KAJIAN TERKINI TERHADAP BEBERAPA PERMASALAHAN SEJARAH INDONESIA KUNO

KAJIAN TERKINI TERHADAP BEBERAPA PERMASALAHAN SEJARAH INDONESIA KUNO

RESUME
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Dasar – Dasar Arkeologi
yang dibina oleh Bapak Drs. Slamet Sujud Purnawan Jati, M.Hum

Oleh :
Yuliarti Kurnia Pramai Selli  
(140731606196)



UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
PRODI S1 PENDIDIKAN SEJARAH
Oktober 2014


Kuliah Tamu : “Kajian Terkini Berbagai Permasalahan Sejarah Indonesia Kuno”. Diadakan pada hari Senin, 13 Oktober 2014, jam 08.00 – selesai, dengan keynote speaker / penyaji : Bapak Prof. Dr. Agus Munandar, M.Hum, FIB, UI.

v  Beberapa Pembahasan :
1.      Berita – Berita Prasasti Yupa Kutai Kuno (Upacara Kurban di Kutai Kuno).
2.      Argumentasi Perpindahan Ibu Kota Mataram Kuno.
3.      Prasasti – Prasasti Aus : Terpupus atau Dipupus.
4.      Tafsir Pararaton à Ken Angrok dan Ken Dedes.
5.      Lokasi Ibu Kota Sriwijaya di Jambi.
PENJELASAN :
1.      Upacara Kurban di Kutai Kuno
Dalam makalahnya yang berjudul “Catatan Singkat Mengenai Prasasti Yupa, Kedukan Bukit, dan Tugu” yang dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi II, Jakarta 1980;  Edhie Wurjantoro membahas informasi tentang hadiah 20.000 ekor sapi (vinśatir  ggosahasrikam) dari raja Mulavarmman kepada para Brahmana. Mungkin saja jumlah 20.000 ekor sapi itu hanyalah simbol keagamaan yang diperlukan dalam suatu upacara belaka. (Wurjantoro, 1980: 361—2). 
Dalam kitab Atharva Veda disebutkan bahwa sapi adalah simbol bumi yang banyak mendapat pemujaan manusia. Adapun kitab Kalika Purana menyatakan bahwa terdapat pemujaan kepada Kamadhenu (sapi yang mengabulkan keinginan) yang dilahirkan oleh Surabhi (keharuman) anak perempuan Daksa, Surabhi adalah istri dari  Rsi Kasyapa.
Mengingat nafas religi Veda Kuno masih sangat nyata dalam masa Mulavarmman, maka yang dimaksud dengan anugerah sapi tentunya bukan sapi vahana Siva (Nandi), sebab pemujaan Trimurti belum kentara dalam uraian prasasti-prasasti Mulavarmman.
Dalam upaya menjadikan upacara keagamaan dapat diterima oleh para dewa, para pelakunya (terutama kaum Brahmana yang memimpin upacara) harus membacakan mantra tertentu. Mantra itu harus diucapkan sebanyak 21.600 (dua puluh satu ribu enam ratus) x, tujuannya untuk memperoleh 4 objek dalam kehidupan manusia, yaitu keadilan, kebahagiaan, kemakmuran, dan kemerdekaan  (Daniélou 1964:  338,  345, dan 348).
Uraian prasasti-prasasti yûpa sebenarnya berkaitan dengan upacara keagamaan, terbukti dengan adanya penyebutan dewa, anugerah dari raja (dana) berupa 20.000 ekor sapi, pohon kalpavrksa, anugerah bumi, para brahmana, api suci (agni), tempat suci bagi dewata (vaprakesvara), segunung minyak kental, lampu (pelita),  bunga malai (teratai?), penulisan tugu (yûpa) oleh para brahmana, serta adanya penyebutan tentang upacara itu sendiri.
v  Upacara tersebut dicoba direkonstruksi dengan bantuan data dari ritual Veda Kuno di India, kurang lebih sebagai berikut:
a.       Upacara yang dinyatakan dalam prasasti-prasasti yûpa merupakan ungkapan syukur kepada bumi, yang dilakukan pada pagi hari, di awal musim penghujan ketika tumbuh – tumbuhan mulai subur, bersemi kembali baik tunas atau dari biji – bijian. Menurut ritual Veda kuna siklus upacara besar bagi pemujaan bumi diadakan setiap 24 tahun sekali. Kitab suci yang menjadi acuannya adalah Rg Veda, dan dewa pelindungnya adalah Brahma (Daniélou 1964: 340), maka dari itu sang raja memilih julukan Mulavarmman.
b.      Inti mantra yang harus diucapkan oleh para brahmana Hotr jika berkenaan dengan pemujaan bumi adalah “LAM... bhur” (Daniélou 1964: 341), dan mantra itulah yang harus diucapkan sebanyak 20.000 x, hal itulah yang dalam prasasti dinyatakan sebagai sedekah 20.000 ekor sapi.
c.       Upacara tersebut diadakan di Vaprakeśvara, bentuknya dapat saja berupa lahan keramat yang berpagar, atau bangunan suci atau  lahan yang dikelilingi tumpukan rumput untuk upacara (barhis).
d.      Di akhir upacara para pendeta mendirikan yûpa yang telah ditulisi prasasti sebagai tanda peringatan upacara. Yûpa dalam kebudayaan Veda berarti tonggak suci tempat menambatkan hewan kurban, bisa terbuat dari kayu atau batu (Liebert 1976: 355), dan bertahan terus hingga sekarang sebagai bukti pernah ada aktivitas ritual di wilayah Kalimantan Timur dalam zaman Kutai Kuno.
Poerbatjaraka berpendapat bahwa tokoh Kundungga belum memeluk agama Hindu, sehingga Kudungga adalah pendatang dari wilayah lain di Nusantara yang kemudian datang ke wilayah Kutai Kuno. Kudungga adalah kakek dari Mulawarman.
Nama anak dari Kudungga sudah bercorak nama India, karena religi India telah datang dan telah diterima dengan baik, yaitu Aswawarman, dan cucunya adalah Mulawarman yang mendirikan banyak prasasti Yupa.
Ansuman adalah epithet Veda Kuno bagi dewa Matahari, dalam masa itu kedudukan dewa matahari sangat penting, maka tidak mengherankan apabila Aśvavarmman dalam prasasti yûpa diidentifikasikan juga sebagai pendiri dinasti (vangsakartta).
Ansuman atau Sûrya merupakan antropomorfis dari matahari yang menyinari alam kehidupan manusia, dalam mitosnya Sûrya adalah anak dari Dyaus (dewa langit tertinggi dalam kebudayaan Veda Purba), sering pula diseru dengan Ravi atau Aditya.
Pernyataan yang menarik adalah bahwa “Sang Aśvavarmman mempunyai 3 putra yang bagaikan 3 api suci, salah satu yang terkemuka adalah Mulavarmman”,  artinya masih terdapat 2 putra lainnya, yang namanya Agniwarman dan Wayuwarman.
Purnnavarmman mengidentifikasikan dirinya dengan Sûrya, artinya dia adalah pemuja dewa Surya, yang terjadi juga pada diri Mulawarman, sebab dinyatakan dalam salah satu prasastinya bahwa dia adalah putra Sang Ansuman, dan namanya sendiri mengandung makna perluasan dari Surya.
2.      Argumentasi Perpindahan Ibu Kota Mataram Kuno
Menurut data arkeologis, perpindahan tersebut disebabkan berdasarkan banyak monumen keagamaan, arca, prasasti, dan sebagainya dalam abad ke 8 – 10. Yang merupakan penanda kebudayaan Hindu-Budha. Namun, mulai akhir abad ke 10 – 15 arkeologi Hindu-Budha justru banyak dijumpai di wilayah Jawa Timur.
v  Beberapa pendapat tentang penyebab perpindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur :
a.       N. J. Krom (1954 : 106 - 7) berpendapat bahwa perpindahan disebabkan oleh wabah penyakit yang mengharu-biru penduduk Mataram Kuno, sehingga mereka harus pindah menyelamatkan diri ke wilayah lain yang tidak terjangkiti penyakit tersebut (Krom 1954:  106—7). 
b.      .G.de Casparis  (1950)  yang menyatakan bahwa perpindahan itu terjadi karena adanya konflik antara Mataram di Jawa dengan Śrîvijaya sebagai kerajaan maritim di Sumatera. Dia selanjutnya mengembangkan pendapatnya bahwa pindahnya ibu kota ke wilayah Jawa bagian timur juga didasarkan kepada alasan ekonomis akibat adanya  faktor eksternal, yang terdapat dua sungai besar yang bermuara di wilayah pesisir utaranya, yaitu Bengawan Solo dan Berantas.
c.       Boechari (1976), ia menyatakan bahwa pindahnya pusat kerajaan disebabkan adanya pralaya (bencana besar) yang menimpa wilayah Jawa bagian tengah, yang mengakibatkan kerajaan bagian tengah hancur akibat letusan Merapi
Di wilayah Jawa Timur  kurang lebih di bagian tengahnya, berdirilah gunung yang wujudnya mengesankan bagi yang memandang, yaitu Gunung Penanggungan. Gunung Penanggungan dan bukit-bukitnya segera mengingatkan masyarakat Jawa Kuno tentang gambaran Gunung Mahameru yang menjai titik pusat alam semesta dalam ajaran kosmomagis Hindu-Buddha, dan gunung ini lalu dikeramatkan dan dinamakan Pawitra, dipercaya sebagai puncak Mahameru yang terpenggal tatkala dipindahkan oleh para dewa  Tanah India ke Pulau Jawa.
Berdasarkan prasasti diduga bahwa raja Mataram kuno yang terakhir memerintah di wilayah Jawa bagian tengah adalah Rakai Sumba Dyah Wawa (923—924 M). Akibat gunung meletus yang dahsyat, masyarakat berpindah ke timur kawasan Jawa Timur yang nantinya tampillah raja Pu Sindok yang mengembangkan dinasti baru Isana Wangsa, dan harus membangun ibu kota kerajaan yang baru di daerah Tamwlang, di Jombang Selatan (Sumadio 1984 : 155) dan terbukti dalam prasasti Turryan 851 S/929 M.
Pembangunan ibu kota Pu Sindok tersebut sudah tentu ada kaitannya dengan kepercayaan kepada kekudusan Gunung Mahameru, yaitu Gunung Pawitra atau Gunung Penanggungan. Mungkin saja benar bahwa sebelum dipindahkan, Medang ibu kota Mataram di Jawa Tengah tersebut berada di kaki Gunung Merapi (sisi barat?), Maka dari itu pada paruh pertama abad ke-10 Pu Sindok segera memindahkan ibu kota kerajaannya ke timur, mencari lokasi yang dekat dengan gunung yang tidak menimbulkan bencana, yaitu Gunung Penanggungan.
Prasasti tertua berada di Bangil, Pasuruan, yaitu Prasasti Suci, OJO, XLI. Banyak prasasti yang ditemukan di wilayah lembah Sungai Berantas, di selatan Surabaya yang daerah Sima di kawasan utara Gunung Penanggungan.
Van Bemmelen mencatat bahwa letusan dahsyat Gunung Merapi sehingga meruntuhkan lereng baratnya terjadi di awal abad ke – 11 M, bukan ke – 10 M, karena Van Bemmelen menghubungkan peristiwa meletusnya Merapi itu dengan peristiwa pralaya hancurnya kerajaan Dharmawangsa Teguh dalam tahun 1016 M.
Pendapat tersebut dibantah oleh Boechari bahwa lokasi kerajaan Dharmawangsa Teguh yang berlokasi di lembah Sungai Berantas sangat jauh dengan Gunung Merapi, jika benar terjadi letusan Gunung Merapi yang luar biasa, maka sebenarnya dapat terjadi sebelum Pu Sindok membangun kedatonnya di Tamwlang (Boechari 1976 : 15 - 16). Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa alasan perpindahan pusat kerajaan adalah untuk mendapat persetujuan para dewata yang bersemayam di puncak Mahameru yang damai, yaitu Pawitra.
3.      Prasasti – Prasasti Aus : Terpupus atau Dipupus
Banyak prasasti batu yang aksaranya sudah tidak terbaca lagi, aus, bahkan beberapa telah halus permukaan batunya sehingga dianggap sebagai batu calon prasasti belaka.  tempat-tempat temuan prasasti batu yang aksaranya  aus tersebut  antara lain di wilayah yang diperkirakan pernah menjadi area konflik zaman Airlangga.
Prasasti-prasasti batu Airlangga yang ditemukan relatif utuh justru ditemukan  di luar wilayah Lamongan selatan dan Jombang. Di area itu pula diperkirakan wilayah kerajaan Janggala setelah Airlangga membagi kerajaannya. Hal yang menarik adalah uraian prasasti raja – rajanya selalu berkenaan dengan perang dan konflik melawan musuh – musuhnya.
Peristiwa peperangan di Jawa Kuno, misalnya terbukti dalam prasasti raja Kadiri yang berhasil dikalahkan oleh Tentara Tumapel, yang akhirnya muncul Singhasari sebagai kerajaan baru. Peristiwa peperangan sejenis dan dampaknya tentu terjadi pula di tempat lain di dunia.
v  Dampak peperangan yang kerapkali terjadi secara umum dalam Sejarah Indonesia Kuno, yaitu :
a.       Apabila ada dua pihak yang berselisih dan berperang, maka wilayah negara atau kerajaan yang dikalahkan lalu disatukan menjadi wilayah kerajaan pemenang (pihak yang menang).
b.      Pihak pemenang akan menghancurkan semua simbol-simbol kekuasaan yang kalah (pembakaran bendera, pemusnahan panji-panji kebesaran, penghancuran simbol-simbol negara, penghancuran bangunan-bangunan simbol kekuasaan (istana), dan sebagainya).
c.       Semua keputusan atau perintah dari raja(-raja)  terdahulu dari pihak telah dikalahkan akan diabaikan, dianggap tidak berlaku lagi, dan harus dibuat ketetapan baru oleh penguasa baru dari pihak pemenang.
d.      Tentunya  di masa silam semua pembesar kerajaan yang kalah akan dihukum mati, dibuang, dipenjara, kecuali segera menyatakan sumpah setia kepada penguasa baru.
Dari uraian tersebut, juga terjadi dan dapat diterapkan dalam konflik dan peperangan antarkerajaan pada masa Jawa Kuno. Dapat dijelaskan, bahwa prasasti – prasasti batu yang dikeluarkan oleh seorang raja akan menjadi salah satu “sasaran penghancuran oleh raja pemenang jika saja terjadi peperangan”.
v  Prasasti dapat dipandang sebagai :
a.       Tanda kebesaran seorang raja yang berkuasa.
b.      Perintah raja yang harus ditaati hingga akhir zaman (dlaha ning dlaha).
c.       Menjadi bukti kekuasaan dan kewibawaan raja.
d.      Sebagai penanda wilayah yang dikuasai oleh seorang raja pembuat prasasti.
e.       Merupakan dokumen struktur kuasa sebab mencantumkan nama jabatan dan pejabatnya.
Dapatlah dipahami apabila banyak prasasti batu dari masa Jawa Kuno yang sekarang telah aus aksara, bahwa keausan tersebut sangat mungkin bukan karena perbuatan alam (lapuk karena panas dan hujan), melainkan sengaja diauskan, dipupus atau digerus aksaranya sehingga tidak bisa dibaca lagi. Yang melakukannya adalah pihak pemenang yang tidak suka lagi kepada keputusan – keputusan atau perintah raja atau dinasti raja yang dikalahkannya.
Biasanya dalam prasasti-prasasti juga dicantumkan sejumlah kutukan (sapatha) bagi siapa yang berani melanggar perintah sang raja atau malah merusak batu prasasti tersebut. Batu kosong tanpa aksara diduga sebagai batu calon prasasti.
Pemusnahan simbol kuasa raja tersebut agaknya tidak cukup hanya dengan pengikisan aksara pada batu prasasti, malah banyak prasasti yang kemudian dipecahkan menjadi dua bagian atau dipecahkan berkeping-keping menjadi beberapa bagian. Contohnya : pada Masa Kadiri yang langka ditemukan bangunan suci atau candi-candi, dan pada kenyataannya dari masa Kadiri  banyak dihasilkan karya susastra yang bermutu, misalnya Harivangsa, Bharatayuddha, Gatotkacaśraya, dan Smaradahana. Kelangkaan tersebut sengaja terjadi karena dihancurkan oleh masyarakat zaman Singhasari
Contoh lainnya adalah pada sejarah Bali zaman pertengahan antara abad ke 16 – 19, yang acaranya juga banyak terpenggal atau rusak yang disengaja dibacok atau dipenggal dengan senjata tajam, dan jejaknya masih terlihat pada beberapa arca yang disimpan dalam pura – pura tertentu.
Demikianlah bahwa pengrusakan terhadap simbol-simbol kerajaan yang kalah oleh pihak kerajaan pemenang sudah menjadi suatu keniscayaan, dan itu memang layak dilakukan untuk menunjukkan keunggulan pihak pemenang.

4.      Tafsir Pararaton à Ken Angrok dan Ken Dedes
Kisah Ken Angrok-Ken Dĕdĕs sebenarnya metafora dari perpaduan dua agama besar yang dikenal dalam masyarakat Jawa Kuno masa itu. Ken Angrok adalah metafora dari agama Hindu-śaiva, dan Ken Dedes adalah metafora dari agama Buddha Mahāyana.
Dalam Pararaton Ken Dĕdĕs disebut oleh Danghyang Lohgawe sebagai strî nāreśwarî, seorang perempuan utama yang dari rahimnya akan dilahirkan raja-raja, jika  ada pria walaupun dari kalangan orang  papa, apabila memperistri perempuan itu ia akan menjadi raja besar penguasa dunia (Padmapuspita 1966: 18). 
Dapat disamakan dengan Mahayama, ibunda Pangeran Sidharta dan Kapilawastu, yang dari rahimnya lahirlah tokoh besar yang dikenal oleh manusia seluruh dunia hingga dewasa ini, yaitu Sidharta Gautama. Dan dengan demikian, Ken Dedes sepenuhnya lambang agama Budha Mahayana.
Perkawinan antara Ken Angrok dan Ken Dĕdĕs apabila dipandang dari sudut keagamaan dapat dinyatakan merupakan metafora pertemuan antara agama Hindu-śaiwa dan Buddha Mahāyana.
Konsep paralelisme menjelaskan bahwa kedua agama itu mungkin tidak tepat, sebab memberi kesan seolah – olah kedua sistem keagamaan tersebut dicampurbaurkan menjadi satu yang lebur.
Demikianlah riwayat Ken Angrok dan Ken Dĕdĕs  sejatinya merupakan perlambang dari koalisi agama Hindu-saiva dan Buddha Mahayana. Kedua agama tersebut masih berkembang secara terpisah dan sendiri – sendiri.
Hal yang menarik dan belum pernah terjadi dalam masa Pra Singhasari adalah pembangunan candi – candi dengan nafas perpaduan dua agama, yaitu candi Siwa – Budha.
v  Candi – candi yang bernafaskan agama Hindu – Budha dari zaman Singhasari – Majapahit yang masih berdiri hingga sekarang :
a.       Candi Singasari à Malang.
b.      Candi Jawi (Jajawi) à Pasuruan.
c.       Candi Jago (Jajaghu) à Malang.
d.      Candi Jabung (Bajrajinaparamitapura) à Probolinggo.
Dapat diasumsikan bahwa candi-candi tersebut dibangun sebagai pendharmaan (tempat untuk memuliakan dan memuja seseorang yang telah meninggal) keturunan langsung Ken Angrok--Ken Dedes yang memang memeluk agama Hindu-saiva dan Buddha. Tradisi pemujaan kepada Śiva dan Buddha sekaligus yang dilakukan oleh seorang tokoh raja atau keluarga raja kemudian berlangsung terus hingga masa Majapahit menjelang keruntuhannya.
5.      Lokasi Ibu Kota Sriwijaya di Jambi.
Sampai sekarang pendapat yang menyatakan bahwa lokasi “kota” Śrīvijaya berada di Palembang, Sumatera Selatan, masih kokoh kuat tiada tergoyahkan. Seiring dengan temuan-temuan baru di wilayah Muaro Jambi dan juga pembacaan dan tafsir ulang terhadap catatan musafir Cina yang datang ke Śrīvijaya dalam abad ke-7 M, maka timbul gagasan yang mempertanyakan kemungkinan ibu kota Sriwijaya, berlokasi di Jambi, bukan di Palembang.

v  Para ahli arkeologi sejarah dewasa ini timbul keraguan mengenai lokasi Sriwijaya di Palembang, beberapa keraguan disebabkan oleh :
a.       Tidak banyaknya peninggalan arkeologis berwujud monumen yang ditemukan di kawasan Palembang.
b.      Prasasti-prasasti Śrīvijaya yang ditemukan di Palembang adalah tentang berita pembangunan wanua/desa (Prasasti Kedukan Bukit), prasasti kutukan, dan prasasti perjalanan yang berjaya (jayasiddhayatra).
Uraian tentang ancaman dan kutukan memang memenuhi isi prasasti, dengan demikian tidak keliru jika para ahli menyebutnya sebagai “prasasti persumpahan kerajaan Śrīvijaya”. Selain uraian persumpahan juga terdapat prasasti-prasasti pendek yang menyebutkan adanya  “perjalanan ziarah yang berhasil”  (Jayasiddhayatra).  
c.       Berita dari bhiksu I-Tsing yang singgah  ke Śrīvijaya, antara lain menyatakan bahwa “pada tengah hari di bulan September di Śrīvijaya orang tidak mempunyai bayangan”.
Terdapat pemikiran bahwa ibu kota Sriwijaya berada di Jambi sejak awal berdirinya hingga keruntuhannya dalam abad ke – 12, ibu kota itu tidak pernah berpindah tempat. Hipotesa tersebut mendukung pendapat Soekmono.
v  Berikut beberapa tafsir baru yang memperkuat pendapat Soekmono antara lain sebagai berikut:
a.       Menurut berita I-Tsing tatkala ia singgah di Śrīvijaya terdapat sekitar 1000 orang bhiksu yang siap melayani ummat Buddha.
b.      Berita I-tsing tersebut didukung oleh kenyataan temuan arkeologis di situs Muarojambi yang luar biasa.
c.       Butir 1 dan 2 menunjukkan adanya aktivitas agama Buddha yang luas dan ramai, 1000 orang bhiksu itu harus mengemis meminta sedekah makan sehari 2 x kepada penduduk desa.
d.      Menurut I-Tsing pula, pada tengah hari (kebetulan ia singgah di Śrīvijaya dalam bulan September tahun 671 M sebelum melanjutkan perjalanan ke India), seseorang yang berdiri tidak mempunyai bayangan, artinya matahari tepat di atas kepala.
e.       Jambi merupakan kawasan pilihan dalam konsep Buddhisme, beberapa toponimi dapat dihubungkan dengan konsep keagaamaan:
- Sungai Batanghari berarti “sungai milik Avalokitesvara”.
- Kata jambi atau jambe adalah nama lain untuk tanaman pinang.
f.  Konsep Angso Duo (dua angsa) warisan kisah Hamsajataka dari Buddha. Di kota Jambi terdapat pasar dengan nama Angso Duo. Kisah Hamsajataka tidak mungkin dikenal dalam masyarakat yang tidak akrab dengan perkembangan agama Buddha.
g. Kisah tentang Sumatera sebagai salah satu pusat pendidikan Buddha di Asia masih dikenal dalam sejarah perkembangan agama Buddha.
Demikianlah beberapa argumentasi yang dapat dikemukakan sehingga pendapat yang menyatakan bahwa Palembang sebagai ibu kota Śrīvijaya perlu dipertanyakan lagi kebenarannya, mengingat sekarang telah ditemukan banyak bukti arkeologis baru yang membawa kepada interpretasi baru yang menyokong bahwa ibu kota Śrīvijaya sejak awal hingga keruntuhannya tetap di Jambi.
v  Lazimnya dalam ilmu sejarah kuno atau arkeologi sejarah, suatu pendapat ahli akan disikapi dengan 4 cara :
a.       Menerima sepenuhnya pendapat itu, karena logis dan didukung data yang memadai.
b.      Menolak pendapat yang dikemukakan terdahulu dengan menyajikan pendapat sendiri, menjadi interpretasi sanggahan.
c.       Memperhatikan pendapat baru seraya menunggu perkembangan lebih lanjut, apakah tidak ada penolakan atau ada bantahan dari ahli lain.
d.      Tidak peduli dengan pendapat baru, karena telah setia dan setuju pada suatu pendapat yang dianggapnya paling benar.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH MASUKNYA AGAMA KONGHUCU DI INDONESIA

Kamu yang Kusayang

MENGINAP SAMBIL MENGENANG MASA LALU: FENDI’S GUEST HOUSE MALANG