TEORI PARA TOKOH TENTANG PERUBAHAN SOSIAL
Nama : Yuliarti Kurnia Pramai Selli
Kelas/Off. : B
Prodi : S1 Pendidikan Sejarah
NIM : 140731606196
Makul : Studi Masyarakat Indonesia
TEORI PARA TOKOH TENTANG PERUBAHAN
SOSIAL
A. Teori Perubahan Sosial August
Comte dan Karl Marx
1. August Comte (1798-1857)
Menurut
August Comte, perubahan sosial dibagi dalam dua konsep penting, yaitu :
a.
Social Static (Bangunan Struktural).
adalah hal-hal yang mapan, berupa struktur yang berlaku pada suatu masa
tertentu. Bahasan utamanya mengenai struktur sosial yang ada di masyarakat yang
melandasi dan menunjang orde, tertib, dan kestabilan masyarakat dimana hasrat
dan kodrat manusia adalah persatuan, perdamaian, kestabilan (keseimbangan).
Tanpa adanya unsur-unsur di atas, kehidupan manusia tidak dapat berjalan dimana
selalu terjadi pertengkaran dan perpecahan mengenai hal-hal yang sangat
mendasar sehingga kesesuaian paham sulit terbentuk. Pembedaan antara statika
sosial dan dinamika sosial bukan suatu pembedaan yang menyangkut masalah
faktual tetapi lebih kepada pembedaan teoritik.
b.
Social Dynamics (Dinamika
Sosial).
adalah
hal-hal yang berubah dari suatu waktu ke waktu yang lain (struktur dinamika sosial)
dimana pada setiap tahapan evolusi manusia mendorong ke arah tercapainya
keseimbangan baru yang tinggi dari suatu masa ke masa berikutnya. Struktur
tersebut membentuk pengelompokan masyarakat berdasarkan kelas-kelas tertentu (elite,
middle, dan lower class), Jadi, dinamika sosial adalah proses perubahan
kelas-kelas masyarakat dari satu masa ke masa yang lain. Inti perubahan sosial
yang terdapat pada dinamika struktural adalah tentang isu perubahan sosial yang
meliputi kecepatan, arah, bentuk, serta hambatan-hambatannya. Sehingga,
perubahan bangunan struktural dan dinamika sosial merupakan bagian yang saling
terkait dan tidak dapat dipisahkan walaupun hanya berbeda pada kajian atau
analisisnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial memiliki ciri-ciri,
yaitu berlangsung terus-menerus dari waktu ke waktu baik direncanakan maupun
tidak yang sifatnya terus terjadi dan tidak bisa dihentikan (Salim, Agus.
2002).
Menurut
Comte, ada tiga faktor yang dapat menyebabkan perubahan sosial dalam kehidupan
manusia, yaitu adanya rasa bosan, faktor usia (usia meningkatkan
konservatisme), dan demografi (peningkatan jumlah penduduk secara alamiah,
salah satunya adalah peningkatan kepadatan penduduk). Menurut Comte, semakin
tinggi tingkat kepadatan penduduk, semakin tinggi pula keinginan dan masalah
baru yang nantinya akan menimbulkan cara-cara baru untuk mencapai kemajuan
dengan menetralisasi ketimpangan fisik dan akan menghasilkan pertumbuhan
kekuatan intelektual dan moral di antara segelintir orang yang tertindas
(Martono, Nanang, 2014: 42-43).
2. Karl Marx (1818-1883)
Konsep
Karl Marx dikenal dengan “Materialisme Historis” yang mengungkapkan bahwa
perilaku manusia dipengaruhi oleh kedudukan materi bukan pada ide (pikiran)
karena ide sendiri merupakan bagian dari materi pula. Acuan konsep tersebut
menegaskan bahwa sejarah perubahan dan perkembangan manusia selalu berlandaskan
pada kondisi sejarah kehidupan material manusia. Dalam hal proses
hubungan-hubungan sosial yang terjadi sangat dipengaruhi oleh mode produksi
(sebagai basis ekonomi dan infrastruktur masyarakat). Menurut Karl Marx,
penjelasan tentang refleksi sejarah masyarakat berangkat dari :
a. Masyarakat
primitif tanpa kelas.
b. Masyarakat
feodalis (sudah mulai nampak adanya kapitalisme tahap awal).
c. Masyarakat
yang beranjak menuju masyarakat industrialis kapitalis (sumber daya kekuatan
ekonomi dikuasai oleh pemilik modal yang nantinya merugikan kalangan pekerja).
Sehingga, Karl Marx berasumsi bahwa kapitalisme akan menemui kehancurannya
sendiri dan dengan segera masyarakat pekerja mampu mengambil alih
perangkat-perangkat produksi.
d. Masyarakat
yang berkembang menjadi masyarakat komunis (sumber daya yang ada menjadi milik
bersama). Menurut Karl Marx pada tahap ini wajar karena pola pikir masyarakat
sangat rasional dimana dalam struktur kehidupan sudah bertantakan, ilmu pengetahuan
dan teknologi tinggi dimana sumber daya material tersebut tidak merugikan
pihak-pihak tertentu karena struktur sosial sudah menghapus kelas sebagai
sarang diskriminasi dan ketidakadilan.
Dari
penjelasan di atas, menurut Karl Marx secara garis besar terdapat formulasi
penting mengenai dinamika perubahan sosial, yaitu :
a. Perubahan
sosial berpusat pada kemajuan cara atau teknik produksi material sebagai sumber
perubahan sosial-budaya yang juga meliputi perkembangan teknologi dan penemuan
sumber daya baru yang berguna dalam aktivitas produksi. Menurut Karl Marx, teknologi
tinggi tidak dapat menghadirkan kesejahteraan sebelum semuanya dikuasai
langsung oleh kaum pekerja karena teknologi menjadi petaka apabila masih
bernaung dibawah kekuatan para pemilik modal.
b. Adanya
hubungan sosial beserta norma-norma kepemilikan yang tersusun karena keberadaan
sumber daya di tangan pemilik modal.
c. Kemampuan
manusia untuk membentuk sejarah dibatasi oleh keadaan lingkungan material dan
sosial yang telah ada.
Dari
ketiga formula atau rumusan di atas, Karl Marx berpendapat bahwa perubahan sosial
hanya mungkin terjadi karena adanya konflik kepentingan material dimana konflik
sosial dan perubahan sosial menjadi satu pengertian yang sama. Karena kita
ketahui sendiri bahwa perubahan sosial berasal dari adanya konflik kepentingan
material tersebut yang nantinya melahirkan perubahan sosial (Salim Agus. 2002).
Dasar analisis kalangan Marxis adalah konsep kekuatan politik sebagai pembantu
terhadap kekuatan kelas dan perjuangan politik sebagai bentuk khusus dari
perjuangan kelas. Konflik akan lebih muncul lebih sering antara kaum buruh dan
kaum borjuis. Marxisme merupakan sebuah ideologi konflik sosialistik (Bachtiar,
Wardi, 2010: 125-127).
ALASAN KESERASIAN TEORI
ANTARA AUGUST COMTE DAN KARL MARX :
Dua
tokoh tersebut bisa disandingkan satu sama lain dimana dengan adanya
pengelompokkan masyarakat (elite, middle, lower class) juga dapat mempengaruhi
dinamika sosial dimana inti perubahan sosial yang terdapat pada dinamika
struktural adalah tentang isu perubahan sosial yang meliputi kecepatan, arah,
bentuk, serta hambatan-hambatannya. Dua teori tersebut saling berhubungan dan
lebih memperjelas pengaruh tingkatan kelas atau kelompok masyarakat terhadap
perubahan baik dalam bangunan struktural maupun dinamika sosial.
B.
Teori
Perubahan Sosial Ferdinand Tonnies dan Emile Durkheim
1. Ferdinand Tonnies (1855-1936)
Menurut Ferdinand Tonnies, masyarakat adalah usaha manusia untuk memelihara relasi-relasi
timbal balik yang mantap dan kemauan manusia mendasari masyarakat. Tonnies memiliki teori dimana beliau mampu membedakan konsep masyarakat
tradisional dan masyarakat modern yang nantinya menemukan dua konsep, yaitu Gemeinschaft dan Gesellschaft. Dari pengertian tersebut, Tonnies kemudian membedakan antara Zweekwille (kemauan rasional yang hendak mencapai tujuan) dan Triebwille (dorongan batin berupa perasaan). Dua pengertian di atas mempengaruhi corak dan ciri interaksi seseorang
dalam kelompok atau masyarakat yang dibedakan menjadi dua tipe, yaitu :
a.
Gemeinschaft (Paguyuban)
Merupakan
bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat dalam hubungan batin
bersifat alamiah dan bersifat kekal dengan dasar hubungan rasa cinta dan persatuan batin yang bersifat nyata dan organis. Menurut
Ferdinand Tonnies bentuk dari semua persekutuan hidup yang dinamakan Gemeinschaft itu keluarga. Ketiga suku guru yang menyokong gemeinschaft adalah :
-
Gemeinschaft by blood (didasarkan pada ikatan
darah atau keturunan). Contoh: kekerabatan,
masyarakat-masyarakat suatu daerah yang terdapat di daerah lain seperti Suku Bangsa Sikep yang menetap di daerah Kudus, Blora, dan Pati.
-
Gemeinschaft of place (didasarkan pada tempat tinggal yang
saling berdekatan sehingga dimungkinkan untuk dapat saling tolong menolong). Contoh: Organisasi Himpunan Mahasiswa.
-
Gemeinschaft of mind (didasarkan pada ideologi atau pikiran
yang sama). Contoh: anggota yang bernaung dalam sebuah partai yang sama.
b.
Gesellschaft (Patembayan)
Merupakan bentuk kehidupan bersama yang
merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok dan biasanya untuk jangka waktu yang
pendek. Gesellschaft sebagai suatu
bentuk dalam pikiran belaka, serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana
dapat diumpamakan pada sebuah mesin. Pola interaksi yang berlaku dalam Gemeinschaft dan pola yang berlaku dalam Gesellschaft tidak saling menolak atau bertentangan
satu sama lain. Tiap-tiap relasi mengandung dua aspek dimana selalu ada dua hal yang saling terkait dan
tidak mungkin dipisahkan. Dalam tipe Gemeinschaft unsur hukum, peraturan, dan disiplin kurang
diperhatikan dan sama menonjol seperti dalam Gesellschaft. Sedangkan, unsur
perasaan dan solidaritas yang berasal dari penghargaan (triebwille)
tidak begitu menonjol dalam Gesellschaft. Alasan Ferdinand Tonnies mengeluarkan teori tersebut adalah karena
adanya paradigma fakta sosial, paradigma fenomena sosial, dan paradigma tingkah
laku atau perilaku sosial. Menurut Ferdinand Tonnies faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan masyarakat adalah adanya kecenderungan berpikir secara rasional, perubahan orientasi
hidup, proses pandangan terhadap suatu aturan, dan sistem organisasi.
Kedua tipe masyarakat tersebut berbentuk campuran (saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan
dalam hidup karena tidak mungkin ada Gemeinschaft tanpa
ciri-ciri Gesselschaft dan
sebaliknya. Berikut adalah pemikiran
Ferdinand Tonnies tentang perbedaan
antar Gemeinschaft dengan Gesellschaft sebagai suatu perubahan yang menurut beliau ke arah buruk (Soekanto, Soerjono. 2012).
Ciri
|
Gemeinschaft (komunitas)
|
Gesellschaft (masyarakat modern)
|
Hubungan sosial
|
Ikatan Keluarga
|
Pertukaran ekonomi
|
Institusi khas
|
Keluarga
|
Negara dan ekonomi
|
Citra tentang individu
|
Kedirian
|
Orang, warga
|
Bentuk kekayaan
|
Tanah
|
Uang
|
Tipe hukum
|
Hukum keluarga
|
Hukum kontrak
|
Institusi sosial
|
Desa
|
Kota
|
Kontrol sosial
|
Adat dan agama
|
Hukum dan pendapat umum
|
(Soekanto, Soerjono. 2012).
Menurut Tonnies, faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan masyarakat hampir sama dengan prinsip teori evolusi
lain, begitu juga dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Di antara penyebab
terjadi perubahan tersebut adalah adanya kecenderungan berpikir secara
rasional, adanya perubahan orientasi hidup, pandangan mengenai suatu aturan,
dan sistem organisasi (Martono, Nanang, 2014: 54).
2. Emile Durkheim (1855-1917)
Emile Durkheim adalah penganut teori perubahan sosial bertahap dimana
perkembangan masyarakatnya disebut dengan “Evolusionistic
Unilinear”. Menurut beliau jika dilihat dari perspektif struktural
fungsional, struktur yang pertama kali berubah adalah struktur penduduk yang
nantinya perubahan tersebut membawa perubahan yang lain dimana terjadinya
perubahan penduduk, yaitu tingkat kepadatan penduduk sehingga menjadikan
kondisi yang tidak seimbang. Konsep beliau tentang konsepsi pembagian kerja
adalah proses pembagian kerja berkembang karena lebih banyak individu yang
dapat berinteraksi satu sama lain. Faktor utama penyebab pertumbuhan pembagian
kerja adalah meningkatnya kepadatan (moral) masyarakat yang pada umumnya
meningkatkan jumlah penduduk, menghasilkan peningkatan diferensiasi sosial atau
pertumbuhan pembagian kerja. Menurut beliau, kepadatan penduduk yang maksimal
mengakibatkan persaingan dan kompetisi di kalangan penduduk menjadi semakin
ketat. Hal tersebut memicu anggota masyarakat untuk menciptakan lapangan kerja
baru yang menimbulkan spesialisasi kerja. Akibatnya, hubungan yang tercipta pun
akan semakin mengkerucut menjadi hubungan yang mengarah kepada pekerjaan dalam
suatu komunitas pekerjaan. Struktur masyarakat yang digambarkan oleh Durkhiem
tentang perwakilan orang dalam lembaga legeslatif didasarkan pada komunitas-komunitas
pekerjaan. Menurut beliau, pendekatan individu sebagai reduksi perilaku ekonomi
yang menurunkan manusia dalam teori pertukaran pasar dan dengan sendirinya
menempatkan individu tidak bermoral. Tidak mengherankan jika beliau lebih
tertarik mengungkap fakta sosial sebagai pedoman individu. Sehingga, wajar jika
beliau menganggap perubahan sosial merupakan kondisi yang abnormal (tidak normal) (Salim, Agus. 2002).
Durkheim dalam perubahan sosial memusatkan pada aspek solidaritas sosial
dan proses evolusi sosial dimana solidaritas sosial harus menjadi objek utama
dalam menjelaskan realitas sosial. Beliau juga melihat masyarakat sebagai
sebuah organisme biologis. Durkheim mengamati bahwa peningkatan sistem
pembagian kerja di atas mempengaruhi perubahan tipe solidaritas sosialnya
dimana beliau menjelaskan ada dua tipe solidaritas sosial yang dikaitkan dengan
sistem pembagian kerja dalam masyarakat, yaitu tipe solidaritas mekanik
(pembagian kerja yang rendah) dan tipe solidaritas organik (pembagian kerja
yang kompleks). Secarab singkat, solidaritas mekanik terbentuk karena adanya
saling kesamaan antar anggota masyarakat. Sedangkan, solidaritas organik
terbentuk karena adanya perbedaan antara anggota masyarakat sehingga dengan
adanya perbedaan tersebut menyebabkan setiap anggota masyarakat saling
bergantung satu sama lain. Contohnya seperti seorang guru akan membutuhkan
dokter ketika sakit (Martono, Nanang, 2014: 49-51).
ALASAN KESERASIAN TEORI
ANTARA FERDINAND TONNIES DAN EMILE DURKHEIM :
Adanya
perbedaan antara Gmeinschaft dan Gesellschaft dalam suatu masyarakat
tergantung pada tingkat struktur penduduknya padat atau tinggi. Menurut
Ferdinand Tonnies faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan masyarakat adalah adanya kecenderungan berpikir secara rasional,
perubahan orientasi hidup, proses pandangan terhadap suatu aturan,
dan sistem organisasi. Kedua tipe masyarakat tersebut
berbentuk campuran (saling
berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dalam hidup karena tidak mungkin ada Gemeinschaft tanpa ciri-ciri Gesselschaft
dan sebaliknya. Hal tersebut bisa disandingkan dengan
teori Emile Durkheim dimana jika dilihat dari perspektif struktural fungsional,
struktur yang pertama kali berubah adalah struktur penduduk yang nantinya
perubahan tersebut membawa perubahan yang lain dimana terjadinya perubahan
penduduk, yaitu tingkat kepadatan penduduk sehingga menjadikan kondisi yang
tidak seimbang. Kepadatan penduduk yang maksimal mengakibatkan persaingan dan
kompetisi di kalangan penduduk menjadi semakin ketat. Akibatnya, hubungan yang
tercipta pun akan semakin mengkerucut menjadi hubungan yang mengarah kepada
pekerjaan dalam suatu komunitas pekerjaan. Struktur masyarakat yang digambarkan
oleh Durkhiem tentang perwakilan orang dalam lembaga legislatif didasarkan pada
komunitas-komunitas pekerjaan. Menurut beliau, pendekatan individu sebagai
reduksi perilaku ekonomi yang menurunkan manusia dalam teori pertukaran pasar
dan dengan sendirinya menempatkan individu tidak bermoral. Tidak mengherankan
jika beliau lebih tertarik mengungkap fakta sosial sebagai pedoman individu.
Sehingga, wajar jika beliau menganggap perubahan sosial merupakan kondisi yang abnormal (tidak normal). Intinya, akan ke hal patembayan. Tonnies dan Durkheim
dalam merumuskan interpretasi-interpretasi mengenai fenomena sosial itu
menggunakan data statistik dan teori dua tokoh tersebut mengandung posivistik.
C. Teori Perubahan Sosial Max
Weber dan Talcott Parson
1. Max Weber (1864-1920)
Dalam masyarakat barat model rasionalisme akan mewarnai semua aspek
kehidupannya. Menurut beliau, bentuk “rationale” meliputi “mean” (alat) yang
menjadi sasaran utama dan “ends” yang meliputi aspek kultural sehingga dapat
dinyatakan bahwa pada dasarnya orang barat hidup dengan pola pikiran rasional
yang ada pada perangkat alat yang dimiliki dan kebudayaan yang mendukung
kehidupannya dan orang rasional akan memilih mana yang paling benar untuk mencapai
tujuannya. Menurut beliau, dalam memahami sosio budaya maka diperlukan metode
khusus dalam rangka memahami berbagai motif dan arti atau makna tindakan
manusia. Beliau juga menjelaskan bahwa ada keterkaitan dengan kausal (hukum
sebab akibat) dan generalisasi yang merupakan suatu hal umum dari semua ilmu
sehingga hal ini harus dijadikan fokus utama dalam ilmu sosial. Max Weber membagi
model perubahan sosial dalam tiga tahapan yaitu tipe masyarakat tradisional,
tipe masyarakat kharismatik, dan tipe masyarakat rasional. Pengembangan lebih
lanjut teori perubahan sosial tidak jauh berbeda dengan klasifikasi yang
dikemukakan oleh Max Weber, dengan menamai solidaritas sosial. Emil Durkheim
lalu membagi dua pola perubahan sosial dalam solidaritasnya itu. Diantaranya
solidaritas mekanik dan solidaritas organik (Fergiyono, Nico. 2013, (Online)).
Max Weber menyebutkan ada empat tipe rasinalitas yang mewarnai
perkembangan manusia, yaitu rasional tradisional, rasional efektif, rasional
yang berorientasi pada nilai, dan rasional instrumental. Rasional tradisional
dan rasional afektif merupakan wujud tindakan irasional dalam diri manusia. Sedangkan
rasional yang berorientasi pada nilai dan rasional instrumental merupakan wujud
kebesaran tindakan rasional dalam diri manusia (Martono, Nanang, 2014: 55-56). Max
Weber mengatakan bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor yang dapat
mempengaruhi gagasan, tetapi gagasan itu sendiri yang mempengaruhi struktur
sosial. Max Weber dalam karyanya yang berjudul “The Prostestant Ethic and The
Spirit of Capitalisme” (1958) membahas tentang pengaruh gagasan keagamaan
terhadap ekonomi sehingga beliau memusatkan perhatian pada Protestanisme
sebagai sebuah sisitem gagasan dan pengaruhnya terhadap kemunculan sistem
gagasan lain, yaitu semangat kapitalisme dan berakhir pada sistem ekonomi
kapitalis. Selain itu juga, Max Weber memberi perhatian serupa terhadap agama dunia
yang lain dengan cara mempelajari bagaimana cara gagasan keagamaan itu
merintangi perkembangan kapitalisme dalam masyarakatnya masing-masing (Max
Weber, 1951: 75).
2.
Talcott Parson (1902-1979)
Talcott
Parson dalam konsep pemikirannya dikenal sebagai sosiolog kontemporer yang
menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat, baik yang
menyangkut fungsi maupun prosesnya. Selain itu juga, beliau telah
menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada
mahkluk hidup. Disini sebagai komponen utama pemikiran Parsons adalah tentang
adanya proses diferensiasi, yaitu asumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari
sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan
makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Menurut beliau, perubahan
sosial terjadi pada masyarakat akan berdampak pada pertumbuhan kemampuan baik
bagi masyarakat itu sendiri khususnya untuk menanggulangi permasalahan
hidupnya. Sehingga, beliau terkenal sebagai golongan orang yang memandang
optimis terhadap sebuah proses perubahan sosial. Dalam hal persoalan struktural
fungsional, beliau mengedepankan empat fungsi untuk semua sistem tindakan,
diantaranya adalah :
a. Adaptasi
(Adaptation) dimana mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dirinya.
b. Pencapaian
tujuan (Goal) dimana mampu menentukan
tujuan dan berusaha mencapai tujuan-tujuan yang telah dirumuskan itu.
c. Integrasi
(Integration) dimana masyarakat harus
mengatur hubungan di antara komponen-komponen agar dapat berfungsi secara maksimal.
d. Pemeliharaan
pola-pola yang sudah ada (Latency)
dimana setiap masyarakat harus mempertahankan, memperbaiki, dan memperbarui
baik motivasi individu-individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan
mempertahankan motivasi-motivasi tersebut. Keempat fungsi tersebut dikenal
dengan sebutan AGIL.
Parson
memberikan jawaban atas masalah yang ada pada fungsionalisme struktural dengan
menjelaskan beberapa asumsi sebagai berikut :
a. Sistem
mempunyai properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling terkait.
b. Sistem
cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan.
c. Sistem
bergerak statis, dalam artian ia akan bergerak pada proses perubahan yang
teratur.
d. Sifat
dasar bagian suatu sistem akan mempengaruhi bagian-bagian lainnya.
e. Sistem
akan memelihara batas-batas dengan lingkungannya.
f.
Alokasi dan integrasi
merupakan dua hal penting yang dibutuhkan untuk memelihara keseimbangan sistem.
g. Sistem
cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi
pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan
keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda dan mengendalikan
kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam. Teori Fungsionalisme Talcott
Parson bersifat kompleks karena pendekatannya diwarnai oleh keteraturan
masyarakat di Amerika dan juga dipengaruhi oleh teori-teori sebelumya.
Dengan
penjelasan di atas, maka dapat kita katakan bahwa beliau menawarkan teori
struktural yang mampu menangani perubahan sosial karena beliau peka terhadap
perubahan sosial. Tetapi, beliau juga berpendapat bahwa walaupun studi
perubahan dilakukan, hal tersebut harus didahului dengan studi tentang struktur
(Salim, Agus. 2002).
ALASAN KESERASIAN TEORI
ANTARA MAX WEBER DAN TALCOTT PARSON:
Max
Weber menjelaskan bahwa ada keterkaitan dengan kausal (hukum sebab akibat) dan
generalisasi yang merupakan suatu hal umum dari semua ilmu sehingga hal ini
harus dijadikan fokus utama dalam ilmu sosial. Menurut beliau, sosiologi adalah
ilmu yang berhubungan dengan pemahaman interpretatif yang dalam pengertiannya menganalisis
dan mendeskripsikan masyarakat tidak sekedar yang tampak saja, tetapi
dibutuhkan juga interpretasi agar penjelasan tentang individu dan masyarakat
tidak keliru. Pernyataan tersebut bisa dihubungkan dan disandingkan dengan
teori Teori Talcott Parson karena konsep pemikirannya dikenal sebagai sosiolog
kontemporer yang menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat,
baik yang menyangkut fungsi maupun prosesnya. Menurut beliau, perubahan sosial
terjadi pada masyarakat akan berdampak pada pertumbuhan kemampuan baik bagi
masyarakat itu sendiri khususnya untuk menanggulangi permasalahan hidupnya.
Sehingga, beliau terkenal sebagai golongan orang yang memandang optimis
terhadap sebuah proses perubahan sosial. Perubahan sosial menurut Talcott
Parson dapat diketahui unsur kausalnya jika kita sudah melakukan interpretatif
tentang permasalahan dalam suatu masyarakat sehingga nantinya teori Max Weber
ini membantu teori Talcott Parson dalam melakukan analisis proses perubahan
sosial secara optimis melalui tindakan-tindakan. Tindakan-tindakan tersebut
perlu dikaji ulang dengan usnsur kausal (sebab akibat) milik Max Weber agar
nantinya berhubungan dengan teori Talcott Parson yang mengasumsikan bahwa optimis
dalam sebuah proses perubahan sosial jika sudah melakukan interpretatif dari
tindakan-tindakan yang dikaji oleh Max Weber tadi. Sehingga, jadilah proses
perubahan sosial yang positif.
DAFTAR RUJUKAN :s
Bachtiar, Wardi. 2010. Sosiologi
Klasik : Dari Comte hingga Parsons. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Fergiyono, Nico. 2013. Teori Max
Weber, (Online), (http://nicofergiyono.blogspot.co.id/2013/09/teori-max-weber.html), diakses
tanggal 22 September 2016.
Martono, Nanang. 2014. Sosiologi
Perubahan Sosial : Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial.
Jakarta: Rajawali Pers.
Max Weber. 1951. The Religion of India:
The Sociology of Hinduism and Budhism. Glencoe III: Free Press.
Salim, Agus. 2002. Perubahan
Sosial : Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta:
PT Tiara Wacana Yogya.
Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Komentar
Posting Komentar