PENINGGALAN KEBUDAYAAN KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN PADA MASA KERAJAAN BANJAR, KERAJAAN KUTAI, DAN KERAJAAN PONTIANAK
PENINGGALAN
KEBUDAYAAN KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN PADA MASA KERAJAAN BANJAR, KERAJAAN
KUTAI, DAN KERAJAAN PONTIANAK
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Indonesia Madya
yang dibina oleh Bapak Deny Yudo Wahyudi,
S.Pd., M.Hum
Oleh :
Yuliarti Kurnia Pramai Selli
(140731606196)

UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
JURUSAN
SEJARAH
PRODI
S1 PENDIDIKAN SEJARAH
April
2015
KATA
PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan
tugas matakuliah Sejarah Indonesia Madya dengan makalah yang berjudul “Peninggalan
Kebudayaan Kerajaan Islam di Kalimantan pada Masa Kerajaan Banjar, Kerajaan
Kutai, dan Kerajaan Pontianak”.
Penulis
mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Kepada Bapak Deny Yudo Wahyudi, S.Pd., M.Hum selaku
pembimbing, yang senantiasa memberikan pengarahan kepada penulis dalam
penyelesaian tugas makalah ini. Tidak lupa kepada teman-teman yang telah
memberikan informasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah yang
dibuat masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat berguna
bagi penulis untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini berguna untuk
menambah pengetahuan tentang peninggalan kebudayaan kerajaan-kerajaan Islam di
Kalimantan.
Malang,
April 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah .......................................................................................... 1
1.3 Tujuan
Penulisan ............................................................................................ 1
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Peninggalan
Kebudayaan Kerajaan Banjar .................................................... 2
2.2 Peninggalan Kebudayaan Kerajaan
Kutai ..................................................... 8
2.3 Peninggalan Kebudayaan Kerajaan Pontianak .............................................. 11
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .................................................................................................... 14
3.2 Saran .............................................................................................................. 14
DAFTAR RUJUKAN ........................................................................................ 15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kalimantan
adalah kepulauan yang cukup besar untuk dihuni sebagai tempat tinggal
masyarakat Indonesia. Di dalam kepulauan Kalimantan, terdapat sejarah dimana
proses terjadinya Islam masuk ke pulau tersebut yang nantinya terdapat 3
kerajaan besar Islam di Kalimantan, yaitu Kerajaan Banjar (Banjarmasin) yang
terdapat di daerah Kalimantan Selatan, Kerajaan Kutai di daerah Kalimantan
Timur, dan Kerajaan Pontianak di daerah Kalimantan Barat.
Dengan
luasnya daerah tersebut, dapat diasumsikan bahwa kerajaan-kerajaan tersebut
berkembang pesat dalam hal politik, ekonomi-perdagangan, agama, dan tidak
ketinggalan juga dengan kebudayaan yang menurut penulis sangat beragam. Pada
makalah ini, penulis lebih menekankan pada aspek kebudayaan kerajaan-kerajaan
Islam di Kalimantan.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana peninggalan kebudayaan
kerajaan Banjar ?
2. Bagaimana peninggalan kebudayaan
kerajaan Kutai ?
3. Bagaimana peninggalan kebudayaan
kerajaan Pontianak ?
1.3
Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui dan memahami
peninggalan kebudayaan kerajaan Banjar.
2. Dapat mengetahui dan memahami
peninggalan kebudayaan kerajaan Kutai.
3. Dapat mengetahui dan memahami
peninggalan kebudayaan kerajaan Pontianak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Peninggalan Kebudayaan Kerajaan
Banjar
Kerajaan Banjar adalah kerajaan yang
terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul sejak kerajaan-kerajaan
bercorak Hindu, yaitu Nagara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang berpusat di daerah
hulu sungai Nagara di Amuntai kini (Poesponegoro, Djoened, M. &
Notosusanto, Nugroho. 2010: 85).
Kebudayaan Kerajaan Islam Banjar
telah berkembang beberapa kesenian dan sastra yang pada saat itu, Banjar telah
memiliki gamelan yang dipukul dengan lemah lembut. Sedangkan, sastra berkembang
dengan penggunaan huruf Arab Melayu (Jawi). Selain itu, terdapat juga seni ukir
yang berkembang di Kerajaan Banjar dengan adanya kebiasaan para bangsawan dan
orang kaya dalam rangka membuat rumah yang mewah dan dipenuhi dengan ukiran
indah. Corak seni lainnya adalah adanya mahidin
dan balamut (lamut). Jadi, dari hal
tersebut kita mengetahui bahwa Kerajaan Banjar telah berkembang suatu seni
udayana yang memiliki corak khas (Ainul. 2013, (Online)).
Berikut adalah macam-macam budaya
pada masa Kerajaan Banjar, yaitu :
1. Dundam (Badundam)
Kesenian Dundam atau kata kerjanya
disebut Badundam merupakan salah satu kesenian Banjar yang sudah ada sejak ±
1500 M dalam bentuk sastra lisan. Setelah Islam masuk di Kalimantan Selatan,
kesenian ini diiringi dengan alat musik terbang. Dundam sendiri berasal dari
kata “Memundang” atau “Mengundang” (tokoh-tokoh alam ghaib). Kesenian ini
diyakini juga sebagai turunan dari kesenian Lamut.
Perkembangan Dundam diperkirakan
berada pada daerah pedesaan di sepanjang sungai dan satu-satunya tempat yang
masih terdapat kesenian ini adalah Desa Lok Baintan (Kecamatan Sungai Tabuk)
dan Desa Pundun Daun (Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar).
Berikut adalah tata cara penyajian
dari Dundam, yaitu :
a. Pendundam duduk dengan adanya
perapian kemenyan yang harus tetap membara dan berasap. Sebelum memulai cerita,
pendundam mengundang tokoh-tokoh alam ghaib dengan menyuguhkan 40 macam kue
khas Banjar.
b. Semua proses dilakukan dalam
keremangan gelap malam, dalam artian tanpa adanya penerangan lampu.
c. Setelah penyajian awal selesai, maka
pendundam mulai mengumandangkan dundamnya. Biasanya, cerita yang didundamkan
adalah cerita kerajaan antar berantah dengan berbagai macam tokoh fisiknya yang
cerita tersebut tidak pernah dirancang sebelumnya tetapi mengalir begitu saja
sesuai inspirasi yang datang saat mendundam. Pendundam sendiri berfungsi
sebagai tokoh utama cerita (first point
of view).
d. Waktu penyajian dundam biasanya
dimulai pada pukul 20.00 atau 21.00 dan berakhir saat menjelang subuh. Dialog
yang disampaikan dalam bahasa Banjar diselingi bahasa Indonesia atau Jawa Kuno
seperti dalam wayang.
2. Madihin
Dari berbagai keterangan menyebutkan
bahwa asal kata Madihin adalah dari kata Madah, yaitu sejenis puisi lama dalam
sastra Indonesia yang dilakukan dengan menyanyikan syair-syair yang berasal
dari kalimat akhir bersamaan dengan bunyi. Madah bisa juga diartikan sebagai kalimat pujian-pujian (bahasa Arab)
terbukti dalam kalimat mahidin yang kadangkala berupa pujian-pujian. Selain
itu, ada pendapat lain mengatakan bahwa kata madihin berasal dari bahasa Banjar
yang artinya “Papadahan” atau “Mamadahi” (memberi nasihat) dan pendapat
tersebut dibenarkan karena dilihat dari isinya memang syair tersebut berisi
nasihat.
Awal mula adanya kesenian ini sulit
dijelaskan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kesenian ini berasal dari kampung
Tawia, Angkinang, Hulu Sungai Selatan. Dari kampung Tawia ini kemudian menyebar
ke seluruh daerah Kalimantan Selatan bahkan sampai ke Kalimantan Timur terbukti
dari pemain madihin yang terkenal umumnya berasal dari kampung Tawia. Ada juga
yang mengatakan kalau kesenian ini berasal dari Malaka karena madihin
dipengaruhi oleh syair dan gendang tradisional dari tanah Semenanjung Malaka
yang sering dipakai dalam mengiringi irama tradisional Melayu asli.
Yang jelas madihin dalam semua
syairnya hanya mengenal bahasa Banjar dengan artian bahwa orang yang memulai
kesenian ini adalah dari suku Banjar di Kalimantan Selatan, sehingga dapat
dilogikakan bahwa madihin berasal
dari Kalimantan Selatan yang diperkirakan ada semenjak Islam menyebarkan ajaran
di Kerajaan Banjar. Fungsi utama madihin adalah untuk menghibur para raja atau
pejabat istana yang isi syairnya dibawakan dengan pujian-pujian kepada
kerajaan. Dalam perkembangannya, madihin berfungsi
sebagai hiburan rakyat pada waktu-waktu tertentu, seperti pengisi hiburan
sehabis panen, memeriahkan persandingan pengantin, dan memeriahkan hari besar
lainnya.
Kesenian ini umumnya dilakukan pada
malam hari dengan lama pergelaran ± 1 sampai 2 jam sesuai permintaan
penyelenggara. Dulu, pementasannya dilakukan di lapangan terbuka agar menampung
banyak penonton dan sekarang madihin lebih sering dilakukan di gedung tertutup.
Biasanya kesenian ini dibawakan oleh 2 sampai 4 pemain dan apabila pemainnya
banyak, maka mereka seolah-olah bertanding adu kehebatan dalam bersyair, saling
tanya jawab, saling sindir, dan saling mengalahkan melalui syair yang mereka
ciptakan. Hal ini disebut Baadu Kaharatan
(adu kehebatan).
Kelompok atau pemadihinan yang
terlambat dalam membalas syair dari lawannya, maka dinyatakan kalah. Jika hanya
ada 1 pemain, maka pemadihinan tersebut harus bisa mengatur rampak gendang atau
suara yang akan ditampilkan untuk memberikan efek dinamis dalam penyampaian
syair. Pemadihinan secara tunggal seperti seorang orator yang harus pandai
menarik perhatian penonton dengan humor segar dan pukulan terbang yang memukau
dengan irama indah.
Dalam pergelaran ada tahapan-tahapan
menjadi madihin, yaitu :
a. Pembukaan, dengan melagukan sampiran
sebuah pantun yang diawali pukulan terbang (pukulan pembuka). Sampiran pantun
ini biasanya memberikan informasi awal tentang tema madihin yang akan dibawakan
nantinya.
b. Memasang tabi’, yaitu dengan
membawakan syair atau pantun yang berisikan tentang menghormati penonton,
memberikan pengantar, ucapan terima kasih, dan memohon maaf apabila ada kekeliruan
dalam pergelaran nantinya.
c. Menyampaikan isi (manguran), yaitu dengan menyampaikan
syair-syair yang isinya selaras dengan tema pergelaran (sesuai tema yang
diminta tuan rumah) yang sebelumnya disampaikan dulu sampiran pembukaan syair (mamacah bunga).
d. Penutup, dengan menyimpulkan apa
maksud syair sambil menghormati penonton memohon pamit ditutup dengan pantun
penutup.
3. Tari Gandut
Tari Gandut merupakan salah satu
kebudayaan Banjar yang mempunyai nilai mistis besar yang tari tersebut berasal
dari sebutan terhadap penarinya, yaitu Gandut. Tari ini mulanya hanya dimainkan
di lingkungan istana kerajaan, tetapi baru pada ± 1860-an tari ini berkembang
ke pelosok kerajaan dan menjadi jenis kesenian yang disukai oleh golongan
rakyat biasa. Tari ini dimainkan setiap ada acara besar, seperti acara malam
perkawinan, hajad, pengumpulan dana kampung, dan sebagainya.
Tari ini merupakan profesi yang unik
dalam masyarakat dan tidak sembarang wanita bisa menjadi Gandut. Selain harus
cantik dan pandai menari, seorang Gandut juga wajib menguasai seni bela diri
dan mantra-mantra tertentu. Ilmu tambahan ini sangat penting untuk melindungi
dirinya sendiri dari tangan-tangan usil penonton yang tidak sedikit ingin
memikatnya memakai ilmu hitam. Dahulu banyak Gandut yang diperistri oleh para
bangsawan dan pejabat pemerintahan, di samping paras cantik mereka juga
diyakini memiliki ilmu pemikat hati penonton yang dikehendakinya. Nyai Ratu
Komalasari, permaisuri Sultan Adam adalah bekas seorang penari Gandut yang
terkenal.
Pada masa kejayaannya, tari Gandut
sering menjadi arena persaingan adu gengsi para lelaki yang ikut menari.
Persaingan ini bisa dilihat melalui cara para lelaki tersebut mempertontonkan
keahlian menari dan besarnya jumlah uang yang diserahkan kepada para Gandut.
Tari ini sebagai hiburan terus berkembang di wilayah pertanian di seluruh
Kerajaan Banjar yang berpusat di daerah Pandahan, Kecamatan Tapin Tengah,
Kabupaten Tapin. Sejak tahun 1960-an, tari ini sudah tidak berkembang lagi
dikarenakan faktor agama Islam yang merupakan penyebab utama hilangnya jenis kesenian ini, ditambah dengan
gempuran jenis kesenian modern lainnya. Sekarang tari Gandut masih bisa
dimainkan tetapi tidak lagi sebagai tarian aslinya, tetapi hanya sebagai
pengingat dalam pelestarian kesenian tradisional Banjar.
4. Lamut
Kesenian Lamut atau Balamut berasal
dari seorang tokoh yang berpengaruh dalam lingkungan kerajaan yang bernama
Lamut. Kesenian ini biasanya diadakan karena adanya nazar, seperti keinginan
untuk mendapatkan anak laki-laki dan jika terkabul, maka harus menyelenggarakan
kesenian ini. Selain nazar bisa juga sebagai pengiring acara khitanan,
perkawinan, dan acara adat lainnya. Dalam pelaksanaannya, kesenian Lamut
biasanya dilakukan pada malam hari mulai pukul 22.00 sampai pukul 04.00
(menjelang subuh tiba) dengan Palamutan yang membawa terbang besar diletakkan
dipangkuannya duduk bersandar di tawing
halat (dinding tengah) dikelilingi para pendengar yang khusus untuk
perempuan disediakan tempat di sebelah dinding tengah tadi.
Sebelum cerita Lamut dimulai,
disediakan dulu sesajen yang terdiri dari air kembang, air baboreh, kelapa
muda, gula merah, dan ketan. Di samping itu, harus ada perapen (perapian) yang selalu mengepulkan kemenyan. Tujuannya
adalah untuk melancarkan jalannya cerita dalam pembawaan Lamut tanpa adanya
gangguan apa-apa sampai acaranya berakhir. Jika cerita Lamut diceritakan secara
biasa, maka tidak memakan waktu yang lama kira-kira 2 jam dan cerita tersebut
sudah diketahui oleh orang banyak. Cerita Lamut sendiri dibawakan dengan lagu
merdu dan diiringi terbangan yang indah. Tidak semua bagian cerita dilagukan
karena ada dialog-dialog tertentu dalam cerita tersebut. Jika yang membawakan
Lamut ada 2 orang, maka akan terlihat sangat menarik saat 2 Palamutan ini
saling bersahutan. Pukulan terbang sering digunakan untuk menandai perpindahan
bagian cerita untuk menunjukkan suasana perpindahan cerita (penyisipan
pesan-pesan tertentu dalam cerita) (Sultan, Anak. 2008, (Online)).
Berikut adalah
peninggalan-peninggalan kebudayaan Kerajaan Banjar :
1. Candi Agung Amuntai
Candi Agung Amuntai berada pada
daerah yang dulunya berawal dari Negaradipa yang kemudian berkembang menjadi
kota Amuntai. Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Negaradipa yang dibangun
oleh Empu Jatmika pada abad ke-14 Masehi. Negaradipa berdiri tahun 1438 di
persimpangan tiga aliran Sungai, Tabalong, Balangan, dan Negara. Candi ini
diperkirakan telah berusia 740 tahun dengan bahan material yang didominasi oleh
batu dan kayu. Kondisinya masih kokoh dan di candi tersebut masih terdapat
beberapa batu yang digunakan untuk mendirikan candi ini dengan usia kira-kira
200 tahun SM sekilas mirip dengan batu bata merah. Batu tersebut lebih berat
dan kuat daripada batu bata merah biasa. Candi Agung Amuntai sendiri merupakan
bagian dari lambang daerah HSU dengan menggunakan cara supranatural yang
sekarang dikonstruksi menyerupai bentuk candi Agung terdahulu tanpa merubah
letak. Hanya saja bangunan tersebut sekarang dibuat seperti rumah Banjar dan
dijadikan tempat wisata (Wahid, Hamdani. 2014, (Online)).
2. Masjid Sultan Suriansyah
Masjid Sultan Suriansyah atau Masjid
Kuin adalah sebuah masjid bersejarah tertua di kota Banjarmasin, Kalimantan
Selatan. Masjid ini dibagun pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah
(1526-1550), raja pertama yang masuk agama Islam. Letak masjid sendiri berada
pada Kelurahan Kuin Utara yang kawasannya dikenal sebagai Banjar Lama (ibu kota
Kesultanan Banjar pertama kali) berdekatan dengan komplek makam Sultan
Suriansyah dan di tepi kiri Sungai Kuin. Masjid ini memiliki bentuk arsitektur
tradisional Banjar dengan konstruksi panggung beratap tumpang dan pada bagian
mihrab masjid terdapat atap sendiri yang terpisah dengan bangunan induk. Pola
ruang dari masjid ini merupakan pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak
yang dibawa bersamaan dengan masuknya Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan (Wikipedia.
2013, (Online)).
2.2
Peninggalan Kebudayaan Kerajaan
Kutai
Kerajaan Kutai adalah kerajaan di
Kalimantan Selatan yang pada masa kehadiran dan islamisasinya tidak menghadapi
situasi dan kondisi politik perpecahan keluarga raja-rajanya. Kerajaan Kutai
dalam melakukan penyebaran Islam ke daerah-daerah sekitarnya sampai pada awal
abad ke-17 yang mana mulai didatangi pedagang-pedagang VOC Belanda, bahkan
sampai penjajahan Hindia Belanda (Poesponegoro, Djoened, M. & Notosusanto,
Nugroho. 2010: 88).
Bentuk budaya pada masa Kerajaan
Kutai (Kutai Kartanegara) adalah adanya Lembuswana dan Ular Naga Lembu.
Lembuswana adalah hewan mitologi rakyat Kutai yang hidup sejak zaman Kerajaan
Kutai sampai Kesultanan Kutai Kartanegara dan menjadi lambang kerajaan tersebut
dengan semboyan Tapak Leman Ganggayaksa.
Lembuswana sendiri bercirikan kepala
singa (keperkasaan seorang raja dianggap penguasa), bermahkota (tanda kekuasaan
raja yang dianggap seperti dewa), belalai gajah (Dewa Ganesha sebagai dewa
kecerdasan), bersayap garuda, dan bersisik ikan. Wilayah Kalimantan memiliki
banyak sungai-sungai besar dan sangat panjang, salah satu sungai tersebut di
Kalimantan Timur adalah Sungai Mahakam dengan panjang 920 km. Pada Sungai
Mahakam ini masyarakat percaya bahwa ada seekor ular naga raksasa yang menjaga
sungai tersebut, sehingga masyarakat sekitar mewujudkan suatu kepercayaan
dengan mengadakan ritual peluncuran Naga Erau di Sungai Mahakam yang disisipkan
sebagai salah satu bagian dari rangkaian upacara adat Erau di Kota Tenggarong,
Kabupaten Kutai Kartanegara.
Erau
adalah upacara adat yang dilaksanakan sebagai upacara kerajaan ketika terjadi
pemindahan kekuasaan (penobatan raja). Selain itu, dalam perkembangannya
upacara Erau juga untuk memberikan gelar kepada tokoh atau pemuka masyarakat
yang dianggap berjasa terhadap kerajaan. Pelaksanaan upacara Erau dilakukan
oleh kerabat Keraton/Istana dengan mengundang seluruh tokoh pemuka masyarakat
dari seluruh pelosok wilayah yang mengabdi kepada kerajaan dengan membawa bekal
bahan makanan, ternak, buah-buahan, dan juga para seniman yang dibalas oleh
Sultan serta kerabat Keraton dengan jamuan makan kepada rakyat dengan
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya sebagai tanda terima kasih Sultan atas
pengabdian rakyatnya.
Karena saat ini sistem pemerintahan
tidak lagi berbentuk kerajaan, maka Erau dilaksanakan sebagai acara budaya
untuk memperingati HUT Kota Tenggarong tanggal 29 September. Ritual ini
melibatkan tokoh masyarakat dan Sultan Kutai yang ritual tersebut melambangkan
tanda syukur warga setempat yang selama ini telah mendapat limpahan rahmat dari
Allah SWT serta permohonan tolak bala agar negeri ini selalu tenteram dan
damai. Dalam mitologinya, Ular Naga Lembu (Erau) adalah seorang bayi yang
dikawal seekor naga dan dibawa oleh Lembuswana.
Masyarakat setempat mempercayai
bahwa Lembuswana adalah kendaraan spiritual dari raja Mulawarman yang merupakan
raja Kutai pada zaman kejayaan Hindu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa walaupun
secara fisik Ular Naga Lembu dan Lembuswana tidak ada (mitologi), namun hal
tersebut akan tetap hidup dalam jiwa dan semangat warga Kutai dalam membangun
daerahnya (Ziantireha. 2013, (Online)).
Beberapa peninggalan kebudayaan pada
masa Kerajaan Kutai, yaitu :
1. Keraton Sultan Alimuddin dan Museum
Mulawarman
Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri
dari dua lantai yang terbuat dari kayu ulin (kayu besi) yang bangunannya menghadap
Sungai Mahakam. Pada tahun 1936 bangunan tersebut dibongkar dan digantikan
dengan bangunan beton yang lebih kokoh oleh HBM (Hollandsche Beton
Maatschappij) Batavia dengan arsiteknya Estourgie. Pada tahun 1938, keraton
tersebut resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta keluarga beliau.
Pada tanggal 18 Februari 1976,
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas Keraton Kutai
Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dikelola
menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman. Di museum ini
terdapat berbagai macam peninggalan Kesultanan Kutai Kartanegara, seperti
singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat
gamelan, koleksi keramik dari Cina, dan lain-lain. Selain itu juga, di sekitar
lingkungan Keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga Kerajaan Kutai
Kartanegara. Sultan-sultan yang dimakamkan di sini antara lain adalah Sultan
Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman, dan Sultan Parikesit. Hanya
Sultan Alimuddin yang dimakamkan di tanah miliknya daerah Gunung Gandek, Tenggarong
(Kartanegara, Kutai. 2001, (Online)).
2. Ketopong
Ketopong merupakan mahkota Sultan
Kutai Kartanegara yang terbuat dari emas dihiasi batu-batu permata berbentuk
brunjungan dan bagian muka berbentuk meru bertingkat, dengan dihiasi motif ikal
atau spiral yang dikombinasikan dengan motif sulur berhiaskan di belakang
berupa garuda mungkur dengan ukiran motif bunga, kijang, dan burung.
Diperkirakan mahkota ini dibuat pada pertengahan abad ke-19 oleh pandai emas
dan Kerajaan Kutai sendiri dan ketopong emas ini mulai digunakan oleh Sultan
Aji Muhammad Sulaiman bertakhta (1845-1899).
3. Pedang Kesultanan Kutai Kartanegara
Pedang ini terbuat dari emas padat
yang pada ganggangnya terukir seekor harimau yang siap menerkam dan pada ujung sarung pedang dihiasi
seekor buaya.
4. Kalung Ciwa
Kalung ini terbuat dari emas yang
ditemukan penduduk di sekitar Danau Lipan, Kecamatan Muara Kaman (masa
pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman antara tahun 1850-1899) dan kalung
tersebut diserahkan kepada Sultan dan dijadikan perhiasan kerajaan serta digunakan
pada saat pesta adat Erau dalam rangka ulang tahun penobatan Sultan sebagai
Sultan Kutai Kartanegara.
5. Kalung Uncal
Kalung Uncal adalah atribut dari
Kerajaan Kutai Martadipura (Mulawarman) yang digunakan Sultan Kutai Kartanegara
setelah berhasil mengalahkan dan menaklukkan Kerajaan Kutai Kartadipura yang
kemudian dipersatukan oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Kalung ini terbuat dari
emas 18 karat dengan berat 170 gram yang dihiasi dengan relief cerita Ramayana.
Kalung Uncal sendiri bisa
diasumsikan berasal dari India dan dalam bahasa India kalung ini disebut Unchele. Terdapat 2 buah atau 1 pasang
(satu untuk pria dan satunya untuk perempuan). Menurut keterangan salah satu
duta India yang berkunjung ke Tenggarong tahun 1954, beliau mengatakan bahwa
kalung ini mirip seperti kalung di India. Sehingga, ada kemungkinan bahwa Raja
Mulawarman Nala Dewa adalah masih keturunan dari raja-raja di India (Nusantara,
Amukti. 2011, (Online)).
2.3
Peninggalan Kebudayaan Kerajaan Pontianak
Kesultanan Kadriyah Pontianak adalah
sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif
Abdurrahman Alkadrie di daerah muara Sungai Kapuas (termasuk kawasan yang
diserahkan Sultan Banten kepada VOC Belanda). Beliau mempunyai 2 istri, yaitu
pertama putri dari Kerajaan Mempawah dan yang kedua putri dari Sultan
Tamjidillah I, sehingga beliau diberi gelar Pangeran. Setelah mereka
mendapatkan tempat di Pontianak, mereka kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan
mendapat pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779
(Wikipedia. 2014, (Online)).
Beberapa peninggalan kebudayaan
Kerajaan Pontianak, yaitu :
1. Keraton Kadriyah
Keraton Kadriyah adalah peninggalan
Pontianak yang didirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman pada tahun 1771, yaitu
14 Rajab 1185 H. Keraton ini terletak 4 km dari pusat kota, tepatnya dari
kampung Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur. Sampai sekarang Keraton
Kadariyah masih menyimpan peninggalan kesultanan, seperti Singgasana, Kaca
Pecah Seribu, Al-Quran tulis tangan Sultan dan lain sebagainya. Keraton
Kadriyah sampai saat ini masih menjadi tempat tinggal keturunan dari Sultan
Syarif Abdurrahman (Darmawan, Angga. 2012, (Online)).
2. Masjid Agung Pontianak (Masjid
Sultan Syarif Abdurrahman)
Masjid ini merupakan masjid tertua
dan terbesar di Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Masjid
ini merupakan satu dari dua bangunan yang menjadi pertanda berdirinya Kota
Pontianak pada tahun 1771 Masehi yang bersamaan dengan adanya Keraton Kadriyah.
Masjid ini dibangun oleh Sri Sultan
Syarif Usman al-Kadri Ibnu al-Habib Husen al-Kadri pada hari Selasa bulan
Muharamthun 1237 Hijriyah atau 1823 Masehi. Hal ini terbukti dengan adanya
tulisan huruf Arab pada selembar papan yang tergantung di atas mimbar. Masjid
ini dapat menampung sekitar 1.500 jamaah sholat. Pada sisi kiri pintu masuk
masjid terdapat pasar ikan tradisional. Di belakang masjid terdapat pemukiman
padat penduduk Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis dan pada bagian depan
masjid yang menghadap ke barat terbentang Sungai Kapuas (diduga pada waktu itu
para jamaah datang dengan menggunakan perahu).
Bangunan masjid ini dibangun dengan
di atasnya terdapat tiang-tiang dari kayu berlian yang pada serambi masjid
(bagian masjid) disanggah oleh tiang-tiang. Terdapat juga mihrab dan mimbar
yang di atasnya tergantung selembar papan bertuliskan huruf Arab. Atap masjid
ini terbuat dari sirap yang berbentuk tumpang empat yang semakin ke atas
semakin kecil. Setiap tingkatnya dibatasi oleh jendela-jendela ukuran kecil.
Dan pada keempat sudut atap ketiga ini dihiasi oleh kubah-kubah kecil dan atap
paling atas masjid ini berbentuk kubah (Iriyani, Dania. 2013, (Online)).
3. Kompleks Makam Batulayang
Kompleks makam ini terletak di
Kelurahan Batulayang, Kecamatan Pontianak Utara dengan jarak 7 km dari pusat
kota dan terletak persis di sebelah utara Sungai Kapuas. Di makam ini terdapat
7 Sultan yang dimakamkan dan pernah memerintah di Kesultanan Pontianak, yaitu
Sultan Syarif Abdurrahman, Sultan Sayid Kasim al-Kadri, Sultan Syarif Oesman
al-Kadri, Sultan Syarif Hamid I, Sultan Syarif Yusuf al-Kadri, Sultan Syarif
Muhammad al-Kadri, dan Sultan Syarif Hamid II.
4. Klenteng Tua Budhivasta Karaniya
Metta dan Pelabuhan Sanghie
Klenteng tua ini diperkirakan
berdiri pada abad ke-17 yang pada masa tersebut banyak sekali bangsa Cina yang
datang ke Kalimantan Barat, sehingga etnis Cina yang terdapat pada Kalimantan
Barat bertambah banyak. Pembangunan Klenteng ini bertujuan untuk memfasilitasi
etnis Cina dalam beribadah.
Sedangkan Pelabuhan Sheng Hie
diperkirakan berdiri pada abad ke-18 yang merupakan pelabuhan perniagaan
pertama di Pontianak. Pelabuhan ini digunakan untuk kegiatan perdagangan pada
masa tersebut sampai saat ini. Nama pelabuhan tersebut diambil dari nama
seorang pengusaha besar hasil bumi dari negeri Cina dan pelabuhan ini memiliki
letak yang strategis karena terletak di tepi Sungai Kapuas (Darmawan, Angga.
2012, (Online)).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan
maupun peninggalan budaya dari kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan pada masa
tersebut sangat menarik untuk dijaga agar menambah wawasan sejarawan ke depan
dan kebudayaan tersebut tidak punah oleh zaman yang semakin instan. Dari setiap
kerajaan memiliki kekhasan dan keunikan tersendiri, sehingga semakin banyak
juga keingintahuan atau minat dari pembaca tentang kebudayaan kerajaan-kerajaan
di Kalimantan setelah membaca makalah ini.
3.2 Saran
Untuk bisa memahami peninggalan
kebudayaan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan ini perlu dibaca dan diharapkan
bisa mengerti maksud atau tujuan dari penjelasan tentang peninggalan kebudayaan
maupun budaya pada saat itu. Oleh karena itu, pembaca setelah membaca makalah
ini diharapkan semakin tahu dan ingin lebih menggali secara luas kebudayaan
tersebut.
DAFTAR
RUJUKAN
1.
Ainul. 2013. Sejarah Kerajaan Islam Banjar, (Online), (http://ainulsejarah.blogspot.com/2013/04/sejarah-kerajaan-islam-banjar.html), diakses
05 April 2015.
2.
Darmawan, Angga. 2012. Sebuah Catatan Perjalanan, (Online), (http://ranselkecilku.blogspot.com/2012/08/sepenggal-kisah-dari-kalimantan-barat.html), diakses
05 April 2015.
3.
Iriyani,
Dania. 2013. Masjid Agung Pontianak (Masjid
Sultan Abdurrahman), (Online), (http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1342/masjid-agung-pontianak-masjid-sultan-abdurrahman), diakses 05 April 2015.
4.
Kartanegara,
Kutai. 2001. Keraton Kesultanan Kutai
Kartanegara, (Online), (http://kesultanan.kutaikartanegara.com/index.php?menu=keraton_kutai), diakses 05 April 2015.
5.
Nusantara,
Amukti. 2011. Peninggalan Budaya
Kesultanan Kutai Kartanegara, (Online), (http://perjalanansangpetualang.blogspot.com/2011/12/peninggalan-budaya-kesultanan-kutai.html), diakses 05 April 2015.
6.
Poesponegoro,
Djoened, M. & Notosusanto, Nugroho. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
7.
Sultan, Anak. 2008. Kerajaan Banjar Virtual, (Online), (https://kerajaanbanjar.wordpress.com/category/kesenian/), diakses
05 April 2015.
8.
Wahid, Hamdani. 2014. Sejarah Singkat Kerajaan Islam Banjar, (Online), (http://hamdaniwahid71.blogspot.com/2014/09/sejarah-singkat-kerajaan-islam-banjar.html), diakses
05 April 2015.
9.
Wikipedia. 2013. Masjid Sultan Suriansyah, (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Sultan_Suriansyah), diakses
05 April 2015.
10.
Wikipedia. 2014. Kesultanan Pontianak, (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Pontianak), diakses
05 April 2015.
11.
Ziantireha.
2013. Kebudayaan di Kutai Kartanegara,
(Online), (https://ziantireha.wordpress.com/2013/01/31/kebudayaan-di-kutai-kartanegara/), diakses 05 April 2015.
Komentar
Posting Komentar