LATAR BELAKANG RUNTUHNYA KERAJAAN MAJAPAHIT DI TROWULAN (ABAD 13-16)

LATAR BELAKANG RUNTUHNYA KERAJAAN MAJAPAHIT DI TROWULAN (ABAD 13-16)


MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Geohistori 
yang dibina oleh Bapak Drs. Blasius Suprapta, M.Hum



Disusun Oleh :

Ahmad Akbar Nafi                 (140731601655)
Yuliarti Kurnia Pramai Selli   (140731606196)







UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
November 2016



KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan tugas matakuliah Geohistori dengan makalah yang berjudul “Latar Belakang Runtuhnya Kerajaan Majapahit di Trowulan (Abad 13-16)”.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Kepada Bapak Drs. Blasius Suprapta, M.Hum selaku pembimbing yang senantiasa memberikan pengarahan kepada penulis dalam penyelesaian tugas makalah ini. Tidak lupa kepada teman-teman yang telah memberikan informasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah yang dibuat masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat berguna bagi penulis untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah pengetahuan tentang Geohistori Kerajaan Majapahit di Indonesia.

Malang, November 2016


Penulis


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................  i
DAFTAR ISI .......................................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ...............................................................................................  1
B.     Rumusan Masalah ..........................................................................................  1
C.     Tujuan Penulisan ............................................................................................  2
BAB II PEMBAHASAN
A.      Gambaran Geohistori Kerajaan Majapahit di Trowulan ...............................  3
B.       Latar Belakang Runtuhnya Kerajaan Majapahit di Trowulan ......................  7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................... . 12
B. Saran .............................................................................................................. . 12
DAFTAR RUJUKAN ...................................................................................... . 13

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kerajaan Majapahit adalah salah satu kerajaan Hindu-Buddha terbesar di tanah Jawa dan Nusantara tepatnya di Jawa Timur yang didirikan oleh Raden Wijaya di wilayah hutan Tarik tahun 1293 yang beribukota di tlatah Majakerta dengan usia antara tahun 1293-1478 (Adji, 2014: 168). Kerajaan ini merupakan suatu peradaban Hindu-Buddha di Indonesia yang bisa dibilang masyarakatnya sudah maju pada masa itu. Sehingga, Majapahit bisa dibilang sebagai peradaban yang maju salah satunya adalah masyarakat Majapahit sudah mengenal baik tentang sistem pertanian dan sistem pengairan. Letak ibukota Majapahit sendiri kemudian dipindah ke Trowulan. Alasan perpindahan ibukota tersebut sampai saat ini masih belum dapat dipastikan penjelasannya karena masih belum ada sumber atau penelitian yang menyebutkan alasan perpindahan ibukota tersebut. Dalam peradabannya sendiri, Majapahit mengalami kelahiran (genesis), perkembangan (kejayaan), kemunduran, dan keruntuhan. Keruntuhan Majapahit jika dilihat dari geohistorinya adalah akibat dari adanya bencana alam yang hal tersebut terbukti dari situs-situs peninggalan Majapahit di Trowulan dan tata letak geografis sekitar Trowulan pada masa itu. Sehingga, dua permasalahan di atas perlu dicari dan dikaji lebih tentang alasan perpindahan ibukota Majapahit dari Hutan Tarik ke Trowulan dan pengaruh perpindahan tersebut terhadap keruntuhan Majapahit pada abad ke-16 yang semua hal tersebut tidak lepas dari adanya faktor alam pada masa itu (geohistori). Sehingga, pembahasan dalam makalah ini sangat penting untuk digali lebih dalam kebenarannya tentang geohistori dari letak ibukota Majapahit di Trowulan dan pengaruh letak tersebut terhadap keruntuhan Majapahit.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana gambaran geohistori ibukota Majapahit di Trowulan ?
2.      Bagaimana latar belakang runtuhnya kerajaan Majapahit di Trowulan ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui dan memahami gambaran geohistori ibukota Majapahit di Trowulan.
2.      Untuk mengetahui dan memahami latar belakang runtuhnya kerajaan Majapahit di Trowulan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Gambaran Geohistori Ibukota Majapahit di Trowulan
Menurut Muh. Yamin (1962) dalam (Daldjoeni 1982: 87) peradaban Majapahit lahir sebagai respon manusia yang tepat terhadap tantangan alam geografis delta sungai Brantas. Penyusunan peradaban Majapahit lahir pada akhir abad ke-13 (1293 M) yang dipengaruhi oleh lokasi geografis, yaitu adanya muara sungai Brantas beserta deltanya yang sebelumnya pernah menjadi wilayah kekuasaan Medang, Kahuripan, dan Jenggala. Raja pertama Majapahit, yaitu Raden Wijaya memilih wilayah delta sungai Brantas sebagai tanah baru untuk mendirikan kerajaan. Tanah tersebut berada di Hutan Tarik yang disebutkan dalam kitab Pararaton dan Nagarakertagama. Kemudian, letak ibukota Majapahit berpindah dari daerah Hutan Tarik (dari data toponim diperkirakan berada di Dusun Mendowo, Kecamatan Tarik, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur) ke Trowulan. Indikasi Hutan Tarik adalah di dusun Medowo sekarang karena dalam penelitian yang dilakukan oleh Kusumohartono menemukan temuan-temuan berupa fragmen tembikar, bata, keramik asing, bandul jala, mata uang, alat logam, alat batu, dan tulang tersebar di area yang cukup luas sehingga temuan-temuan tersebut mengindikasikan bahwa Dusun Medowo pernah berfungsi sebagai lokasi pusat suatu kegiatan pada periode Indonesia Kuno yang sejaman dengan masa Majapahit (Kusumahartono, 1990: 20-27).
Perpindahan letak ibukota Majapahit masih belum diketahui kapan terjadi dan alasan atau penyebab perpindahan tersebut. Tetapi terdapat kemungkinan-kemungkinan perpindahan letak ibukota dari Medowo ke Majapahit. Alasan pertama adalah luas alasing Tarik yang diminta oleh Raden Wijaya dari Jayakatwang dijadikan sebagai pemukiman baru meliputi daerah Tarik di tepi sungai Brantas terus ke arah selatan dan barat daya hingga daerah Trowulan sekarang. Alasan kedua adalah pemukiman baru tersebut dalam perkembangan selanjutnya akan meluas hingga mencapai puncak jayanya di Trowulan. Perpindahan letak ibukota Majapahit ke Trowulan dibuktikan dari adanya catatan Prapanca yang menyebutkan bahwa raja Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke daerah-daerah bawahan yang diawali dan diakhiri di daerah Trowulan (Wibowo, 1980: 1-2). Daerah Trowulan merupakan daerah yang strategis karena bisa diakses melalui jalan darat maupun air. Selain itu juga Trowulan berada pada daerah yang relatif datar dan dekat dengan pusat kerajaan seperti Kadiri, Daha, Singasari , Jenggala, dan Panjalu. Letak daerah Trowulan tidak jauh dari kota pelabuhan seperti Surabaya, Gresik, Tuban, dan Pasuruan yang berada di pesisir utara pulau Jawa. Daerah Trowulan sekitarnya sendiri mengalir sungai-sungai besar seperti kali Brantas, Kali Porong, dan Kali Brangkal yang merupakan jalur utama perdagangan (Adrisijanti, Inajati, 2012: 38).
Lokasi pusat Kerajaan Majapahit berada di dekat Trowulan yang letaknya kurang lebih 10 km di sebelah barat daya kota Mojokerto sekarang didasarkan pada penemuan-penemuan di desa-desa sekitar situs berupa pondasi bangunan, candi, gapura, reservoar air, dan umpak-umpak rumah. Selain itu juga, ada penemuan-penemuan seperti barang-barang pakai, perhiasan, dan patung-patung yang sampai saat ini bisa dilihat di museum arkeologi Trowulan (lihat gambar 1.1) (Daldjoeni, 1982: 97).
Adanya penemuan jaringan saluran air yang terdapat di sekitar pusat kerajaan berlangsung secara tidak sengaja pada tahun 1973 dimana wilayah Jawa Timur dipotret dari udara dengan memakai film hitam putih, yaitu “pankhromatik”. Dari segi penafsiran fotogrametisnya, terdapat garis-garis lurus yang saling memotong. Penelitian dilanjutkan pada tahun 1980 dengan memakai alat multispektral foto dan lales colour infra red dimana jaringan garis-garis gelap semakin nyata sehingga dilanjutkan penelitian setempat dengan hasil lebar jaringan air antara 20-30 m dengan kedalaman sekitar 4 m. Hasil penelitian Sunarso Simun selaku geograf peneliti Universitas Gajah Mada dengan kerjanya menggunakan geolistrik dan geomagnetik memastikan bahwa ibu kota Majapahit dikelilingi oleh jaringan jalur air yang lebar dan dalam sastra mempunyai jalan keluar ke arah barat menuju ke kali Brantas. Untuk sumber air berasal dari sungai-sungai yang ada di sebelah selatan ibu kota. Dengan menggunakan teknik geolistrik jalur-jalur lurus yang semula diduga jalan raya ternyata hanya endapan lumpur basah yang bangunan di sekitarnya sekarang berupa sisa-sisa bata yang digali oleh penduduk untuk bahan bangunan baru. Dari penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ibu kota Majapahit bisa dibilang sebagai “Kota Air”. Dapat kita ketahui bahwa pada abad ke-14 letak kota Trowulan berada di sebelah selatan jalan raya Jombang-Surabaya (di belakang museum Trowulan sekarang) dengan pintu besar utama menghadap ke arah barat laut. Di samping ditemukannya jalan air, penemuan selanjutnya ditemukan jaringan air minum yang mengalir lewat pipa-pipa dalam tanah yang bermula dari sekitar Candi Tikus di sebelah selatan ibu kota. Tokoh arkeolog lain bernama M.M. Sukarto menjelaskan bahwa pusat Majapahit sebagai kota air bukanlah suatu hal yang baru dimana didasarkan pada temuan-temuan serta interpretasi khususnya yang bertarikh 1358 dan pada masa Majapahit kedua, di sepanjang kali Brantas terdapat puluhan desa yang bebas pajak, serta pada masa itu air sungai mempunyai peranan penting dalam hal perniagaan dan lalu lintas.
Dari penjelasan di atas, ada beberapa arkeolog yang menolak pernyataan bahwa Majapahit dulunya adalah kota air, salah satunya adalah R.P. Sujono yang mengatakan bahwa dalam Prapanca dalam buku Nagarakertagama tidak menyebutkan Hayam Wuruk pernah naik kapal layar dalam perjalanannya keliling Jawa Timur. Sujono menduga bahwa terusan atau saluran air yang mengiris-iris daerah pusat kerajaan Majapahit itu lebih berfungsi untuk tujuan penyejukan udara serta pengairan pertanian. Dijelaskan bahwa Trowulan pada musim kemarau hawanya sangat panas, sedangkan pada musim hujan hawanya dingin dengan kelebihan air sehingga perlu disalurkan melalui berbagai terusan serta pipa-pipa air yang terbuat dari tanah. Pendapat lain dari Slamet Muljono yang didasarkan pada Nagarakartagama dan naskah Pararaton tidak disebutkan adanya parit dimana beliau berpendapat bahwa adanya parit menandakan pertahanan yang melingkari lapangan di muka gerbang barat ibu kota yang disebut sebagai “Purawaktra” dan pemikiran tersebut diperkuat dengan adanya sumber dari Cina berupa catatan perjalanan seorang ulama Ma Huan pada tahun 1416 pernah berkunjung ke ibu kota Majapahit yang laporannya berjudul “Ying Yai Seng Lan” berisikan gambaran geografis kota Trowulan dimana untuk mencapai Majapahit, dari Surabaya diperlukan naik perahu sejauh 40 km sampai Canggu. Setelah berjalan ke selatan selama satu setengah hari baru sampai ke ibu kota Majapahit, yaitu Trowulan (Daldjoeni, 1982: 98-102). Dari perbedaan penjelasan di atas, maka penulis mencoba menganalisa bahwa saluran-saluran air sungai tersebut merupakan kanal (sungai buatan) untuk pertanian, sistem pengairan, dan transportasi yang kita ketahui sendiri bahwa Majapahit terkenal dengan kemaritimannya dan Majapahit bukanlah kota air tetapi karena kondisi geografisnya dekat dengan delta sungai Kali Brantas dan sungai lainnya, maka oleh masyarakat Majapahit pada masa itu dimanfaatkan sebagai pertanian dan sistem pertanian maupun pengairan sudah maju terbukti dengan adanya kanal-kanal maupun rawa-rawa di sekitar peninggalan Majapahit di Trowulan (lihat gambar 1.2).
Menelusuri atau menemukan batas suatu kota pada zaman sekarang bisa dibilang bukanlah suatu pekerjaan yang mudah karena penentuan batas kota yang tidak bisa dilihat secara fisik saja dan untuk menemukan batas kota sendiri juga masih sulit. Dalam mengetahui dan menemukan batas kota di Trowulan adalah dengan menggunakan bukti-bukti arkeologis di lapangan seperti yang terdapat di permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah sebagai petunjuk. Semua bukti tersebut nantinya akan menghasilkan perkiraan tentang luas dan batas wilayah Trowulan sendiri. Semua situs arkeologis di Trowulan baik dari segi bentuk, ukuran, dan kualitasnya sangat penting karena hal tersebut menunjukkan bentuk penggunaan lahan (landuse) masa lalu yang karakteristik situs menjadi acuan dalam menafsirkan ciri-ciri pedesaan pada permukiman masa Hindu-Buddha di Trowulan. Penelitian yang dilakukan sejak Maclaine Pont (1926) sampai sekarang menghasilkan gambar tentang bentuk-bentuk penggunaan masa lalu, seperti kanal-kanal, waduk-waduk, kolam-kolam, sumur-sumur, bangunan tempat tinggal, candi-candi, tempat sampah makanan, dan lahan-lahan terbuka di antara situs-situs yang ada. Sehingga, bisa dikatakan bahwa daerah Trowulan adalah sebuah daerah perkotaan masa Majapahit yang meliputi daerah pusat kota dan daerah pinggiran kota (Adrisijanti, Inajati, 2012: 6).
Secara keruangan, bekas kota Majapahit yang tidak dikelilingi tembok terdiri dari daerah bagian dalam kota (inner city) dan daerah pinggiran kota (rural-urban fringe). Untuk daerah bagian dalam kota dipastikan terdapat pada lahan-lahan yang dikelilingi oleh kanal-kanal kuna yang berpotongan tegak lurus di situs Trowulan meliputi situs-situs di sekitar Kemasan, Segaran, Nglinguk, Pendopo Agung, Kedaton dan Sentonorejo. Sedangkan untuk daerah pinggiran kota merupakan suatu zona yang mempunyai karakteristik campuran kota-desa yang terdapat di sekeliling daerah perkotaan dimana daerah tersebut berada di luar lahan yang dikelilingi oleh kanal-kanal dan persebaran situs di wilayah ini sampai ke dataran aluvial Brantas (Kecamatan Sumobito di Jombang) di barat laut dan puncak kipas aluvial di tenggara (Kecamatan Jatirejo dan Kecamatan Gondang di Mojokerto). Berdasarkan jarak dan penempatan empat situs (Sedah, Lebakjabung, Klinterejo, dan Badas-Tugu) yang mengikuti arah mata angin, luas kota Majapahit diperkirakan sekitar 11 km x 9 km memanjang dari utara ke selatan. Jika dikaitkan dengan hasil kajian arkeologis di kecamatan Sumobito diperkirakan bahwa daerah di barat laut Trowulan merupakan jalan masuk ke kota Majapahit melalui jalur darat dan sungai (lihat gambar 1.3) (Adrisijanti, Inajati, 2012: 6-20).
B.     Latar Belakang Runtuhnya Kerajaan Majapahit di Trowulan
Daerah Trowulan terletak pada dataran aluvial yang sangat luas serta memiliki derajat kemiringan yang rendah dimana daerah tersebut mempunyai ketinggian sekitar 30-40 m dari permukaan laut. Di sebelah utara terdapat hamparan luas dataran banjir sungai Brantas, sebelah selatan dan tenggara sejauh lebih kurang 25 km menjulang tinggi kompleks pegunungan api Anjosmoro dan Arjuno-Welirang dengan ketinggian 2000-3000 m dari permukaan laut. Berdasarkan bentuk lahan dan proses geomorfiknya, secara garis besar daerah Trowulan dibedakan menjadi beberapa satuan bentuk lahan, yaitu dataran aluvial, dataran fluvio vulkanik, kipas fluvio vulkanik, serta tubuh vulkan (Adrisijanti, Inajati, 2012: 39).
Lahan aluvial adalah lahan yang subur terbentuk dari aktivitas aliran air terdapat di sebelah utara ibukota Majapahit, yaitu dekat dengan Kali Brantas (Sungai Brantas) dan mendapatkan aliran air dari Kali Brantas itu sendiri. Lahan aluvial sangat rawan banjir apalagi di dekat Sungai Kali Brantas yang setiap turun hujan besar dipastikan akan banjir yang biasanya secara alami membentuk seperti rawa. Lahan fluvio vulkanik adalah lahan yang sangat subur terbentuk karena material yang berasal dari gunung api yang berada di sebelah barat ibukota Majapahit yang meluas ke daerah selatan dari daerah Mojoagung. Intinya, lahan fluvio berada di lereng gunung berapi dengan tanah atau lahan yang sangat subur, sangat rawan terkena awan panas dan banjir lahar dari gunung berapi yang berada di atasnya. Satu jenis gunung yang dekat dengan daerah ini adalah gunung Kelud dimana gunung Kelud sendiri pernah meletus dan menyebabkan gempa bumi.
Kipas fluvio vulkanik adalah lahan yang cukup subur yang terdapat di ibukota Majapahit dan meluas ke arah tenggara. Penyebutan kipas fluvio vulkanik ini karena bentuk atau tpografi lahan ini menyerupai kipas yang terbentuk akibat endapan vulkanik dari gunung berapi Welirang dan Anjosmoro. Pembentukan kipas fluvio vulkanik dimulai dari pertemuan Sungai Brangkal dan Sungai Boro di sekitar daerah Baurena dan Jetis (Panji, Teguh, 2015: 255-257). Daerah Trowulan ke arah tenggara merupakan bentang lahan kipas fluvio vulkanik yang terbentuk oleh proses fluvial. Bentang lahan tersebut disebabkan oleh aliran sungai yang berasal dari gunung api Anjosmoro dan Welirang yang mengalir ke arah barat. Daerah ini mempunyai persediaan air tanah yang cukup banyak, sehingga pada umumnya merupakan daerah yang subur untuk aktivitas pertanian. Aliran permukaan dalam kaki kipas aluvial kadang-kadang besar dan menyebabkan banjir yang biasanya banjir tersebut merupakan kejadian periodik yang berulang, yaitu setiap lima tahun sekali atau sepuluh tahun sekali (Adrisijanti, Inajati, 2012: 39).
Bentuk lahan tubuh vulkan terletak di sebelah selatan Trowulan, yaitu satuan gunung api kompleks Arjuna, Anjasmoro, Welirang, dan Kelud dimana gunung api yang paling berperan dalam proses pembentukan lahan di daerah Trowulan adalah gunung api Anjosmoro dan Welirang (Sutikno, 1991: 13-30). Secara garis besar daerah Trowulan dipengaruhi oleh dua sistem geologi, yaitu pengaruh sistem pegunungan berupa gunung berapi di sebelah selatannya yang terdiri atas kompleks gunung Welirang, Arjuno, dan Anjasmoro, serta pengaruh sistem aliran sungai yang berasal dari sungai Brantas dan beberapa anak sungainya.
Di sebelah utara Trowulan terdapat cekungan memanjang arah timur-barat yang terletak antara pegunungan Kendeng di sebelah utara dengan kompleks gunung api di selatannya dengan material penyusunnya adalah endapan aluvial. Cekungan ini termasuk dalam kategori tektonik atau dalam artian rawan terjadinya proses tektonik dimana proses tektonik yang terjadi adalah penurunan yang berakibat kebanjiran pada daerah di sekitarnya (Panji, Teguh, 2015: 258-259).
Material dasar dari endapan fluvial tersebut adalah abu vulkanik dari Gunung Kelud yang sangat aktif mengeluarkan abu vulkanik sehingga material letusan tersebut dapat menjadi materi pembentuk endapan aluvial di sekitar Trowulan. Daerah di sekitar cekungan umumnya menjadi daerah persawahan dan daerah pegunungan menjadi daerah ladang atau perkampungan. Pemilihan lokasi ibukota di Trowulan bisa dibilang strategis dimana lokasi pemukiman Majapahit jauh dari ancaman bencana alam sehingga sekitar daerah cekungan dan pegunungan jauh dari pemukiman Majapahit (Sampurno & Bandono, 1980).
Dari penjelasan di atas, maka runtuhnya Kerajaan Majapahit di Trowulan disebabkan oleh faktor alam atau lingkungan dimana kita ketahui bahwa Trowulan dekat dengan delta sungai Brantas dan pegunungan-pegunungan yang masih aktif (gunung api) shingga menimbulkan dampak positif berupa kesuburan tanah dan menimbulkan dampak negatif atau permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh Majapahit di Trowulan, yaitu adanya ancaman banjir/meluapnya air dari Sungai Brantas dan kekeringan akibat musim kemarau panjang (6 bulan) dan letusan gunung-gunung berapi yang ada di sekitar daerah Trowulan, yaitu Gunung Penanggungan, Gunung Anjasmoro, Gunung Welirang, dan terutama Gunung Kelud. Jadi, jika dilihat dari geomorfologi atau bentang alamnya, keruntuhan Majapahit disebabkan oleh adanya lahar dingin dari Gunung Anjasmoro dari kipas aluvial yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Alasan pemilihan Gunung Anjasmoro adalah karena yang mempengaruhi kesuburan tanah adalah Gunung Welirang dan Anjasmoro, kedua wilayah situs berdekatan dengan wilayah kipas aluvial dari Gunung Anjasmoro, ketiga karena lahar dingin bisa sampai ke situs-situs peninggalan Majapahit di Trowulan (walaupun jaraknya relatif tidak dekat karena kipas aluvial lebih dekat dengan tempat persawahan dan pengairan) karena juga dipengaruhi oleh banyaknya sungai-sungai di sekitar Trowulan dimana kali yang besar adalah delta sungai Brantas atau Kali Brantas yang diikuti sungai-sungai lain sekitar Kali Brantas membawa lahar dingin sampai ke situs-situs peninggalan di Trowulan. Perlu diingat bahwa Gunung Anjasmoro juga gunung aktif atau gunung berapi selain Gunung Welirang, Gunung Arjuno, dan Gunung Kelud. Sehingga, pada saat Gunung Anjasmoro meletus, otomatis lahar dingin akan mengalir ke sungai-sungai kecil yang nantinya sampai atau terkena ke seluruh dataran hingga membentuk lahan kipas fluvio vulkanik dampaknya di situs-situs Majapahit di Trowulan. Pembentukan lahan kipas fluvio vulkanik dimulai dari pertemuan Sungai Brangkal dan Sungai Boro di sekitar daerah Desa Baurena dan Jetis. Jika pola garis kontur dan pola aliran sungai pada peta topografi lembar Mojoagung skala 1 : 50.000, maka kipas fluvio vulkanik tersebut akan tampak sangat jelas dan dapat diidentifikasi melalui pemukiman (pola desa) yang terdapat di sebelah tenggara ibukota Majapahit didirikan dimana terletak pada bagian bawah lahan kipas fluvio vulkanik tersebut (lihat gambar 2.1) (Panji, Teguh. 2015: 257).
Akibat dari adanya lahar dingin tersebut, beberapa situs-situs peninggalan Majapahit Trowulan tertutup oleh endapan pasir/tufa. Berikut adalah beberapa penjelasan situs yang terkena dampak dari adanya bencana lahar dingin Gunung Anjasmoro, yaitu :
1.      Daerah Candi Tikus dan Bajang Ratu umumnya terdiri atas material vulkanik yang telah bercampur dengan kerikil pasir dan terkadang juga tercampur dengan pecahan bata dan keramik dimana diatasnya ditutup oleh pasir tufa berwarna putih.
2.      Daerah kompleks istana dan Kolam Segaran kebanyakan terdiri atas material vulkanik yang bersifat sedang hingga halus, abu-abu, lepas, dan terkadang terpadatkan. Di bagian atasnya terkadang ditemukan lapisan tufa berwarna putih.
3.      Daerah Pendopo Agung, istana, Candi Tikus kebanyakan terdiri dari lapisan pasir atau tufa dimana di bagian atas dan bawah bercampur dengan bekas-bekas peninggalan kuno. Tutupan tanah terhadap situs-situs Majapahit tersebut bervariasi dimana Dataran Pendopo Agung tertutup oleh tanah setebal 0,7 cm, lantai dan pondasi di istana tertutup oleh lapisan pasir/tufa setebal 1,7 m. Sedangkan, Candi Tikus tertutup oleh tanah setebal 1,0 m - 1,8 m. Lapisan penutup di Candi Tikus terbilang cukup tebal karena yang melapisi bukanlah pasir/tufa biasa, tetapi pasir/tufa yang berwarna putih kekuningan dan dibawahnya masih terdapat lapisan pasir berwarna coklat bercampur batu-bata. Lapisan yang menutup di Candi Tikus tersebut kemungkinan berasal dari debu vulkanik gunung-gunung berapi yang terbawa arus atau banjir (Panji, Teguh. 2015: 258).

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan materi di atas, penulis mencoba menyimpulkan inti dari pembahasan makalah tersebut, yaitu :
1.      Perpindahan Kerajaan Majapahit di Trowulan dikarenakan wilayah Trowulan sendiri subur dan bisa dijadikan sebagai tempat persawahan dan pengairan karena wilayahnya strategis dimana dekat dengan delta sungai Brantas atau Kali Brantas dan sungai-sungai kecil lain yang mendukung kesuburan tanah. Selain itu juga, karena wilayah Trowulan sendiri diapit oleh gunung-gunung berapi seperti Gunung Welirang, Gunung Anjasmoro, Gunung Arjuno, dan Gunung Kelud sehingga tanah di Trowulan memang sangat subur.
2.      Runtuhnya Kerajaan Majapahit di Trowulan diakibatkan adanya faktor alam berupa bencana alam, yaitu adanya lahar dingin dari Gunung Anjasmoro yang juga mengenai situs-situs di Trowulan terbukti sampai sekarang situs tersebut masih tertutupi oleh lapisan pasir/tufa dan debu vulkanik dari gunung-gunung berapi sekitar daerah Trowulan.
B.     Saran
Semoga makalah ini menjadi bermanfaat untuk kedepannya dan penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran agar nantinya dalam pembuatan makalah selanjutnya terjadi kemajuan yang berarti. Terima kasih.

DAFTAR RUJUKAN
Adji, B.K. 2014. Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan Nusantara. Yogyakarta: Araska.
Adrisijanti, Inajati. 2012. Majapahit : Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
Daldjoeni, N. 1982. Geografi Kesejarahan II Indonesia. Bandung: Alumni.
Kusumohartono, Bugie, dan Siswanto. 1991. Akumulasi Sisa Fauna dari Satuan Ruang Mikro Situs Medowo. Yogyakarta: Balai Arkeologi.
Panji, Teguh. 2015. Kitab Sejarah Terlengkap Majapahit. Yogyakarta: Laksana.
Sampurno & Bandono. 1980. Peranan Geologi dalam Pertumbuhan dan Kehancuran Kerajaan-Kerajaan Lama di Jawa, dengan Contoh Majapahit. Makalah IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia), Yogyakarta.
Sutikno. 1991. Kondisi Geografis Keraton Majapahit. 700 Tahun Majapahit, Suatu Bunga Rampai. Surabaya: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Daerah Tingkat I Jatim CV Tiga Dara.
Wibowo, A.S. 1980. Kubur Panggung : Situs yang Memerlukan Penelitian Khusus. Majalah Arkeologi, III: 3-34.














Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH MASUKNYA AGAMA KONGHUCU DI INDONESIA

Kamu yang Kusayang

MENGINAP SAMBIL MENGENANG MASA LALU: FENDI’S GUEST HOUSE MALANG