POLITIK LUAR NEGERI PADA MASA ORDE LAMA DI INDONESIA (TAHUN 1959-1966)

POLITIK LUAR NEGERI PADA MASA ORDE LAMA DI INDONESIA (TAHUN 1959-1966)

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Indonesia Kontemporer
yang dibina oleh Bapak Drs. Dewa Agung Gede Agung, M.Hum

Disusun Oleh :
Jemy Patriya                           (140731601885)
Setia Ningrum                         (140731602746)
Wildan Firly Irhamny             (140731604019)
Yuliarti Kurnia Pramai Selli   (140731606196)

Description: D:\UNIVERSITAS NEGERI MALANG FIS\unduhan.jpg

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PRODI S1 PENDIDIKAN SEJARAH
Oktober 2016


KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan tugas matakuliah Studi Masyarakat Indonesia dengan makalah yang berjudul “Politik Luar Negeri pada Masa Orde Lama di Indonesia (Tahun 1959-1966)”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Kepada Bapak Drs. Dewa Agung Gede Agung, M.Hum selaku pembimbing yang senantiasa memberikan pengarahan kepada penulis dalam penyelesaian tugas makalah ini. Tidak lupa kepada teman-teman yang telah memberikan informasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah yang dibuat masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat berguna bagi penulis untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah pengetahuan tentang Sejarah Indonesia Kontemporer dalam masa Orde Lama.
Malang, Oktober 2016


Penulis


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................  i
DAFTAR ISI .......................................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ...............................................................................................  1
B.     Rumusan Masalah ..........................................................................................  2
C.     Tujuan Penulisan ............................................................................................  2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang Munculnya Politik Luar Negeri pada Masa Orde Lama ...... 3
B.     Peran Indonesia dalam Gerakan Non-Blok ...................................................  5
C.     Proses Jalannya Kebijakan Konfrontasi antara Indonesia-Malaysia ............  7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................... .  16
B. Saran .............................................................................................................. .  16
DAFTAR RUJUKAN ...................................................................................... .  17


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kita ketahui bahwa negara harus memiliki kepentingan nasional yang harus dicapai dalam wilayah negara tersebut dan dapat pula dicapai di luar wilayah negara dengan menggunakan instrumen berupa Politik Luar Negeri. Politik Luar Negeri adalah refleksi dari kondisi dalam negeri dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dinamis dari lingkungan regional dan internasional. Hal ini juga terlihat jelas pada implementasi Politik Luar Negeri Republik Indonesia (PLNRI) yang tampak memiliki karakteristik dan gaya berbeda-beda di tiap-tiap periode pemerintahan (Windiani, Reni, (Online)). Politik Luar Negeri Indonesia Masa Orde Lama (masa kepemimpinan Presiden Soekarno) di Indonesia terkenal mendapat sorotan tajam oleh dunia internasional. Hal tersebut dikarenakan faktor keaktifan dan peranan negara Indonesia di kancah internasional seperti ide-ide maupun kebijaka luar negerinya yang menjadi panutan beberapa negara pada saat itu. Masa orde lama merupakan titik awal bagi Indonesia dalam menyusun strategi dan kebijakan luar negerinya dengan dasar politik luar negeri Indonesia yang digagas oleh Bung Hatta tentang gagasan pokok Non-Blok.
Gerakan Non-Blok sendiri merupakan ide atau suatu gerakan dimana Indonesia tidak memihak antara blok Barat (diwakili oleh Amerika Serikat) dan blok Timur (diwakili oleh USSR). Bisa dibilang gerakan ini merupakan ideologi Indonesia yang tidak ingin memihak kepada dua kubu kekuatan dunia yang pada masa itu saling bermusuhan (blok Barat dan blok Timur) sehingga Indonesia menjadi pihak yang netral. Adanya perang ideologi antara kedua kubu tersebut meluas dan mempengaruhi negara-negara lain termasuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Negara Indonesia merupakan negara pencetus gerakan Non-Blok dan menjadi negara yang paling aktif dalam menyuarakan anti memihak antara kedua blok tersebut. Selain itu juga, Indonesia juga menegaskan bahwa politik luar negerinya independen (bebas) dan aktif yang hingga kini kita kenal dengan politik luar negeri bebas aktif. Selain politik luar negeri bebas aktif, Presiden Soekarno juga menetapkan politik luar Mercusuar dimana dibuat poros Jakarta-Peking-Phyongyang sehingga hal tersebut menyulut kontroversi di mata dunia internasional. Hal ini berakibat pada kurangnya realisasi dan keefektifan politik bebas aktif pada masa itu. Indonesia merupakan salah satu negara yang berani keluar dari PBB dalam menyatakan keseriusan sikapnya. Tetapi, pada kenyataannya masa Orde Lama Indonesia tidak sepenuhnya menerapkan politik bebas aktif yang dicetuskannya. Sehingga, terlihat jelas bahwa Indonesia pada masa itu cenderung berporos ke Timur dan dekat dengan negara-negara komunis seperti Cina dan USSR dibandingkan dengan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat (Kompasiana. 2015, (Online)).

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana latar belakang munculnya politik luar negeri pada masa orde lama ?
2.      Bagaimana peran Indonesia dalam Gerakan Non-Blok ?
3.      Bagaimana proses jalannya kebijakan konfrontasi antara Indonesia-Malaysia ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui dan memahami latar belakang munculnya politik luar negeri pada masa orde lama.
2.      Untuk mengetahui dan memahami peran Indonesia dalam Gerakan Non-Blok.
3.      Untuk mengetahui dan memahami proses jalannya kebijakan konfrontasi antara Indonesia-Malaysia.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Munculnya Politik Luar Negeri pada Masa Orde Lama
Munculnya politik luar negeri pada masa orde lama didasarkan pada peraturan yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945 dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dimana terdapat serangkaian dokumen-dokumen yang mendasari politik luar negeri Republik Indonesia, yaitu :
a.       UUD (Undang-Undang Dasar) 1945.
b.      Amanat Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” dan yang terkenal sebagai “Manifesto Politik Republik Indonesia”.
c.       Penetapan Presiden No. 1 tahun 1960 pada tanggal 29 Januari 1960 yang diperkuat pula dengan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/I/1960 pada tanggal 19 November 1960. Manifesto tersebut telah dijadikan sebagai “Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)”.
d.      Amanat Presiden pada tanggal 17 Agustus 1960 atau dikenal dengan nama “Jalannya Revolusi Kita” dengan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 pada tanggal 9 November 1960 dan telah dijadikan sebagai “Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia”.
e.       Pidato Presiden pada tanggal 30 September 1960 di muka Sidang Majelis Umum PBB yang berjudul “To Build the World Anew” (Membangun Dunia Kembali) dengan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 pada tanggal 19 November 1960 ditetapkan sebagai Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia dan dengan Keputusan DPA No. 2/Kpts/Sd/61 pada tanggal 19 Januari 1961 yang dinyatakan sebagai “Garis-Garis Besar Politik Luar Negeri RI” dan “Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia di bidang politik luar negeri RI”.
Dalam waktu satu tahun saja, kembalinya UUD 1945 telah melahirkan tiga teori revolusi yang tidak hanya mencakup tugas-tugas nasional tetapi juga pandangan-pandangan tentang cara perjuangan internasional seharusnya diarahkan. Pada kenyataannya, kebijakan politik luar negeri bertolak belakang dengan teori-teori di atas sehingga membuat diplomasi Indonesia di  hadapan politik dunia tidak memperhatikan prioritas kepentingan dan sumber-sumber kekuatan nasional. Kerangka teori-teori di atas disebutkan dalam Manifesto Politik RI yang menyangkut politik luar negeri (Poeponegoro & Notosusanto, 2010: 446-447).
Landasan Idiil politik luar negeri Indonesia adalah dasar negara kita, yaitu “Pancasila” berisikan tentang pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi kehidupan manusia. Sedangkan landasan konstitusional (dasar politik luar negeri Republik Indonesia) adalah tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea pertama, alinea keempat, dan pada batang tubuh UUD 1945 pasal 11 dan pasal 13. Isi dari alinea pertama dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Isi alinea keempat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :
“… dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …”.
Isi dari Pasal 11 UUD 1945 (amandemen) berbunyi : “Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain”.
Isi dari Pasal 13 UUD 1945 (amandemen), yaitu :
Ayat 1   : “Presiden mengangkat duta dan konsul”.
Ayat 2 : “Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Ayat 3 : “Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Landasan Operasional politik luar negeri luar negeri Indonesia adalah prinsip bebas aktif. Menurut Hatta, politik “Bebas” berarti Indonesia tidak berada dalam kedua blok dan memilih jalan sendiri untuk mengatasi persoalan internasional. Istilah “Aktif” berarti upaya untuk bekerja lebih giat guna menjaga perdamaian dan meredakan ketegangan kedua blok. (Hatta, Mohammad, 1976: 17). Atas dasar-dasar prinsip tersebut, Indonesia dapat melindungi diri dari ancaman eksternal, sehingga stabilitas politik dan pembangunan untuk menyejahterakan rakyat dapat tercipta. Atas dasar pertimbangan tersebut, Indonesia tidak melakukan aliansi dengan salah satu kekuatan baik blok Amerika Serikat dan blok Uni Soviet (Hatta, Mohammad, 1958: 480-484). Dalam kebijakan luar negeri Indonesia, Presiden Soekarno memiliki peran yang determinan yang semakin militan di masa Demokrasi Terpimpin sehingga pada periode tersebut kita juga harus mengetahui pemikiran-pemikiran Soekarno dalam melandasi kebijakan-kebijakan luar negeri Indonesia (Wuryandari, Ganewati, 2008: 96).
Pada masa Orde Lama landasan operasional politik luar negeri Indonesia adalah adanya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 berupa maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya di atas (Wuryandari, Ganewati, 2008: 28-30). Jadi, bisa dibilang pada masa ini kepentingan nasional yang muncul adalah fokus pada kepentingan pertahanan dan keamanan. Hal tersebut wajar karena pada masa itu juga negara Indonesia masih baru merdeka sehingga dalam pelaksanaan politik luar negerinya lebih menekankan pada masalah pengakuan kedaulatan dan penuntasan dekolonisasi.

B.     Indonesia dalam Gerakan Nonblok (KTT Gerakan Non-Blok I dan II)
Seperti yang kita ketahui, bahwa politik luar negeri Indonesia adalah politik bebas aktif sesuai dengan landasan-landasan hukum yang berlaku di Indonesia, maka pada masa Demokrasi Terpimpin, yaitu ketika pemerintahan Indonesia dipegang oleh Presiden Soekarno Indonesia termasuk sebagai salah satu pelopor adanya gerakan Non-Blok dalam rangka menciptakan perdamaian dunia. Masa Demokrasi Terpimpin ini merupakan titik awal bagi Indonesia dalam menyusun strategi dan kebijakan luar negerinya. Dasar politik luar negeri Indonesia digagas oleh Moh. Hatta dan beliau juga yang mengemukakan tentang gagasan pokok Non-Blok (Budiardjo, Miriam. 2007).
Latar belakang dari adanya gerakan Non-Blok ini dimulai ketika berlangsungnya Perang Dunia II (1939–1945) yang telah menimbulkan berbagai akibat yang mengerikan bagi umat manusia. Selain jutaan manusia mati, terjadi pula kehancuran berbagai bangunan, sarana produksi, sarana transportasi, terjadi krisis ekonomi, dan penyebaran wabah penyakit. Peta politik dunia pun ikut berubah. Dua kekuatan adidaya telah lahir yang menyebabkan terjadinya pertentangan di antara keduanya. Menghadapi situasi dunia yang penuh konflik tersebut, Indonesia menentukan sistem politik luar negeri bebas aktif. Prinsip kebijaksanaan politik luar negeri Indonesia tersebut ternyata juga sesuai dengan sikap negara-negara sedang berkembang lainnya. Oleh karena itu, mereka sepakat untuk membentuk suatu kelompok baru yang netral, tidak memihak Blok Barat ataupun Blok Timur. Kelompok inilah yang nantinya disebut kelompok negara- negara Non-Blok atau yang sering disebut dengan non-Aligned. Ikutnya Indonesia sebagai salah satu pelopor terbentuknya gerakan Non-Blok antara tahun 1961-1965 dapat dilihat dari terselenggaranya KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Non-Blok, yaitu :

1.      Konferensi Tingkat Tinggi I Gerakan Non-Blok (KTT I Gerakan Non-Blok).
KTT I Gerakan Non-Blok diselenggarakan pada tanggal 1–6 September 1961 di Beograd, Yugoslavia dengan ketua Presiden Joseph Broz Tito. KTT dihadiri oleh 25 negara. KTT I Gerakan Non-Blok menghasilkan beberapa keputusan penting yang disebut Deklarasi Beograd, antara lain sebagai berikut:
a.       Pernyataan tentang bahaya perang dan appeal untuk perdamaian.
b.      Deklarasi mengenai prinsip-prinsip non-Aligment, bersama dengan 27 ketentuan persetujuan tentang pemecahan masalah – masalah dunia pada waktu itu.
c.       Surat bersama kepada Presiden Kennedy dan PM Kruscev.
(Soejono, 2010: 452).

2.      Konferensi Tingkat Tinggi II Gerakan Non-Blok (KTT II Gerakan Non-Blok).
KTT II Gerakan Non-Blok dihadiri oleh 47 negara peserta. Pada KTT II ini suasana lebih ke arah perbedaan dunia karena pada saat itu sedang berlangsung      “Perang Dingin”. Indonesia mengumandangkan garis militan dalam bentuk strategi nasakomisasi, tetapi dunia Internasional lebih condong kepada gagasan “hidup berdampingan secara damai”. Peran Indonesia dalam KTT Gerakan Non-Blok I & II ini lebih aktif dari KTT sesudahnya (Budiardjo, Miriam. 2007).
Selain adanya politik bebas aktif, Indonesia juga menetapkan politik Mercusuar, yaitu sebuah proyek-proyek pembangunan di Jakarta sebagai kota utama atau pusat kota. Sehingga, Soekarno mempunyai pemikiran untuk melakukan pembangunan. Proyek Mercusuar ini mulai bisa dilaksanakan pada masa kepemimpinan Gubernur Soemarno Sastroadmodjo (1960-1964) yang diangkat pada tanggal 2 Agustus 1965 dengan mengeluarkan Keppres No. 209/1965. Pada masa pemerintahannya, beliau mendukung program dan pemikiran dari Soekarno yang terbukti dengan berdirinya badan yang akan membantu dalam pembangunan Kota Jakarta. Berdasarkan pelaksanaannya, proyek dibagi menjadi dua, yaitu :
a.       Proyek cetusan Soekarno dimana dana pembangunan berasal dari pemerintah pusat (seperti kompleks olahraga Gelora Bung Karno, Jakarta by Pass, Monumen Nasional, Masjid Istiqlal, Ancol, dan lain-lain).
b.      Proyek yang dilaksanakan oleh Pemda dan berskala lebih kecil (seperti Pasar Cikini dan Pasar Senen). Karena dana dari Pemda minim, pemerintah daerah membentuk “Otorita” (badan yang dikelola pemerintah dengan tujuan mengatur swasta-swasta dalam rangka menggalang dana membangun gedung baru dan mempertahankan keefisienan dan kebersihan bangunan baru tersebut). Selain itu, Pemda mendirikan beberapa perusahaan daerah yang terpenting adalah PT BPD (Bank Pembangunan Daerah).
Proyek tersebut bisa dibilang kurang efisien dan efektif karena pengaruh minimnya dana pembangunan yang pada akhirnya nanti menyebabkan perekonomian Indonesia mengalami inflasi pada tahun-tahun 1964 dan khususnya tahun 1965 (Fakih, Farabi, 2005: 80-97).

C.    Proses Jalannya Kebijakan Konfrontasi antara Indonesia-Malaysia
Pada masa pemerintahan Orde Lama (Demokrasi Terpimpin pada tahun 1945-1965), kebijakan politik luar negeri Soekarno yang bersifat anti imperialisme, menentang neokolonialisme, dan juga diwarnai sikap konfrontatif. Pegangan politik luar negeri yang bernafaskan landasan politik bebas aktif namun pada kenyataanya lebih condong ke arah kiri, dimana saat itu Indonesia lebih bersahabat dengan negara-negara blok Timur seperti Uni Soviet, Republik Rakyat China (RRC), Vietnam Utara, dan Korea Utara. Hal tersebut membuat gerang blok Barat (Amerika Serikat dan sekutu Baratnya). Sebelumnya pada akhir masa Demokrasi Liberal, Indonesia lebih cenderung memilih bekerja sama dengan negara-negara blok Timur yang berhaluan sosialis-komunis karena penentangan negara-negara blok Barat untuk mendukung kampanye Indonesia dalam upaya penyatuan Irian Barat. Dalam kedekatannya dengan negara Uni Soviet pada saat kasus Irian Barat, Presiden Soekarno mendapatkan bantuan persenjataan yang menjadikan angkatan perang Republik Indonesia berhasil menjadi angkatan perang yang terkuat di kawasan Asia Tenggara.
Pada tanggal 31 Agustus 1957, Pemerintahan Inggris memberikan kemerdekaan kepada Malaya. Indonesia sedikit curiga dengan kemerdekaan Malaya yang diberikan oleh Inggris yang tanpa pengorbanan lebih, apalagi ketika urusan pertahanan dan juga hubungan luar negeri masih dipegang oleh Inggris. Tengku Abdurrahman, seorang Perdana Menteri Malaya mengusulkan ide pembentukan negara federasi Malaysia yang meliputi Malaya, Singapura, Kalimantan Utara termasuk Brunei. Rakyat Malaya yang beretnis Melayu takut dengan kehadiran etnis China dari Singapura karena akan menambah dominasi etnis China di tanah Malaya. Sebaliknya, etnis China di Singapura juga takut karena mereka akan tunduk terhadap pemerintah Malaysia yang didominasi oleh etnis Melayu (F, Efantino & SN, Arifin, 2009: 30). Pemerintah Inggris juga memberikan solusi dengan cara menyatukan wilayah Malaysia yang akan segera dibentuk dengan Kalimantan bagian Utara. Presiden Soekarno melihat bahwa pembentukan negara Malaysia menggangu stabilitas kawasan di Asia Tenggara karena secara geografis negara tersebut berbatasan dengan Indonesia dan juga nantinya akan memperkuat dominasi Inggris yang akan mengepung Indonesia.
Di Kalimantan Utara, rencana pembentukan federasi Malaysia mendapat berbagai tentangan, seperti Sultan Brunei menolak bergabung dengan Malaysia karena takut kekayaan sumber daya minyak bumi akan dikuasai pemerintah Malaysia. Walaupun ada beberapa wakil-wakil Kalimantan Utara yang menyatakan setuju  bergabung dengan federasi Malaysia, ada juga golongan yang menentang terutama yang berasal dari etnis China perantauan dan partai rakyat Brunei. Dalam pembicaraan selanjutnya antara Tengku Abdurrachman, Lew Kuan Yew, dan Horald Mac Millan tercapailah suatu kesepakatan dimana federasi Malaysia meliputi Malaya, Singapura, Serawak dan Brunei. Pada tanggal 8 Desember 1962, Azahari memberontak di Brunei dan memprokalmirkan kemerdekaaan Kalimantan Utara yang terdiri dari Brunei, Sabah, dan Serawak sekaligus juga memproklamirkan diri sebagai Perdana Menteri Kalimantan Utara. Oleh karena itu, Tengku Abdurrachman menuding bahwa Indonesia sebagai dalang dibalik pemberontakan tersebut. Selain itu juga, karena Azahari pernah berjuang dalam revolusi nasional Indonesia dan bersahabat dengan Indonesia sebelumnya. Ali Sastroamidjojo memberikan reaksi menolak tudingan Tengku Abdurrachman dengan reaksi marah dan langsung menyerang secara pribadi kepada Bung Karno dengan mengatakan : “Jangan campuri urusan Kalimantan Utara !” (F, Efantino & SN, Arifin, 2009: 38-39).
Pada bulan April 1963, Presiden Soekarno menjawab ancaman Tengku Abdurrachman yang menuduh Indonesia dibalik dalang kerusuhan di Kalimantan Utara. Tanggal 31 Mei sampai 1 Juni 1963 diadakan pertemuan tidak resmi antara Presiden Soekarno dan juga Tengku Abdurrachman yang tujuannya untuk menghilangkan kecurigaan terhadap rencana pembentukan federasi Malaysia. Setelah itu dilanjut dengan Konferensi Tingkat Menteri Luar Negeri tiga negara antara Indonesia-Malaysia-dan Filipina. Hasil dari konferensi tersebut antara lain adalah menyatakan bahwa ketiga menteri luar negeri telah berhasil mencapai pengertian bersama dan persetujuan penuh tentang cara memecahkan masalah-masalah yang  menyangkut kepentingan bersama yang timbul sebagai akibat rencana pembentukan Federasi Malaysia (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 461). Selanjutnya diperkuat dengan KTT Manila pada tanggal 31 Juli sampai 5 Agustus 1963. Pertemuan tersebut menghasilkan tiga dokumen, yaitu deklarasi manila, persetujuan manila, dan komunike bersama.
Mengenai pembentukan negara federasi Malaysia, ketiga kepala pemerintahan setuju untuk meminta bantuan dari Sekretaris Jenderal PBB dalam melakukan pendekatan agar diketahui keinginan rakyat yang akan dimasukkan ke dalam wilayah federasi Malaysia. Tetapi tim peninjau dari Indonesia dan Filipina terlambat mengikuti tim PBB karena pemerintah Inggris mempersulit masuknya peninjau-peninjau dari 2 negara yang bersangkutan tadi. Sekretaris Jenderal PBB sendiri menyesalkan tindakan pemerintah Inggris tersebut. Berbeda dari rencana semula Proklamasi Malaysia direncanakan pada tanggal 31 Agustus, tetapi dilaksanakan pada tanggal 16 September 1963. Proklamasi tersebut tetap dilaksanakan sebelum misi PBB berhasil menyampaikan laporan peninjauannya. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia menganggap proklamasi tersebut melangar komunike bersama Manila yang berintikan bahwa kehendak rakyat Sabah dan Serawak harus terlebih dahulu dilaksanakan sebelum federasi Malaysia diproklamasikan.
Penolakan Indonesia untuk mengakui atau berhubungan dengan seorang wakil Malaysia dan tanggapan Malaysia dengan secara resmi mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik antara Kuala lumpur dengan Jakarta (Leifer, 1989: 132). Jadi, Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia pada tanggal 17 september 1963. Dampak dari pengumuman pembentukan Federasi Malaysia adalah timbulnya demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur. Para demonstran menyerbu Kedutaan Besar Indonesia untuk Malaysia dengan merobek foto Soekarno dan membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tengku Abdul Rahman dan memaksanya untuk menginjak Garuda. Soekarno yang murka mengutuk tindakan Tengku dan melancarkan gerakan yang terkenal, yaitu dengan GANYANG MALAYSIA (F, Efantino & SN, Arifin, 2009: 45). Akibatnya, timbul demonstrasi balik di Indonesia dengan menyerukan Ganyang Malaysia, gantung Teungku Abdul Rachman antek Nekolim (Neokolonialisme/Imperialisme) pada tanggal 18 September 1963.  Ada perbedaan pendapat dalam kubu TNI AD, yaitu :
a.       Jenderal Achmad Yani belum bersedia menggerakkan pasukan karena belum cukup siap untuk melawan tentara Malaysia yang dibelakangi pasukan Inggris dan persemakmuran.
b.      Jenderal A.H Nasution setuju untuk melaksanakan secepatnya ganyang Malaysia karena khawatir isu tersebut akan ditunggangi PKI demi memperkuat kedudukan politik.
Pada tanggal 3 Mei 1964 Presiden Soekarno mencanangkan Dwi Komando Rakyat yang bertujuan “memperhebat ketahanan revolusi indonesia” dan “membantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Sabah, Singapura, Serawak dan Brunei”. Pemerintahan Soekarno kemudian membentuk pasukan yang akan digunakan untuk mengganyang Malaysia yang berintikan pasukan para militer dan juga sukarelawan yang terdiri dari rakyat sipil dan juga sukarelawan TNI. Selanjutnya operasi perembesan dilakukan ke daerah lawan sampai Singapura dan daratan di Semenanjung Malaya. Pada tahun 1964, awal pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya dimana serangan mendadak tentara Indonesia di pos polisi Inggris dekat Tawao menewaskan 8 tentara Inggris dan melukai 19 lainnya. Pada 17 Agustus 1964, tepat pada hari kemerdekaan Indonesia, 100 pasukan terjun payung Indonesia beserta 27 gerilyawan komunis China mendarat di pantai barat daya Johor. Sebagai kawan persemakmuran, Inggris berusaha membalas dengan mengirimkan mata-mata untuk melintasi perbatasan Indonesia. Mata-mata tersebut ditugaskan untuk mencari kekuatan pasukan Indonesia di perbatasan dan sesekali melakukan sabotasi di garis belakang tentara Indonesia namun usaha tersebut mengalami kegagalan. Pihak tentara Indonesia berhasil menangkap mata-mata Inggris tersebut. Pada akhirnya, Pemerintah Indonesia mengumumkan gencatan senjata serta akan berusaha menyelesaikan dengan jalan musyawarah. Indonesia menuntut agar tentara Inggris ditarik dari Kalimantan Utara. Sedangkan Malaysia menuntut agar tentara Indonesia ditarik ke Indonesia sehingga 2 syarat perdamaian tersebut akhirnya tidak ada yang terpenuhi karena Indonesia dan Malaysia sama-sama tidak mau mengalah. Akhirnya PBB turun tangan dan menunjuk Bangkok (Thailand) sebagai tuan rumah perundingan selanjutnya. Perundingan di Bangkok juga sama saja gagal dikarenakan usulan Indonesia untuk mengirimkan makanan melalui udara kepada pasukan Indonesia ditolak. Setelah kegagalan perundingan di Bangkok situasi di Kalimantan Utara menjadi tegang kembali. Melihat kengototan Indonesia, Tengku Abdurrachman menjuluki Soekarno sebagagi “Hitler”nya Indonesia.
Sepanjang perbatasan Kalimantan situasi memanas dan sering diwarnai aksi pertempuran dari kedua belah pihak. Pada tanggal 7-24 Juni terjadi kontak senjata antara pasukan Indonesia dan tentara Inggris yang menyebabkan 57 tentara Inggris tewas, 31 hilang, dan 12 lainnya luka-luka. Presiden Soekarno melihat bahwa Angkatan Darat (AD) kurang serius dalam operasi Dwikora tersebut yang mengakibatkan pertempuran di Kalimantan Utara berlangsung lama karena para pemimpin TNI AD tidak berniat mengeskalasi konfrontasi yang akhirnya nanti akan membawa bencana bagi pasukan Indonesia sendiri karena disamping berhadapan dengan tentara Malaysia, pasukan Indonesia juga berhadapan dengan pasukan tentara persemakmuran Inggris dan berlanjut menjadi perang terbuka. Jadi, serangan demi serangan ke wilayah Malaysia dilakukan secara terbatas dan hit and run. Karena peperangan di Kalimantan berjalan macet, akhirnya pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada tanggal 28 Juni, pasukan Indonesia menyeberangi perbatasan masuk ke timur pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah akan tetapi gagal karena perlawanan sengit dari resimen Askar Melayu Diraja dan North Borneo Constabulary. Kegagalan-kegagalan upaya tentara Indonesia dalam melenyapkan Malaysia pun mengecewakan Presiden Soekarno karena beliau sebelum tanggal 1 Januari 1965, Malaysia harus lenyap dari peta dunia namun pada akhirnya pertempuran menjadi berlarut larut dan membuat pamor angkatan perang Indonesia menurun.
Pada akhir tahun 1965 setelah Indonesia terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30 S/PKI), Soeharto naik dan memegang kekuasaan di Indonesia dan keinginan Indonesia meneruskan perang dengan Malaysia lambat laun mulai mereda. Pada konferensi di Bangkok pada tanggal 28 Mei 1966, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan normalisasi dan penyelesaian konflik walaupun Soekarno tidak lagi memegang kendali secara efektif menyatakan keberatan. Konflik Indonesia-Malaysia berakhir pada bulan Juni. Pada tanggal 11 Agustus Adam Malik dan Tun Abdul Razak menandatangani suatu persetujuan akhir di Jakarta yang memungkinkan penjalinan hubungan diplomatik normal antara Indonesia dan Malaysia (Leifer, 1989: 158).

Penyebab Indonesia Keluar dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
Dalam sejarah terbentuknya PBB sampai dengan tahun 1965, memang belum pernah ada negara-negara anggota yang menyatakan keluar dari keanggotaannya di dalam PBB. Namun, Indonesia pada tahun 1965 menyatakan keluar dari keanggotaannya di PBB. Hal ini disebabkan oleh masalah persengketaannya dengan Malaysia. Pidato Soekarno di depan sidang majelis umum PBB pada tanggal 30 september 1960, menunjukan bahwa pemerintahan Indonesia kurang setuju atau tidak puas terhadap PBB yang masih mencerminkan pada waktu didirikan pada tahun 1945. Namun Indonesia tetap menjadi anggota PBB, sekalipun saran-saran yang dikemukakan itu tidak mendapat tanggapan yang serius dari PBB. Pemerintah Indonesia juga tidak memutuskan untuk meninggalkan organisasi dunia tersebut. Keluarnya Indonesia pada tahun 1965 dari PBB bukan disebabkan oleh ketidaksempurnaan badan dunia tersebut, melainkan karena persengketaanya dengan Malaysia (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 468).
Keadaan antara Indonesia-Malaysia setelah Pertemuan Puncak di Tokyo pada bulan Juni 1964 tidak menunjukkan adanya perbaikan. Keadaan memburuk ketika Malaysia mengadukan kepada PBB mengenai invansi pesawat terbang dan parasut oleh Indonesia pada tanggal 3 September 1964. Malaysia mengadukan bahwa sebuah pesawat terbang Indonesia terbang di atas Malaysia Selatan dengan mendaratkan kurang lebih 30 pasukan parasut pada tanggal 2 September 1964. Pengaduan Malaysia segera ditanggapi oleh Indonesia. Pihak Indonesia membalas dengan pengaduan balik terhadap PBB, bahwa dari tahun 1962 sampai tahun 1964, pesawat terbang Inggris sering melintasi wilayah Indonesia di Kalimantan Timur. Indonesia balik menyerang mengenai istilah agresi yang disebutkan oleh Malaysia, dan menganggap bahwa agresi yang sebenarnya adalah tindakan Inggris dan Malaysia melawan wilayah, kemerdekaan Indonesia. Sementara tindakan seukarelawan Indonesia demi kemerdekaan dan melawan kolonialisme, tidak bisa dianggap sebagai agresi. Menanggapi pengaduan Malaysia dan pengaduan balik Indonesia, pada tanggal 18 September Norwegia mengajukan rencana resolusi yang antara lain menyatakan deep concern Dewan Keamanan atas tindakan Indonesia itu (Panitia Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971: 281).
Bagi pihak Indonesia pernyataan PBB mengenai deep concern merupakan tindakan berat sebelah. Usulan resolusi tersebut seolah pemaksaan terhadap Indonesia untuk mengakui Malaysia. Usul resolusi tersebut tentunya mengecewakan Indonesia, walaupun Indonesia terselamatkan oleh veto dari Uni Soviet. Kekecewaan Indonesia terhadap PBB bertambah ketika diterimanya Malaysia sebagai anggota tidak tetap PBB pada tanggal 7 Januari 1965. Dengan spontan pada tanggal yang sama Presiden Soekarno menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Keluarnya Indonesia dari PBB ini diberitahukan secara resmi melalui surat Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio pada tanggal 20 Januari 1965. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa Indonesia keluar dari PBB terhitung pada tanggal 1 Januari 1965 (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 470).
Dalam surat jawaban dari PBB pada tanggal 26 Januari 1965, Sekretaris Jenderal PBB yang pada saat itu menjabat U Thant menyatakan telah mencatat keputusan Indonesia mengundurkan diri dari keangotaannya dalam PBB serta jaminan Indonesia akan tetap setia pada prinsip-prinsip kerjasama internasional seperti yang tercantum pada piagam PBB. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB menyatakan penyesalan atas pengunduran diri Indonesia dari keanggotaan PBB dan berharap pada suatu waktu nanti Indonesia dapat bergabung kembali dengan PBB (Poesponegoro & Notosusanto, 2010: 471). Negara-negara Asia-Afrika menganggap bahwa tindakan Indonesia keluar dari PBB suatu kesalahan besar dimana Indonesia hanya mendapat dukungan dari Republik Rakyat Cina (RRC) (Leifer, 1989: 149). Sementara hubungan dengan Jepang tidak berubah, seperti yang diumumkan pemerintah Jepang “bahwa hubungan dengan Indonesia tidak akan berubah walau Indonesia menarik diri dari PBB”. Sejak dimulai hingga berakhirnya konfrontasi perjuangan, Indonesia memang didukung oleh negara-negara Non-Blok dan negara-negara blok komunis. Seperti Uni Soviet, Polandia, Tjekoslowakia, Hongaria, Bulgaria, dan Korea Utara. Terutama negara-negara yang pada saat itu belum menjadi anggota PBB seperti Jerman Timur, Vietnam Utara, dan RRC sangat mendukung Indonesia (Mukmin, 1991: 100).
Keluarnya Indonesia dari PBB akan mempersulit Uni Soviet dalam mendukung Indonesia. Sehingga RRC yang belum menjadi anggota PBB akan dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk menarik Indonesia ke kubu pengaruhnya. Hal tersebut menjadi kenyataan, bahwa Indonesia semakin dekat dengan RRC. Indonesia membentuk Conference of the Emerging Forces (CONEFO). Ide pembentukan Conefo didukung oleh Beijing, dan markas besarnya didirikan di Jakarta dengan bantuan RRC. Conefo dijadikan sebagai organisasi tandingan PBB oleh Soekarno. Pembentukan Conefo, semakin memperjelas ciri khas politik luar negeri Soekarno yang membedakan antara kawan dengan lawan melalui pembagian dua blok, yaitu Nefos dan Oldefos. Selain itu politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif tanpa memihak pada satu blok manapun mengalami penyimpangan. Sebab, negara-negara komunis seperti Korea Utara dan Vietnam Utara tertarik untuk bergabung dengan Conefo, sehingga terbentuklah suatu poros Jakarta-Pnompenh-Hanoi-Peking-Pyongyang (Suryadinata, 1998: 41). Pembentukan poros Jakarta-Pnompenh-Hanoi-Peking-Pyongyang membuktikan bahwa politik luar negeri Indonesia mulai condong terhadap blok Komunis (Timur). Keluarnya Indonesia dari PBB, mengakibatkan kehilangan satu forum yang dipergunakan untuk mencapai penyelesaian persengketaannya dengan Malaysia secara damai. Begitupun dengan keinginan Soekarno untuk merombak organisasi PBB itu semakin tidak mungkin, sebab perombakan tersebut hanya dapat dilakukan dari dalam.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari penjelasan materi di atas, penulis mencoba menyimpulkan inti dari pembahasan makalah tersebut, yaitu :
a.       Munculnya politik luar negeri pada masa orde lama didasarkan pada peraturan yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945 dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dimana terdapat serangkaian dokumen-dokumen yang mendasari politik luar negeri Republik Indonesia.
b.      Prinsip dasar politik luar negeri Indonesia adalah Politik Bebas Aktif dimana tidak memihak pada blok manapun (blok Barat dan blok Timur). Selain itu juga, pemerintah Indonesia juga menetapkan Politik Mercusuar dalam pembangunan proyek-proyek di Jakarta sebagai ibukota dan ikon utama negara Indonesia.
c.       Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia didasari pada pemberian kemerdekaan kepada Malaya dari Inggris pada tanggal 31 Agustus 1957 dimana urusan pertahanan dan juga hubungan luar negeri masih dipegang oleh Inggris. Selain itu juga, karena dibentuknya negara Federasi Malaysia. Penyebab negara Indonesia keluar dari PBB adalah adanya masalah persengketaan dengan Malaysia dan Indonesia merasa PBB berat sebelah, dalam artian membela Malaysia walaupun nantinya permasalahan ini selesai.

B.     Saran
Semoga makalah ini menjadi berguna kedepannya dan penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran agar nantinya dalam pembuatan makalah selanjutnya terjadi kemajuan yang berarti. Terima kasih.


DAFTAR RUJUKAN
________. 1971. Panitya Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri. Jakarta: Departemen Luar negeri.
Budiardjo, Miriam. 2007. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
F, Efantino & SN Arifin. 2009.”Ganyang Malaysia”. Yogyakarta: Bio Pustaka.
Fakih, Farabi. 2005. Membayangkan Ibu Kota Jakarta di Bawah Soekarno. Yogyakarta: Ombak.
Hatta, Mohammad. 1958. Indonesia Between The Power Blocs. Foreign Affairs.
Hatta, Mohammad. 1976. Mendayung Antara Dua Karang, Jakarta: Bulan Bintang.
Kompasiana. 2015. Periodisasi Politik Luar Negeri Indonesia dari Masa Orde Lama hingga Masa Reformasi, (Online), (http://www.kompasiana.com/aditabella/periodisasi-politik-luar-negeri-indonesia-dari-masa-orde-lama-hingga-masa-reformasi_55006a6ca33311926f510fed), diakses tanggal 20 September 2016.
Leifer Michael. 1989. Indonesia Foreign Politic, (terjemahan. A. Ramlan Surbakti). Jakarta: Gramedia.
Mukmin, Hidayat. 1991. TNI dalam Politik Luar Negeri. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Poesponegoro & Notosusanto. 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Soedjono, R.P. 2008. Sejarah Nasional Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Suryadinata, Leo. 1998. Interpreting Indonesian Politic. California: Times Academic Press.
Windiani, Reni. Politik Luar Negeri Indonesia dan Globalisasi, (Online), (http://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/viewFile/4894/4438), diakses tanggal 20 September 2016.
Wuryandari, Ganewati. 2008. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH MASUKNYA AGAMA KONGHUCU DI INDONESIA

Kamu yang Kusayang

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BERBASIS NILAI