KEBIJAKAN PANGAN MASA ORDE BARU: REVOLUSI HIJAU DAN POLITIK EKONOMI PERBERASAN DI INDONESIA (1967-1998)


KEBIJAKAN PANGAN MASA ORDE BARU:
REVOLUSI HIJAU DAN POLITIK EKONOMI PERBERASAN
DI INDONESIA (1967-1998)


MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Perekonomian
yang dibina oleh Bapak Drs. H. Kasimanuddin Ismain, M. Pd.


Oleh
Kelompok 10 – Offering B/2013
Ahmad Rofiqi                         (130731615717)
Imam Ropi’i                            (130731615726)
Masayu Permahati                  (130731607290)
Yuliarti Kurnia P.Selli            (140731606196)



           










UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
November 2015


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI..................................................................................................... i
BAB I PETA KONSEP.................................................................................... 1

BAB II PENDAHULUAN............................................................................... 2
2.1 Latar belakang................................................................................. 2
2.2 Rumusan masalah............................................................................ 2
2.3 Tujuan.............................................................................................. 3
BAB III PEMBAHASAN................................................................................ 4
3.1 Kebijakan Revolusi Hijau pada subsektor beras pada Masa Orde Baru 4
3.2 Peran Bulog dalam menjalankan Politik Ekonomi Perberasan pada Masa Orde baru     9
3.3 Dampak Positif dan Negatif Kebijakan Pangan Pada Masa Orde Baru 13

BAB IV PENUTUP.......................................................................................... 22
4.1 Kesimpulan...................................................................................... 22
4.2 Saran................................................................................................ 23
DAFTAR RUJUKAN....................................................................................... 24


BAB I
PETA KONSEP
Peta Konsep.jpg


BAB II
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi merupakan hal yang penting dari pembangunan nasional dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang pada Masa Orde Baru dikuatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) (Tambunan, 2003:39). Sebagai konstitusi, UUD 1945 juga mengatur tentang peran pemerintah yang mengatur politik ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Sistem ekonomi Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 33 berisi tentang politik perekonomian untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Kemudian pasal 34  serta pasal 27 ayat (2) menyebutkan tentang kesejahteraan sosial seluruh rakyat. Kesejahteraan sosial meyangkut pemenuhan kebutuhan material yang harus diatur dalam organisasi dan sistem ekonomi yang berdasarkan kekeluargaan (Mubyarto, 1989:16).
Kebutuhan material masyarakat salah satunya yaitu kebutuhan pangan. Bahan pangan utama di Indonesia adalah beras bahkan sebelum Indonesia merdeka. Stamford Raffles (1818) menyebutkan  bahwa “Pulau Jawa adalah tanah pertanian yang besar; tanahnya merupakan sumber harta kekayaan yang besar...beras merupakan bahan pangan utama seluruh lapisan penduduknya serta bahan pokok pertanian...” (Arifin, 1994:5). Pernyataan Raffles tersebut masih relevan pada Masa Orde Baru ketika beras masih merupakan makanan pokok yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Selama Repelita I dan II beras menyediakan 52-54% konsumsi kalori dan sekitar 70% kalori makanan berpati dalam makanan sehari-hari (Mears, 1982:59).
            Kondisi ekonomi dalam perjalanan sejarah Indonesia mengalami naik-turun (fluktuasi). Setelah tahun 1965 terjadi kondisi sosial-politik-ekonomi di Indonesia karena terjadi ketidakstabilan politik. Inflasi mencapai 650%, jumlah uang beredar melonjak lima kali lipat, serta persediaan beras semakin menipis yang menyebabkan krisis pangan. Kelangkaan beras di pasaran mengancam stabilitas politik. Beras menjadi indikator utama stabilitas nasional secara politik dan ekonomi sehingga diperlukan peran (intervensi) pemerintah untuk mengatur pangan (Arifin, 1994:1-5).
            Krisis ekonomi tersebut dapat diatasi karena menjelang akhir tahun 1970-an Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat karena keberhasilan melaksanakan kebijakan pangan terutama kebijakan beras dan pembangunan ekonomi (Mears & Moeljono, 1981:29). Indonesia mengalami pertumbuhan perekonomian yang pesat hinggal awal 1980-an. Dari tahun 1971 sampai 1981, tingkat pertumbuhan tahunan Produksi Domestik Bruto (PDB) berkisar pada 7,7% (Ricklefs, 2005:594). Bahkan  Arifin (1994:6) menyatakan pada tahun 1984 Pemerintah RI menyatakan telah mencapai swasembada beras, berarti telah terpenuhinya kebutuhan beras bagi masyarakat Indonesia dari hasil produksi dalam negeri.
Permasalahan tentang beras, tentang kebijakan, produksi, politik ekonomi perberasan serta revolusi hijau sampai mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut dapat makalah ini yang berjudul “Kebijakan Pangan Masa Orde Baru: Revolusi Hijau dan Politik Ekonomi Perberasan di Indonesia: (1967-1998)”.

1.2 Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.2.1 Bagaimana Kebijakan Revolusi Hijau pada subsektor beras pada Masa Orde Baru?
1.2.2 Bagaimana Peran Bulog dalam menjalankan Politik Ekonomi Perberasan pada Masa Orde baru?
1.2.3 Bagaimana Dampak Positif dan Negatif Kebijakan Pangan Pada Masa Orde Baru?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalag, tujuan penulisan makalah  ini adalah:
1.3.1 Menjelaskan Kebijakan Revolusi Hijau pada subsektor beras pada Masa Orde Baru.
1.3.2 Menjelaskan Peran Bulog dalam menjalankan Politik Ekonomi Perberasan pada Masa Orde baru.
1.3.3 Menjelaskan Dampak Positif dan Negatif Kebijakan Pangan Pada Masa Orde Baru.


BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kebijakan Revolusi Hijau pada subsektor beras pada Masa Orde Baru
            Pangan merupakan permasalahan serius dan stategis. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat ditunda pemenuhannya. Pelemahan pangan akan berpengaruh pada ketahanan nasional. Kekurangan pangan sangat terkait dengan masalah kemiskinan, pemerataan kesejahteraan, dan status gizi masyarakat. Sebaliknya jika penyediaan pangan yang cukup akan memberikan pengaruh positif bagi pembangunan suatu negara (Amang, 1995:3-4).
            Komitmen Pemerintah Orde Baru adalah memperbaiki kesejahteraan rakyat, terutama menyangkut pemenuhan kebutuhan pokok yaitu beras (Amang, 1995:5). Beras merupakan bahan pangan pokok di Indonesia yang juga memiliki peran penting sebagai “barang jaminan” atau wage good dalam perekonomian (Roesad, 1995:720). Arah pembangunan pertanian sejak awal pemerintahan Presiden Soeharto ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan teruatama beras supaya kebutuhan pangan rakyat terpenuhi sehingga impor beras yang tinggi dapat dikurangi. (Esje & Daniel, 1998:1).
            Berbicara mengenai Kebijakan Pangan pada Masa Orde Baru tentunya juga menyangkut peraturan resmi yang dibuat pemerintah dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa “Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman”.
            Kemudian pada pasal 45 ayat (1) menyebutkan bahwa “Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan ketahananpangan”. Serta pasal 45 ayat (2) menyebutkan “Dalam rangka mewujudkan ketahan pangan, sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat”.
            Telah sebutkan dalam pasal 45 bahwa rakyat dan pemerintah bersama-sama untuk mewujudkan ketahanan pangan. Tentunya Pemerintah telah membuat suatu kebijakan dan strategi untuk dapat mencapai ketahanan pangan yang dicita-citakan tersebut dibentuk kebijakan “Revolusi Hijau” yang mengadobsi kebijakan revolusi hijau dari negara Barat (Esje & Daniel, 1998:1). Secara sempit, Revolusi Hijau menurut Esje & Daniel (1998:1).dimaknai sebagai:

Pola pertanian intensif dengan paket teknologi modern yang dicirikan oleh penggunaan input eksternal yang tinggi –seperti: pupuk an-organik, pestisida kimia, dan benih varietas unggul (hasil pemuliaan)- pemanfaatan insfrastruktur penunjang –seperti: sistem irigasi dan permodalan (kredit) dalam skala besar- serta penerapan mekanisasi pertanian dalam pengolahan tanah dan penanganan  pasca panen.

            Implementasi kebijakan revolusi hijau melalui sistem penyuluhan massal yang disebut “Bimbingan Massal” atau disingkat Bimas. Bimas menggunakan jenis pendekatan kelompok dengan mengutamakan pelayanan petani supaya dapat memenuhi sarana produksi serta biaya hidup selama masa produksi dalam bentuk kebijakan paket. Pemikiran tentang sistem bimbingan massal sebenarnya diawali sejak 1953 dalam wujud Demas (Demonstrasi Massal) yang diubah menjadi BIMAS pada 1965. Kemudian pada 1968 dikenal dengan Bimas Baru yang kemudian dikenal sebagai Inmas (Intensifikasi Pertanian) (Arifin, 1994:201).
            Demas pada musim tanam padi tahun 1963/1964 dirintis oleh IPB yang tentunya dengan Departemen Research Nasioanl dan Departemen Pertanian di daerah Kerawang, petani peserta Demas diberikan kredit oleh BRI. Panca Usaha tani mulai diterapkan pada masa ini yang meliputi: a) Penggunaan bibit unggul, b) Pemupukan, c) Irigasi atau pengairan yang baik, d) Pemberantasan hama dan penyakit, e) Penerapan metode pengolahan tanah yang lebih baik. Kemudian sistem Panca Usaha Tani tersebut dijadikan metode dasar program intensifikasi Bimas (Mubyarto, 1987:128).
            Faktor pemberian kredit sangat penting selama penerapan revelusi hijau karena sistem Panca Usaha Tani mengarahkan penggunaan bibit unggul, kemudian untuk dapat memperoleh hasil yang baik bibit unggul tersebut perlu ditunjang penggunaan pupuk an-organik. Pupuk an-organik harus dibeli dengan uang, namun petani kecil tentunya kesulitan karena dampak inflasi masih dirasakan masyarakat akhirnya kebijakan kredit diberlakukan dalam Bimas (Mubyarto, 1987:133-134). Kemudian ada lagi bentuk peminjaman uang tunai dengan jumlah tertentu untuk keperluan biaya hidup (cost of living). yang dimaksudkan untuk menutupi biaya hidup petani dan keluarganya selama masa produksi (Mubyarto, 1987:128).
            Tidak semua petani dan daerah di Indonesia diberlakukan Bimas melainkan Inmas (Intensifikasi Massal). Inmas merupakan intensifikasi padi dengan fasilitas penyuluhan yang sama dengan Bimas namun tanpa adanya krediti bagi petani. Pemerintah Orde Baru pada awalnya memang tidak mampu untuk memberi kredit kepada semua petani, melainkan hanya sekitar 500.000 ha dari 1.000.000 ha yang dapat di-Bimas-kan, lainnya menggunakan Inmas (Mubyarto, 1987:134).
            Program Bimas mengalami beberapa kendala antara lain tidak lancarnya mekanisme pembeyaran petani dalam bentuk in-natura yaitu pembayaran kredit dengan bentuk gabah (lihat pada tabel 2.1). Lambatnya pengembalian kredit secara in-natura mengakibatkan impor gabah masih tinggi. Kemudian pihak asing yang digandeng Pemerintah Orde Baru bertindak kurang bijak karena cenderung membagikan insektisida buatan yang kurang disesuaikan dengan kondisi lingkungan pertanian setempat sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan contohnya matinya ikan di sungai. Kemudian adanya semacam paksaan untuk mengikuti program Bimas yang membuat banyak petani padi mengeluhkan kebijakan tersebut (Mears & Moeljono, 1981:40-41).

Tabel 3.1
Penyaluran Kredit Bimas dan Inmas Padi 1971/1972 sampai 1980/1981

Tahun
Realisasi (Milyar Rupiah)
Jumlah Peserta (ribu orang)
Tunggakan (juta rupiah)
Tunggakan (%)
1971/1972
9,8
1.538
0,4
4
1972/1973
15,3
2.071
0,8
5
1973/1974
36,5
3.107
3,0
8
1974/1975
53,1
3.603
5,1
10
1975/1976
72,4
3.492
10,1
14
1976/1977
71,3
3.004
15,7
22
1977/1978
62,1
2.435
19,6
32
1978/1979
60,3
2.150
18,4
31
1979/1980
49,5
1.606
16,2
33
1980/1981
50,1
1.533
26,5
53
Jumlah Rata-rata
480,4
2.454
115,8
21,2%
Sumber: Mubyarto.1987. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan,
halaman 130

            Dari tabel 2.1 dapat diketahui bahwa pengembalian atau pembayaran kredit oleh petani mengalami penunggakan yang sejak 1971 sampai 1981 terus mengalami peningkatan yang memperburukan keadaan. Sehingga diperlukan kebijakan baru yang lebih efektif dari Bimas yaitu Kebijakan Insus.
Kemudian mulai tahun 1981 diberlakukan kebijakan baru yaitu Insus (Intensifikasi Khusus). Insus merupakan pola bertani secara berkelompok dnegan kebijakan pemberian pupuk berimbang, penanaman secara serempak, dan penggunaan varietas padi unggul yang tahan hama wereng (Arifin, 1994:208). Mubyarto (1987:132-133) Salah satu varietas padi unggul anti wereng yaitu IR 36, IR 38, dan Cisadane. Ketika kebijakan Insus diberlakukan, petani peserta Bimas mulai berkurang dan lebih memilih Insus karena populer di kalangan petani (Mubyarto, 1987:132-133).
            Pembaruan terus dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru untuk merealisasikan swasembada pangan terutama beras yang didambakan sejak Repelita I. Mulai dari Bimas biasa, Inmas, Bimas Baru atau Bimas Gotong Royong, serta Insus. Berbagai kebijakan tersebut masih memiliki beberapa kelemahan-kelemahan yang mendorong pemerintah melalui Departemen Pertanian, Departemen Penelitian, Akademisi maupun Praktisi Pertanian bekerja sama untuk mewujudkan ketahanan pangan subsektor beras dengan terus mengembangkan paket kebijakan pertanian.
            Pengembangan sistem rekayasa sosial-ekonomi usaha pertanian di Indonesia pada tahun 1987 dibentuk sistem Supra Insus yang merupakan pengembangan dari Insus. Supra Insus yaitu pola bertani secara berkelompok yang menekankan kerjasama antar kelompok tani pada hamparan yang luas, berbeda dengan Insus yang hanya menekankan kerjasama pada satu kelompok tani. Dalam Supra Insus diberlakukan kerjasama antar Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian/Wilayah Kerja Balai Penyuluh Pertanian (WKPP/WKBPP) yang membentuk satu unit kerjasama yang dinamakan Unit Himpunan Supra Insus dengan luas lahan sekitar 25.000 ha. Supra Insus sekaligus memperbaiki sistem kredit yang dijalankan oleh KUD (Arifin, 1994:209).
            Kebijakan dan strategi untuk meningkatkan produktivitas pertanian terus menerus dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru mulai dari Bimas, Inmas, Insus, dan Supra Insus. Mulai dari peran pemerintah yang dominan sampai peran petani sendiri yang membentuk kerjasama antar kelompok tani  yang produktif. Mengenai dampak yang ditimbulkan oleh Kebijakan Revolusi Hijau akan dibahas dalam subbab ketiga yang khusus membahas dampak positif dan negatif dari Kebijakan revolusi hijau serta politik perberasan pada masa Orde Baru.

3.2 Peran Bulog dalam menjalankan Politik Ekonomi Perberasan pada Masa Orde baru    
Politik Ekonomi Perberasan, disebut “politik ekonomi” karena ekonomi di Indonesia diatur dalam kebijakan politik untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Mubyarto (1989:16) menyebutkan tentang pasal 33 UUD 1945 yang berisi tentang politik perekonomian untuk mencapai kemakmuran rakyat. Kemakmuran merupakan kemampuan pemenuhan kebutuhan material atau kebutuhan dasar. Kemakmuran yang dimaksud bukan kemakmuran perseorangan, melainkan kemakmuran masyarakat. Kemudian Mubyarto (1987:72) menyebutkan tentang politik pangan atau kebijakan beras yang lebih tegas setelah dibentuknya Badan Urusan Logistik (Bulog) pada tahun 1967 yang mempunyai tugas utama untuk melaksanakan politik beras tersebut.
            Politik ekonomi perberasan dalam makalah ini maksudnya merupakan strategi pemerintah dalam mengatur tentang pengadaan, distribusi, dan pengaturan harga beras di Indonesia melalui kebijakan pangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Adanya strategis khusus atau “intervensi khusus” di subsektor beras perlu dilakukan di Indonesia. Roesad (1995:720) menyebutkan bahwa campur tangan pemerintah diperlukan karena beras merupakan bahan pangan pokok di Indonesia sekaligus sebagai barang jaminan atau wage good dalam perekonomian. Campur tangan tersebut untuk mengamankan nilai tukar perdagangan dan pengadaan beras supaya stabil.
            Politik ekonomi perberasan di Indonesia dilaksanakan oleh lembaga tinggi negara yang berwenang khusus dalam urusan pangan. Pada masa Presiden Soekarno urusan pangan dilaksanakan oleh BAMA, kemudian diubah menjadi JUBM (Jajasan Urusan Bahan Makanan) yang menangani logistik yang disuplai kepada pegawai negeri, angkatan bersenjata, dan ke pasar-pasar di kota penting. Ketika masa Presiden Soeharto lembaga logistik ditata ulang yang dinaman Bulog (Badan Urusan Logistik) (Mears, 1982:436).
             Bulog yang dibentuk pada 1967 memiliki tugas utama untuk melaksanakan politik beras. Stabilisasi harga-harga pangan, khususnya beras berhasil sejak dibentuknya Bulog. Kemudian sejak 1969, Bulog mendapat tugas khusus untuk mengelola kebijakan beras. Bulog memiliki sasaran utama mempertahankan harga maksimum dan minimum beras/gabah, baik secara langsung dengan pembelian dan penjualan di pasar pedesaan dan pasar global, maupun merumuskan kebijakan stok beras (Mubyarto, 1987:72).
            Tujuan Bulog tidak sebagai badan monopolistik dalam arti negatif. Pidato Pak Soeharto pada awal Agustus 1995 menyebutkan bahwa “....Bulog diperlukan untuk membantu petani dan menjamin kecukupan pangan bagi penduduk....”. Bulog bertujuan untuk mematahkan dominasi pelaku pasar yang berusaha memperoleh keuntungan yangs sebesar-besarnya yang membuat rakyat sebagai objek monopoli. Bulog memiliki sejumlah petugas yang dapat mendeteksi situasi pasar (Amang, 1995:19-20).
            Bulog memiliki fungsi pokok yaitu fungsi pengadaan, penyaluran, dan penyimpanan beras. Fungsi pengadaan dilakukan Bulog ketika harga dasar yang ditetapkan pemerintah tidak efektif dalam melindungi kepentingan petani. Misalnya pada saat masa panen raya padi yang menyebabkan surplus produksi padi sehingga tingkat penawaran naik namun harga jual gabah di tingkat petani cenderung menjadi rendah. Bulog melaksanakan fungsi pengadaan dengan melakukan pembelian gabah atau beras baik secara langsung dari petani maupun melalui Koperasi Unit Desa dengan tingkat harga dasar. Fungsi pengadaan akan terus berjalan hingga harga jual di tingkat petani sama dengan harga dasar (Arifin, 1994:263-264).
            Bulog dalam melindungi konsumen melaksanakan fungsi penyaluran dan penyimpanan. Bulog mendistribusikan beras ke seluruh wilayah Indonesia dan kemudian menyimpannya di gudang-gudang. Ketika terjadi kelangkaan beras di pasar yang mengakibatkan gejolak harga, Bulog dengan segera menyalurkan beras dengan harga tertentu untuk mengisi kekosongan beras di pasar untuk mengendalikan harga beras atau gabah yang wajar bagi konsumen. Apabila beras langka di dalam negeri, Bulog dapat mengadakan impor beras (Arifin, 1994: 264).
            Dalam menjalankan fungsi pengadaan, Bulog memiliki mekanisme stok pangan nasional. Terdapat tiga jenis stok beras yang dijalankan oleh Bulog yaitu: a) Stok Operasional: dilakukan setiap bulan untuk didistribusikan untuk golongan anggaran (Pegawai Negeri Sipil dan ABRI), perusahaan-perusahaan negara, proyek-proyek transmigrasi, dan untuk operasi pasar guna menjaga stabilitas harga, b) Iron Stock (cadangan penyangga) untuk menanggulangi kekurangan akibat penurunan produksi dalam negeri serta fluktuasi yang besar dalam pasar dunia, c) Surplus Stok: yaitu kelebihan di atas kedua jenis stok sebelumnya (Arifin, 1994:323).
Ketika menjalankan fungsinya, Bulog dibantu oleh Dolog (Depot Logistik) yang merupakan pelaksana Bulog di tingkat daerah. Dolog mengumpulkan gabah dan beras langsung dari KUD. Kemudian apabila terjadi produksi melimpah saat panen raya yang KUD tidak mampu menampung semua gabah, Dolog akan membentuk satuan tugas (task force) yang akan membeli langsung dari para petani untuk menstabilkan harga. Kemudian apabila pihak swasta gagal menjalankan stabilisasi harga eceran beras secara efektif, maka Dolog turun tangan melalui satuan tugasnya untuk menjual beras kepada pengecer bahkan jika dalam keadaan darurat dapat menjual beras langsung kepada konsumen (Mears, 1982:10-11).
            Dapat ditekankan bahwa fungsi utama Bulog pada stabilisasi harga bahan pangan dengan cara: a) menjembatani ketersediaan pangan antara waktu dan tempat, b) mencegah terjadinya kegagalan pasar yang merugikan produsen, pedagang, dan konsumen (Arifin, 1994: 264). Fungsi Bulog tersebut dapat dikatakan sebagai pelaksana politik perberasan di Indonesia. Stabilisasi harga gabah atau beras perlu diintervensi pemerintah supaya selaras dan tidak merugikan petani sebagai produsen, pedagang dan distributor, serta masyarakat sebagai konsumen sehingga pangan stabil.
            Pada sektor pertanian, kebijakan harga sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen. Sektor pertanian menghadapi masalah yaitu relatif elastisitas permintaan disamping harga hasil pertanian yang fluktuatif. Campur tangan pemerintah sangat penting untuk menjaga keseimbangan (equilibrium) (Amang, 1993:4).
Masalah harga memang sangat penting yang dilaksanakan Bulog sesuai Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1969 bahwa sasaran utama program Bulog adalah “a) mempertahankan harga minimum beras, b) menjaga kestabilan harga beras agar tidak melampaui tingkat maksimum”. Penentuan harga dasar oleh Bulog dikenal dengan sebutan “Rumus Tani”. Rumus Tani merupakan suatu pedoman perhitungan dalam membandingkan harga beras yang dijual oleh petani dengan harga pupuk yang dibeli (Mubyarto, 1987:141&144). Rumus Tani dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan:
P          : harga minimum padi yang diproduksi (Rupiah per kilogram)
A         : Harga CIF pupuk urea yang diimpor (dalam US $)
B         : kurs BE (pasar bebas) yang berlaku dalam Rupiah per US $
(Sumber: Mubyarto, 1987:144).

             Kebijakan harga minimum tersebut tidak dipertahankan terus menerus karena masih terdapat kekurangan. Rumus tani yang diasumsikan 1 kg beras mendapatkan 1 kg pupuk mengalami perubahan pada 1973 yaitu dengan rumus 1,7 maksudnya setiap 1 kg beras akan mendapat 1,7 kg pupuk urea. Selama 1969 sampai 1979 telah membaiknya nilai tukar antara beras dengan pupuk. Kemudian setelah Februari 1979, berubah lagi rumus 2:1 maksudnya setiap 1 kg beras dapat membeli 2 kg pupuk urea. Rumus Tani tersebut akan terus ditinjau dan dikembangkan oleh Bulog (Mubyarto, 1987:153-154).
            Sudah disebutkan bahwa Bulog merupakan lembaga resmi yang bertugas untuk melindungi petani sebagai produsen serta konsumen dengan melakukan politik harga, menjamin stok beras, serta distribusi beras supaya jumlah beras di pasaran stabil sehingga terjadinya stabilitas pangan di Indonesia. Mengenai dampak positif dan negatif politik perberasan yang dilakukan oleh Bulog akan dibahas lebih lanjut dalam sub bab ketiga yang khusus membahas dampak kebijakan  pangan pada Masa Orde Baru.

3.3 Dampak Positif dan Negatif Kebijakan Pangan Pada Masa Orde Baru
Dampak kebijakan pangan Orde Baru tersebut membawa dampak positif dan negatif. Setiap kebijakan yang diambil pasti sudah melalui perencanaan, analisis, pembuatan, serta implementasi kebijakan terutama kebijakan Pangan pada Masa Orde Baru yaitu Revolusi Hijau dan Politik Perberasan. Pembahasan akan dibagi menjadi dua bagian yaitu dampak positif dan dampak negatif yang dapat disajikan sebagai berikut:

a. Dampak Positif Kebijakan Pangan Orde Baru:
Perubahan sistem politik dan Demokrasi Terpimpin menjadi Demokrasi Pancasila atau Masa Orde Baru membawa perubahan pula pada orientasi dan kebijakan pembangunan ekonomi (Leirisa dkk, 2012: 99). Perekonomian yang ada di Indonesia mengalami berbagai peristiwa naik turunya stabilitas mata uang Rupiah di mata dunia khususnya Dollar. Keputusan dari pemerintah menjadi ikut andil dalam kebijakan dalam ekonomi di Indonesia. Peningkatan produksi beras Indonesia pada tahun 1967-1978 sangat dramatis dibandingkan dengan pengalaman sejarah maupun dengan negara-negara lain di Asia yang beriklim angin muson. Produksi beras naik sebanyak hampir 50% dalam tahun-tahun itu, yang merupakan prestasi yang luar biasa meskipun sifat perkiraan yang mulai dari titik yang sangat rendah hingga puncak yang tinggi tidak dipakai dalam perhitungan (Sjahrir, 1987: 467).
Kebijakan pemerintah tentang produksi beras memiliki dampak positif  menurut Leirisa dkk. (2012: 100-101) yaitu : a) Produksi beras meningkat hingga 47% pada tahun 1974. b) Pada tahun 1967 Kolognas digantikan oleh Bulog yang langsung bertanggung jawab kepada presiden, c) Tahun 1967 mendapatkan beras jenis PL 480 dari Amerika Serikat, d) Pembentukan Bimas Gotong royong yang bertujuan untuk menuju suatu progam penyuluhan yang intensif disamping penyediaan pupuk, petisida dan kredit, e) Angka produksi beras setiap tahun menunjukan peningkatan, f) Memperkenalkan petani untuk menggunakan teknologi pertanian modern, g) Penggunaan pupuk dan bibit yang unggul yakni varietas unggul IRRI (PB5 dan PB8), h) Swasembada beras.
Telah disinggung mengenai ketercapaian Swasembada Beras di Indonesia. Salah satunya akibat kebijakan Bimas yang berhasil. Bimas memiliki yang berupa pemberian kredit untuk produksi serta biaya hidup selama produksi bagi petani membawa pengaruh positif yaitu telah menurunnya sistem ijon yaitu sistem penjualan padi yang masih hijau. Kemudian penjaminan harga gabah dan beras oleh Bulog berarti memberikan jaminan kepada pendapatan petani (Mears, 1982:4-5).
Setelah melalui inovasi-inovasi kebijakan pangan akhirnya pada tahun 1984 untuk pertama kalinya berhasil mencapai swasembada beras, bahkan surplus. Surplus beras tersebut tergambarkan pada jumlah stok beras yang dikuasai oleh Bulog pada tahun 1984/1985 yaitu sekitar 2,382 juta ton setara beras kemudian kebutuhan penyalurannya hanya sekitar 1,612 juta ton beras, sehingga surplus beras sekitar 0,770 juta ton setara beras (Arifin, 1994:243). Mengenai peningkatan jumlah produksi tiap tahun dapat dilihat pada tabel 2.2.

                Tabel  3.2 Produksi Beras di Indonesia 1967 sampai 1978
Tahun
Jumlah Produksi
(Juta ton)
1967
10,40
1968
11,67
1969
12,25
1970
13,14
1971
13,72
1972
13,18
1973
14,61
1974
15,28
1975
15,18
1976
15,71
1977
15,88
1978
17,50

Sumber:  Data-data BPS diolah dari Mears, L.A. & Moeljono, S. 1981. Kebijaksanaan Pangan. Dalam Anne Booth dan Peter McCawly. 1981.  Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES. halaman 34-35.
Dari tabel 2.2 dapat diketahui bahwa hasil produksi padi Indonesia terus mengalami kenaikan sejak tahun 1967 sampai 1978 kenaikan tersebut merupakan suatu kemajuan namun masih terjadi fenomena impor beras. Revolusi Hijau di Indonesia pada masa Orde Baru dapat meningkatkan tingkat produksi pangan. Pada dekade 1970-an, Indonesia masih mengimpor sekitar 1,5 juta ton beras per tahun. Kemudian pada tahun 1985, Indonesia mampu mengekspor 1,5 juta ton beras. Angka peningkatan rata-rata produksi beras sejak tahun 1968 sampai 1984 sekitar 5% per tahun (Esje & Daniel, 1998:2). Singkatnya Revolusi Hijau dapat mendorong terwujudnya swasembada beras pada tahun 1984, sehingga harga bahan makanan menjadi murah yang tentunya menguntungkan komunitas perkotaan (Suseno & Suyatna, 2007:271).
Ketika mengalami Swasembada Beras pada tahun 1984, pemerintah Indonesia memperoleh penghargaan tingkat internasional dari FAO tahun 1984. Peristiwa tersebut ditandai dengan percetakan koin yang salah satu sisinya digambarkan foto Presiden Soeharto. Presiden diundang ke Roma menerima penghargaan dari FAO. Kemudian di keping lainnya tergambarkan seorang petani dengan tulisan “From Importer to Self-Suffiency”  (Arifin, 1993).
Dampak positif politik perberasan yang dilakukan Bulog yaitu dapat terjaminnya stok beras nasional dengan harga yang relatif stabil. Kembali lagi pada fungsi pokok Bulog yaitu fungsi pengadaan, penyaluran, dan penyimpanan beras. Fungsi pengadaan dilakukan Bulog ketika harga dasar yang ditetapkan pemerintah tidak efektif dalam melindungi kepentingan petani. Misalnya pada saat masa panen raya padi yang menyebabkan surplus produksi padi sehingga tingkat penawaran naik namun harga jual gabah di tingkat petani cenderung menjadi rendah. Bulog melaksanakan fungsi pengadaan dengan melakukan pembelian gabah atau beras baik secara langsung dari petani maupun melalui Koperasi Unit Desa dengan tingkat harga dasar. Fungsi pengadaan akan terus berjalan hingga harga jual di tingkat petani sama dengan harga dasar (Arifin, 1994:263-264). Mengenai fungsi pengadaan dan penyaluran oleh Bulog dapat dilihat pada tabel 2.3.

Tabel 3.3
Pembelian dan Penggunaan Beras oleh Pemerintah 1967-1978 (dalam ribu ton)

Tahun
Pembelian dalam negeri
Pegawai Negeri dan Angkatan Bersenjata
Perusaha-an Swasta
Opera-si di Pasar Bebas
Lain-lain
Jum-lah
Pegawai Pemerintah Pusat
Angkatan Bersenjata
Pegawai Daerah Otonomi
1967
520,2
681
36
139

856
1968
597,6
697
28
80

805
1969
203,9
688
104
214

1.005
1970
493,3
94
525
92
151
229
37
1.127
1971
616,7
90
499
89
112
226
74
1.089
1972
160,3
92
474
85
84
419
57
1.211
1973
262,8
92
462
108
67
703
20
1.451
1974
530,4
93
455
110
112
315
133
1.218
1975
539,3
96
461
106
91
423
122
1.300
1976
391,5
103
472
109
889
889
65
1.726
1977
423,9
t.a.
t.a.
t.a.
t.a.
t.a.
t.a.
t.a.
Sumber: Data-data Bulog diolah dari Mears, L.A. & Moeljono, S. 1981. Kebijaksanaan Pangan. Dalam Anne Booth dan Peter McCawly. 1981.  Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES. halaman 37.

            Selain permasalahan stok gabah dan beras serta penyalurannya yang dapat dilihat pada tabel 2.3 terdapat pula stabilisasi harga gabah dan beras. Masalah harga memang sangat penting yang dilaksanakan Bulog sesuai Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1969 bahwa sasaran utama program Bulog adalah “a) mempertahankan harga minimum beras, b) menjaga kestabilan harga beras agar tidak melampaui tingkat maksimum”. Penentuan harga dasar oleh Bulog dikenal dengan sebutan “Rumus Tani”. Rumus Tani merupakan suatu pedoman perhitungan dalam membandingkan harga beras yang dijual oleh petani dengan harga pupuk yang dibeli (Mubyarto, 1987:141&144).

Tabel 3.4
Harga Beras Nominal  di Indonesia1965-1977

Tahun
 Harga Beras Nominal
(dalam Rupiah)
1965
726,04
1966
5,96
1967
16,64
1968
48,13
1969
38,26
1970
43,47
1971
39,80
1972
45,90
1973
71,34
1974
75,45
1975
93,49
1976
108,91
1977
107,30

Sumber: Data-data BPS diolah dari Mears, L.A. & Moeljono, S. 1981. Kebijaksanaan Pangan. Dalam Anne Booth dan Peter McCawly. 1981.  Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES. halaman 66.


            Menurut tabel 2.4, harga beras mengalami fluktuasi kadang naik kadang turun dari tahun ke tahun. Terlihat pada tahun 1965 yang merupakan tahun krisis multidimensional di Indonesia harga beras melijit tinggi sampai  Rp 726, 04 kemudian tahun 1966 sudah menurun menjadi Rp 5,96 kemudian tiap tahun berikutnya merangkak naik dan turun. Fungsi stabilisasi harga gabah dan beras oleh Bulog sebagai badan yang berwenang mengurusi pangan atau Logistik sangat diperlukan. Upaya peningkatan produksi melalui Revolusi Hijau harus diimbangi dengan politik perberasan supaya stok beras aman di Indonesia. Pencapai Swasembada beras sebenarnya juga tidak dapat dilepaskan dari Bulog yang sudah bekerja optimal untuk mengendalikan stok dan harga gabah dan beras di Indonesia yang pernah menorehkan prestasi Swasembada pertama kalinya di Indonesia tahun 1984.

b. Dampak Negatif Kebijakan Pangan pada Masa Orde Baru:
            Kebijakan pangan pada masa Orde Baru yaitu Revolusi Hijau pada satu sisi merupakan langkah peningkatan hasil pertanian supaya dapat memenugi kebutuhan pangan terutana beras yang murah dan mendukung proses industrialisasi. Namun pada sisi lainnya, Revolusi Hijau menyebabkan tingginya ketergantungan masysarakat pedesaan terhadap perkotaan. Petani di pedesaan semakin bergantung pada produk-produk dan jasa-jasa dari perkotaan (Primahendra, 2009:3).
            Posisi desa tidak setara dengan kota. Posisi pedesaan dalam kebijakan ekonomi Orde Baru merupakan daerah penyangga kota dan menjadi penyedia pangan murah, penyedia buruh murah, dan dijadikan pasar bagi produk industri di perkotaan. Sebagai penyedia pangan murah, menjadi mata pencaharian utama masyarakat desa dimarjinalisasi sehingga merubah sistem ekonomi pedesaan yang semula sebagai suatu sistem ekonomi yang relatif mandiri dan swadaya berubah menjadi bagian dari kebijakan industrialisasi yang dijadikan pasar produk dari perkotaan. Kemudian banyak juga penduduk desa yang berpindah ke kota yang memberikan tekanan tambahan terhadap kota-kota tersebut (Primahendra, 2009:4-5).
Kebijakan Revolusi Hijau telah mengubah bentuk sosial masysrakat di pedesaan yang semula hidup dengan sistem komunal, saling membantu, dan bergotong-royong berubah menjadi memasuki sistem kapitalis yang lebih mengedepankan modal dan berorientasi pada hasil produksi. Paket bertani yang dengan revolusi hijau serba berteknologi modern membuat sebagaian penduduk pedesaan kehilangan pekerjaannya sehingga memilih menjadi buruh di perkotaan, karena Pemerintah Orde Baru telah mengundang investor untuk membangun industri dengan tenaga buruh yang murah (Fahmid, dalam Suseno & Suyatna, 2007:273).
Kondisi di atas dapat dipahami misalnya pada kegiatan matun atau mencabuti tanaman liar (gulma) yang mengganggu tanaman pertanian yang biasanya dikerjakan oleh banyak penduduk menjadi cukup satu satu atau beberapa orang dengan menggunakan pestisida bawaan Revolusi Hijau. Akhirnya banyak yang semula menjadi buruh tani menjadi kehilangan pekerjaannya, sehingga terjadinya kesenjangan anatara petani yang miskin dengan petani kaya yang dapat memanfaatkan revolusi hijau untuk mempertinggi produktivitasnya, namun petani miskin malah kehilangan pekerjaannya.
Terdapat dampak negatif menurut Sjahrir (1987: 467-480) yaitu: Hanya berfokus kepada produksi beras sehingga tanaman yang lain sangat “lemah”, Penurunanya produksi gizi lain seperti protein karena produksi beras lebih menguntungkan, Penggunaan teknologi baru untuk petani mengakibatkan efek kesempatan kerja menurun.
Ketika implementasi Bimas, pemerintah Orde Baru membentuk institusi khusus penyuluhan yang disebut PPL (Petuga Penyuluh Lapangan Pertanian) (Esje & Daniel, 1998:1.,Suseno & Suyatna, 2007:274). Institusi tersebut bertugas melakukan penyeragaman dan kontrol secara intensif untuk memassalkan paket teknologi revolusi hijau di tingkat petani. Tidak ada kebebasan bagi petani untuk menentukan jenis/varietas tanaman serta metode bertani yang diterapkan harus mengikuti arahan institusi PPL. Bahkan pada awal implementasi Bimas sering terjadinya kekerasan dalam wujud intimidasi dan penganiayaan bagi para petani yang menolak menerapkan teknologi revolusi hijau (Esje & Daniel, 1998:2).
Program kebijakan revolusi hijau yang menentukan dengan tegas varietas padi oleh Pemerintah menyebabkan ketergantungan yang tinggi petani untuk mendapatkan benih unggul yang seragam sehingga bibit lokal ditinggalkan, pertanian menjadi rentan terhadap serangan hama, serta petani semakin melunturkan pengetahuan lokal dan lebih menggantungkan pada paket teknologi revolusi hijau. Pelarangan penanaman varietas padi lokal dan lebih memilih varietas unggulan misalnya Cisadane dan PB 36 atau IR (International Rice) 36. Sehingga tidak kurang dari 1500 varietas padi lokal menjadi langka bahkan ada yang punah (Prias & Vellve dalam Soemartono, dalam Suseno & Suyatna, 2007:271-272).
Kejayaan swasembada pangan yang selama masa Orde Baru digembor-gemborkan ternyata hanya terjadi satu kali saja yaitu pada 1984/1985. Hal tersebut karena sejak dekade 1980-an, produktivitas lahan di Jawa mengalami penurunan. Gejala penurunan produktivitas lahan tersebut menunjukkan adanya penurunan efisiensi penyerapan pupuk akibatnya julah pupuk yang digunakan terus diperbanyak. Kemudian penggunaan pupuk kimia yang berlebihan menyebabkan merosotnya produktivitas lahan di Jawa (Adiningsih, dalam Esje & Daniel, 1998:2).
Dapak negatif revolusi hijau semakin kompleks dan sulit dipecahkan terutama yang menyangkut kerusakan ekosistem. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida buatan secara besar-besaran menurunkan tingkat kesuburan tanah, pencemaran lingkungan, dan ledakan hama dan penyakit. Berdasarkan laporan IRRI pada tahun 1987 efek penggunaan pestisida yang berlebihan di Jawa menimbulkan masalah ekologi yang serius yang meracuni habitat ikan dan udang di perairan, serta mendorong berkembangnya biotipe hama wereng baru yang lebih tahan terhadap pestisida (dalam Esje & Daniel, 1998:3).
Mulai awal tahun 1980-an terjadi peristiwa anjloknya harga minyak dunia, akibatnya Indonesia juga terkena akibatnya karena ekspor minyak bumi juga menjadi penyangga perekonomian nasional. Jika dibandingkan sebelumnya yaitu 1970-an tepatkan setelah tahun 1973 terjadinya kenaikan harga minyak dunia (dikenal Oil Boom) yang menyebabkan Pemerintah Orde Baru memiliki sumber pembiayaan yang besar untuk program Bimas untuk subsidi pupuk, bantuan kredit, serta sarana produksi pertanian. (Abisono N., 2002:274-277).
Kemudian kebijakan Polik Ekonomi yang dijalankan Bulog untuk menjaga stok dan mengatur harga dasar gabah yang seharusnya bertujuan untuk meredam fluktuasi harga yang merugikan petani dan konsumen. Namun dalam prakteknya seringkali harga di tingkat petani sangat rendah atau kurang layak. Oknum-oknum pedagang sering curang dengan berspekulasi dan menimbun stok. Politik ekonomi penentuan harga dasar gabah lebih ditujukan untuk mengamankan kondisi stok pangan nasional daripada untuk meningkatkan pendapatan petani. Kemudian rekayasa pembelian gabah oleh KUD-KUD yang sekaligus menyalurkan kredit usaha tani menyebabkan fungsi Lumbung Pangan Desa digantikan oleh gudang penyimpanan KUD. Rekayasa tersebut semakin mempertegas kuatnya kontrol negara atas penyediaan pangan (Esje & Daniel, 1998:2).
Sejak tahun 1990-an terjadinya pergeseras kebijakan Pemerintah Orde Baru yang semula berorientasi produsen-pemasok beras menjadi orientasi konsumen beras. Gejala tersebut menandai menguatnya kebijakan globalisasi (Wahono, dalam Abisono N., 2002:278). Puncaknya pada tahun 1998, Bulog mengimpor beras sekitar 2,5 juta ton yang menandai runtuhnya hegemoni swasembada beras di Indonesia.  (Esje & Daniel, 1998:2-3).
Maksud dari pembahasan dampak positif dan dampak negatif  Kebijakan Pangan Masa Orde Baru bukan untuk memuja atau menghina kebijakan Pemerintah Masa Orde Baru terutama dalam bidang pangan. Kebijakan Revolusi Hijau harus diakui dapat membawa Indonesia meraih swasembada pangan pada tahun 1984 yang juga mengharumkan nama bangsa. Kemudian kebijakan politik perberasan yang dilakukan oleh Bulog juga mengamankan harga di kalangan masyarakat serta menjamin stok pangan nasional.
Namun juga tidak dipungkiri masih terdapat kekurangan yang menjadi catatan untuk diminimalisir atau bahkan diatasi. Sudah disebutkan bahwa Revolusi Hijau pada Masa Orde baru membawa dampak negatif pada ekosistem yaitu pencemaran tanah dan air dan mematikan hewan di perairan. Kemudian kelemahan politik perberasan oleh Bulog masih memberikan harga yang rendah di kalangan petani serta membuka peluang pada pedagang nakal untuk menimbun stok beras.  Pembahasan dampak negatif ini dimaksudkan untuk memahami berbagai hal yang perlu dibenahi ke depannya supaya swasembada beras dapat terealisasi lagi pada masa-masa berikutnya untuk membawa Indonesia menjadi negara dan bangsa yang berdikari.


BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
4.1.1 Revolusi Hijau merupakan paket kebijakan modernisasi pertanian mulai dari peralatan, bahan, dan penunjang pertanian untuk menerapkan Panca Usaha Tani pada Masa Orde Baru dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian terutama beras di Indonesia. Iplementasi Revolusi Hijau dalam kebijakan Bimas, Inmas, Insus, dan Supra Insus yang terus diperbaiki sistem pertaniannya yang bermula dari upaya pemerintah yang terlihat dominan sampai pada terwujudnya kerjasama antar kelompok tani untuk meningkatkan hasil pertanian. Petani diberikan bantuan kredit modal produksi serta bantuan biaya hidup untuk memperkuat ketahanan pangan terutama beras yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat di Indonesia.

4.1.2 Politik Perberasan dijalankan oleh Badan Urusan Logistik atau Bulog yang memiliki fungsi pengadaan, penyaluran, penyimpanan stok beras nasional serta stabilisasi harga gabah dan beras. Bulog telah menjadi badan khusus untuk menerapkan politik perberasan bertujuan melindungi petani, pedagangan, dan konsumen. Penetapan harga dasar gabah  diperlukan supaya harga padi stabil dan stok beras nasional aman.

4.1.3 Kebijakan Pangan Orde Baru yaitu Revolusi Hijau serta Politik Perberasan oleh Bulog memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya yaitu hasil produksi padi terus meningkat sejak 1967 yang mencapai puncaknya pada 1984 yang membawa Indonesia menuju swasembada pangan. Selain itu stok beras aman dan harganya juga stabil. Kemudian dampak negatifnya yaitu penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang berlebiha  mengakibatkan tingkat kesuburan tanah menurun, banyaknya hewan air yang mati, semakin punahnya jenis varietas pada lokal, serta timbulnya hama wereng baru yang lebih tahan pestisida.

4.2 Saran
            Setiap kebijakan pasti memiliki kelebihan dan kekurangan seperti Kebijakan Pangan Masa Orde Baru melalui Revolusi Hijau dan politik perberasan oleh Bulog masih memiliki banyak catatan-catatan yang perlu untuk dicarikan jalan keluar permasalahannya. Konsep swasembada beras pertama kali diraih pada tahun 1984 dan merupakan prestasi yang luar biasa. Namun bukan hanya dikenang kisah romantisme masa lalu saja, melainkan sekarang ini harus bercermin kondisi pangan di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pangan yang diambil seharusnya tidak hanya berdasar  ambisi semata, namun perlu perencanaan yang matang dan implementasi yang nyata sehingga prestasi Swasembada Beras dapat terwujud dalam beberapa tahun ke depan yang mengantarkan Indonesia menjadi lebih berwibawa.


Daftar Rujukan

Abisono N., F.G. 2002. “Dinamika Kebijakan Pangan Orde Baru: Otonomi Negara Vs. Pasar Global”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.5 (3) Maret 2002:271-294. (Online). (http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/153), diakses 22 Oktober 2015.
Amang, B. 1993. Ekonomi Perberasan, Jagung dan Minyak Sawit. Jakarta: PT Dharma Karsa Utama.
________.1995. Sistim Pangan Nasional: Permasalahan dan Pengamanannya. Jaka rta: PT Dharma Karsa Utama.
Arifin, B. 1994. Pangan dalam Orde Baru. Jakarta: Koperasi Jasa Informasi (KOPINFO).
Esje, G. & Daniel. 1998. “Menggugat Revolusi Hijau Orde Baru”. Wacana No. 12 Juli-Agustus 1998. (Online). (http://www.elsppat.or.id/download/file/w12_a1.pdf), diakses 28 Oktober 2015.
Leirisa, R. Z, Ohorella, G. A & Tangkilisan, Y.B. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Mears, L.A. 1982. Era Baru Ekonomi Perberasan Indonesia (Terjemahan oleh Suroso., dkk.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mears, L.A. & Moeljono, S. 1981. Kebijaksanaan Pangan. Dalam Anne Booth dan Peter McCawly. 1981.  Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES.
Mubyarto. 1987. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
________. 1989. Sistem dan Politik Perekonomian Indonesia. Dalam Mubyarto & Revrisond Baswir. 1989. Pelaku dan Politik Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Primahendra, R. 2009. “Marjinalisasi Perdesaan”. Issue 4:1-6. (Online). (http://www.amerta.id/wp-content/uploads/2014/02/Brief_4.pdf), diakses 28 November 2015.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. (Terjemahan Wahon., dkk.). Jakarta: Serambi.
Roesad, K. 1995. “Perkembangan Pertanian di Indonesia”. Dalam Bandoro, B., dkk. 1995. Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Centre fo Strategic and International Studies (CSIS).
Sjahrir, 1987. Ekonomi Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Suseno, D. & Suyatna, H. 2007. “Mewujudkan Kebijakan Pertanian yang Pro-Petani”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 10 (3) Maret 2007:267-294. (Online). (http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/229/224.), diakses 28 November 2015.
Tambunan, T.T.H. 2003. Perekonomian Indonesia Beberapa Masalah Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. (Online). diunduh dari (http://ews.kemendag.go.id/download.aspx?file=UU-796.pdf&type=policy.), diakses 28 November 2015.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH MASUKNYA AGAMA KONGHUCU DI INDONESIA

Kamu yang Kusayang

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BERBASIS NILAI