalodra
berubah wujud menjadi macan. Karena patih Singalodra kalah, rombongan Raja
Bantar Angin mengarak patih Singalodra yang masih berwujud manusia dengan
kepala macan ke Kerajaan Kediri dengan tetabuhan yang dibawa dari Bantar Angin,
beberapa pengiring lain yang disebut dengan “Warok”, pasukan berkuda berwajah
tampan. Wujud patih Singalodra yang berwajah macan dinilai beberapa orang
sebagai asal muasal dari kesenian Reog karena konon istilah Reog berasal dari
kata reyog atau riyeg yang berarti kondisi bangunan yang hampir roboh. Sedangkan, suara
gamelan pengiring reog yang riuh diartikan sebagai “bata rubuh” (batu bata yang akan runtuh).
2. Legenda
versi Ki Ageng Kutu Suryangalam atau Demang Kutu
Menurut versi ini, sejarah Reog dimulai
dari adanya tombak yang bernama Kyai Tunggul Naga yang tombak pusaka tersebut
dulu dimiliki oleh Ki Ageng Suryangalam yang menjadi demang di Kutu.
Sebelumnya, beliau adalah seorang pujangga istana Majapahit yang pergi
meninggalkan istana Majapahit karena kecewa dengan pernikahan Prabu Brawijaya V
dengan Putri Cempa dan juga kecewa dengan pernikahan karena nasihat-nasihatnya
untuk menata negeri Majapahit tidak didengar oleh sang raja. Hal tersebut
membuat sikap Demang Suryangalam tidak patuh kepada raja membuat Prabu
Brawijaya V sangat marah dimana beliau memerintahkan salah seorang puteranya
yang bernama Raden Batara Katong untuk menangkap Demang Suryangalam. Terjadilah
pertempuran yang sengit antara pasukan Demang Suryangalam dengan pasukan Raden
Batara Katong dimana keduanya mempunyai kesaktian yang imbang. Pada akhirnya,
Raden Raden Batara Katong berhasil mengalahkan Demang Suryangalam. Kemudian
Raden Batara menguasai daerah Kutu dan juga merampas tombak Kyai Tunggul Naga
yang berasal dari Tuban. Tombak tersebut dulunya merupakan pusaka Adipati
Tuban, Ranggalawe. Tetapi, ada juga yang mengatakan bahwa tombak Kyai Tunggul
Naga diperoleh Raden Batara Katong dari hasil semedi selama beberapa hari di
sebuah tanah lapang tanpa rumput sehelai pun yang disebut ara-ara di daerah Wengker. Dalam persemediannya, Raden Batara
Katong ditemani oleh Ki Ageng Mirah, Patih Seloaji, dan Jayadipa dan dari
semedi tersebut beliau mendapatkan tombak Kyai Tunggul Naga, payung dan sabuk
yang selanjutnya menjadi pusaka Raden Batara Katong. Menurut tokoh-tokoh muslim
tradisional, Batara Katong tidak lain adalah peletak dasar kekuasaan politik di
Ponorogo dan lebih dari itu beliau adalah seorang pengemban misi dakwah Islam
pertama dan bagi masyarakat Ponorogo, Batara Katong adalah tokoh dan penguasa
yang paling melegenda dimana sampai saat ini Batara Katong adalah simbol
kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa di daerah ini dari
waktu ke waktu.s
3. Legenda
versi Batara Katong.
Sebagian besar masyarakat Ponorogo
khususnya para santri meyakini bahwa Batara Katong adalah penguasa pertama
wilayah Ponorogo yang sekaligus penyebar agama Islam di Ponorogo. Batara Katong
alias Lembu Kanigoro adalah salah seorang putra Raja Majapahit Prabu Brawijaya
V dari selir, yaitu Putri Campa yang beragama Islam. Perkawinan Prabu Brawijaya
V dengan Putri Cempa menimbulkan keresahan di kalangan petinggi dan keturunan
Raja Majapahit. Disambung dengan legenda versi Demang Kutu, hilangnya Ki Ageng
Kutu menjadi tanda kemenangan Batara Katong sementara bagi pengikut Ki Ageng Kutu
dianggap sebagai hari naas. Menghilangnya Ki Ageng Kutu menurut cerita
merupakan sebuah gunung yang selanjutnya disebut sebagai Gunung Bacin di daerah
Bungkal dan untuk meredam amarah dari pengikut Ki Ageng Kutu, maka Batara
Katong mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu sudah moksa
dan akan terlahir kembali di kemudian hari. Kemudian. Batara Katong menyatakan
bahwa dirinya tidak lain adalah batara
(manusia setengah dewa) sehingga Batara Katong mengukuhkan dirinya menjadi
penguasa Ponorogo dan mendirikan istana di wilayah ini. Pada tahun 1486 Batara
Katong memerintahkan membuka hutan untuk perluasan pemukiman dan membuka lahan
pertanian dengan bantuan para Warok dan prajurit Wengker.
Batara Katong kemudian membangun istana dan
membawa permaisurinya, yaitu Niken Gandini dan Kadipaten baru ini dinamakan
Prana Raga yang diambil dari Babad Pramana Raga dimana masyarakat menyebutnya
Ponorogo (terdiri dari kata pono yang
berarti wasis, pinter, mumpuni, dan raga
berarti jasmani). Sedangkan, para punggawa, petinggi, dan anak cucu Batara
Katong mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam
yang dalam penyebarannya tersebut di wilayah ini Batara Katong yang menjadi
figur ideal, penguasa, sekaligus ulama. Kemuadian beliau dikenal sebagai
Adipati Sri Batara Katong yang membawa kejayaan bagi Ponorogo saat itu. Kejayaan
tersebut dapat dilihat dari adanya prasasti berupa sepasang batu gilang yang
terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batara Katong dimana pada
batu tersebut tertulis candrasengkala
mamet berupa gambar manusia, pohon, burung garuda, dan gajah (dalam simbol
sansekerta identik dengan angka 1418 Saka yang berarti tahun 1496). Pada batu
tersebut ditemukan hari wisuda Batara Katong sebagai Adipati Kadipaten
Ponorogo, yaitu pada hari Ahad Pon tanggal 1 bulan besar, Tahun 1418 Saka, atau
tanggal 1 Dzulhijah 901 H. Sehingga, pada tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai
Hari Jadi Kabupaten Ponorogo (Lisbijanto, H., 2013: 2-10).
Dari ketiga versi tersebut, muncul banyak
perdebatan mana cerita asal muasal yang benar tentang kesenian Reog Ponorogo. Cerita
terciptanya kesenian Reog Ponorogo pada dasarnya adalah sebuah narasi dan dalam
penataan pengalaman maupun sebuah konstruksi dunia tidak akan pernah ditemukan
satu cerita yang tunggal atau total tetapi multivokal. Dalam cerita asal muasal
kesenian Reog Ponorogo sendiri terdapat dua versi besar, yaitu : versi cerita
Bantar Angin dan versi Batara Katong. Sehingga dalam memahami pertentangan
antara yang asli dengan rekaan perlu dikaji kembali karena mungkin didalamnya
tersembunyi kepentingan tertentu dan hal tersebut memang biasanya terjadi dalam
masyarakat dan kebudayaan tertentu serta hal tersebut tidak lepas dari
kekuasaan (baik pengetahuan atau rezim kebenaran) (Fauzannafi, 2005, 81-83).
Dalam kesenian Reog terdapat beberapa
peralatan yang digunakan dalam pertunjukan, yaitu :
1. Dhadhak
Merak atau bisa disebut dengan Barongan merupakan peralatan utama yang
menggambarkan burung merak dengan ekor mengembang dan berkepala macan yang
dimainkan oleh seorang pria dengan tubuh kuat dan peralatan ini dipakai sebagai
topeng. Cara memainkannya adalah pemain harus menggigit bagian topeng yang
bobotnya sekitar 50 kilogram.
2. Gamelan
yang terdiri dari gong (sebagai tanda berkumpul), slompret/terompet kecil (tanda kegiatan sudah berjalan membuat
suasana riang), kethuk dan kenong (tanda ada pengumuman), kendang dan ketipung
(tanda penentu gerak), dan angklung (sebagai ritme).
3. Jaran
kepang/eblek merupakan kuda-kudaan yang terbuat dari bambu dan cara
pemakaiannya dengan dijepit di paha pemain dan dipegangi kepalanya.
4. Topeng
Ganongan dimana dipakai oleh seorang pemain yang berfungsi sebagai penggoda
reog. Topeng ini biasanya disebut dengan Topeng Pentul.
5. Pecut
(Cambuk) dimana alat ini biasanya disabetkan dengan keras yang mengeluarkan
bunyi nyaring dengan panjang pecut sekitar tiga meter.
Selain peralatan kesenian Reog, kesenian
ini juga membutuhkan para pemain yang mempunyai fungsi masing-masing, yaitu :
1. Barongan
(Dhadhak Merak) yang bertugas memainkan topeng dhadhak merak dengan terampil
dan luwes sehingga enak dipandang.
2. Jathil
Cilik, yaitu penari yang memerankan penunggang kuda dan berhias seperti
pemuda-pemuda tampan yang mahir menunggang kuda dengan memakai jaran kepang.
Pemain biasanya berumur 10-12 tahun dan berjumlah empat orang.
3. Jathil
Dewasa, yaitu penari yang menggambarkan pasukan kerajaan yang tampan dengan
menari tanpa jaran kepang, mengenakan celana tanggung berhias sulaman dan
manik-manik warna emas. Pemain biasanya berumur antara tahun 18-20 tahun dan
berjumlah empat orang.
4. Klana
Sewandana, yaitu penari dengan tarian yang menggambarkan sosok raja dari
Kerajaan Bantar Angin (sebuah kerajaan yang merupakan cikal bakal kota
Ponorogo).
5. Warok,
yaitu pemain yang memakai pakaian khas Ponorogo, memiliki tampang yang terkesan
gagah, garang dengan kumis melintang, dan selalu membawa tali besar berwarna
putih. Warok sendiri menggambarkan para pengawal Raja Klana Sewandana.
6. Pujangganong
atau Bujangganong adalah penari yang menggambarkan sosok patih muda yang
cekatan, cerdik, jenaka, dan sakti. Penarinya tidak memakai baju, hanya menggunakan
rompi warna merah dan topeng warna merah juga.
7. Senggakan,
yaitu pengiring reog yang bertugas dalam memberikan semangat kepada pemain agar
menari lebih semangat dan terdiri dari 5-10 orang dengan mengeluarkan teriakan
semangat “Hok’e..., hok’e...”.
8. Pengrawit,
yaitu penabuh gamelan pengiring reog yang terdiri dari beberapa orang dan
masing-masing memegang alat musik sendiri-sendiri yang dipandu oleh dalang reog
atau pemimpin rombongan. Pakaian yang digunakan adalah pakaian khas Ponorogo
(Lisbijanto, H., 2013: 10-19).
Berdasarkan bentuk dan konteks pementasan
reog, masyarakat Ponorogo membagi bentuk pertunjukan reog menjadi dua, yaitu
Reog Festival (Reog Kabupaten) dan Reog Obyogan (Reog Desa). Reog Festival
biasanya dipentaskan dalam acara-acara resmi dan formal seperti Festival Reog
Nasional (FRN), penyambutan tamu pemerintah, dan lain-lain. Sedangkan, Reog
Obyogan biasanya ditanggap atau diadakan oleh individu, keluarga, atau desa
dalam acara-acara khusus seperti pernikahan, khitanan (sunatan), slametan, atau
bersih desa. Nama “Obyogan” atau disebut juga dengan “Gambyongan” adalah
sebutan bagi salah satu bagian dari pertunjukan reog dalam tanggapan desa-desa
yang menampilkan tarian dan penari Jathil secara bebas. Pada Reog Obyogan
biasanya penonton ikut berjoget atau menari dengan para Jathil. Dalam pentas
Reog Obyogan selain barongan penari Jathil mendapat posisi sentral dalam
pertunjukan.
Berikut
merupakan tabel perbedaan antara Reog Festival dengan Reog Obyogan :
No.
|
Keterangan
|
Reog
Festival (Kabupaten)
|
Reog
Obyogan (Desa)
|
1.
|
Ruang Pentas
|
Stage (panggung)
|
Jalan, halaman
berpindah-pindah (arak-arakan).
|
2.
|
Pola Gerak
|
Standar
|
Improvisatoris
|
3.
|
Sponsor
|
Lembaga pemerintahan
(kadang bekerja sama dengan perusahaan swasta).
|
Rumah tangga, desa.
|
4.
|
Kelengkapan Unsur
Tarian
|
Tetap (lengkap)
|
Tergantung pesanan
(seringkali tidak lengkap).
|
5.
|
Cerita dan Urutan
|
Mempresentasikan cerita
tertentu (asal-usul terjadinya reog), urutan jelas dan tetap.
|
Tidak mempresentasikan
cerita tertentu, tanpa urutan yang jelas dan tetap.
|
6.
|
Tingkah Laku Penonton
dan Pemain
|
Sopan, pasif.
|
Mabuk, seronok, aktik.
|
7.
|
Suasana Pertunjukan
|
Formal
|
Gayeng, tidak formal.
|
8.
|
Penonton
|
Semua golongan
|
Sebagian besar adalah
lelaki golongan Tyang Ho’e.
|
9.
|
Ideologi
|
Nasional.
|
Kejawen.
|
(Fauzannafi,
Z.M., 2005: 105-108).
B.
Kebudayaan
Tradisi Grebeg Suro di Ponorogo
Sejarah munculnya tradisi Grebeg Suro
adalah didasarkan pada kebiasaan masyarakat di daerah ini yang pada setiap
malam satu Suro (penganggalan tahun Jawa) atau satu Muharram (memperingati
datangnya tahun baru Islam) melakukan tirakatan
atau berkumpul untuk berintropeksi bersama semalam suntuk yang salah satu
acaranya adalah berjalan-jalan mengelilingi kampung dan kota, kemudian
berkumpul bersama di alun-alun Ponorogo. Tradisi ini kemudian dikelola kebih
baik dimana pada tahun 1987 Pemerintah Kabupaten Ponorogo mewadahi tradisi
tersebut dalam sebuah acara, yaitu menyelenggarakan Grebeg Suro atas dasar
gagasan Bupati Ponorogo saat itu, yaitu Soebarkah Poetro Hadiwirjo. Sampai
sekarang, tradisi ini masih terus berjalan bahkan disempurnakan dan dikemas
lebih baik dan terbukti dari kegiatan ini membuat perekonomian masyarakat
Ponorogo semakin maju dan masyarakat Ponorogo dapat langsung menikmati hasil
dari kegiatan ini. Tradisi Grebeg Suro menjadi acara rutin tahunan yang
diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Ponorogo dan Grebeg Suro sendiri merupakan
acara tradisi budaya masyarakat yang berbentuk pesta rakyat dimana pesta
tersebut dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Tradisi ini menyajikan
berbagai jenis kesenian dan budaya yang berkembang di dalam masyarakat
Ponorogo. Acara tersebut meliputi Festival Reog Nasional, Pawai Lintas Sejarah
dan Kirab Pusaka, serta Larung Risalah Doa di Telaga Ngebel. Dalam acara
tersebut terdapat rangkaian acara seperti ziarah ke makam bupati pertama
Ponorogo, karnaval yang diikuti oleh ratusan orang (dari suatu tempat
bersejarah ke alun-alun atau pusat kota). Puncak acara ini adalah Festival Reog
Nasional yang diadakan di alun-alun kota dan diikuti oleh puluhan grup kesenian
Reog dari berbagai kota di Indonesia yang nantinya akan menampilkan permainan
terbaik sehingga dapat menghibur masyarakat yang menonton festival (Lisbijanto,
H., 2013: 47-49).
Salah satu acara dalam tradisi ini adalah
adanya tradisi Larung Risalah Doa sebagai penutup rangkaian acara Grebeg Suro
dan Festival Nasional Reog Ponorogo (FNRP) dengan larungan sesaji “Buceng
Agung” (tumpeng raksasa) di Telaga Ngebel. Terdapat dua Buceng Agung dimana
yang satu berisi nasi merah lengkap dengan sayur, telur dan ingkung ayam dan
satunya lagi berisi buah-buahan dan hasil bumi lainnya. Bahan utama Buceng
Agung ini adalah beras merah dimana warna merah jika difilosofikan berarti
berani menghadapi permasalahan apa saja. Nama Larung Risalah Doa sendiri
sebelumnya adalah nama Larung Sesaji. Tetapi karena makna kegiatan ini seolah-olah
kental dengan nuansa magis dan cenderung musyrik, maka nama tersebut diganti.
Namun, lagi-lagi nama tersebut kurang pas sehingga namanya diganti dengan nama
yang tidak banyak mengundang makna macam-macam dan maknanya diserahkan ke
masing-masing warga tanpa memandang agama, aliran, atau apapun. Acara tersebut diawali
dengan tarian oleh sejumlah gadis yang masih berstatus perawan dan sebelumnya
Buceng Agung diarak keliling Telaga Ngebel. Acara larung sesaji ini diadakan
sebagai wisata alam dan peningkatan pendapatan asli daerah (terbukti telah
banyak berdiri penginapan ataupun hotel yang selalu penuh dengan pengunjung,
banyaknya warung, dan parkir). Selain itu juga sebagai wujud rasa syukur
masyarakat Ngebel pada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan harapan masyarakat Ngebel
aman tidak ada halangan apapun. Acara ini telah digelar secara rutin sejak
tahun 1993. Hal tersebut didasari seringnya orang kecelakaan dan tenggelam
sehingga diadakanlah larung sesaji ini semata-mata atas ridho Allah SWT (Ponorogo,
Kanal. 2016, (Online)).
Acara ini menjadi perhatian masyarakat
sekitar maupun wisatawan lokal. Tumpeng berisi nasi merah dilarung ke tengah
telaga dan tumpeng berisi hasil bumi dijadikan rebutan. Sebelumnya kedua
tumpeng tersebut diarak sejauh lima kilometer. Telaga tersebut terkenal dengan
tempat wingit atau angker seperti yang dijelaskan di atas. Upacara adat
larungan sesaji ini dilakukan menjadi dua bagian dimana yang pertama dilakukan
malam hari menjelang 1 Suro dengan awalan menyembelih kambing kendhit dan
diarak mengelilingi telaga. Saat mengarak, salah satu sesepuh akan berhenti di
setiap penjuru telaga (penjuru utara, selatan, timur, dan barat) untuk menanam
kaki kambing yang disembelih sebagai cok bakal atau sesajian. Pengarakan
berakhir di depan dermaga telaga dan saat di depan telaga dilakukan penanaman
kepala dan darah kambing serta pelarungan buceng alit (alat-alat sesajian) dan
pitik abang (ayam merah). Pada bagian kedua dilakukan pada pagi hari dimana
prosesinya sama dengan yang pertama bedanya hanya pada obyek yang dilarungkan,
yaitu diawali dengan pengarakan Buceng Agung nasi merah dengan Buceng Agung
buah sayuran (hasil bumi). Buceng Agung nasi merah dilarungkan ke tengah
telaga. Sedangkan, Buceng Agung buah sayuran (hasil bumi) diperebutkan oleh
para pengunjung. Beberapa piranti dalam larung sesaji memiliki makna
masing-masing, yaitu :
a. Gunugan
lambang Gunung Wilis karena Ngebel berada di lereng Gunung Wilis.
b. Gunung
Ageng simbol kebesaran Tuhan.
c. Gunungan
Buah dan Sayur simbol ungkapan rasa syukur warga Ngebel kepada Tuhan atas hasil
buminya.
d. Buceng
Alit, yaitui kata buceng nyebuto sing kenceng (sadarlah).
e. Tumpeng
beras abang simbol kesuburan Ngebel dan simbol keberanian terhadap kebenaran.
f.
Pitik (Ayam) Abang (merah)
simbol keihklasan berkorban.
g. Kambing
kendhit simbol kendhitan yaitu manusia yang suka mengumbar hawa nafsu agar
dikekang, kaki kambing lambang tolak balak, kepala kambing lambang simbol
jangan sampai besar kepala (sombong) karena semua akan kembali ke bumi.
h. Cok
bakal lambang asal muasal manusia (Harian, Surya. 2014, (Online)).
C.
Aspek
Nilai Dan Karakter Bangsa dalam Kesenian Reog Ponorogo
Karakter sendiri sebagai sistem daya juang
yang meliputi daya dorong, daya gerak, daya hidup, dan berisi tata nilai kebajikan
moral yang tertanam dalam diri manusia. Karakter memungkinkan perusahaan atau
individu untuk mencapai pertumbuhan yang berkesinambungan karena karakter
memberikan konsistensi, integritas, dan energi. Jenis manusia sendiri ada yang
tangguh dan ada yang lemah dimana manusia yang tangguh akan selalu
menyempurnakan diri walau menghadapi tekanan. Sedangkan manusia yang
berkarakter lemah cenderung pasrah kepada nasib atau kondisi yang ada
(Hidayatullah, F. 2010: 15). Dalam hal ini, kesenian Reog dapat dipakai sebagai
upaya membangun karakter bangsa dimana dapat direfleksikan ke dalam nilai
nasionalisme dan patriotisme. Nilai-nilai dalam kesenian Reog sesuai dengan
nilai-nilai dalam Pancasila, yaitu :
1. Kepercayaan
sesuai dengan nilai ketuhanan.
2. Nilai
kepribadian sesuai dengan nilai kemanusiaan.
3. Nilai
hiburan dan pertunjukan sesuai dengan nilai persatuan.
4. Nilai
sosial atau kerukunan sesuai dengan nilai kerakyatan.
5. Nilai
kesejarahan dan kelestarian sesuai dengan nilai keadilan.
Tokoh Warok menjadi kebanggaan masyarakat
Ponorogo dalam kesenian Reog karena berperan sebagai pemeran utama dimana dalam
mata masyarakat Warok dianggap sebagai manusia berkualitas dan mempunyai
kelebihan dibanding anggota masyarakat lain. Tokoh Warok juga terlihat
menyeramkan dan angker sehingga disegani oleh musuh-musuhnya. Jadi, tokoh Warok
merupakan tokoh utama dan sentral dalam kesenian Reog (baik pertunjukan maupun
latihan). Jika hal tersebut dikaitkan dengan nilai-nilai kesenian Reog, maka
sesuai dengan sifat tokoh-tokoh Reog seperti Warok, Klana, Jathil, dan Barongan
akan memunculkan lima kebijakan esensial dan kelima sifat tersebut merupakan
refleksi dan refleksi tersebut adalah :
a. Refleksi
dari nilai-nilai kepahlawanan sebagai upaya membangun karakter bangsa dapat
dilihat dari pengorbanan Tokoh Warok dimana dapat kita refleksikan bahwa
seorang pahlawan adalah bersedia mengorbankan jiwa dan raga tanpa mengharap
jasa atau tanpa pamrih serta seorang pahlawan akan mendahulukan kewajiban
daripada menuntut apa yang menjadi haknya.
b. Refleksi
dari nilai-nilai kewiraan dalam upaya membangun karakter bangsa, yaitu sifat
pemberani dan pantang menyerah dimana seorang kesatria mempunyai sifat utama di
atas selain berkorban untuk sesama. Selain itu juga, seorang kesatria harus
berani mengambil resiko dan pantang menyerah dalam meraih cita-cita perjuangan.
c. Refleksi
dari nilai-nilai superioritas yang meliputi sifat lebih atau linuwih dimana daya linuwih mengandung makna sebagai sifat yang dimiliki oleh seorang
yang lebih unggul dibandingkan dengan sifat-sifat manusia kebanyakan.
d. Refleksi
dari nilai-nilai kepribadian yang meliputi sifat anti kekerasan dan tangguh
(baik tangguh secara fisik maupun non fisik).
e. Refleksi
dari nilai-nilai moral yang berupa sifat keteladanan dimana sifat ini harus dimiliki
oleh seorang kesatria. Intinya seorang kesatria harus mempunyai moral dan dia
harus menjadi teladan bagi masyarakat sekitar (Lisbijanto, H., 2013: 45-47).
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan materi di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa :
1. Asal
munculnya kesenian Reog di Ponorogo secara garis besar mempunyai tiga versi
cerita yang berbeda, yaitu dari legenda versi Bantar Angin, legenda versi Ki
Ageng Kutu Suryangalam atau dikenal dengan nama Demang Kutu, dan legenda versi
Batara Katong.
2. Tradisi
Grebeg Suro merupakan acara kesenian yang dilakukan secara rutin setiap satu
tahun tepatnya setiap tanggal 1 Muharram atau 1 Suro (penanggalan tahun Jawa).
Bagian dari acara ini adalah adanya Reog Festival yang diadakan pemerintah
kabupaten dan sebagai acara penutup diakhiri dengan tradisi larung sesajen atau
yang dinamakan dengan sebutan “Tradisi Larung Risalah Doa” di Telaga Ngebel.
3. Nilai-nilai
kesenian Reog Ponorogo juga bisa direfleksikan ke dalam nilai-nilai Pancasila
(baik nilai nasionalisme dan patriotisme) maupun nilai-nilai lainnya.
B.
SARAN
Semoga
makalah ini berguna untuk kedepannya dan penulis sangat mengharapkan adanya
kritik dan saran agar nantinya dalam pembuatan makalah selanjutnya terjadi
kemajuan yang berarti. Terima kasih.
DAFTAR RUJUKAN
Achmadi, Asmoro. 2014. Aksiologi Reog Ponorogo
Relevansinya dengan Pembangunan Karakter Bangsa. TEOLOGIA, 25 (1). (Online), (journal.walisongo.ac.id/index.php/teologia/article/download/336/305),
diakses tanggal 5 Oktober 2016.
Fauzannafi, Z.M. 2005. Reog Ponorogo, Menari di Antara Dominasi dan Keragaman. Yogyakarta:
Kepel Press.
Furqon Hidayatullah. 2010. Pendidikan Karakter:
Membangun Per-adaban Bangsa. Surakarta: Yuma Pustaka Hidayatullah.
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat.
Jakarta: Sinar Harapan.
Lisbijanto, Herry. 2013. Reog Ponorogo. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Oktyawan, S.D. 2014. Makna Simbolik Upacara Ritual dalam Kesenian Reog Ponorogo di Desa
Kauman, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo. Skripsi tidak diterbitkan.
Yogyakarta: Bahasa dan Seni UNY.
Ponorogo, Kanal. 2016. Ribuan Wisatawan Lokal hingga Manca Padati Larung Telaga Ngebel,
(Online), (http://kanalponorogo.com/ribuan-wisatawan-lokal-hingga-manca-padati-larung-telaga-ngebel/),
diakses tanggal 5 Oktober 2016.
Soedarso, S.P. 1990. Tinjauan Seni Sebuah Pengantar
untuk Apresiasi Seni. Yogyakarta:
Saku Dayar Sana.
Surya, Harian. 2014. Larung Sesaji Telaga Ngebel Menarik Wisatawan Berkunjung, (Online),
(http://surabaya.tribunnews.com/2014/10/25/larung-sesaji-telaga-ngebel-menarik-wisatawan-berkunjung),
diakses tanggal 5 Oktober 2016.
LAMPIRAN

Gambar
1 : Dhadhak Merak


Gambar 2 : Tradisi Larung Risalah Doa di Telaga Ngabel, Ponorogo.
Sumber :
1.
Gambar 1 :
roby08darisandi_ritualponorogo.jpg.
2.
Gambar 2 : kanalponorogo.com.
Komentar
Posting Komentar