TUGAS UTS SEJARAH POLITIK


TUGAS UTS SEJARAH POLITIK

Nama          : Yuliarti Kurnia Pramai Selli
Kelas/Off.   : B
Prodi           : S1 Pendidikan Sejarah
NIM             : 140731606196
Makul         : Sejarah Politik

JAWABAN :

1.   Identifikasi Muatan Prinsip-Prinsip Sosialisme dalam Konstitusi Republik Indonesia (RI).
Menurut penulis yang diketahui bahwa salah satu prinsip dari sosialisme adalah adanya perhatian dan pandangan yang sama (tidak memandang status) dan dalam sistem kepemilikan dalam aspek ekonomi dianggap milik bersama walaupun boleh ada kepemilikan pribadi tetapi dengan syarat bersifat sosialis atau bersifat gotong royong. Hal tersebut sebenarnya sudah dilakukan oleh pendiri bangsa kita, salah satunya adalah pendiri bangsa melalui penyusunan proklamasi seperti Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Moh. Yamin, dan lain-lain, dimana dalam menyusun proklamasi mempertimbangkan kepentingan rakyat bersama tanpa memandang siapa yang memberikan ide tentang proklamasi dan hal tersebut dilakukan secara musyawarah serta bersifat gotong royong yang nantinya menjadi milik bersama. Menurut penulis, konstitusi adalah sistem politik dimana mengatur tentang hukum yang berisikan hak, kewajiban, wewenang, dan lain sebagainya yang bertujuan untuk mencapai tujuan dari suatu pemerintahan baik konstitusi tersebut secara tertulis maupun tidak tertulis. Sejarah konstitusi di Indonesia menjadi empat macam, yaitu pada periode 18 Agustus 1945-27 Desember1949 (UUD 1945), periode 27 Desember 1949-17 Agustus 1950 (Konstitusi RIS), periode 17 Agustus 1950-5 Juli 1959 (UUDS 1950), dan periode 17 Agustus-sekarang (kembali ke UUD 1945). Dari penjelasan di atas, hubungan antara sosialisme dengan konstitusi RI saat ini adalah karena sosialisme sendiri dipengaruhi oleh 4 hal, yaitu adanya liberalisme (kebebasan), agama, idialisme etis dan estetis, serta empiris Fabian. Dan 4 hal tersebut ada di dalam konstitusi Indonesia saat ini, yaitu UUD 1945 walaupun tidak semuanya, hanya yang nampak menurut penulis adalah liberalisme, agama, dan empiris Fabian dan kita juga harus ingat bahwa kita berprinsip Pancasila. Penulis mengambil salah satu pendapat dari Miriam Budiarjo tentang ketentuan-ketentuan materi muatan dalam suatu konstitusi, yaitu :
a.    Adanya organisasi negara.
b.   Adanya hak-hak asasi manusia (HAM).
c.    Adanya prosedur mengubah Undang-Undang Dasar (UUD).
d.   Terdapat pemuatan larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang-Undang Dasar (UUD) (Dahlan Thaib, dkk. 1999: hal. 17).
Dari ketentuan-ketentuan tersebut, maka pengaplikasiannya dalam konstitusi UUD 1945 adalah sebagai berikut :
a.    Adanya Organisasi Negara
Adanya organisasi negara di Indonesia terbukti dengan adanya Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik” dimana negara kesatuan sebagai susunan negara dan republik sebagai bentuk negara. Menurut C. F Strong, negara kesatuan mempunyai dua ciri mutlak, yaitu Dekosentrasi dan Desentralisasi. Dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat atau Kepala Wilayah, Kepala Instansi kepada pejabat-pejabat di daerah, sedangkan Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat (sebagai tingkat atasan) kepada Daerah menjadi urusan rumah tangga Daerah yang bersangkutan (Moh. Kusnadi & Saragih, Bintan. 2000). Dalam hal pembagian kekuasaan pemerintahan, UUD 1945 membagi kekuasaan menjadi tiga bagian, yaitu adanya kekuasaan eksekutif (terbukti dalam Pasal 4-16 UUD 1945), kekuasaan legislatif (terbukti dalam Pasal 19-22 UUD 1945 tentang DPR), dan kekuasaan yudikatif (terbukti dalam Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945). Sistem pembagian tersebut dalam pembentukan UU disusun oleh kekuasaan legislatif bersama dengan kekuasaan eksekutif (terbukti dalam Pasal 20 ayat 2 UUD 1945) (Moh. Kusnardi & Ibrahim, Hermaily. 1988: hal.167).
b.   Adanya Hak-Hak Asasi Manusia (HAM)
Peraturan tersebut tercantum dalam Pasal 28 A-J UUD 1945 dimana berisikan tentang hak dan kewajiban dasar manusia sebagai warga negara dalam mematuhi peraturan perundang-undangan (Muladi. 2005: hal. 6).
c.    Adanya prosedur mengubah Undang-Undang Dasar (UUD)
Peraturan tersebut tercantum di dalam Pasal 37 ayat 3 yang berisikan “untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR” dan tercantum dalam Pasal 37 ayat 4 yang intinya berisi tentang pengambilan keputusan dimana dalam mengubah UUD. Dari dua aturan tersebut, dapat dikatakan bahwa konstitusi UUD 1945 bersifat fleksibel.
d.   Terdapat pemuatan larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang-Undang Dasar (UUD)
Peraturan tersebut tercantum di dalam Pasal 37 ayat 5 yang inti isinya adalah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak bisa diubah karena didasari oleh semboyan bangsa kita, yaitu “Bhineka Tunggal Ika” dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yaitu “Persatuan Indonesia” (Redaksi Great Publisher. 2009: hal. 63).
Sumber : (Dahlan Thaib & dkk. 1999. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), (Moh. Kusnardi & Ibrahim, Hermaily. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta: CV Sinar Bakti), (Muladi. 2005.  Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Imolikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat). Bandung: PT Refika Aditama), (Redaksi Great Publisher. 2009.  Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan. Yogyakarta: Jogja Great Publisher).

2.   Pendekatan baru dalam Sejarah Politik menurut Sartono Kartodirdjo dalam bukunya berjudul “Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah”.
Pendekatan tersebut adalah pendekatan sistem dan intraksionisme dimana pemikiran tersebut bermula dari Thucydides dengan menulis perang Pelopenesia dan dari tulisan tersebut menjadikan sejarah politik pada abad ke-19 sangat dominan dan pengaruhnya berkelanjutan. Dari hal tersebut, memunculkan perspektif bahwa hanya orang-orang besarlah yang menentukan jalannya sejarah (bentuk deskriptif-naratif menjadi bentuk konvensional). Kerangka dan unsur dari sejarah politik antara lain tentang struktur kekuasaan, tipe elite, kategori otoritas, kebudayaan politik, kepemimpinan, proses mobilisasi, dan lainnya. Sehingga, dalam perkembangannya, sejarah politik memiliki gaya baru, yaitu dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial yang “multidimensional” dimana dalam sejarah politik naratif hanya berkembang di permukaan proses politik, sedangkan dalam sejarah politik analitis dapat mengungkapkan berbagai aspek proses politik tersebut. Jadi, dalam pembahasan sejarah politik pasti tidak lepas dari dua pendekatan, yaitu pendekatan sistem (dilihat pada sistem, proses, dan struktur politik)dan pendekatan instraksionisme simbolis (bertujuan untuk menggambarkan fenomena politik dalam berbagai keadaan dalam area politik tertentu). Contoh pendekatan sistem adalah pembahasan tentang kerajaan tradisional, sedangkan contoh pendekatan instraksionisme adalah perubahan perekonomian antara masa Orde Lama ke Orde Baru. Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam sejarah politik bentuk konvensional lebih mengutamakan peranan tokoh-tokoh atau orang-orang besar sebagai faktor penentu jalannya sejarah dan dari pernyataan tersebut sudah jelas bahwa peran pemimpin atau tokoh besar sangat bergantung pada struktur kekuasaan yang terdapat di dalam suatu masyarakat (masyarakatnya) (Kartodirdjo, Sartono. 1993).
Sumber : Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.

3.   Alasan Elite Informal Kekuasaan Pribadinya Tinggi tetapi Kekuasaan Jabatan Rendah.
Konsep elite pertama kali digunakan untuk menyatakan “bagian yang menjadi pilihan atau bunga” dan kata elite sendiri berasal dari kata latin, yaitu “eligere yang artinya “memilih” yang nantinya arti tersebut digunakan untuk penyebutan sekelompok orang yang memegang posisi terkemuka dalam suatu masyarakat. Sudah dipastikan bahwa elite mempunyai kedudukan dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini, Pareto membagi elite dalam masyarakat menjadi tiga jenis, yaitu elite yang memerintah (governing elit/elite formal), elite tidak memerintah (non-governing elit/elite non-formal), dan bukan elit (non-elit). Contoh dari elite formal adalah Gubernur, Bupati, Walikota, Rektor, dan sebagainya. Sedangkan, contoh dari elite non-formal adalah Priyayi, Dukun, Kepala Suku, dan sebagainya. Menurut penulis, elite formal adalah mereka yang memiliki pengaruh kuat dan diakui sebagai pemimpin serta menduduki suatu posisi secara resmi dalam pemerintahan. Sedangkan, elite non-formal adalah mereka yang memiliki pengaruh besar dan diakui sebagai pemimpin oleh suatu kelompok tertentu maupun masyarakat desa walaupun tidak menduduki suatu posisi secara resmi dalam pemerintahan.
Dari arti saja, kita sudah mengetahui mengapa elite informal atau non-formal kekuasaannya tinggi tetapi jabatannya rendah karena adanya pengaruh dari jabatan/posisi yang tidak resmi, sehingga yang pasti didahulukan dan diprioritaskan adalah jabatan yang resmi dimana menyangkut penentuan kebijakan pemerintah dan diimbangi dengan adanya elite non-formal (kerja sama/kooperatif dalam mewujudkan kemakmuran rakyat). Saya ambil contoh Kepala Desa dengan Kyai. Fungsi kepala desa sendiri adalah sebagai hakim atau mediator seperti dalam kasus pidana, sengketa, dan lain-lain yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Sedangkan, fungsi dari Kyai adalah sebagai pelengkap dan penyeimbang dimana sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam hal memberikan pengajaran tentang agama yang berisikan tentang keyakinan, praktek islam dalam masyarakat, dan utamanya adalah membangun mental akhlak. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara elite formal dan non-formal selain di atas adalah elite formal membuat kebijakan secara menyeluruh sedangkan elite non-formal hanya tertentu/sub-bagian (terfokus pada masalah tertentu) di dalam suatu masyarakat dan persamaannya adalah sama-sama mempunyai tujuan untuk mensejahterakan masyarakatnya sesuai bidang masing-masing (Rahayu, Ajeng. 2016, (Online)).
Sumber : Rahayu, Ajeng. 2016. Distribusi Kekuasaan Elite Desa dalam Pemberdayaan Masyarakat, (Online), (http://ajengrhy.blogspot.co.id/2016/02/distribusi-kekuasaan-elite-desa-dalam.html), diakses tanggal 31 Maret 2016.

4.   Bukti Historis Kerajaan Majapahit Memenuhi Syarat sebagai Sebuah Negara.
Kita ketahui bahwa syarat terbentuknya suatu negara dibagi menjadi 4 hal, yaitu :
a.    Memiliki Wilayah.
Dalam hal ini, saya mengambil masa pemerintahan Hayam Wuruk dimana wilayah kekuasaan berada di Jiwana sebagai daerah lungguhnya. Pernyataan tersebut bisa dibuktikan dengan adanya Kakawin Nagarakertagama bahwa dalam masa pemerintahan Tribuwana telah terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331 M yang pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Ibu Hayam Wuruk, Tribuwana melakukan penobatan  kepada putra mahkota Hayam Wuruk pada tahun 1350 M dan didampingi oleh Gajah Mada yang berkedudukan sebagai Patih Hamangkubumi. Pada tahun 1372 M Tribuwana meninggal dan pastinya digantikan oleh Hayam Wuruk dalam memerintah Kerajaan Majapahit. Selain itu, dari pemberitaan Prapanca di dalam Kitab Kakawin Nagarakertagama kita mengetahui bahwa daerah-daerah yang ada di bawah pengaruh kekuasaan Majapahit meliputi hampir seluas wilayah Indonesia sekarang (daerah-daerah Sumatra bagian barat sampai ke daerah-daerah Maluku, Irian bagian timur, dan meluas ke beberapa negara tetangga di Asia Tenggara). Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Majapahit mempunyai wilayah kekuasaan.
b.   Memiliki Rakyat.
Dari penjelasan di atas sudah jelas bahwa di dalam suatu wilayah pasti terdapat masyarakat atau rakyat. Hal tersebut didukung dengan adanya Kakawin Nagarakertagama dan beberapa buah prasasti yang berasal dari masa pemerintahan Hayam Wuruk dimana hasil pemungutan pelbagai macam pajak dan upeti sangat dimanfaatkan untuk menyelenggarakan kesejahteraan dan meningkatkan kemakmuran rakyat dan kerajaan seluruh pelbagai bidang. Jadi, sudah dipastikan bahwa Kerajaan Majapahit mempunyai rakyat atau masyarakat.
c.    Pemerintahan yang Berdaulat.
Dengan adanya bantuan dari Patih Gajah Mada, raja Hayam Wuruk berhasil membawa Kerajaan Majapahit ke puncak kejayaannya. Dimana Gajah Mada ingin melaksanakan gagasan “Politik Nusantara” yang telah dicetuskan sebagai Sumpah Palapa di hadapan Raja Tribuwana dan para pembesar Kerajaan Majapahit. Hal tersebut dibuktikan dari pemberitaan Prapanca di dalam Kakawin Nagarakertagama, beberapa prasasti peninggalan masa Hayam Wuruk. Berbagai kegiatan dalam bidang ekonomi dan budaya sangat diperhatikan dan hal tersebut berdampak terhadap kemakmuran rakyat dan Kerajaan saat itu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada masa Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit menjadi pemerintahan yang berdaulat karena selain disegani rakyatnya sendiri, juga disegani oleh negara-negara tetangga dan para pedagang dari luar wilayah Kerajaan Majapahit.
d.   Pengakuan dari Negara Lain.
Dengan melakukan ekspansi dan perluasan wilayah, Kerajaan Majapahit mendapat pengakuan dari negara lain dimana pada masa itu yang dibantu Patih Gajah Mada luas wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit dimana jika digambarkan sekarang luasnya hampir seluruh wilayah Indonesia. Dan dengan adanya perdagangan juga mempengaruhi sistem pelayaran yang lama-lama orang yang berdagang dari penjuru dunia mengakui bahwa selain Kerajaan ini unggul dalam pertanian, adanya bendungan-bendungan, saluran-saluran pengairan, pembukaan tanah-tanah baru untuk perladangan. Dan di beberapa tempat sepanjang sungai-sungai besar diadakan tempat-tempat penyeberangan yang sangat memudahkan lalu lintas antar daerah. Semua berita tersebut sama berasal dari Kakawin Nagarakertagama dan beberapa prasasti masa pemerintahan Hayam Wuruk. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Sriwijaya diakui oleh negara lain seperti Cina, India, dan Arab. Dari empat hal tersebut, maka terbukti secara historis bahwa Kerajaan Majapahit adalah sebuah negara (Poesponegoro & Notosusanto. 2010).
Sumber : Poesponegoro & Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.

5.   Identifikasi Ideologi Partai-Partai Politik yang Menduduki Posisi 4 (Empat) Besar dalam Pemilu 1955.
Dalam Pemilu yang diadakan tahun 1955, empat partai politik yang menduduki posisi empat besar adalah :
a.    Partai Nasional Indonesia (22,3 %/57 kursi).
Partai ini merupakan partai politik tertua di Indonesia yang didirikan pada tanggal 04 Juli 1927 dengan diketuai oleh Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. . Sartono, Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo, dan M. Sunaryo. Ideologi dari partai ini adalah Nasionalisme dimana merupakan suatu ideologi yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi individu berada pada negara atau pemerintahan. Tujuan PNI adalah mencapai Indonesia Merdeka. Untuk mencapai tujuan tersebut, PNI menggunakan tiga asas yaitu self help (berjuang dengan usaha sendiri) dan nonmendiancy, sikapnya terhadap pemerintah juga antipati dan nonkooperasi. Dasar perjuangannya adalah Marhaenisme. Tidak dapat disangkal bahwa pada masa pergerakan nasional ini ada unsur-unsur Marxisme turut mempengaruhi sikap pergerakan nasional walaupun hal tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia (Marxisme versi Indonesia). Istilah Marhaenisme sendiri pertama kali muncul di Indonesia melalui pidato-pidato Soekarno di berbagai tempat serta melalui media cetak seperti Suluh Indonesia Muda, Fikiran Rakyat, dan Pemandangan. Oleh Soekarno, Marhaenisme digunakan sebagai teori perjuangan dalam membebaskan rakyat Indonesia saat itu dari feodalisme, kapitalisme, dan imperialisme (Mulia, Budi. 2004).
Sumber : Mulia, Budi. 2004. Pemahaman Saya tentang Ajaran Bung Karno Jilid I. Jakarta: KKJ Berdikari.
b.   Partai Masyumi (20,9 %/57 kursi).
Partai ini berdiri pada tanggal 07 November 1945 di Yogyakarta melalui Kongres Umat Islam pada tanggal 07-08 November 1945 dengan tujuan sebagai partai politik yang dimiliki oleh umat Islam dan sebagai partai penyatu Islam dalam bidang politik. Ideologi dari partai ini adalah Pan Islamisme. Partai ini terlibat langsung dalam pemerintahan, seperti menentukan dasar politik Indonesia (hingga menjelang tahun 1960). Partai ini juga turut aktif dalam membantu penyelesaian berbagai konflik di negara-negara muslim seperti konflik Palestina dan sengketa Mesir-Inggris mengenai Terusan Suez. Tujuan Masyumi antara lain untuk menegakkan kedaulatan negara RI dan agama Islam, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Partai ini dalam mencapai tujuannya menggunakan tiga cara, yaitu melalui kekerasan, keterlibatan dalam pemerintahan, dan diplomasi (cara-cara tersebut dianggap paling sesuai untuk dilakukan). Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 05 Juli 1959 memperkuat kekuasaan Soekarno dan melemahkan posisi dan peran dari Partai Masyumi dan akhirnya partai tersebut pun dibubarkan dengan adanya Keputusan Presiden No. 200 Tahun 1960 (Haniy, Ummu. 2010, (Online)).
Sumber : Haniy, Ummu. 2010. Pemikiran Politik Partai Masyumi, (Online), (http://anakpolitik.blogspot.co.id/2010/12/pemikiran-politik-partai-masyumi.html), diakses tanggal 31 Maret 2016.

c.    Nahdlatul Ulama (NU) (18,4 %/45 kursi).
Partai ini adalah sebuah organisasi Islam yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Faktor berdirinya NU adalah adanya perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelanggaran segala bentuk amaliah kaum Sunni. NU sendiri menganut paham Ahlisunnah Waljama’ah dimana mengambil pola pikir jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Sumber hukum berupa Al-Qur’an, sunnah, kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik (Notosusanto, N. & Poesponegoro, D., M. 2010).
Sumber : Notosusanto, N. & Poesponegoro, D., M. 2010. Sejarah Nasional Indonesia V : Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka.

d.   PKI (15,4 %/39 kursi).
Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik yang didirikan pada tahun 1920-an. Ideologi partai ini adalah komunis dan PKI sendiri pernah melakukan pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1926 yang dikenal dengan pemberontakan PKI Madiun tahun 1948. Munculnya komunisme di Indonesia tidak lepas dari para pelajar Indonesia dari Belanda yang kembali ke Indonesia, yaitu Sneevliet, Bregsma, dan Tan Malaka. Komunisme berkembang di kota-kota seperti di kota Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta. Dengan adanya Persetujuan Prambanan membawa kekalahan bagi Tan Malaka dan PKI. Tetapi, PKI bangkit kembali dimana diawali dengan kedatangan Muso. Dalam hal ini, Soekarno termasuk pendukung PKI dan hal tersebut terbukti setelah adanya Dekrit Presiden tanggal 05 Juli 1959 dimana politik luar negeri Indonesia lebih condong ke Blok Timur (Uni Soviet, Kamboja, Vietnam, RRC, dan Korea Utara) dan sebagian besar keputusan dan pemikiran Soekarno berpihak kepada Blok Timur. Beberapa akibat dari kebijakan Soekarno adalah terjadinya krisis moneter dan adanya Gerakan 30 September atau yang kita kenal dengan G30S/PKI (Panyarikan, S., K. 1993).

Sumber : Panyarikan, S., K. 1993. Sejarah Indonesia Baru dari Pergerakan Nasional sampai Dekrit Presiden. Malang: IKIP MALANG.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH MASUKNYA AGAMA KONGHUCU DI INDONESIA

Kamu yang Kusayang

MENGINAP SAMBIL MENGENANG MASA LALU: FENDI’S GUEST HOUSE MALANG