Tugas UTS Metodologi dan Historiografi
Nama : Yuliarti Kurnia Pramai Selli
Kelas/Off. : B
Prodi : S1 Pendidikan Sejarah
NIM : 140731606196
Makul : Sejarah Lokal
Tugas UTS Metodologi dan
Historiografi
1.
Munculnya
Kelompok Annales di Prancis dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Metodologi Sejarah
Revolusi
Prancis mempunyai dampak yang besar terhadap kehidupan masyarakatnya dimana
jika dilihat dari segi politik, tumbuh, dan berkembangnya paham liberalisme
serta muncul ide tentang aksi revolusioner untuk mengubah suatu tatanan negara
secara cepat. Jika dilihat dari segi ekonomi menimbulkan pertumbuhan industri
yang pesat dan besar dimana petani menjadi pemilik tanah serta dihapuskannya
sistem pajak feodal. Dalam bidang sosial, muncul kebersamaan harkat dan
martabat seluruh masyarakat Prancis dengan adanya persamaan hak asasi manusia.
Selain itu, pendidikan dan pengajaran yang merata di seluruh lapisan masyarakat
sehingga kecerdasan semakin meningkat (Wahyudi, Djaja, 2012: 110). Dengan
dampak revolusi industri di atas, maka nantinya akan muncul banyak
pemikiran-pemikiran dari tokoh yang salah satunya akan memunculkan suatu
pemikiran dari aliran Annales. Annales didirikan oleh Lucien Febvre dan Marc
Bloch yang menerbitkan majalah Annales tahun 1929 dan kemudian dipakai sebagai
“mazhab” atau aliran. Majalah tersebut bertujuan untuk ingin membogkar
dinding-dinding yang membatasi sejarah dari kajian sosial dan ekonomi, bukan
dari teori-teori yang semuanya meninggi tetapi didasarkan pada fakta dan
contoh. Tokoh sejarawan ternama di Prancis, Denys Lombard pada tingkat yang
paling ideal ia ingin menjadikan ilmu sejarah seperti kata Brudel “sebuah pasar
bersama dari ilmu-ilmu kemanusiaan” sehingga hal ini memberikan tekad untuk
mendirikan majalah Annales (Cambert & Ambary, 1999: 56). Di Prancis aliran
ini menjadi modal bagi generasi penulis sejarah sosial yang kedudukannya
semakin kuat dalam dunia penulisan sejarah yang majalah tersebut dipelopori
oleh Lucien Febvre dan March Bloch. Pada tahun 1958 terbitlah majalah yang
berjudul “Comparative Study on Society and History” yang majalah ini melengkapi
pengaruh Annales terutama di Amerika (Kuntowijoyo, 2003: 173).
Dalam
historiografi Prancis di tahun 1920-an, ada minat terhadap “new kind of
history” dengan berdirinya Annales d’historie
econimique et sociale (1929) yang dirintis oleh Marc Bloch dan Lucien
Febvre dimana sejarah tidak lagi sebagai narasi semata mengenai
kejadian-kejadian, tetapi analisis mengenai struktur (Burke, P. 1992: 15-16).
Struktur yang dipakai dalam aliran ini untuk menjelaskan perubahan sosial dan
sejarah. Aliran ini juga dipengaruhi oleh konsep struktur dari Strukturalisme
bukan Marxisme sehingga dengan sengaja aliran ini berbeda dan membuat jarak
dengan Marxisme (Kuntowijoyo, 2008: 60). Menurut Christoper Lloyd dalam
“Explanation in Social History” mengatakan bahwa penjelasan sejarah dengan
konsep struktur mempunyai tiga aliran, yaitu aliran budaya (meliputi
antropologi, sejarah pemikiran, sejarah mentalis, psikologi, analisis sastra),
aliran geografi, ekonomi, dan sosial serta aliran yang memfokuskan diri pada
epistemologi dan metodologi dalam hubungan antara strukturalisme dan cara
penjelasan lainnya. Sebagai sejarawan, aliran pertama dan kedua menjadi
perhatian kita. Menurut Lucien Febvre gagasan struktur muncul tidak boleh
memaksakan secara a prior teori ke
dalam penelitian tentang masyarakat dan sejarah, sementara sejarawan harus
mencari dan menemukan fakta, tetapi tidak bersemboyan “fakta untuk fakta”.
Sedangkan, menurut Marc Bloch sejarah adalah salah satu cara mengorganisasikan
masa lalu agar masa lalu tersebut tidak menjadi beban. Struktur sendiri jika
dilihat secara analogis juga sejarah masa kini (Kuntowijoyo, 2008: 61).
Aliran
Annales yang dipengaruhi oleh strukturalisme, struktur itu jangka panjang
berkelanjutan dan berskala luas dengan sifatnya yang geografis, ekonomis,
sosial, dan budaya terletak di bawah gejala permukaan seperti institusi
politik, perang, dan perilaku perorangan. Fernand Braudel dari aliran ini
adalah eksponn utama penganjur struktur setelah Febvre dan Bloch. Menurut
Braudel, waktu dalam sejarah dapat dibagi menjadi tiga tingkat kecepatan, yaitu
longue duree (jangka panjang,
struktur), konjunktor (conjuncture,
conjuncture siklus), dan peristiwa (I’historie
evenementielle). Dalam hal peradaban dan kapitalisme, Braudel menjelaskan
masalah struktur (Kuntowijoyo, 2008: 61-61). Dalam hal ini, penulis mengambil
pendekatan yang dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo yang lebih kepada sejarah
sosialnya, yaitu tentang gerakan-gerakan sosial dari arus utama masyarakat atau
permintaan sosial-politik yang mapan seperti gerakan petani di Banten pada
tahun 1888 atau gerakan radikal yang telah dikaji oleh Sartono Kartodirdjo
(Permadi, Tedi, 2010: 76). Kedua, sejarah sosial dalam arti gabung dengan
“sejarah ekonomi” dimana pertumbuhan ekonomi mampu menjelaskan tentang
struktur-struktur dan perubahan-perubahan sosial budaya dan politik masyarakat.
Dimensi sosial dalam sejarah ekonomi memang dapat disembunyikan sehingga
terdapat sejarawan yang setuju bahwa sejarah ekonomi memang dapat disembunyikan
dan karena itu terdapat sejarawan yang setuju bahwa sejarah ekonomi merupakan
sejarah paling asas dari berbagai jenis daerah dan ekonomi sendiri adalah asas
bagi sebuah masyarakat. Contohnya adalah dari masa Orde Baru ke Orde Reformasi
yang banyak permasalahan terutama dalam hal kebijakan ekonomi yang waktu itu
dipimpin oleh Soeharto. Ketiga, sejarah sosial dalam pengertian mengacu pada
aktivitas manusia yang terlalu luas seperti kebiasaan (adab), adat istiadat
(adat), dan kehidupan sehari-hari. Contoh di Indonesia adalah Jogja yang tidak
harus selalu diorientasikan kepada masyarakat kelas bawah sehingga dalam
kategori ini sejarah sosial tidak mengikutsertakan politik agar tidak terlalu
banyak dalam orientasinya. Contoh lainnya adalah Reog Ponorogo dimana
sejarahnya mempengaruhi pola sosial masyarakat sekarang dimana kesenian ini
menjadi alat utama yang dimiliki oleh wilayah Ponorogo yang mempunyai
kebiasaan, adat istiadat, dan kehidupan sehari-hari. Misalnya ada acara tradisi
Grebeg Suro yang berisikan Reog Festival (Kabupaten) dan tradisi Larung Risalah
Doa. Selain itu dalam acara pernikahan, slametan, khitanan, bersih desa dan
lain-lain ada Reog Obyogan (Desa) (Permadi, Tedi, 2010: 77).
2.
Sejarah
Naratif dan Sejarah Kritis
Narativisme
adalah bentuk awal dari sejarah kritis yang dirintis pada akhir abad ke-19 oleh
salah satu tokoh terkenal, yaitu Leopold Von Ranke yang menganjurkan agar
sejarawan menulis apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga, narativisme
menitikberatkan pada peristiwa, khususnya peristiwa politik yang diharapkan
dapat menggambarkan keadaan yang mendekati kebenaran dari peristiwa masa lalu
dengan cara menjelaskan fakta-fakta yang terdapat dalam sumber sejarah. Kisah
atau naratif menjadi acuan dalam menyeleksi fakta-fakta dalam sumber sejarah.
Sehingga, bukan masa lalu yang dijadikan patokan tetapi gagasan dari sejarawan
seperti peristiwa perang yang terjadi pada masa Renaissance. Terdapat kelemahan
dari sejarah naratif ini antara lain interpretasi sejarawan terhadap fakta
sejarah yang dalam pekerjaannya sendiri dipengaruhi oleh personal bias,
perbedaan ideologi, latar belakang budaya. Selain itu juga, metodologi ini
hanya membahas mengenai tokoh-tokoh besar (elit) dan kita mengetahui bahwa
sejarah tidak hanya terbatas pada pembahasan tokoh-tokoh besar. Kelemahan dari
sejarah naratif adalah hanya bertumpu pada sumber tertulis berdasarkan fakta
yang ada di dokumen. Padahal, masih ada sumber lisan yang fungsinya untuk
melengkapi sumber tertulis (Sunjayadi. 2012, (Online)). Sedangkan, sejarah
kritis tidak lepas dari Leopold Von Ranke (1795-1886) seorang sejarawan negeri
Bavaria yang disebut-sebut sebagai Bapak Sejarah Kritis. Dalam perkembangan
historiografi dunia dikenal ada tiga paradigma, yaitu rekonstruksionisme,
konstruksionisme, dan dekonstruksionisme. Leopold sendiri adalah pelopor aliran
pertama yang pengaruhnya dalam masyarakat sejarawan tidak berjalan secara
bertahap dalam artian perkembangan paradigma penulisan sejarah mutakhir
sekalipun, masing-masing paradigma digunakan oleh kalangan sejarawan tertentu.
Rekonstruksionisme Leopold merubah paradigma atau pandangan pada masa itu
dengan melahirkan konstruksionisme dengan aliran Annalesnya yang terkenal itu. Tetapi
seiring berjalannya waktu dalam penulisan sejarah seharusnya dilakukan analisa
dengan konsep dan teori ilmu sosial yang nantinya dikenal dengan aliran sejarah
sosial. Dalam penulisan sejarah kritis, sejarawan dalam menceritakan masa lalu
tidak serta merta menerima semua sumber sejarah yang ditemukan. Jadi, cara atau
metodologi ini ditulis secara ilmiah yang didasarkan pada rekonstruksionisme
tadi, yaitu sebuah paradigma penulisan sejarah yang mendasarkan asumsi pada
pendekatan empiris, mengambil jarak yang cukup jauh dari pendapat sejarawan
hingga cenderung anti interpretasi. Dari penjelasan di atas, maka sejarah
kritis adalah upaya perdana sejarawan yang sedemikian rupa untuk mendesain
sejarah menjadi ilmu yang empiris, metodologis, memiliki ojek, teori, dan
generalisasi (Subekti, Arif. 2011, (Online)).
Dari
penjelasan di atas, penulis lebih memilih sejarah kritis. Alasan penulis
memilih sejarah kritis adalah karena dari pengertiannya saja sejarawan dituntut
dalam membuat cerita sejarah harus melihat aspek-aspek yang ada seperti dalam
hal empiris (gambaran di lapangan secara nyata), disusun secara metodologis
(dengan metode-metode), memiliki objek, teori yang digunakan dan relevan dengan
peristiwa yang akan dijadikan cerita sejarah, serta adanya generalisasi
(susunan secara umum). Kemudian, dengan menggunakan sejarah kritis kita bisa
mendapat informasi secara pasti tanpa adanya kebingungan dari pendapat
masyarakat maupun dari pendapat para sejarawan karena kembali ke pembahasan di
atas bahwa penulisan sejarah didasarkan pada asumsi pada pendekatan empiris
yang pendekatan tersebut mengambil jarak terhadap pendapat sejarawan dan tidak
melakukan penafsiran-penafsiran yang biasanya dipengaruhi oleh politik,
kekuasaan, budaya, suku, ras, dan lain-lain. Jadi, penulis memilih sejarah
kritis. Seandainya dalam pertanyaan ini tidak disuruh pilih salah satu, maka
penulis akan secara terbuka mengatakan bahwa sejarah naratif dan sejarah lokal
memiliki hubungan atau keterkaitan dalam penyempurnaan suatu peristiwa sejarah
dimana antara interpretasi dan empirisme saling dualitas (saling mengisi).
Sehingga, baik cara penyajian maupun pembahasan suatu cerita sejarah tersebut
menjadi sempurna dan lengkap.
3.
Posisi
Ilmu Sosial Lain dalam Sejarah
Dalam
hal ini, ilmu-ilmu sosial meliputi sosiologi, psikologi, antropologi,
politikologi, ekonomi, dan lain sebagainya menjadi ilmu-ilmu bantu sejarah. Inti
posisi dari ilmu-ilmu sosial tersebut adalah sebagai alat bantu atau ilmu-ilmu
bantu yang disebut sebagai auxiliary sciences atau sister disciplines dapat menjadi sumber-sumber utama bagi para
sejarawan dalam penelitian dan penyusunan kembali (rekonstruksi) sejarah.
Ilmu-ilmu bantu ini digunakan sesuai dengan topik atau periode yang dikaji.
Contohnya adalah untuk sejarah Indonesia ilmu paleontologi, paleoantropologi,
arkeologi, paleografi, epigrafi, ikonografi, numismatik, ilmu keramik,
genealogi, filologi, dan bahasa yang umumnya menjadi sumber-sumber utama untuk
periode sejarah paling kuno (prasejarah), zaman pengaruh Hindu-Buddha, zaman
pengaruh Islam dan kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Bahan-bahan etnografi,
statistik, dan ilmu-ilmu sosial digunakan untuk periode-periode awal sejarah
modern dan sejarah kontemporer. Terutama konsep-konsep ilmu-ilmu sosial dan
statistik merupakan alat-alat (tools) yang membantu analisis secara kritis dan
ilmiah tema-tema sejarah sosial dan ekonomi (Sjamsuddin & Ismaun, 1993:
102-103). Berikut beberapa posisi ilmu-ilmu sosial lain dalam sejarah, yaitu :
a. Ilmu
Sosiologi/Sosial-Ilmiah (social-scientific
history)
Jenis
sejarah ini dekat dengan sosiologi dimana ada pada sejarah sosial terdapat tiga
teori besar sosiologi yang dikenal, yaitu :
1. Teori
Evolusi oleh Herbert Spencer (1820-1903) seorang ahli sosiologi Inggris.
2. Teori
Struktural atau Sistematis oleh Talcott Parson lahir tahun 1902 seorang ahli
sosiologi Amerika.
3. Teori
Marxisme oleh Karl Marx (1818-1883).
Dari
tiga teori di atas, maka karakter utama sejarah sosial-ilmiah adalah :
1. Menghasilkan
sejarah kolektif yang langsung mengaitkan pengalaman-pengalaman tercatat dari
sejumlah besar manusia atau unit-unit sosial.
2. Sejarawan
sosial-ilmiah mencoba membahas atau memahami pola-pola tingkah laku kolektif
menurut konsep-konsep teoritis dan model-model.
3. Sejarawan
sosial-ilmiah sangat bersandar pada komparasi-komparasi fenomena sosial politik
yang sama (misalnya revolusi) dalam setting geografis yang berbeda (misalnya
Amerika, Prancis, Rusia, Indonesia) secara sistematis dibandingkan dan
dianalisis untuk menguji dan mengembangkan ide-ide umum mengenai bagaimana
proses-proses atau fenomena-fenomena itu berlangsung.
4. Kekhasan
lain dari sejarah sebagai ilmu sosial adalah bersandar pada kuantifikasi,
penggunaan komputer, dan alat-alat lain untuk data procesing yang mekanis,
tekanan pada presentasi formal argumen dan hipotesis, serta penggunaan
istilah-istilah teknis kuantitatif. Ruang lingkup sejarah sosial cukup luas
dimana segala lapisan masyarakat dari tingkat atas sampai lapisan bawah (top
down) termasuk anggota-anggota masyarakat “paria” atau “di luar hukum” seperti
bandit dan sebagainya (Sjamsuddin & Ismaun, 1993: 124-126).
b. Ilmu
Ekonomi
adalah
cabang sejarah yang paling cocok dengan teknik-teknik kuantitatif sehingga
dianggap sebagai sains atau ilmu sosial. Substansi materi sejarah ekonomi
antara lain produksi jasa, pekerjaan, penghasilan, harga, dan lain-lain. Dalam
sejarah ekonomi dapat diuji dan dibimbing teori-teori ekonomi yang sangat
berkembang sedangkan untuk cabang-cabang sejarah lain dasar-dasar teoritis ini
kecil sekali dimana teori-teori tersebut menyediakan para sejarawan ekonomi
suatu kerangka konseptual dan pola-pola hubungan yang bertugas sebagai pengarah
dan pengontrol penelitiannya (Sjamsuddin, Ismaun, 1993: 126-127).
c. Ilmu
Antropologi
Untuk
menulis sejarah suatu bangsa, antropologi pada awalnya menyediakan bahan sejarahnya.
Contoh zaman Prasejarah maka kita harus menyediakan bahan sejarahnya terlebih
dahulu. Begitu juga berbagai masalah dalam historiografi dari sejarah suatu
bangsa dapat dipecahkan dengan metode-metode antropologi. Sumber sejarah
seperti prasasti, dokumen, naskah tradisional, dan arsip kuno belum dianggap
cukup dan dilengkapi dengan konsep-konsep tentang kehidupan masyarakat yang
dikembangkan antropologi dan ilmu-ilmu sosial lain dapat memberi pengertian
kepada para ahli sejarah untuk mengisi latar belakang suatu peristiwa politik
di masa lampau (Koentjaraningrat, 2003: 23).
d. Ilmu
Politik
Sejarah
politik menurut model lama sejarah lama yang mengutamakan diplomasi dan perang
serta peranan tokoh-tokoh besar dan pahlawan. Padahal, pemaparan deskriptif-naratif
pada sejarah politik gaya lama digantikan dengan analisis kritis-ilmiah karena
sejarah politik model baru telah menggunakan pendekatan dari berbagai ilmu-ilmu
sosial. Sehingga, wawasan analisis semakin luas dan mendalam karena yang
dibahas seperti soal struktur kekuasaan, kepemimpinan, para elit, otoritas,
budaya politik, proses mobilisasi, jaringan-jaringan politik dalam hubungannya
dengan sistem sosial, ekonomi, dan sebagainya. Contoh sejarah politik di
Indonesia yang ditulis oleh Alfian pada tahun 1970 tentang “Islamic Modernism
in Indonesian Politics : The Muhammadiyah during Colonial Period” dalam
disertasinya di University of Wisconsin, Amerika Serikat (Sjamsuddin, Ismaun,
1993: 128-129).
e. Ilmu
Psikologi
Pengetahuan
psikologi sangat berguna bagi para peneliti sejarah dimana dengan bekal
pengetahuan ini, para sejarawan dapat mengkaji berbagai aspek perilaku manusia
pada masa lalu dan dalam pengkajian ini terdapat dua macam, yaitu psikologi
kelompok dan psikologi individual yang nantinya masing-masing menghasilkan
cabang-cabang sejarah yang mengkaji dan menganalisis kelompok-kelompok manusia
dan individu-individu pada masa silam. Cabang pertama disebut dengan “sejarah
mentalitas” dan cabang kedua disebut “psikohistori” (psychohistory), yaitu pengkajian sejarah yang menggunakan psikologi
(Sjamsuddin, Ismaun, 1993: 132).
4.
Perubahan
Masyarakat Kota Malang pada Awal Abad ke-20 (1914-1940)
Grand
Theory dalam ini adalah teori tentang perubahan sosial dimana penulis mengambil
satu tokoh yang bernama Talcott Parson yang teori tersebut karya-karyanya
banyak dikenal sebagai teori tindakan manusia dimana unsur-unsur tersebut
meliputi organisme, kepribadian, sistem sosial, dan sistem kultural. Parson
meyakini bahwa perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh kultural (pendidikan),
kehakiman (integrasi), pemerintahan (pencapaian tujuan), dan ekonomi (adaptasi)
(Narwoko & Suyanto, 2004: 369-372).
Dalam
fakta dan datanya penulis hanya memfokuskan dalam hal keputusan politik yang
berpengaruh terhadap perkembangan kota. Keputusan politik pertama yang
berpengaruh langsung pada perkembangan kota Malang adalah U.U. Gula (suikerwet)
dan U.U. Agraria (agrarischewet), pada tahun 1870 yang mengakibatkan
adanya pembangunan secara besar-besaran oleh pihak pemerintah dan swasta untuk membangun
prasarana baik didalam kota, jalan-jalan yang menghubungkan Malang sebagai kota
pedalaman dengan kota-kota lainnya. Keputusan politik yang lebih penting adalah
adanya undang-undang desentralisasi pada tahun 1903 yang disusul dengan
keputusan desentralisasi pada tahun 1905 dimana intinya berisi wewenang yang
lebih besar kepada kota-kota yang ditetapkan sebagai kotamadya (gemeente),
untuk bisa berdiri sendiri. Sejak saat itulah sebenarnya Malang berkembang
lebih pesat dari sebuah kota Kabupaten yang kecil menjadi sebuah Kotamadya
terbesar kedua di Jatim. Dengan ditetapkannya sebagai sebuah Kotamadya, maka
mulailah Malang melakukan perluasan kota, yang dirasakan pada tahun tersebut
kotanya sudah tidak memadai, karena pertambahan penduduk yang pesat sekali. Antara
tahun 1914-1929, Malang sudah mempunyai 8 tahap perencanaan kota yang pasti.
Masing-masing tahapan tersebut dinamakan sebagai Bouwplan I s/d VIII. Tujuan
utama dari perluasan ini adalah pengendalian bentuk kota akibat dari
pertambahan penduduk serta kemajuan ekonomi yang sangat cepat. Tujuan serta
detail dari perkembangan kota ini tidak mungkin ditulis satu persatu disini
karena sangat panjang (bisa dibaca pada laporan Handinoto: Perkembangan kota
dan arsitektur Kolonial Belanda di Malang 1914-1940). Berhasilya pihak
Kotamadya (gemeente) Malang dalam melaksanakan rencana perkembangan kota
tersebut dengan baik, karena cepatnya mereka menguasai tanah-tanah yang
diperlukan untuk perkembangan kota, sehingga sulit sekali bagi pihak ketiga
untuk berspekulasi terhadap tanah. Tapi keadaan seperti ini tidak bisa
dipertahankan terus, karena selain diperlukan pengawasan yang ketat, pihak
kotamadya (gemeente) tidak mungkin mempunyai dana keuangan sendiri untuk
menguasai tanah-tanah yang harganya makin melambung.
Hal
tersebut terasa sekali pada rencana Bouwplan ke V dan VII, yang terkenal
dengan sebutan pengembangan daerah ”Bergenbuurt” (daerah tinggi yang ada
disebelah Barat kota), dimana para spekulan dari pihak swasta sudah banyak yang
mengincar tanah di daerah tersebut. Oleh sebab itu kotamadya terpaksa harus
meminta bantuan pemerintah pusat. Sesuai dengan undang-undang kota pada waktu
itu (bijblad 11272)9, maka pihak kotamadya Malang harus menyediakan ”Geraamteplan”
(Kerangka Rencana) ke pemerintah pusat. Rencana pertamanya ditolak karena
dianggap belum memenuhi persayaratan sebagai satu :Geraamteplan”. Oleh
sebab itu pada bulan Agustus 1929, Walikota Malang meminta secara resmi kepada
Ir. Herman Thomas Karsten menjadi ”Adviseur” (penasehat) untuk perluasan
dan perkembangan kota Malang. Sejak saat itulah secara resmi Karsten menjadi
dirigen bagi perkembangan kota.Tugas utamanya sekarang adalah memperbaiki dan
mengembangkan
”geraamteplan”
kota Malang yang dibuat oleh pihak Kotamadya, supaya bisa diterima oleh
pemerintah pusat. Secara garis besar laporan Karsten (1935:59), bisa dibagi
menjadi beberapa bagian yaitu (isi yang lebih rincibisa dilihat di laporan penelitian
yang dilakukan oleh Handinoto dalam: Perkembangan kota dan arsitektur Kolonial
Belanda di Malang 1914-1940), yaitu :
a. Lahirnya
perencanaan Kota Malang.
b. Hakekat
dan dampak perencanaan Kota Malang.
c. Cara
penentuan perencanaan dan arti persetujuan pemerintah.
d. Situasi
dan pembentukan bagian kota yang tertua.
e. Pertumbuhan
kota hingga tahun 1930.
f.
Pertumbuhan dan Karakter.
g. Bentuk
Utama dan Pusatnya.
h. Kelompok
utama dan peruntukkannya.
i.
Jaringan jalan utama.
j.
Keindahan kota.
Sebagai akibat dari “Algemeene
Volkhuisvestingcongress” (Kongres umum perumahan rakyat), dari tahun 1922,
maka pada th. 1926 pemerintah pusat menetapkan, perluasan dari ”Gemeentelijke
Voorkeurrecht op Gouvernementgronden” (Peraturan Hak Preferensi dari
Kotamadya atas tanahtanah Gubermen) , berupa Bijblad (Lampiran Lembaran
Negara), 11272. Bijblad 11272 tersebut selama jaman kolonial selanjutnya
merupakan basis bagi pembangunan perluasan kota. Hal ini berarti bahwa
selanjutnya pihak Kotamadya kalau ingin memperoleh jaminan akan tersedianya
tanah bagi perluasan kota, maka pihak Kotamadya harus mengajukan apa yang
dinamakan ”Geraamte Plan” (Kerangka Rencana), yang mencantumkan rencana
perluasan dan recana perbaikan kota .Setelah disetujui, pemerintah nantinya
akan memberikan prioritas berdasarkan undang-undang bahwa tanah yang
dipergunakan untuk perluasan kota tidak boleh dijadikan hak milik (eigendom).
Yang cukup menarik bagi kita dan masih banyak meninggalkan bekas bagi kota Malang
sekarang antara lain adalah jaringan jalan dan keindahan kota (Handinoto, 1996:
9-13, (Online)).
Daftar Rujukan :
Cambert, H. & Ambary, H.M. 1999. Panggung Sejarah : Persembahan kepada Prof.
Dr. Dennys Lombard. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Handinoto. 1996. Perkembangan Kota Malang pada Jaman Kolonial (1914-1940), (Online),
22 (1): 9-13, (http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-005/KOTA%20MALANG.pdf),
diakses tanggal 17 Oktober 2016.
Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi I. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi
Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation).
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Permadi, Tedi. 2010. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah : Karya Sartono Kartodirdjo, (Online), 1 (76).
Peter Burke. 1992. History&
Social Theory. Cambridge: Polity
Press.
Sjamsuddin, Ismaun. 1993. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.
Subekti, Arif. 2011. Sejarah Kritis dan Positivisme,
(Online), (http://arif9subekti.blogspot.co.id/2011/07/sejarah-kritis-dan-positivisme.html),
diakses tanggal 17 Oktober 2016.
Sunjayadi. 2012. Sejarah Naratif, (Online), (http://sunjayadi.com/sejarah-naratif/),
diakses tanggal 17 Oktober 2016.
Wahyudi, Djaja. 2012. Sejarah Eropa : Dari Eropa Kuno hingga Eropa
Modern. Yogyakarta: Ombak.
Komentar
Posting Komentar