PENGARUH FILSAFAT PENDIDIKAN DI INDONESIA PADA MASA KINI
PENGARUH
FILSAFAT PENDIDIKAN DI INDONESIA PADA MASA KINI
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Filsafat Pendidikan
yang dibina oleh Bapak Daya Negri Wijaya,
M.A
Disusun Oleh :
1. Uzlifatul
Jannah (140731604363)
2. Yoni
Puspita Sari (130731616737)
3. Yuliarti
Kurnia Pramai Selli (140731606196)
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
JURUSAN
SEJARAH
PRODI
S1 PENDIDIKAN SEJARAH
November
2015
KATA
PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan
tugas matakuliah Filsafat Pendidikan dengan makalah yang berjudul “Pengaruh
Filsafat Pendidikan di Indonesia pada Masa Kini”.
Penulis
mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Kepada Bapak Daya Negri Wijaya, M.A selaku
pembimbing, yang senantiasa memberikan pengarahan kepada penulis dalam
penyelesaian tugas makalah ini. Tidak lupa kepada teman-teman yang telah
memberikan informasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah yang
dibuat masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat berguna
bagi penulis untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat dan
menambah pengetahuan tentang Filsafat Pendidikan.
Malang,
November 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah .......................................................................................... 1
C. Tujuan
Penulisan ............................................................................................ 1
BAB
II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Filsafat Pendidikan ..................................................................... 2
B. Peranan
antara Filsafat Pendidikan dengan Filsafat yang Lain .................... 8
C. Filsafat
Pendidikan yang berbasis Pancasila di Indonesia .......................... . 11
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan ................................................................................................... .
14
B.
Saran .............................................................................................................. .
14
DAFTAR RUJUKAN ...................................................................................... . 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada
abad modern ini, manusia selalu mencari dan menggali potensi yang ada pada
dirinya dan ia ingin juga menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Dengan
demikian ia berhasil menemukan ilmu yang namanya filsafat ilmu, sehingga ilmu
tersebut telah memperoleh perhatian yang lebih besar di kalangan para magister,
sarjana, dan mahasiswa di negeri ini dibandingkan dengan masa-masa yang lalu.
Dalam filsafat ilmu inilah kita akan memperoleh pendidikan sehingga muncullah
filsafat pendidikan. Manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan
rahasia kekuasaannya.
Manusia
adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara
sungguh-sungguh. Dia memikirkan hal-hal baru, karena dia hidup bukan sekedar
untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia mengembangkan
kebudayaan, memberi makna kepada kehidupannya, dan manusia memanusiakan diri
dalam hidupnya (Nizar, Samsul. 2002). Dalam makalah ini penulis lebih membahas
tentang pengertian filsafat pendidikan, peranan antara Filsafat Pendidikan
dengan Filsafat yang lain, dan bagaimana Filsafat Pendidikan yang berbasis
Pancasila di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Filsafat
Pendidikan ?
2.
Bagaimana peranan antara Filsafat
pendidikan dengan Filsafat yang lain?
3.
Bagaimana Filsafat Pendidikan
yang berbasis Pancasila di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian
Filsafat Pendidikan.
2.
Untuk mengetahui peranan
antara Filsafat pendidikan dengan Filsafat yang lain.
3.
Untuk mengetahui Filsafat
Pendidikan yang berbasis Pancasila di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Pendidikan.
Kata
“ filsafat” berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu dari kata “philos” dan “sophia” . Philos artinya
cinta yang sangat mendalam dan sophia artinya
kearifan atau kebijakan. Jadi, filsafat secara bahasa adalah cinta yang sangat
mendalam terhadap kearifan atau kebijakan. Dalam penggunaan pandangan hidup
yang populer di masyarakat, filsafat adalah suatu pendirian hidup (individu),
dan dapat juga disebut sebagai pandangan hidup (masyarakat). Dalam pengertian
yang lain, filsafat adalah interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang penting
atau apa yang berarti dalam kehidupan. Dan jika dilihat dari segi akademis,
filsafat adalah suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke
akar-akarnya ( radix) mengenai segala
sesuatu yang ada (wujud) (Sadulloh, Uyoh.2004 :16).
Pendidikan
adalah proses mendidik, membina, mengendalikan, mengawasi, mempengaruhi, dan
mentransmisikan ilmu pengetahuan yang dilaksanakan oleh para pendidik kepada
anak didik untuk membebaskan kebodohan, meningkatkan pengetahuan, dan
bermanfaat pada kehidupan sehari-hari. Contohnya bisa kita ambil seperti orang
tua harus mengembangkan ilmu pengetahuannya agar dalam mendidik anak-anaknya
sejalan dengan tujuan pendidikan secara umum yaitu mencerdaskan anak bangsa.
Begitu juga dengan guru yang harus meningkatkan ilmu pengetahuannya dalam
memberikan ilmu kepada peserta didik. Sehingga dengan tercapainya tujuan
pendidikan tersebut maka dunia pendidikan akan mengalami kemajuan yang maksimal
dan kondisional (Salahudin, Anas. 2011: 22).
Ada
beberapa pendapat tokoh yang mengemukakan pengertian filsafat pendidikan antara
lain :
1.
Menurut Al-Syaibany
Filsafat
Pendidikan adalah pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam
bidang pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu segi dari segi pelaksanaan
falsafah umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan
kepercayaan-kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam menyelesaikan
masalah-masalah pendidikan secara praktis. Seperti halnya filsafat umum,
berusaha mencari yang hak dan hakikat serta masalah yang berkaitan dengan
proses pendidikan
2.
Menurut Kneller
Filsafat
pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam lapangan pendidikan. Seperti
halnya filsafat, filsafat pendidikan dapat dikatakan spekulatif, preskriptif,
dan analitik. Filsafat pendidikan dikatakan spekulatif karena berusaha
membangun teori-teori hakikat manusia, hakikat masyarakat, hakikat dunia, yang
sangat bermanfaat dalam menafsirkan data-data sebagai hasil penelitian sains
yang berbeda. Filsafat dikatakan preskriptif apabila filsafat pendidikan
menentukan tujuan-tujuan yang harus diikuti dan dicapainya, dan menentukan
cara-cara yang tepat dan benar untuk digunakan dalam mencapai tujuan tersebut. Sedangkan,
filsafat pendidikan dikatakan analitik, apabila filsafat pendidikan menjelaskan
pertanyaan-pertanyaan spekulatif dan preskriptif, misalnya menguji rasionalitas
yang berkaitan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan pendidikan, dan menguji
bagaimana konsistensinya dengan gagasan lain. (Sadulloh, Uyoh.2004 ).
Dari
beberapa pendapat tokoh tentang pengertian filsafat pendidikan dapat
disimpulkan bahwa Filsafat Pendidikan adalah pengetahuan yang menyelidiki
substansi (kandungan) pelaksanaan pendidikan yang berkaitan dengan tujuan,
latar belakang, cara, hasil dan hakikat ilmu pendidikan yang berhubungan dengan
analisis kritis terhadap struktur dan kegunaannya serta pengetahuan yang
memikirkan hakikat pendidikan secara komprehensif dan kontemplatif tentang
sumber, seluk-beluk pendidikan, fungsi,
dan tujuan pendidikan (Salahudin, Anas.2011).
Secara
garis besar, karakteristik dan pandangan masing-masing aliran tentang hal-hal
yang menyangkut pendidikan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Aliran
Progresivisme
Secara
umum, Progresivisme berpijak pada aliran filsafat pragmatisme, yaitu aliran
filsafat yang berpandangan bahwa kebenaran segala sesuatu ada pada kegunaan
praktisnya. Atas dasar pandangan pokoknya ini, pragmatisme memandang bahwa :
a.
Realita bukanlah semesta
atau ide yang sifatnya abstrak, umum, tetap, melainkan merupakan sesuatu yang
berupa proses, bukan sesuatu yang tetap.
b.
Hakekat segala sesuatu
yang dipandang dari kegunaan.
c.
Tidak ada pengetahuan
yang tetap, tetapi selalu berubah.
d.
Manusialah yang merupakan
penentu pengembangan pengetahuan itu.
Pandangan
Progresivisme tentang beberapa hal terkait dengan pendidikan :
a.
Pendidikan harus membawa
kemajuan, tidak konservatif, dan tidak otoriter.
b.
Pendidikan harus
memperhatikan kemampuan-kemampuan dasar manusia yang merupakan motor penggerak
bagi kemajuan dirinya.
c.
Ada ilmu-ilmu yang
potensial dapat membantu pemikiran dan praktik pendidikan, yaitu Biologi,
Antropologi, Psikologi, dan Ilmu Alam.
d.
Sesuai dengan sifatnya
yang empirik, Progresivisme memandang nilai/norma bukan sebagai ide murni dan
harus diuji secara empirik, yaitu dicocokkan dengan kenyataan yang ada dalam
masyarakat.
e.
Pandangan tentang belajar
Progresivisme berpendapat bahwa peserta didik memiliki potensi yang berupa akal
dan kecerdasan yang dapat digunakan untuk menghadapi lingkungan dalam bentuk
memecahkan berbagai masalah. Konsekuensinya harus ada pemisahan antara sekolah
dan masyarakat. Sekolah juga harus mengembangkan kreativitas peserta didik.
f.
Pandangan Progresivisme
tentang kurikulum adalah bahwa kurikulum harus bersifat fleksibel, tidak
bersifat universal, harus sesuai dengan kebutuhan anak, serta sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan lingkungan setempat. Kurikulum harus dapat mengembangkan
intelek, emosi, motorik dan sosial peserta didik secara utuh.
2.
Aliran
Esensialisme
Berbeda
dengan aliran Progresivisme yang berpendapat bahwa tidak ada yang sifatnya
universal bahwa di samping adanya perubahan juga ada yang sifatnya abadi, tetap
sepanjang zaman, yaitu berupa esensinya
sesuatu, intinya sesuatu, hakekat sesuatu yang tidak berubah. Sebagai contoh
meskipun wujud riil manusia dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat
yang berbeda, berubah, tetapi hakekat manusia tetap ada, yaitu bagaimanapun
tetap manusia.
Pendapat
Esensialisme terhadap beberapa hal tentang pendidikan, yaitu :
a.
Tentang apa yang harus
diajarkan pada peserta didik di samping adanya hal-hal yang berubah sesuai
dengan tuntutan zaman, ada materi pelajaran yang sifatnya tetap ada pada setiap
zaman. Tentang materi apa yang sifatnya tetap tersebut adalah bahasa, moral,
matematika, ilmu pengetahuan alam, dan sebagainya. Hal-hal yang esensi tersebut
tetap ada meskipun wujud riilnya bisa berbeda-beda.
b.
Pendidikan harus dapat
menemukan hal-hal yang merupakan esensi tersebut.
c.
Kurikulum tidak perlu
terlalu banyak menyajikan pengetahuan atau pengalaman. Cukup memberi esensi,
yang merupakan inti dari berbagai pengetahuan/pengalaman, dan selanjutnya
peserta didik harus mengembangkan sendiri.
3.
Aliran
Perenialisme
Perenialiame
adalah suatu pandangan bahwa dalam zaman yang selalu berubah tetap ada “Benang
Merah” yang menghubungkan zaman yang satu dengan zaman yang lain, atau antara
wilayah yang satu dan wilayah yang lain pada zaman yang sama. Aliran ini juga
kurang puas dengan progresivisme yang selalu harus dengan yang baru.
Pandangan
umum Perenialisme antara lain:
a.
Kehidupan manusia dewasa
ini penuh dengan kekacauan, baik dalam hal moral, sosial, maupun intelektual.
Hal ini akibat tidak adanya kepastian, tidak ada yang dapat dipakai sebagai
pegangan untuk menghadapi dunia yang justru selalu berubah. Dengan demikian
aliran ini juga mengakui adanya perubahan. Tetapi menghendaki agar dalam
menghadapi perubahan itu manusia mempunyai pegangan hidup kuat, sehingga tidak
terombang-ambing oleh kondisi dan tuntutan lingkungan.
b.
Aliran Perenialisme
menempuh pendekatan regresif, yaitu mencari pegangan dari masa lalu, yaitu apa
yang terjadi pegangan hidup orang-orang zaman dulu yang sekarang masih juga
berfungsi sebagai pegangan hidup. Yang dimaksud dengan masa lalunya masyarakat
Eropa, yaitu masa kebesaran para filosof terkenal pada zaman sebelum tahun
Masehi dan masyarakat Eropa pada zaman pertengahan atau zaman berkembangnya
agama-agama besar.
c.
Ada dua macam pegangan
yang diperlukan manusia sejak dulu sampai sekarang, yaitu kepercayaan yang
bersumber dari Tuhan dan kepercayaan hasil rasio.
d.
Pandangan Perenialisme
tentang nilai atau norma sesuai dengan orientasinya pada abad pertengahan
yaitu:
1)
Memandang norma adalah
persoalan kejiwaan.
2)
Dasar nilai bersifat
teologis dan ukuran baik-buruk berasal dari Tuhan.
Pandangan
Perenialisme yang menyangkut pendidikan, yaitu :
1.
Tentang kurikulum
Perenialisme berpendapat :
a.
Kurikulum merupakan alat
untuk mengembangkan akal dan memori.
b.
Kurikulum harus meliputi
pengalaman langsung maupun tidak langsung.
2.
Tentang belajar pandangan
Perenialisme adalah :
a.
Titik tolak belajar
adalah bahwa manusia adalah makhluk rasionalis. Titik tolak kemampuan manusia
adalah kemampuan berfikir.
b.
Dari berfikir
berkembanglah kebebasan, keterampilan, berbahasa dan sebagainya.
c.
Belajar adalah persoalan
latihan dan disiplin mental. Yang penting adalah pengembangan kemampuan dasar,
sedangkan materi ajar hanyalah alat untuk mengembangkan kemampuan dasar tersebut.
Kalau kemampuan dasarnya tersebut sudah berkembang dengan sendirinya manusia
akan dapat menghadapi dan memecahkan segala masalah yang dia hadapi.
d.
Ada belajar yang terjadi
dalam bentuk pengajaran dan ada belajar yang berupa penemuan sendiri oleh peserta
didik (M.M., Soegiono & Muis, Tamsil. 2012).
Munculnya
filsafat pendidikan di latar belakangi oleh filsuf-filsuf Yunani yang
melahirkan metodologi filsafat pendidikan seperti :
1.
Plato (427-347 SM)
Plato
membahas filsafat dengan metode dialektik, yaitu metode dialogis. Tokoh utama
yang diperankan plato dalam dialog tersebut adalah Socrates, sebagai orang yang
mengajukan pertanyaan-pertanyaannya di sudut-sudut kota Athena. Pada zaman
tersebut, istilah “dialog” menjadi istilah khusus yang dipergunakan untuk
metode “rujuk kembali” dari dua pihak yang bersengketa, baik yang bersifat
domestik, akademik maupun internasional. Perang juga dapat diselesaikan melalui
dialog di meja perundingan. Meskipun penggunaan metode dialog Platonik ini
tidak diragukan lagi, metode ini bukan metode yang paling utama bagi pembahasan
filsafat. Bahkan, menganggap semua persoalan kefilsafatan dapat diatasi dengan
metode ini adalah sesuatu yang naif.
2.
Aristoteles (384-322 SM)
Aristoteles
terkenal dengan metode silogisme atau logikannya dengan menggabungkan
pembenaran dan penyangkalan diantara tiga terma, yaitu sebuah kesimpulan yang
meyakinkan dapat diperoleh dengan metode ini. Jika dua terma secara terpisah
membenarkan terma ketiga, dapat disimpulkan bahwa kedua terma tersebut saling
membenarkan satu sama lain. Akan tetapi, bila hanya satu terma yang membenarkan
terma ketiga, maka terma pertama dan terma kedua saling menyangkal satu sama
lain. Aristoteles merangkai semua kombinasi yang mungkin terjadi dan merumuskan
hukum-hukum untuk mengatur kombinasi-kombinasi tersebut. Metode ini menjernihkan
dan membuang keraguan jalan pikiran atas dasar hubungan antara tiga terma.
Metode tersebut membuat Aristoteles mendapat julukan “Bapak Logika”. Metode
tersebut dipandang tidak ilmiah setelah munculnya Francis Bacon dengan bukunya
yang berjudul “ Novum Organum (Organon baru)” yang dimaksudkan untuk mengkritik
logika Aristoteles yang menurutnya memiliki kekurangan aturan dan prinsip yang berguna
untuk menetapkan hukum penalaran yang ilmiah. (Salahudin,Anas:2011).
B. Peranan antara Filsafat
Pendidikan dengan Filsafat yang Lain.
Peranan-peranan
filsafat pendidikan dapat ditinjau dari tiga kelompok filsafat, yaitu
Metafisika, Epistemologi, dan Aksiologi berikut adalah penjelasannya:
1.
Metafisika dan Pendidikan
Dewasa
ini metafisika dan pendidikan merupakan dua kegiatan yang berbeda, memiliki
nilai dan manfaat dalam kelompoknya masing-masing yang keduanya berusaha
menyusun pertanyaan-pertanyaan umum. Metafisika sendiri berkaitan dengan
konsep-konsep yang kejadiannya tidak dapat diukur secara empiris. Sedangkan
pendidikan menimbulkan masalah tentang hakikat realitas. Dalam hal ini,
metafisika berusaha untuk memecahkan masalah hakikat realitas yang tidak mampu
dipecahkan oleh pendidikan. Dalam teori dan praktek pendidikan, metafisika
menimbulkan diskusi-diskusi yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit
untuk mendapatkan jawaban-jawaban secara ilmiah. Contohnya, apakah kehidupan
manusia memiliki tujuan? Bagaimana implikasi implisit masalah tersebut dalam
studi biologi? Mempelajari metafisika bagi filsafat pendidikan diperlukan untuk
mengontrol secara implisit tujuan pendidikan, untuk mengetahui dunia anak,
apakah dia merupakan makhluk rohani atau jasmani saja, atau keduanya.
Metafisika memiliki implikasi-implikasi penting untuk pendidikan karena
kurikulum sekolah berdasarkan pada apa yang kita ketahui mengenai realitas.
Pada kenyataannya, setiap posisi yang berkenaan dengan apa yang harus diajarkan
oleh sekolah dibalik itu semua memiliki suatu pandangan realitas tertentu,
sejumlah respons tertentu pada pertanyaan-pertanyaan metafisika.
2.
Epistemologi dan
Pendidikan.
Dalam
penghadapi pertanyaan-pertanyaan epistemologis, semua guru akan memiliki implikasi-implikasi
yang signifikan untuk pendekatan kita pada kurikulum dan pengajaran , dimana
kita harus menentukan apa yang benar dalam muatan yang akan kita ajar yang
kemudian kita harus memutuskan alat yang paling tepat untuk membawa muatan ini
pada siswa. Setidaknya ada lima cara yang berbeda dalam mengetahui apakah hal
tersebut merupakan minat/ kepentingan guru, yaitu sebagai berikut :
a.
Mengetahui yang
didasarkan otoritas.
Dalam
hal ini orang-orang memperoleh pengetahuan dari orang bijak, sastrawan,
penceramah, atau penguasa di sekolah-sekolah, buku teks, guru, administrator
yang merupakan sumber-sumber otoritas bagi siswa.
b.
Mengetahui yang
didasarkan pada wahyu Tuhan.
Sepanjang
sejarah manusia, wahyu-wahyu super natural telah menjadi suatu sumber
pengetahuan mengenai dunia.
c.
Mengetahui yang
didasarkan pada empirisme (pengalaman).
Kita
ketahui sendiri bahwa empirisme merujuk pada pengetahuan yang diperoleh melalui
indera yaitu pada pengalaman dengan kita mengetahui dan merasakan hal itu
sendiri. Jadi bisa dikatakan bahwa secara informal data empiris yang
dikumpulkan mengarah pada perilaku sehari-hari.
d.
Mengetahui yang
didasarkan pada nalar.
Melalui
metode ini suatu permasalahan diidentifikasi, data yang relevan atau
berhubungan, dikumpulkan, suatu hipotesis dirumuskan berdasarkan data ini, dan
hipotesis di uji secara empiris.
e.
Mengetahui yang
didasarkan pada intuisi.
Intuisi
ditarik dari pengetahuan dan pengalaman awal kita yang memberi suatu pemahaman
yang dekat terhadap situasi yang ada. Hal tersebut mempengaruhi kita dalam
mengetahui sesuatu tetapi kita tidak tahu bagaiman kita mengetahui. Perasaan
tersebut merupakan campuran dari insting, emosi, dan imajinatif. Bagi guru,
guru tidak hanya mengetahui bagaimana siswa memperoleh pengetahuan, tetapi guru
juga harus tahu bagaimana siswa itu belajar. Sehingga dalam hal ini ahli
pendidikan harus mengetahui hal tersebut agar dapat menentukan kurikulum dan
metode pengajaran yang sesuai dengan materi di sekolah.
3.
Aksiologi dan Pendidikan
Aksiologi
sebagai cabang filsafat yang membahas nilai baik dan buruk, indah dan tidak
indah (jelek), erat dengan kaitan dengan pendidikan, karena dunia nilai akan
selalu dipertimbangkan, atau akan menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan
tujuan pendidikan. Langsung atau tidak langsung, nilai akan menentukan
perbuatan pendidikan. Pendidikan secara langsung berkaitan dengan nilai.
Berdasarkan nilai tersebut, pendidikan dapat menentukan tujuan, motivasi,
kurikulum, metode belajar, dan sebagainya. Pendidikan terlebih dahulu harus
menentukan nilai mana yang akan dianut sebelum menentukan kegiatannya. Hal ini
berarti bahwa nilai terletak dalam tujuan. Pembahasan nilai-nilai pendidikan
terletak di dalam rumusan dan uraian tentang tujuan pendidikan. Peran guru
berhubungan dengan nilai karena sekolah
bukanlah suatu aktivitas netral. Tidak ada sekolah yang bebas nilai, dan hal
yang paling mendasar dari sekolah mengekspresikan sejumlah nilai.
Pada
intinya, aksiologi membahas tentang fakta bahwa guru memiliki suatu minat tidak
hanya pada kuantitas suatu pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga
dalam kualitas kehidupan yang dimungkinkan karena pengetahuan itu. Pengetahuan
tentang etika dapat membantu guru dalam memecahkan permasalahan yang muncul di
kelas dan dapat menyumbangkan kepada guru cara-cara berpikir mengenai
permasalahan-permasalahan yang sulit untuk menentukan arah tindakan yang benar.
Estetika juga membantu guru meningkatkan keefektifannya. Dalam hal ini guru
adalah seorang seniman dan secara terus-menerus berusaha meningkatan kualitas
kerjanya.
4.
Logika dan Pendidikan.
Logika
adalah bidang filsafat yang berhubungan dengan proses penalaran dan
mengidentifikasi aturan-aturan yang memungkinkan pemikir mencapai
kesimpulan-kesimpulan yang sahih. Proses penalaran logis sendiri dibagi menjadi
dua yaitu pemikiran deduktif dan pemikiran induktif. Logika deduktif lebih
kepada membantu dalam menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi
kasus yang bersifat individual (khusus). Sedangkan logika induktif lebih kepada
penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang
bersifat umum (Sadulloh, Uyoh.2004).
C. Filsafat Pendidikan yang
berbasis Pancasila di Indonesia.
Meskipun
tidak secara eksplisit Pancasila ditetapkan sebagai filsafat pendidikan di
Indonesia, namun dalam kenyataannya Pancasila telah ditetapkan sebagai landasan
berpikir pendidikan, baik dalam bentuk undang-undang maupun dalam praktek
penyelenggaraannya. Dalam hal ini terbukti pada penetapan hukum yang menyangkut
pendidikan seperti:
a.
Dalam UU No. 4 Tahun 1950
tentang sistem pendidikan nasional antara lain disebutkan bahwa pendidikan
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
b.
Dalam Keputusan Presiden
No. 19 Tahun 1969 ditetapkan bahwa sistem pendidikan nasional Indonesia disebut
sebagai “ Sistem Pendidikan Nasional Pancasila”.
c.
Ketetapan MPRS No. 27
Tahun 1966 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah membentuk
manusia Pancasila sejati.
d.
Dalam UU No. 2 Tahun 1989
maupun dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan
bahwa “ Dasar Pendidikan Nasional adalah Pancasila dan UUD 1945”.
Fungsi
Pancasila sebagai landasan pemikiran dan pelaksanaan pendidikan di Indonesia
dapat dipandang bahwa sudah ada landasan filosofis dalam pendidikan di
Indonesia namun secara formal belum disebut sebagai dasar filsafat pendidikan
karena secara formal memang belum digunakan istilah filsafat pendidikan dalam
sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia tidak secara eksplisit
menganut aliran filsafat yang mana dan tidak juga mengikuti filsafat pendidikan
yang mana, melainkan berpegang dan berpedoman pada Pancasila (baik sebagai
filsafat bangsa maupun sebagai dasar negara. Secara sadar atau tidak sadar
dalam menetapkan arti pendidikan, tujuan pendidikan, dan materi pendidikan kita
paling tidak telah menggunakan filsafat manusia, filsafat logika, filsafat
etika, filsafat ilmu, dan filsafat pendidikan. Maka dari itu, diperlukan
pandangan yang tepat tentang manusia yang ideal, bagaimana pendidikan harus
memanusiakan peserta didik dalam pemilihan metode dan alat pendidikan, materi
apa yang paling tepat untuk sarana mencapai tujuan pendidikan, dan sebagainya.
Tentu saja dalam memilih aliran yang tepat dari aliran filsafat yang ada pada
pemangku kewenangan pendidikan di Indonesia harus mengacu pada Pancasila, tidak
harus mengikuti aliran-aliran filsafat yang ada.
Dalam
memilih materi pendidikan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan perlu
diingat bahwa sila-sila Pancasila tidak dapat dipisahkan serta harus dilihat
sebagai suatu kesatuan, sehingga dalam penerapannya sebagai dasar filsafat
pendidikan juga harus dalam kesatuannya. Beberapa kebijakan pemerintah
Indonesia dalam hal pendidikan yang didasarkan pada sudut pandang filosofis
secara universal antara lain :
1.
Indonesia telah memilih
pola pendidikan seumur hidup (Life Long
Education) karena pada prinsipnya manusia dipandang sebagai makhluk hidup
yang berkembang dari lahir sampai mati.
2.
Indonesia juga telah
melaksanakan “ Pendidikan untuk Semua” (Education
for All).
3.
Dalam sistem pendidikan
nasional Indonesia dikenal istilah Kurikulum Inti (Core Curriculum) (Sugiono & Tamsil .2012).
Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pancasila sebagai filsafat
pendidikan bangsa Indonesia, atas dasar itu maka sistem filsafat pendidikan
Pancasila menginginkan peserta didik mengakui pencipta, berperikemanusiaan,
berjiwa Indonesia, berkeadilan, serta menghargai individu sederajat sehingga
dalam hal ini diperlukan suasana lingkungan yang bernuansa Pancasila serta
tingkah laku para pendidik yang Pancasilais sebagai panutan. Dengan ditetapkannya
Pancasila sebagai dasar pendidikan secara rasional dan empirik, pendidikan di
Indonesia sudah memiliki landasan filosofis yang dapat dipertanggungjawabkan
(Salam, Burhanuddin. 2002).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa :
1.
Filsafat Pendidikan
adalah pengetahuan yang menyelidiki substansi (kandungan) pelaksanaan
pendidikan yang berkaitan dengan tujuan, latar belakang, cara, hasil dan
hakikat ilmu pendidikan yang berhubungan dengan analisis kritis terhadap
struktur dan kegunaannya serta pengetahuan yang memikirkan hakikat pendidikan
secara komprehensif dan kontemplatif tentang sumber, seluk-beluk
pendidikan, fungsi, dan tujuan pendidikan.
2.
Filsafat Pendidikan
mempunyai peranan dengan Filsafat yang lain, seperti Metafisika, Epistemologi,
Aksiologi, dan Logika.
3.
Filsafat Pendidikan yang
dilaksanakan di Indonesia berbasis Pancasila pasti disesuaikan dengan UU yang
berlaku dan berkaitan dengan pendidikan serta disesuaikan dengan Pancaila dan
UUD 1945.
3.2 Saran
Semoga
makalah ini menjadi berguna kedepannya dan penulis sangat mengharapkan adanya
kritik dan saran agar nantinya dalam pembuatan makalah selanjutnya terjadi
kemajuan yang berarti.
DAFTAR RUJUKAN
1. Nizar,
Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Ciputat Press.
2. M.M.,
Soegiono & Muis, Tamsil. 2012. Filsafat
Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
3. Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu
dan Aplikasi Pendidikan : Bagian 1 Ilmu Pendidikan Teoritis. Bandung: PT.
IMPERIAL BHAKTI UTAMA (IMTIMA).
4. Salam,
Burhanuddin. 2002 . Pengantar Pedagogik
(Dasar-Dasar Ilmu Mendidik). Jakarta: PT Rineka Cipta.
5. Sadulloh,
Uyoh. 2004. Pengantar Filsafat Pendidikan.
Bandung : Alfabeta, CV.
6. Salahuddin,
Anas. 2011. Filsafat Pendidikan.
Bandung : CV Pustaka Setia.
Komentar
Posting Komentar