KEBIJAKAN PANGAN MASA ORDE BARU: REVOLUSI HIJAU DAN POLITIK EKONOMI PERBERASAN DI INDONESIA (1967-1998)
KEBIJAKAN PANGAN MASA ORDE BARU:
REVOLUSI HIJAU DAN POLITIK EKONOMI
PERBERASAN
DI INDONESIA (1967-1998)
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Perekonomian
yang dibina oleh Bapak Drs. H.
Kasimanuddin Ismain, M. Pd.
Oleh
Kelompok 10 – Offering B/2013
Ahmad Rofiqi (130731615717)
Imam Ropi’i (130731615726)
Masayu Permahati (130731607290)
Yuliarti Kurnia P.Selli (140731606196)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
November 2015
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI..................................................................................................... i
BAB I PETA KONSEP.................................................................................... 1
BAB II PENDAHULUAN............................................................................... 2
2.1 Latar belakang................................................................................. 2
2.2 Rumusan masalah............................................................................ 2
2.3 Tujuan.............................................................................................. 3
BAB III PEMBAHASAN................................................................................ 4
3.1 Kebijakan Revolusi Hijau pada
subsektor beras pada Masa Orde Baru 4
3.2 Peran Bulog dalam menjalankan
Politik Ekonomi Perberasan pada Masa Orde baru 9
3.3 Dampak Positif dan Negatif
Kebijakan Pangan Pada Masa Orde Baru 13
BAB IV PENUTUP.......................................................................................... 22
4.1 Kesimpulan...................................................................................... 22
4.2 Saran................................................................................................ 23
DAFTAR RUJUKAN....................................................................................... 24
BAB I
PETA KONSEP

BAB II
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Pembangunan
ekonomi merupakan hal yang penting dari pembangunan nasional dengan tujuan
utama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang pada Masa Orde Baru
dikuatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) (Tambunan, 2003:39). Sebagai
konstitusi, UUD 1945 juga mengatur tentang peran pemerintah yang mengatur politik
ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Sistem ekonomi Indonesia yang tercantum
dalam UUD 1945 pasal 33 berisi tentang politik perekonomian untuk mewujudkan
kemakmuran rakyat. Kemudian pasal 34
serta pasal 27 ayat (2) menyebutkan tentang kesejahteraan sosial seluruh
rakyat. Kesejahteraan sosial meyangkut pemenuhan kebutuhan material yang harus
diatur dalam organisasi dan sistem ekonomi yang berdasarkan kekeluargaan
(Mubyarto, 1989:16).
Kebutuhan
material masyarakat salah satunya yaitu kebutuhan pangan. Bahan pangan utama di
Indonesia adalah beras bahkan sebelum Indonesia merdeka. Stamford Raffles
(1818) menyebutkan bahwa “Pulau Jawa
adalah tanah pertanian yang besar; tanahnya merupakan sumber harta kekayaan
yang besar...beras merupakan bahan pangan utama seluruh lapisan penduduknya
serta bahan pokok pertanian...” (Arifin, 1994:5). Pernyataan Raffles tersebut
masih relevan pada Masa Orde Baru ketika beras masih merupakan makanan pokok
yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Selama Repelita I dan
II beras menyediakan 52-54% konsumsi kalori dan sekitar 70% kalori makanan
berpati dalam makanan sehari-hari (Mears, 1982:59).
Kondisi ekonomi
dalam perjalanan sejarah Indonesia mengalami naik-turun (fluktuasi). Setelah
tahun 1965 terjadi kondisi sosial-politik-ekonomi di Indonesia karena terjadi
ketidakstabilan politik. Inflasi mencapai 650%, jumlah uang beredar melonjak
lima kali lipat, serta persediaan beras semakin menipis yang menyebabkan krisis
pangan. Kelangkaan beras di pasaran mengancam stabilitas politik. Beras menjadi
indikator utama stabilitas nasional secara politik dan ekonomi sehingga
diperlukan peran (intervensi) pemerintah untuk mengatur pangan (Arifin,
1994:1-5).
Krisis ekonomi
tersebut dapat diatasi karena menjelang akhir tahun 1970-an Indonesia mengalami
pertumbuhan ekonomi yang pesat karena keberhasilan melaksanakan kebijakan
pangan terutama kebijakan beras dan pembangunan ekonomi (Mears & Moeljono, 1981:29).
Indonesia mengalami pertumbuhan perekonomian yang pesat hinggal awal 1980-an.
Dari tahun 1971 sampai 1981, tingkat pertumbuhan tahunan Produksi Domestik
Bruto (PDB) berkisar pada 7,7% (Ricklefs, 2005:594). Bahkan Arifin (1994:6) menyatakan pada tahun 1984 Pemerintah
RI menyatakan telah mencapai swasembada beras, berarti telah terpenuhinya
kebutuhan beras bagi masyarakat Indonesia dari hasil produksi dalam negeri.
Permasalahan
tentang beras, tentang kebijakan, produksi, politik ekonomi perberasan serta
revolusi hijau sampai mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras sangat
menarik untuk dibahas lebih lanjut dapat makalah ini yang berjudul “Kebijakan
Pangan Masa Orde Baru: Revolusi Hijau dan Politik Ekonomi Perberasan di
Indonesia: (1967-1998)”.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, rumusan
masalah dalam makalah ini adalah:
1.2.1 Bagaimana Kebijakan Revolusi
Hijau pada subsektor beras pada Masa Orde Baru?
1.2.2 Bagaimana Peran Bulog dalam
menjalankan Politik Ekonomi Perberasan pada Masa Orde baru?
1.2.3 Bagaimana Dampak Positif dan
Negatif Kebijakan Pangan Pada Masa Orde Baru?
1.3 Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalag, tujuan penulisan makalah
ini adalah:
1.3.1 Menjelaskan Kebijakan Revolusi Hijau pada subsektor beras
pada Masa Orde Baru.
1.3.2 Menjelaskan Peran Bulog dalam menjalankan Politik Ekonomi
Perberasan pada Masa Orde baru.
1.3.3 Menjelaskan Dampak Positif dan Negatif Kebijakan Pangan Pada
Masa Orde Baru.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kebijakan Revolusi Hijau pada subsektor beras pada Masa Orde
Baru
Pangan merupakan permasalahan serius dan stategis. Pangan merupakan
kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat ditunda pemenuhannya. Pelemahan pangan
akan berpengaruh pada ketahanan nasional. Kekurangan pangan sangat terkait
dengan masalah kemiskinan, pemerataan kesejahteraan, dan status gizi
masyarakat. Sebaliknya jika penyediaan pangan yang cukup akan memberikan
pengaruh positif bagi pembangunan suatu negara (Amang, 1995:3-4).
Komitmen Pemerintah
Orde Baru adalah memperbaiki kesejahteraan rakyat, terutama menyangkut
pemenuhan kebutuhan pokok yaitu beras (Amang, 1995:5). Beras merupakan bahan
pangan pokok di Indonesia yang juga memiliki peran penting sebagai “barang
jaminan” atau wage good dalam perekonomian (Roesad, 1995:720). Arah
pembangunan pertanian sejak awal pemerintahan Presiden Soeharto ditujukan untuk
meningkatkan produksi pangan teruatama beras supaya kebutuhan pangan rakyat
terpenuhi sehingga impor beras yang tinggi dapat dikurangi. (Esje & Daniel,
1998:1).
Berbicara mengenai
Kebijakan Pangan pada Masa Orde Baru tentunya juga menyangkut peraturan resmi
yang dibuat pemerintah dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996
Tentang Pangan. Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa “Pangan adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak
diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman”.
Kemudian pada
pasal 45 ayat (1) menyebutkan bahwa “Pemerintah bersama masyarakat bertanggung
jawab untuk mewujudkan ketahananpangan”. Serta pasal 45 ayat (2) menyebutkan
“Dalam rangka mewujudkan ketahan pangan, sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1),
Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan
terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat”.
Telah sebutkan
dalam pasal 45 bahwa rakyat dan pemerintah bersama-sama untuk mewujudkan
ketahanan pangan. Tentunya Pemerintah telah membuat suatu kebijakan dan
strategi untuk dapat mencapai ketahanan pangan yang dicita-citakan tersebut
dibentuk kebijakan “Revolusi Hijau” yang mengadobsi kebijakan revolusi hijau
dari negara Barat (Esje & Daniel, 1998:1). Secara sempit, Revolusi Hijau
menurut Esje & Daniel (1998:1).dimaknai sebagai:
Pola pertanian intensif dengan paket
teknologi modern yang dicirikan oleh penggunaan input eksternal yang tinggi
–seperti: pupuk an-organik, pestisida kimia, dan benih varietas unggul (hasil
pemuliaan)- pemanfaatan insfrastruktur penunjang –seperti: sistem irigasi dan
permodalan (kredit) dalam skala besar- serta penerapan mekanisasi pertanian
dalam pengolahan tanah dan penanganan
pasca panen.
Implementasi kebijakan revolusi hijau melalui sistem penyuluhan
massal yang disebut “Bimbingan Massal” atau disingkat Bimas. Bimas menggunakan
jenis pendekatan kelompok dengan mengutamakan pelayanan petani supaya dapat
memenuhi sarana produksi serta biaya hidup selama masa produksi dalam bentuk
kebijakan paket. Pemikiran tentang sistem bimbingan massal sebenarnya diawali
sejak 1953 dalam wujud Demas (Demonstrasi Massal) yang diubah menjadi BIMAS
pada 1965. Kemudian pada 1968 dikenal dengan Bimas Baru yang kemudian dikenal
sebagai Inmas (Intensifikasi Pertanian) (Arifin, 1994:201).
Demas pada musim
tanam padi tahun 1963/1964 dirintis oleh IPB yang tentunya dengan Departemen Research
Nasioanl dan Departemen Pertanian di daerah Kerawang, petani peserta Demas
diberikan kredit oleh BRI. Panca Usaha tani mulai diterapkan pada masa ini yang
meliputi: a) Penggunaan bibit unggul, b) Pemupukan, c) Irigasi atau pengairan
yang baik, d) Pemberantasan hama dan penyakit, e) Penerapan metode pengolahan
tanah yang lebih baik. Kemudian sistem Panca Usaha Tani tersebut dijadikan
metode dasar program intensifikasi Bimas (Mubyarto, 1987:128).
Faktor pemberian
kredit sangat penting selama penerapan revelusi hijau karena sistem Panca Usaha
Tani mengarahkan penggunaan bibit unggul, kemudian untuk dapat memperoleh hasil
yang baik bibit unggul tersebut perlu ditunjang penggunaan pupuk an-organik. Pupuk
an-organik harus dibeli dengan uang, namun petani kecil tentunya kesulitan
karena dampak inflasi masih dirasakan masyarakat akhirnya kebijakan kredit
diberlakukan dalam Bimas (Mubyarto, 1987:133-134). Kemudian ada lagi bentuk
peminjaman uang tunai dengan jumlah tertentu untuk keperluan biaya hidup (cost
of living). yang dimaksudkan untuk menutupi biaya hidup petani dan
keluarganya selama masa produksi (Mubyarto, 1987:128).
Tidak semua petani
dan daerah di Indonesia diberlakukan Bimas melainkan Inmas (Intensifikasi
Massal). Inmas merupakan intensifikasi padi dengan fasilitas penyuluhan yang
sama dengan Bimas namun tanpa adanya krediti bagi petani. Pemerintah Orde Baru
pada awalnya memang tidak mampu untuk memberi kredit kepada semua petani,
melainkan hanya sekitar 500.000 ha dari 1.000.000 ha yang dapat di-Bimas-kan,
lainnya menggunakan Inmas (Mubyarto, 1987:134).
Program Bimas
mengalami beberapa kendala antara lain tidak lancarnya mekanisme pembeyaran
petani dalam bentuk in-natura yaitu pembayaran kredit dengan bentuk gabah
(lihat pada tabel 2.1). Lambatnya pengembalian kredit secara in-natura
mengakibatkan impor gabah masih tinggi. Kemudian pihak asing yang digandeng
Pemerintah Orde Baru bertindak kurang bijak karena cenderung membagikan
insektisida buatan yang kurang disesuaikan dengan kondisi lingkungan pertanian
setempat sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan contohnya matinya ikan di
sungai. Kemudian adanya semacam paksaan untuk mengikuti program Bimas yang
membuat banyak petani padi mengeluhkan kebijakan tersebut (Mears &
Moeljono, 1981:40-41).
Tabel 3.1
Penyaluran Kredit Bimas dan Inmas Padi 1971/1972 sampai 1980/1981
Tahun
|
Realisasi (Milyar Rupiah)
|
Jumlah Peserta (ribu orang)
|
Tunggakan (juta rupiah)
|
Tunggakan (%)
|
1971/1972
|
9,8
|
1.538
|
0,4
|
4
|
1972/1973
|
15,3
|
2.071
|
0,8
|
5
|
1973/1974
|
36,5
|
3.107
|
3,0
|
8
|
1974/1975
|
53,1
|
3.603
|
5,1
|
10
|
1975/1976
|
72,4
|
3.492
|
10,1
|
14
|
1976/1977
|
71,3
|
3.004
|
15,7
|
22
|
1977/1978
|
62,1
|
2.435
|
19,6
|
32
|
1978/1979
|
60,3
|
2.150
|
18,4
|
31
|
1979/1980
|
49,5
|
1.606
|
16,2
|
33
|
1980/1981
|
50,1
|
1.533
|
26,5
|
53
|
Jumlah Rata-rata
|
480,4
|
2.454
|
115,8
|
21,2%
|
Sumber: Mubyarto.1987. Politik
Pertanian dan Pembangunan Pedesaan,
halaman 130
Dari tabel 2.1
dapat diketahui bahwa pengembalian atau pembayaran kredit oleh petani mengalami
penunggakan yang sejak 1971 sampai 1981 terus mengalami peningkatan yang
memperburukan keadaan. Sehingga diperlukan kebijakan baru yang lebih efektif
dari Bimas yaitu Kebijakan Insus.
Kemudian mulai
tahun 1981 diberlakukan kebijakan baru yaitu Insus (Intensifikasi Khusus). Insus
merupakan pola bertani secara berkelompok dnegan kebijakan pemberian pupuk
berimbang, penanaman secara serempak, dan penggunaan varietas padi unggul yang
tahan hama wereng (Arifin, 1994:208). Mubyarto (1987:132-133) Salah satu
varietas padi unggul anti wereng yaitu IR 36, IR 38, dan Cisadane. Ketika
kebijakan Insus diberlakukan, petani peserta Bimas mulai berkurang dan lebih
memilih Insus karena populer di kalangan petani (Mubyarto, 1987:132-133).
Pembaruan terus
dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru untuk merealisasikan swasembada pangan
terutama beras yang didambakan sejak Repelita I. Mulai dari Bimas biasa, Inmas,
Bimas Baru atau Bimas Gotong Royong, serta Insus. Berbagai kebijakan tersebut
masih memiliki beberapa kelemahan-kelemahan yang mendorong pemerintah melalui
Departemen Pertanian, Departemen Penelitian, Akademisi maupun Praktisi
Pertanian bekerja sama untuk mewujudkan ketahanan pangan subsektor beras dengan
terus mengembangkan paket kebijakan pertanian.
Pengembangan
sistem rekayasa sosial-ekonomi usaha pertanian di Indonesia pada tahun 1987
dibentuk sistem Supra Insus yang merupakan pengembangan dari Insus. Supra Insus
yaitu pola bertani secara berkelompok yang menekankan kerjasama antar kelompok
tani pada hamparan yang luas, berbeda dengan Insus yang hanya menekankan
kerjasama pada satu kelompok tani. Dalam Supra Insus diberlakukan kerjasama
antar Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian/Wilayah Kerja Balai Penyuluh Pertanian
(WKPP/WKBPP) yang membentuk satu unit kerjasama yang dinamakan Unit Himpunan
Supra Insus dengan luas lahan sekitar 25.000 ha. Supra Insus sekaligus
memperbaiki sistem kredit yang dijalankan oleh KUD (Arifin, 1994:209).
Kebijakan dan
strategi untuk meningkatkan produktivitas pertanian terus menerus dilakukan
oleh Pemerintah Orde Baru mulai dari Bimas, Inmas, Insus, dan Supra Insus.
Mulai dari peran pemerintah yang dominan sampai peran petani sendiri yang
membentuk kerjasama antar kelompok tani
yang produktif. Mengenai dampak yang ditimbulkan oleh Kebijakan Revolusi
Hijau akan dibahas dalam subbab ketiga yang khusus membahas dampak positif dan
negatif dari Kebijakan revolusi hijau serta politik perberasan pada masa Orde
Baru.
3.2 Peran Bulog dalam menjalankan
Politik Ekonomi Perberasan pada Masa Orde baru
Politik Ekonomi
Perberasan, disebut “politik ekonomi” karena ekonomi di Indonesia diatur dalam
kebijakan politik untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Mubyarto (1989:16)
menyebutkan tentang pasal 33 UUD 1945 yang berisi tentang politik perekonomian
untuk mencapai kemakmuran rakyat. Kemakmuran merupakan kemampuan pemenuhan
kebutuhan material atau kebutuhan dasar. Kemakmuran yang dimaksud bukan
kemakmuran perseorangan, melainkan kemakmuran masyarakat. Kemudian Mubyarto
(1987:72) menyebutkan tentang politik pangan atau kebijakan beras yang lebih
tegas setelah dibentuknya Badan Urusan Logistik (Bulog) pada tahun 1967 yang
mempunyai tugas utama untuk melaksanakan politik beras tersebut.
Politik ekonomi
perberasan dalam makalah ini maksudnya merupakan strategi pemerintah dalam
mengatur tentang pengadaan, distribusi, dan pengaturan harga beras di Indonesia
melalui kebijakan pangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Adanya strategis
khusus atau “intervensi khusus” di subsektor beras perlu dilakukan di
Indonesia. Roesad (1995:720) menyebutkan bahwa campur tangan pemerintah
diperlukan karena beras merupakan bahan pangan pokok di Indonesia sekaligus
sebagai barang jaminan atau wage good dalam perekonomian. Campur tangan
tersebut untuk mengamankan nilai tukar perdagangan dan pengadaan beras supaya
stabil.
Politik ekonomi
perberasan di Indonesia dilaksanakan oleh lembaga tinggi negara yang berwenang
khusus dalam urusan pangan. Pada masa Presiden Soekarno urusan pangan
dilaksanakan oleh BAMA, kemudian diubah menjadi JUBM (Jajasan Urusan Bahan
Makanan) yang menangani logistik yang disuplai kepada pegawai negeri, angkatan
bersenjata, dan ke pasar-pasar di kota penting. Ketika masa Presiden Soeharto
lembaga logistik ditata ulang yang dinaman Bulog (Badan Urusan Logistik)
(Mears, 1982:436).
Bulog yang dibentuk pada 1967 memiliki tugas
utama untuk melaksanakan politik beras. Stabilisasi harga-harga pangan,
khususnya beras berhasil sejak dibentuknya Bulog. Kemudian sejak 1969, Bulog
mendapat tugas khusus untuk mengelola kebijakan beras. Bulog memiliki sasaran
utama mempertahankan harga maksimum dan minimum beras/gabah, baik secara
langsung dengan pembelian dan penjualan di pasar pedesaan dan pasar global,
maupun merumuskan kebijakan stok beras (Mubyarto, 1987:72).
Tujuan Bulog tidak
sebagai badan monopolistik dalam arti negatif. Pidato Pak Soeharto pada awal
Agustus 1995 menyebutkan bahwa “....Bulog diperlukan untuk membantu petani dan
menjamin kecukupan pangan bagi penduduk....”. Bulog bertujuan untuk mematahkan
dominasi pelaku pasar yang berusaha memperoleh keuntungan yangs
sebesar-besarnya yang membuat rakyat sebagai objek monopoli. Bulog memiliki
sejumlah petugas yang dapat mendeteksi situasi pasar (Amang, 1995:19-20).
Bulog memiliki
fungsi pokok yaitu fungsi pengadaan, penyaluran, dan penyimpanan beras. Fungsi
pengadaan dilakukan Bulog ketika harga dasar yang ditetapkan pemerintah tidak
efektif dalam melindungi kepentingan petani. Misalnya pada saat masa panen raya
padi yang menyebabkan surplus produksi padi sehingga tingkat penawaran naik
namun harga jual gabah di tingkat petani cenderung menjadi rendah. Bulog
melaksanakan fungsi pengadaan dengan melakukan pembelian gabah atau beras baik
secara langsung dari petani maupun melalui Koperasi Unit Desa dengan tingkat
harga dasar. Fungsi pengadaan akan terus berjalan hingga harga jual di tingkat
petani sama dengan harga dasar (Arifin, 1994:263-264).
Bulog dalam
melindungi konsumen melaksanakan fungsi penyaluran dan penyimpanan. Bulog
mendistribusikan beras ke seluruh wilayah Indonesia dan kemudian menyimpannya
di gudang-gudang. Ketika terjadi kelangkaan beras di pasar yang mengakibatkan
gejolak harga, Bulog dengan segera menyalurkan beras dengan harga tertentu
untuk mengisi kekosongan beras di pasar untuk mengendalikan harga beras atau
gabah yang wajar bagi konsumen. Apabila beras langka di dalam negeri, Bulog
dapat mengadakan impor beras (Arifin, 1994: 264).
Dalam menjalankan
fungsi pengadaan, Bulog memiliki mekanisme stok pangan nasional. Terdapat tiga jenis
stok beras yang dijalankan oleh Bulog yaitu: a) Stok Operasional: dilakukan
setiap bulan untuk didistribusikan untuk golongan anggaran (Pegawai Negeri
Sipil dan ABRI), perusahaan-perusahaan negara, proyek-proyek transmigrasi, dan
untuk operasi pasar guna menjaga stabilitas harga, b) Iron Stock
(cadangan penyangga) untuk menanggulangi kekurangan akibat penurunan produksi
dalam negeri serta fluktuasi yang besar dalam pasar dunia, c) Surplus Stok:
yaitu kelebihan di atas kedua jenis stok sebelumnya (Arifin, 1994:323).
Ketika
menjalankan fungsinya, Bulog dibantu oleh Dolog (Depot Logistik) yang merupakan
pelaksana Bulog di tingkat daerah. Dolog mengumpulkan gabah dan beras langsung
dari KUD. Kemudian apabila terjadi produksi melimpah saat panen raya yang KUD
tidak mampu menampung semua gabah, Dolog akan membentuk satuan tugas (task
force) yang akan membeli langsung dari para petani untuk menstabilkan
harga. Kemudian apabila pihak swasta gagal menjalankan stabilisasi harga eceran
beras secara efektif, maka Dolog turun tangan melalui satuan tugasnya untuk
menjual beras kepada pengecer bahkan jika dalam keadaan darurat dapat menjual
beras langsung kepada konsumen (Mears, 1982:10-11).
Dapat ditekankan
bahwa fungsi utama Bulog pada stabilisasi harga bahan pangan dengan cara: a)
menjembatani ketersediaan pangan antara waktu dan tempat, b) mencegah
terjadinya kegagalan pasar yang merugikan produsen, pedagang, dan konsumen
(Arifin, 1994: 264). Fungsi Bulog tersebut dapat dikatakan sebagai pelaksana politik
perberasan di Indonesia. Stabilisasi harga gabah atau beras perlu diintervensi
pemerintah supaya selaras dan tidak merugikan petani sebagai produsen, pedagang
dan distributor, serta masyarakat sebagai konsumen sehingga pangan stabil.
Pada sektor pertanian,
kebijakan harga sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan produsen dan
konsumen. Sektor pertanian menghadapi masalah yaitu relatif elastisitas
permintaan disamping harga hasil pertanian yang fluktuatif. Campur tangan
pemerintah sangat penting untuk menjaga keseimbangan (equilibrium)
(Amang, 1993:4).
Masalah harga
memang sangat penting yang dilaksanakan Bulog sesuai Keputusan Presiden Nomor
11 Tahun 1969 bahwa sasaran utama program Bulog adalah “a) mempertahankan harga
minimum beras, b) menjaga kestabilan harga beras agar tidak melampaui tingkat
maksimum”. Penentuan harga dasar oleh Bulog dikenal dengan sebutan “Rumus
Tani”. Rumus Tani merupakan suatu pedoman perhitungan dalam membandingkan harga
beras yang dijual oleh petani dengan harga pupuk yang dibeli (Mubyarto,
1987:141&144). Rumus Tani dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan:
P :
harga minimum padi yang diproduksi (Rupiah per kilogram)
A :
Harga CIF pupuk urea yang diimpor (dalam US $)
B :
kurs BE (pasar bebas) yang berlaku dalam Rupiah per US $
(Sumber:
Mubyarto, 1987:144).
Kebijakan harga minimum tersebut tidak
dipertahankan terus menerus karena masih terdapat kekurangan. Rumus tani yang
diasumsikan 1 kg beras mendapatkan 1 kg pupuk mengalami perubahan pada 1973
yaitu dengan rumus 1,7 maksudnya setiap 1 kg beras akan mendapat 1,7 kg pupuk
urea. Selama 1969 sampai 1979 telah membaiknya nilai tukar antara beras dengan
pupuk. Kemudian setelah Februari 1979, berubah lagi rumus 2:1 maksudnya setiap
1 kg beras dapat membeli 2 kg pupuk urea. Rumus Tani tersebut akan terus
ditinjau dan dikembangkan oleh Bulog (Mubyarto, 1987:153-154).
Sudah disebutkan
bahwa Bulog merupakan lembaga resmi yang bertugas untuk melindungi petani
sebagai produsen serta konsumen dengan melakukan politik harga, menjamin stok
beras, serta distribusi beras supaya jumlah beras di pasaran stabil sehingga
terjadinya stabilitas pangan di Indonesia. Mengenai dampak positif dan negatif
politik perberasan yang dilakukan oleh Bulog akan dibahas lebih lanjut dalam
sub bab ketiga yang khusus membahas dampak kebijakan pangan pada Masa Orde Baru.
3.3 Dampak Positif dan Negatif
Kebijakan Pangan Pada Masa Orde Baru
Dampak
kebijakan pangan Orde Baru tersebut membawa dampak positif dan negatif. Setiap
kebijakan yang diambil pasti sudah melalui perencanaan, analisis, pembuatan,
serta implementasi kebijakan terutama kebijakan Pangan pada Masa Orde Baru
yaitu Revolusi Hijau dan Politik Perberasan. Pembahasan akan dibagi menjadi dua
bagian yaitu dampak positif dan dampak negatif yang dapat disajikan sebagai
berikut:
a. Dampak Positif Kebijakan
Pangan Orde Baru:
Perubahan
sistem politik dan Demokrasi Terpimpin menjadi Demokrasi Pancasila atau Masa
Orde Baru membawa perubahan pula pada orientasi dan kebijakan pembangunan
ekonomi (Leirisa dkk, 2012: 99). Perekonomian yang ada di Indonesia mengalami
berbagai peristiwa naik turunya stabilitas mata uang Rupiah di mata dunia
khususnya Dollar. Keputusan dari pemerintah menjadi ikut andil dalam kebijakan
dalam ekonomi di Indonesia. Peningkatan produksi beras Indonesia pada tahun
1967-1978 sangat dramatis dibandingkan dengan pengalaman sejarah maupun dengan
negara-negara lain di Asia yang beriklim angin muson. Produksi beras naik
sebanyak hampir 50% dalam tahun-tahun itu, yang merupakan prestasi yang luar
biasa meskipun sifat perkiraan yang mulai dari titik yang sangat rendah hingga
puncak yang tinggi tidak dipakai dalam perhitungan (Sjahrir, 1987: 467).
Kebijakan
pemerintah tentang produksi beras memiliki dampak positif menurut Leirisa dkk. (2012: 100-101) yaitu :
a) Produksi beras meningkat hingga 47% pada tahun 1974. b) Pada tahun 1967
Kolognas digantikan oleh Bulog yang langsung bertanggung jawab kepada presiden,
c) Tahun 1967 mendapatkan beras jenis PL 480 dari Amerika Serikat, d)
Pembentukan Bimas Gotong royong yang bertujuan untuk menuju suatu progam
penyuluhan yang intensif disamping penyediaan pupuk, petisida dan kredit, e)
Angka produksi beras setiap tahun menunjukan peningkatan, f) Memperkenalkan
petani untuk menggunakan teknologi pertanian modern, g) Penggunaan pupuk dan
bibit yang unggul yakni varietas unggul IRRI (PB5 dan PB8), h) Swasembada
beras.
Telah
disinggung mengenai ketercapaian Swasembada Beras di Indonesia. Salah satunya
akibat kebijakan Bimas yang berhasil. Bimas memiliki yang berupa pemberian
kredit untuk produksi serta biaya hidup selama produksi bagi petani membawa
pengaruh positif yaitu telah menurunnya sistem ijon yaitu sistem penjualan padi
yang masih hijau. Kemudian penjaminan harga gabah dan beras oleh Bulog berarti
memberikan jaminan kepada pendapatan petani (Mears, 1982:4-5).
Setelah
melalui inovasi-inovasi kebijakan pangan akhirnya pada tahun 1984 untuk pertama
kalinya berhasil mencapai swasembada beras, bahkan surplus. Surplus beras
tersebut tergambarkan pada jumlah stok beras yang dikuasai oleh Bulog pada
tahun 1984/1985 yaitu sekitar 2,382 juta ton setara beras kemudian kebutuhan
penyalurannya hanya sekitar 1,612 juta ton beras, sehingga surplus beras
sekitar 0,770 juta ton setara beras (Arifin, 1994:243). Mengenai peningkatan
jumlah produksi tiap tahun dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 3.2 Produksi Beras di
Indonesia 1967 sampai 1978
Tahun
|
Jumlah Produksi
(Juta ton)
|
1967
|
10,40
|
1968
|
11,67
|
1969
|
12,25
|
1970
|
13,14
|
1971
|
13,72
|
1972
|
13,18
|
1973
|
14,61
|
1974
|
15,28
|
1975
|
15,18
|
1976
|
15,71
|
1977
|
15,88
|
1978
|
17,50
|
Sumber: Data-data BPS diolah dari Mears,
L.A. & Moeljono, S. 1981. Kebijaksanaan Pangan. Dalam Anne Booth dan Peter
McCawly. 1981. Ekonomi Orde Baru.
Jakarta: LP3ES. halaman 34-35.
Dari
tabel 2.2 dapat diketahui bahwa hasil produksi padi Indonesia terus mengalami
kenaikan sejak tahun 1967 sampai 1978 kenaikan tersebut merupakan suatu
kemajuan namun masih terjadi fenomena impor beras. Revolusi Hijau di Indonesia
pada masa Orde Baru dapat meningkatkan tingkat produksi pangan. Pada dekade
1970-an, Indonesia masih mengimpor sekitar 1,5 juta ton beras per tahun.
Kemudian pada tahun 1985, Indonesia mampu mengekspor 1,5 juta ton beras. Angka peningkatan
rata-rata produksi beras sejak tahun 1968 sampai 1984 sekitar 5% per tahun
(Esje & Daniel, 1998:2). Singkatnya Revolusi Hijau dapat mendorong
terwujudnya swasembada beras pada tahun 1984, sehingga harga bahan makanan
menjadi murah yang tentunya menguntungkan komunitas perkotaan (Suseno &
Suyatna, 2007:271).
Ketika
mengalami Swasembada Beras pada tahun 1984, pemerintah Indonesia memperoleh
penghargaan tingkat internasional dari FAO tahun 1984. Peristiwa tersebut
ditandai dengan percetakan koin yang salah satu sisinya digambarkan foto
Presiden Soeharto. Presiden diundang ke Roma menerima penghargaan dari FAO.
Kemudian di keping lainnya tergambarkan seorang petani dengan tulisan “From
Importer to Self-Suffiency” (Arifin,
1993).
Dampak
positif politik perberasan yang dilakukan Bulog yaitu dapat terjaminnya stok
beras nasional dengan harga yang relatif stabil. Kembali lagi pada fungsi pokok
Bulog yaitu fungsi pengadaan, penyaluran,
dan penyimpanan beras. Fungsi pengadaan dilakukan Bulog ketika harga dasar yang
ditetapkan pemerintah tidak efektif dalam melindungi kepentingan petani.
Misalnya pada saat masa panen raya padi yang menyebabkan surplus produksi padi
sehingga tingkat penawaran naik namun harga jual gabah di tingkat petani
cenderung menjadi rendah. Bulog melaksanakan fungsi pengadaan dengan melakukan
pembelian gabah atau beras baik secara langsung dari petani maupun melalui
Koperasi Unit Desa dengan tingkat harga dasar. Fungsi pengadaan akan terus
berjalan hingga harga jual di tingkat petani sama dengan harga dasar (Arifin,
1994:263-264). Mengenai fungsi pengadaan dan penyaluran oleh Bulog dapat
dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 3.3
Pembelian dan Penggunaan Beras oleh
Pemerintah 1967-1978 (dalam ribu ton)
Tahun
|
Pembelian dalam
negeri
|
Pegawai Negeri dan Angkatan Bersenjata
|
Perusaha-an Swasta
|
Opera-si di Pasar
Bebas
|
Lain-lain
|
Jum-lah
|
||
Pegawai Pemerintah
Pusat
|
Angkatan
Bersenjata
|
Pegawai Daerah
Otonomi
|
||||||
1967
|
520,2
|
681
|
36
|
139
|
856
|
|||
1968
|
597,6
|
697
|
28
|
80
|
805
|
|||
1969
|
203,9
|
688
|
104
|
214
|
1.005
|
|||
1970
|
493,3
|
94
|
525
|
92
|
151
|
229
|
37
|
1.127
|
1971
|
616,7
|
90
|
499
|
89
|
112
|
226
|
74
|
1.089
|
1972
|
160,3
|
92
|
474
|
85
|
84
|
419
|
57
|
1.211
|
1973
|
262,8
|
92
|
462
|
108
|
67
|
703
|
20
|
1.451
|
1974
|
530,4
|
93
|
455
|
110
|
112
|
315
|
133
|
1.218
|
1975
|
539,3
|
96
|
461
|
106
|
91
|
423
|
122
|
1.300
|
1976
|
391,5
|
103
|
472
|
109
|
889
|
889
|
65
|
1.726
|
1977
|
423,9
|
t.a.
|
t.a.
|
t.a.
|
t.a.
|
t.a.
|
t.a.
|
t.a.
|
Sumber: Data-data Bulog diolah dari Mears, L.A. & Moeljono, S. 1981. Kebijaksanaan Pangan. Dalam
Anne Booth dan Peter McCawly. 1981. Ekonomi
Orde Baru. Jakarta: LP3ES. halaman 37.
Selain permasalahan stok gabah dan beras serta
penyalurannya yang dapat dilihat pada tabel 2.3 terdapat pula stabilisasi harga
gabah dan beras. Masalah harga memang sangat penting
yang dilaksanakan Bulog sesuai Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1969 bahwa sasaran
utama program Bulog adalah “a) mempertahankan harga minimum beras, b) menjaga
kestabilan harga beras agar tidak melampaui tingkat maksimum”. Penentuan harga
dasar oleh Bulog dikenal dengan sebutan “Rumus Tani”. Rumus Tani merupakan
suatu pedoman perhitungan dalam membandingkan harga beras yang dijual oleh
petani dengan harga pupuk yang dibeli (Mubyarto, 1987:141&144).
Tabel 3.4
Harga Beras Nominal di
Indonesia1965-1977
Tahun
|
Harga Beras Nominal
(dalam Rupiah)
|
1965
|
726,04
|
1966
|
5,96
|
1967
|
16,64
|
1968
|
48,13
|
1969
|
38,26
|
1970
|
43,47
|
1971
|
39,80
|
1972
|
45,90
|
1973
|
71,34
|
1974
|
75,45
|
1975
|
93,49
|
1976
|
108,91
|
1977
|
107,30
|
Sumber: Data-data BPS diolah dari Mears, L.A. & Moeljono, S. 1981. Kebijaksanaan Pangan. Dalam
Anne Booth dan Peter McCawly. 1981. Ekonomi
Orde Baru. Jakarta: LP3ES. halaman 66.
Menurut tabel 2.4, harga
beras mengalami fluktuasi kadang naik kadang turun dari tahun ke tahun.
Terlihat pada tahun 1965 yang merupakan tahun krisis multidimensional di
Indonesia harga beras melijit tinggi sampai
Rp 726, 04 kemudian tahun 1966 sudah menurun menjadi Rp 5,96 kemudian
tiap tahun berikutnya merangkak naik dan turun. Fungsi stabilisasi harga gabah
dan beras oleh Bulog sebagai badan yang berwenang mengurusi pangan atau
Logistik sangat diperlukan. Upaya peningkatan produksi melalui Revolusi Hijau
harus diimbangi dengan politik perberasan supaya stok beras aman di Indonesia.
Pencapai Swasembada beras sebenarnya juga tidak dapat dilepaskan dari Bulog
yang sudah bekerja optimal untuk mengendalikan stok dan harga gabah dan beras
di Indonesia yang pernah menorehkan prestasi Swasembada pertama kalinya di
Indonesia tahun 1984.
b. Dampak Negatif
Kebijakan Pangan pada Masa Orde Baru:
Kebijakan pangan pada masa Orde Baru yaitu Revolusi Hijau
pada satu sisi merupakan langkah peningkatan hasil pertanian supaya dapat
memenugi kebutuhan pangan terutana beras yang murah dan mendukung proses
industrialisasi. Namun pada sisi lainnya, Revolusi Hijau menyebabkan tingginya
ketergantungan masysarakat pedesaan terhadap perkotaan. Petani di pedesaan
semakin bergantung pada produk-produk dan jasa-jasa dari perkotaan
(Primahendra, 2009:3).
Posisi desa tidak setara dengan kota. Posisi pedesaan
dalam kebijakan ekonomi Orde Baru merupakan daerah penyangga kota dan menjadi
penyedia pangan murah, penyedia buruh murah, dan dijadikan pasar bagi produk
industri di perkotaan. Sebagai penyedia pangan murah, menjadi mata pencaharian
utama masyarakat desa dimarjinalisasi sehingga merubah sistem ekonomi pedesaan
yang semula sebagai suatu sistem ekonomi yang relatif mandiri dan swadaya
berubah menjadi bagian dari kebijakan industrialisasi yang dijadikan pasar produk
dari perkotaan. Kemudian banyak juga penduduk desa yang berpindah ke kota yang
memberikan tekanan tambahan terhadap kota-kota tersebut (Primahendra,
2009:4-5).
Kebijakan
Revolusi Hijau telah mengubah bentuk sosial masysrakat di pedesaan yang semula
hidup dengan sistem komunal, saling membantu, dan bergotong-royong berubah
menjadi memasuki sistem kapitalis yang lebih mengedepankan modal dan
berorientasi pada hasil produksi. Paket bertani yang dengan revolusi hijau
serba berteknologi modern membuat sebagaian penduduk pedesaan kehilangan
pekerjaannya sehingga memilih menjadi buruh di perkotaan, karena Pemerintah
Orde Baru telah mengundang investor untuk membangun industri dengan tenaga
buruh yang murah (Fahmid, dalam Suseno & Suyatna, 2007:273).
Kondisi
di atas dapat dipahami misalnya pada kegiatan matun atau mencabuti
tanaman liar (gulma) yang mengganggu tanaman pertanian yang biasanya dikerjakan
oleh banyak penduduk menjadi cukup satu satu atau beberapa orang dengan
menggunakan pestisida bawaan Revolusi Hijau. Akhirnya banyak yang semula
menjadi buruh tani menjadi kehilangan pekerjaannya, sehingga terjadinya
kesenjangan anatara petani yang miskin dengan petani kaya yang dapat
memanfaatkan revolusi hijau untuk mempertinggi produktivitasnya, namun petani
miskin malah kehilangan pekerjaannya.
Terdapat
dampak negatif menurut Sjahrir (1987: 467-480) yaitu: Hanya berfokus kepada
produksi beras sehingga tanaman yang lain sangat “lemah”, Penurunanya produksi
gizi lain seperti protein karena produksi beras lebih menguntungkan, Penggunaan
teknologi baru untuk petani mengakibatkan efek kesempatan kerja menurun.
Ketika
implementasi Bimas, pemerintah Orde Baru membentuk institusi khusus penyuluhan
yang disebut PPL (Petuga Penyuluh Lapangan Pertanian) (Esje & Daniel,
1998:1.,Suseno & Suyatna, 2007:274). Institusi tersebut bertugas melakukan
penyeragaman dan kontrol secara intensif untuk memassalkan paket teknologi
revolusi hijau di tingkat petani. Tidak ada kebebasan bagi petani untuk
menentukan jenis/varietas tanaman serta metode bertani yang diterapkan harus
mengikuti arahan institusi PPL. Bahkan pada awal implementasi Bimas sering
terjadinya kekerasan dalam wujud intimidasi dan penganiayaan bagi para petani
yang menolak menerapkan teknologi revolusi hijau (Esje & Daniel, 1998:2).
Program kebijakan revolusi hijau yang
menentukan dengan tegas varietas padi oleh Pemerintah menyebabkan
ketergantungan yang tinggi petani untuk mendapatkan benih unggul yang seragam
sehingga bibit lokal ditinggalkan, pertanian menjadi rentan terhadap serangan
hama, serta petani semakin melunturkan pengetahuan lokal dan lebih
menggantungkan pada paket teknologi revolusi hijau. Pelarangan penanaman
varietas padi lokal dan lebih memilih varietas unggulan misalnya Cisadane dan
PB 36 atau IR (International Rice) 36. Sehingga tidak kurang dari 1500 varietas
padi lokal menjadi langka bahkan ada yang punah (Prias & Vellve dalam
Soemartono, dalam Suseno & Suyatna, 2007:271-272).
Kejayaan
swasembada pangan yang selama masa Orde Baru digembor-gemborkan ternyata hanya
terjadi satu kali saja yaitu pada 1984/1985. Hal tersebut karena sejak dekade
1980-an, produktivitas lahan di Jawa mengalami penurunan. Gejala penurunan
produktivitas lahan tersebut menunjukkan adanya penurunan efisiensi penyerapan
pupuk akibatnya julah pupuk yang digunakan terus diperbanyak. Kemudian
penggunaan pupuk kimia yang berlebihan menyebabkan merosotnya produktivitas
lahan di Jawa (Adiningsih, dalam Esje & Daniel, 1998:2).
Dapak
negatif revolusi hijau semakin kompleks dan sulit dipecahkan terutama yang
menyangkut kerusakan ekosistem. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida buatan
secara besar-besaran menurunkan tingkat kesuburan tanah, pencemaran lingkungan,
dan ledakan hama dan penyakit. Berdasarkan laporan IRRI pada tahun 1987 efek
penggunaan pestisida yang berlebihan di Jawa menimbulkan masalah ekologi yang
serius yang meracuni habitat ikan dan udang di perairan, serta mendorong
berkembangnya biotipe hama wereng baru yang lebih tahan terhadap pestisida
(dalam Esje & Daniel, 1998:3).
Mulai
awal tahun 1980-an terjadi peristiwa anjloknya harga minyak dunia, akibatnya
Indonesia juga terkena akibatnya karena ekspor minyak bumi juga menjadi
penyangga perekonomian nasional. Jika dibandingkan sebelumnya yaitu 1970-an
tepatkan setelah tahun 1973 terjadinya kenaikan harga minyak dunia (dikenal Oil
Boom) yang menyebabkan Pemerintah Orde Baru memiliki sumber pembiayaan yang
besar untuk program Bimas untuk subsidi pupuk, bantuan kredit, serta sarana
produksi pertanian. (Abisono N., 2002:274-277).
Kemudian
kebijakan Polik Ekonomi yang dijalankan Bulog untuk menjaga stok dan mengatur
harga dasar gabah yang seharusnya bertujuan untuk meredam fluktuasi harga yang
merugikan petani dan konsumen. Namun dalam prakteknya seringkali harga di
tingkat petani sangat rendah atau kurang layak. Oknum-oknum pedagang sering
curang dengan berspekulasi dan menimbun stok. Politik ekonomi penentuan harga
dasar gabah lebih ditujukan untuk mengamankan kondisi stok pangan nasional
daripada untuk meningkatkan pendapatan petani. Kemudian rekayasa pembelian
gabah oleh KUD-KUD yang sekaligus menyalurkan kredit usaha tani menyebabkan
fungsi Lumbung Pangan Desa digantikan oleh gudang penyimpanan KUD. Rekayasa
tersebut semakin mempertegas kuatnya kontrol negara atas penyediaan pangan
(Esje & Daniel, 1998:2).
Sejak
tahun 1990-an terjadinya pergeseras kebijakan Pemerintah Orde Baru yang semula
berorientasi produsen-pemasok beras menjadi orientasi konsumen beras. Gejala
tersebut menandai menguatnya kebijakan globalisasi (Wahono, dalam Abisono N.,
2002:278). Puncaknya pada tahun 1998, Bulog mengimpor beras sekitar 2,5 juta
ton yang menandai runtuhnya hegemoni swasembada beras di Indonesia. (Esje & Daniel, 1998:2-3).
Maksud
dari pembahasan dampak positif dan dampak negatif Kebijakan Pangan Masa Orde Baru bukan untuk
memuja atau menghina kebijakan Pemerintah Masa Orde Baru terutama dalam bidang
pangan. Kebijakan Revolusi Hijau harus diakui dapat membawa Indonesia meraih
swasembada pangan pada tahun 1984 yang juga mengharumkan nama bangsa. Kemudian
kebijakan politik perberasan yang dilakukan oleh Bulog juga mengamankan harga
di kalangan masyarakat serta menjamin stok pangan nasional.
Namun
juga tidak dipungkiri masih terdapat kekurangan yang menjadi catatan untuk
diminimalisir atau bahkan diatasi. Sudah disebutkan bahwa Revolusi Hijau pada
Masa Orde baru membawa dampak negatif pada ekosistem yaitu pencemaran tanah dan
air dan mematikan hewan di perairan. Kemudian kelemahan politik perberasan oleh
Bulog masih memberikan harga yang rendah di kalangan petani serta membuka
peluang pada pedagang nakal untuk menimbun stok beras. Pembahasan dampak negatif ini dimaksudkan
untuk memahami berbagai hal yang perlu dibenahi ke depannya supaya swasembada
beras dapat terealisasi lagi pada masa-masa berikutnya untuk membawa Indonesia
menjadi negara dan bangsa yang berdikari.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.1.1 Revolusi Hijau merupakan paket kebijakan modernisasi
pertanian mulai dari peralatan, bahan, dan penunjang pertanian untuk menerapkan
Panca Usaha Tani pada Masa Orde Baru dalam rangka meningkatkan produktivitas
pertanian terutama beras di Indonesia. Iplementasi Revolusi Hijau dalam
kebijakan Bimas, Inmas, Insus, dan Supra Insus yang terus diperbaiki sistem
pertaniannya yang bermula dari upaya pemerintah yang terlihat dominan sampai
pada terwujudnya kerjasama antar kelompok tani untuk meningkatkan hasil
pertanian. Petani diberikan bantuan kredit modal produksi serta bantuan biaya
hidup untuk memperkuat ketahanan pangan terutama beras yang merupakan makanan
pokok sebagian besar masyarakat di Indonesia.
4.1.2 Politik Perberasan dijalankan oleh Badan Urusan Logistik atau
Bulog yang memiliki fungsi pengadaan, penyaluran, penyimpanan stok beras
nasional serta stabilisasi harga gabah dan beras. Bulog telah menjadi badan
khusus untuk menerapkan politik perberasan bertujuan melindungi petani,
pedagangan, dan konsumen. Penetapan harga dasar gabah diperlukan supaya harga padi stabil dan stok
beras nasional aman.
4.1.3 Kebijakan Pangan Orde Baru yaitu Revolusi Hijau serta Politik
Perberasan oleh Bulog memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya
yaitu hasil produksi padi terus meningkat sejak 1967 yang mencapai puncaknya
pada 1984 yang membawa Indonesia menuju swasembada pangan. Selain itu stok
beras aman dan harganya juga stabil. Kemudian dampak negatifnya yaitu
penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang berlebiha mengakibatkan tingkat kesuburan tanah
menurun, banyaknya hewan air yang mati, semakin punahnya jenis varietas pada
lokal, serta timbulnya hama wereng baru yang lebih tahan pestisida.
4.2 Saran
Setiap kebijakan pasti memiliki
kelebihan dan kekurangan seperti Kebijakan Pangan Masa Orde Baru melalui
Revolusi Hijau dan politik perberasan oleh Bulog masih memiliki banyak
catatan-catatan yang perlu untuk dicarikan jalan keluar permasalahannya. Konsep
swasembada beras pertama kali diraih pada tahun 1984 dan merupakan prestasi
yang luar biasa. Namun bukan hanya dikenang kisah romantisme masa lalu saja,
melainkan sekarang ini harus bercermin kondisi pangan di Indonesia. Kebijakan-kebijakan
pangan yang diambil seharusnya tidak hanya berdasar ambisi semata, namun perlu perencanaan yang
matang dan implementasi yang nyata sehingga prestasi Swasembada Beras dapat
terwujud dalam beberapa tahun ke depan yang mengantarkan Indonesia menjadi
lebih berwibawa.
Daftar Rujukan
Abisono
N., F.G. 2002. “Dinamika Kebijakan Pangan Orde Baru: Otonomi Negara Vs. Pasar
Global”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.5 (3) Maret
2002:271-294. (Online).
(http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/153), diakses
22 Oktober 2015.
Amang,
B. 1993. Ekonomi Perberasan, Jagung dan Minyak Sawit. Jakarta: PT Dharma
Karsa Utama.
________.1995.
Sistim Pangan Nasional: Permasalahan dan Pengamanannya. Jaka rta: PT
Dharma Karsa Utama.
Arifin,
B. 1994. Pangan dalam Orde Baru. Jakarta: Koperasi Jasa Informasi
(KOPINFO).
Esje,
G. & Daniel. 1998. “Menggugat Revolusi Hijau Orde Baru”. Wacana No.
12 Juli-Agustus 1998. (Online).
(http://www.elsppat.or.id/download/file/w12_a1.pdf), diakses 28 Oktober 2015.
Leirisa, R. Z,
Ohorella, G. A & Tangkilisan, Y.B. 2012. Sejarah Perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Mears,
L.A. 1982. Era Baru Ekonomi Perberasan Indonesia (Terjemahan oleh
Suroso., dkk.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mears,
L.A. & Moeljono, S. 1981. Kebijaksanaan Pangan. Dalam Anne Booth dan Peter
McCawly. 1981. Ekonomi Orde Baru.
Jakarta: LP3ES.
Mubyarto.
1987. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
________.
1989. Sistem dan Politik Perekonomian Indonesia. Dalam Mubyarto & Revrisond
Baswir. 1989. Pelaku dan Politik Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Primahendra,
R. 2009. “Marjinalisasi Perdesaan”. Issue 4:1-6. (Online).
(http://www.amerta.id/wp-content/uploads/2014/02/Brief_4.pdf), diakses 28
November 2015.
Ricklefs,
M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. (Terjemahan Wahon.,
dkk.). Jakarta: Serambi.
Roesad,
K. 1995. “Perkembangan Pertanian di Indonesia”. Dalam Bandoro, B., dkk. 1995. Refleksi
Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Centre fo Strategic and
International Studies (CSIS).
Sjahrir,
1987. Ekonomi Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia.
Suseno,
D. & Suyatna, H. 2007. “Mewujudkan Kebijakan Pertanian yang Pro-Petani”. Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 10 (3) Maret 2007:267-294. (Online).
(http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/229/224.),
diakses 28 November 2015.
Tambunan,
T.T.H. 2003. Perekonomian Indonesia Beberapa Masalah Penting. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. (Online).
diunduh dari (http://ews.kemendag.go.id/download.aspx?file=UU-796.pdf&type=policy.), diakses 28 November 2015.
Komentar
Posting Komentar