UPAYA JEPANG DALAM PEMULIHAN PEREKONOMIAN PASCA PERANG DUNIA 2
UPAYA JEPANG DALAM PEMULIHAN PEREKONOMIAN PASCA PERANG DUNIA 2
Kita
ketahui bahwa keadaan ekonomi di Jepang pasca Perang Dunia II mengalami
kelumpuhan dan kemunduran karena dilatarbelakangi ambisi besar dari Jepang yang
ingin menguasai atau menggantikan
kedudukan bangsa-bangsa Asia dari penjajahan bangsa kulit putih dan Jepang
bercita-cita ingin membentuk “Negara Asia Timur” pada masa Perang Dunia I. Hal
tersebut mengundang Amerika Serikat dalam mencegah ide Jepang tersebut. Amerika
Serikat mencoba menyarankan untuk diadakannya perjanjian nonagresi antara
Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, Belanda, dan Muangthai (Thailand)
sehingga Jepang harus menarik kekuatan militernya dari Indocina. Tetapi, Jepang
malah menanggapi bahwa pandangan Amerika Serikat pada waktu itu hanyalah suatu
khayalan yang dipaksakan dan Jepang menganggap bahwa Amerika Serikat, Inggris,
dan negara-negara Barat lainnya berusaha untuk mempertahankan posisinya yang
dominan di Cina dan daerah-daerah di Asia lainnya.
Mengetahui
hal tersebut, Amerika Serikat yakin bahwa masalah ini sudah meruncing dan tidak
bisa diatasi dengan jalan damai. Dan kekhawatiran Amerika Serikat terwujud
dengan pengeboman Pearl Harbour oleh Jepang pada tanggal 07 Desember 1941 yang
wilayah tersebut merupakan pusat kekuatan angkatan lautnya di Pasifik. Dengan
pengeboman tersebut, Amerika Serikat membalas balik dengan mengebom kota Hiroshima
dan Nagasaki oleh pihak sekutu pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. Akibatnya,
kekuatan Jepang benar-benar lumpuh yang ditandai dengan adanya perjanjian
penyerahan oleh pihak Sekutu yang diratifikasi/ditandatangani pada tanggal 02
September 1945 di atas geladak “Kapal Missouri” di Teluk Tokyo dan sebagai negara yang kalah perang Jepang harus membayar ganti rugi.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi kebangkitan Ekonomi Jepang Pasca Perang Dunia II adalah :
1. Kerja
Keras
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras yang dibuktikan
dalam rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2.450 jam per tahun yang
sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat (1.957), Inggris (1.911),
Jerman (1.870), dan Prancis (1.680). Fenomena karoshi (mati karena bekerja keras) mungkin hanya ada di Jepang.
Sehingga, bisa dikatakan bahwa kerja keras tersebut sebenarnya adalah merupakan
kebangkitan dan kemakmuran Jepang bisa tercapai.
2. Malu
Malu
adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Dengan adanya hal
tersebut, mereka malu terhadap lingkungannya apabila melanggar peraturan dan
norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.
3. Hidup
Hemat
Orang
Jepang memiliki semangat hidup dalam keseharian yang dibuktikan pada sikap
antikonsumerisme yang berlebihan dalam semua aspek kehidupan di Jepang.
Contohnya, menggunakan pemanas ruangan dari minyak tanah karena minyak tanah
lebih murah daripada listrik.
4. Loyalitas
Loyalitas
membuat sistem karir dalam sebuah perusahaan dapat berjalan lancar dan tertata
dengan rapi yang dibuktikan dengan mereka bertahan di satu atau dua perusahaan
sampai pensiun.
5. Inovasi
Orang
Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan orang yang kemudian dipasarkan
dalam bentuk yang diminati oleh masyarakat. Contohnya bisa mengembangkan
industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah serta hemat bahan
bakar.
6. Pantang Menyerah
Jepang
termasuk negara yang tahan banting serta pantang menyerah. Contoh kita ambil
pada saat Matsushita Konosuke yang usahanya hancur dan hampir tersingkir dari
bisnis peralatan elektronik pada 1945 masih mampu kembali bangkit, mulai dari
nol untuk membangun industri sehingga menjadi kerajaan bisnis di era kekinian.
7. Budaya
Baca
Dalam
hal ini, masyarakat Jepang sangat gila membaca buku bahkan di densha (kereta listrik) baik anak-anak
maupun orang dewasa yang bukunya dikemas semenarik mungkin agar meningkatkan
minat baca masyarakat Jepang tinggi. Hal tersebut tidak lepas dengan adanya
dukungan kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing.
8. Kerjasama
Kelompok
Budaya
di Jepang tidak mengakomodasi kerja-kerja yang bersifat individualistik. Begitu
juga dengan musyawarah mufakat diputuskan secara strategis dan bersama-sama
(kelompok). Dalam hal ini Jepang membudayakan sistem “Kerja Kelompok” (Team
Work), yaitu sistem dimana para insinyur Jepang yang dikirim ke Barat untuk
belajar harus kembali ke Jepang dengan membawa ilmu pengetahuan dan teknologi
yang teknologi tersebut harus diajarkan kepada semua anggota kelompok. Jika
dilihat dari aspek pembangunan, Jepang memprioritaskan kebijakan pemerataan
pembangunan dalam hal tingkat pemerataan hasil-hasil pembangunan, fasilitas
publik (seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, fisik, dan lain-lain).
Dampaknya rakyat Jepang baik di kota maupun di desa mendapat fasilitas yang
memadai seperti fasilitas jalan, air minum, listrik. Contoh kota yang mendapat
fasilitas adalah Tokyo, Kyoto, Osaka, dan kota-kota besar lainnya.
9. Mandiri
Sejak
usia dini anak-anak sudah dilatih untuk mandiri. Contoh selepas SMA dan masuk
bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya orang tua.
10. Menjaga
Tradisi
Walaupun
perkembangan teknologi dan ekonomi pesat, Jepang tidak kehilangan tradisi dan
budayanya yang dibuktikan pada budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak
bekerja masih ada dan hidup sampai saat ini. Pertanian juga merupakan tradisi
leluhur dan aset penting di Jepang (S. Agung, Leo. 2012).
Upaya-upaya
yang dilakukan Jepang dalam memulihkan perekonomian pasca Perang Dunia II tidak
lepas dari bantuan Amerika Serikat dimana teknologi Amerika Serikat yang
membawa Jepang pada pertumbuhan ekonominya yang mengagumkan itu. Selain itu,
bisa dibilang bahwa bantuan Amerika Serikat kepada Jepang jauh melampaui
bentuk-bentuk bantuan yang terlihat dan pertahanan. Dua negara tersebut pada
dasarnya memiliki kepentingan yang sama, yaitu kepentingan dalam perdagangan
dunia yang luas dan makin meluas, yang menyediakan barang-barang konsumen untuk
ekonomi bebas.
Dari
segi pertahanan, kepentingan Jepang dan Amerika Serikat adalah sama, yaitu rasa
takut bahwa ikatan antara Jepang dengan Amerika Serikat mungkin berakibat
memisahkan dua negara tersebut dari raksasa tetangganya di daratan sudah
berkurang dasarnya karena berubahnya sikap Peking mengenai ikatan itu, dalam
artian Peking sekarang melihat ikatan tersebut sebagai sesuatu yang bermanfaat
karena dapat mengekang Uni Soviet, dan akibatnya kehidupan politik Jepang yang
berbelit-belit itu mulai digantikan menjadi mufakat, berangsur-angsur, mengenai
basis militer Amerika Serikat dan angkatan pertahanan Jepang. Namun, mengingat
bertambah besarnya kepekaan dan kesadaran nasional pihak generasi-generasi baru
di Jepang, barangkali ikatan dengan Amerika Serikat harus dilonggarkan sampai
batas tertentu, sebagai syarat untuk mempertahankannya (Jansen B., Marius.
1983).
Upaya-upaya
tersebut antara lain :
1. Pada tahun 1960 di bawah pimpinan Perdana
Menteri Ikeda Hayato, Jepang mulai memperlihatkan grafik kenaikan ekonomi
secara signifikan yang salah satu kebijakan perekonomiannya
adalah PM Ikeda mengusahakan agar pendapatan masyarakat meningkat serta perbaikan
di berbagai sektor ekonomi, pembukaan investasi dari berbagai negara dan
membuka suplai dari Amerka Serikat.
2. Pada tahun
1970 mata uang Yen kalah bersaing dengan mata uang Dollar (Amerika Serikat)
sehingga terjadi kekacauan atau ketimpangan yang berakibat pada sistem
perekonomian Jepang. Dengan permasalahan tersebut, Jepang menerapkan strategi
perekonomian dengan meminta kepada peserta perdagangan yang tergabung dengan
G-5 agar nilai mata uang Yen dinaikkan terhadap Dollar AS yang nantinya
dilanjutkan dengan membuka FDI (Foreign Direct Investmen), yaitu Jepang
melebarkan sayap perekonomiannya dengan membangun industri-industri di berbagai
negara. Cara tersebut dimaksudkan agar Jepang mampu memproduksi berbagai macam
barang di berbagai negara (Sitimaya, Rahmayanti. 2013, (Online)).
3. Adanya sistem Bretton Woods yang salah satu
bagian tersebut adalah General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang
dibentuk berdasarkan anggapan bahwa perdagangan bebas adalah sarana terbaik
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sistem tersebut memungkinkan untuk
meningkatkan volume perdagangan, memperoleh manfaat yang besar, meningkatkan
efisiensi dengan menempatkan perusahaan-perusahaan Jepang ke dalam kancah
Internasional sehingga dapat memperluas pasar. Hal tersebut tidak lepas dari
dukungan SDM (Sumber Daya Manusia) dan hasil produksi yang sangat berkualitas
dan dapat bersaing dengan negara lain. Dengan adanya sistem tersebut, maka terjadi
liberalisasi impor dan pengurangan tarif impor (Restiyana, Retna. 2013,
(Online)).
DAFTAR RUJUKAN :
1. Jansen B., Marius. 1983. Jepang selama Dua Abad Perubahan. Gadjah
Mada University Press: Yayasan Obor Indonesia 1983.
2. Retna, Restiyana. 2013. Perekonomian Jepang Pasca Perang Dunia,
(Online), (http://retnarestiyana.blogspot.co.id/2013/01/perekonomian-jepang-pasca-perang-dunia.html),
diakses 06 Oktober 2015.
3.
S. Agung, Leo. 2012. Sejarah Asia Timur 2. Yogyakarta: Ombak.
4.
Sitimaya, Rahmayanti.
2013. Kebangkitan Jepang Pasca Perang
Dunia, (Online), (http://rahmayantisitimaya.blogspot.co.id/2013/11/kebangkitan-jepang-pasca-perang-dunia.html),
diakses 06 Oktober 2015.
Komentar
Posting Komentar