KAJIAN TERKINI TERHADAP BEBERAPA PERMASALAHAN SEJARAH INDONESIA KUNO
KAJIAN
TERKINI TERHADAP BEBERAPA PERMASALAHAN SEJARAH INDONESIA KUNO
RESUME
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Dasar – Dasar Arkeologi
yang dibina oleh Bapak Drs. Slamet Sujud
Purnawan Jati, M.Hum
Oleh :
Yuliarti Kurnia Pramai Selli
(140731606196)

UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
JURUSAN
SEJARAH
PRODI
S1 PENDIDIKAN SEJARAH
Oktober
2014
Kuliah
Tamu : “Kajian Terkini Berbagai Permasalahan Sejarah Indonesia Kuno”. Diadakan
pada hari Senin, 13 Oktober 2014, jam 08.00 – selesai, dengan keynote speaker /
penyaji : Bapak Prof. Dr. Agus Munandar, M.Hum, FIB, UI.
v Beberapa Pembahasan :
1. Berita
– Berita Prasasti Yupa Kutai Kuno (Upacara Kurban di Kutai Kuno).
2. Argumentasi
Perpindahan Ibu Kota Mataram Kuno.
3. Prasasti
– Prasasti Aus : Terpupus atau Dipupus.
4. Tafsir
Pararaton à Ken Angrok dan Ken Dedes.
5. Lokasi
Ibu Kota Sriwijaya di Jambi.
PENJELASAN
:
1.
Upacara
Kurban di Kutai Kuno
Dalam
makalahnya yang berjudul “Catatan Singkat Mengenai Prasasti Yupa, Kedukan
Bukit, dan Tugu” yang dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi II,
Jakarta 1980; Edhie Wurjantoro
membahas informasi tentang hadiah 20.000 ekor sapi (vinśatir ggosahasrikam) dari raja Mulavarmman
kepada para Brahmana. Mungkin saja jumlah 20.000 ekor sapi itu hanyalah simbol
keagamaan yang diperlukan dalam suatu upacara belaka. (Wurjantoro, 1980:
361—2).
Dalam
kitab Atharva Veda disebutkan bahwa sapi adalah simbol bumi yang banyak
mendapat pemujaan manusia. Adapun kitab Kalika Purana menyatakan bahwa
terdapat pemujaan kepada Kamadhenu (sapi yang mengabulkan keinginan) yang
dilahirkan oleh Surabhi (keharuman) anak perempuan Daksa, Surabhi adalah istri
dari Rsi Kasyapa.
Mengingat
nafas religi Veda Kuno masih sangat nyata dalam masa Mulavarmman, maka yang
dimaksud dengan anugerah sapi tentunya bukan sapi vahana Siva
(Nandi), sebab pemujaan Trimurti belum kentara dalam uraian
prasasti-prasasti Mulavarmman.
Dalam
upaya menjadikan upacara keagamaan dapat diterima oleh para dewa, para
pelakunya (terutama kaum Brahmana yang memimpin upacara) harus membacakan
mantra tertentu. Mantra itu harus diucapkan sebanyak 21.600 (dua puluh satu
ribu enam ratus) x, tujuannya untuk memperoleh 4 objek dalam kehidupan manusia,
yaitu keadilan, kebahagiaan, kemakmuran, dan kemerdekaan (Daniélou 1964: 338,
345, dan 348).
Uraian
prasasti-prasasti yûpa sebenarnya berkaitan dengan upacara keagamaan, terbukti
dengan adanya penyebutan dewa, anugerah dari raja (dana) berupa 20.000
ekor sapi, pohon kalpavrksa, anugerah bumi, para brahmana, api suci (agni),
tempat suci bagi dewata (vaprakesvara), segunung minyak kental, lampu
(pelita), bunga malai (teratai?),
penulisan tugu (yûpa) oleh para brahmana, serta adanya penyebutan
tentang upacara itu sendiri.
v Upacara
tersebut dicoba direkonstruksi dengan bantuan data dari ritual Veda Kuno di
India, kurang lebih sebagai berikut:
a.
Upacara yang dinyatakan
dalam prasasti-prasasti yûpa merupakan ungkapan syukur kepada bumi, yang
dilakukan pada pagi hari, di awal musim penghujan ketika tumbuh – tumbuhan
mulai subur, bersemi kembali baik tunas atau dari biji – bijian. Menurut ritual
Veda kuna siklus upacara besar bagi pemujaan bumi diadakan setiap 24 tahun
sekali. Kitab suci yang menjadi acuannya adalah Rg Veda, dan dewa
pelindungnya adalah Brahma (Daniélou 1964: 340), maka dari itu sang raja
memilih julukan Mulavarmman.
b.
Inti mantra yang harus
diucapkan oleh para brahmana Hotr jika berkenaan dengan pemujaan bumi
adalah “LAM... bhur” (Daniélou 1964: 341), dan mantra itulah yang harus
diucapkan sebanyak 20.000 x, hal itulah yang dalam prasasti dinyatakan sebagai
sedekah 20.000 ekor sapi.
c.
Upacara tersebut diadakan
di Vaprakeśvara, bentuknya dapat saja berupa lahan keramat yang
berpagar, atau bangunan suci atau lahan
yang dikelilingi tumpukan rumput untuk upacara (barhis).
d. Di
akhir upacara para pendeta mendirikan yûpa yang telah ditulisi prasasti
sebagai tanda peringatan upacara. Yûpa dalam kebudayaan Veda berarti
tonggak suci tempat menambatkan hewan kurban, bisa terbuat dari kayu atau batu
(Liebert 1976: 355), dan bertahan terus hingga sekarang sebagai bukti pernah
ada aktivitas ritual di wilayah Kalimantan Timur dalam zaman Kutai Kuno.
Poerbatjaraka
berpendapat bahwa tokoh Kundungga belum memeluk agama Hindu, sehingga Kudungga
adalah pendatang dari wilayah lain di Nusantara yang kemudian datang ke wilayah
Kutai Kuno. Kudungga adalah kakek dari Mulawarman.
Nama
anak dari Kudungga sudah bercorak nama India, karena religi India telah datang
dan telah diterima dengan baik, yaitu Aswawarman, dan cucunya adalah Mulawarman
yang mendirikan banyak prasasti Yupa.
Ansuman
adalah epithet Veda Kuno bagi dewa Matahari, dalam masa itu kedudukan
dewa matahari sangat penting, maka tidak mengherankan apabila Aśvavarmman dalam
prasasti yûpa diidentifikasikan juga sebagai pendiri dinasti (vangsakartta).
Ansuman
atau Sûrya merupakan antropomorfis dari matahari yang menyinari alam kehidupan
manusia, dalam mitosnya Sûrya adalah anak dari Dyaus (dewa langit tertinggi
dalam kebudayaan Veda Purba), sering pula diseru dengan Ravi atau Aditya.
Pernyataan
yang menarik adalah bahwa “Sang Aśvavarmman mempunyai 3 putra yang bagaikan 3
api suci, salah satu yang terkemuka adalah Mulavarmman”, artinya masih terdapat 2 putra lainnya, yang
namanya Agniwarman dan Wayuwarman.
Purnnavarmman
mengidentifikasikan dirinya dengan Sûrya, artinya dia adalah pemuja dewa Surya,
yang terjadi juga pada diri Mulawarman, sebab dinyatakan dalam salah satu
prasastinya bahwa dia adalah putra Sang Ansuman, dan namanya sendiri mengandung
makna perluasan dari Surya.
2.
Argumentasi
Perpindahan Ibu Kota Mataram Kuno
Menurut
data arkeologis, perpindahan tersebut disebabkan berdasarkan banyak monumen keagamaan,
arca, prasasti, dan sebagainya dalam abad ke 8 – 10. Yang merupakan penanda
kebudayaan Hindu-Budha. Namun, mulai akhir abad ke 10 – 15 arkeologi
Hindu-Budha justru banyak dijumpai di wilayah Jawa Timur.
v Beberapa
pendapat tentang penyebab perpindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur :
a. N.
J. Krom (1954 : 106 - 7) berpendapat bahwa perpindahan disebabkan oleh wabah
penyakit yang mengharu-biru
penduduk Mataram Kuno, sehingga mereka harus pindah menyelamatkan diri ke
wilayah lain yang tidak terjangkiti penyakit tersebut (Krom 1954: 106—7).
b. .G.de Casparis
(1950) yang menyatakan bahwa
perpindahan itu terjadi karena adanya konflik antara Mataram di Jawa dengan
Śrîvijaya sebagai kerajaan maritim di Sumatera.
Dia selanjutnya mengembangkan
pendapatnya bahwa pindahnya ibu kota ke wilayah Jawa bagian timur juga
didasarkan kepada alasan ekonomis akibat adanya
faktor eksternal, yang terdapat dua sungai besar yang
bermuara di wilayah pesisir utaranya, yaitu Bengawan Solo dan Berantas.
c.
Boechari
(1976), ia menyatakan bahwa pindahnya pusat kerajaan disebabkan adanya pralaya
(bencana besar) yang menimpa wilayah Jawa bagian tengah,
yang mengakibatkan kerajaan bagian tengah hancur akibat letusan Merapi
Di wilayah Jawa Timur
kurang lebih di bagian tengahnya, berdirilah gunung yang wujudnya
mengesankan bagi yang memandang, yaitu Gunung
Penanggungan. Gunung Penanggungan
dan bukit-bukitnya segera mengingatkan masyarakat Jawa Kuno tentang gambaran
Gunung Mahameru yang menjai titik pusat alam semesta dalam ajaran kosmomagis Hindu-Buddha,
dan gunung ini lalu dikeramatkan dan dinamakan Pawitra, dipercaya sebagai puncak Mahameru yang terpenggal tatkala
dipindahkan oleh para dewa Tanah India
ke Pulau Jawa.
Berdasarkan prasasti diduga bahwa raja Mataram kuno yang
terakhir memerintah di wilayah Jawa bagian tengah adalah Rakai Sumba Dyah Wawa
(923—924 M). Akibat gunung meletus yang dahsyat,
masyarakat berpindah ke timur kawasan Jawa Timur yang nantinya tampillah raja
Pu Sindok yang mengembangkan dinasti baru Isana Wangsa, dan harus membangun ibu
kota kerajaan yang baru di daerah Tamwlang, di Jombang Selatan (Sumadio 1984 :
155) dan terbukti dalam prasasti Turryan 851 S/929 M.
Pembangunan ibu kota Pu Sindok tersebut sudah tentu ada kaitannya
dengan kepercayaan kepada kekudusan Gunung Mahameru,
yaitu Gunung Pawitra atau Gunung Penanggungan. Mungkin saja benar bahwa sebelum dipindahkan, Medang ibu
kota Mataram di Jawa Tengah tersebut berada di kaki Gunung Merapi (sisi barat?),
Maka dari itu pada paruh pertama abad ke-10 Pu Sindok
segera memindahkan ibu kota kerajaannya ke timur, mencari lokasi yang dekat
dengan gunung yang tidak menimbulkan bencana,
yaitu Gunung Penanggungan.
Prasasti
tertua berada di Bangil, Pasuruan, yaitu Prasasti Suci, OJO, XLI. Banyak
prasasti yang ditemukan di wilayah lembah Sungai Berantas, di selatan Surabaya
yang daerah Sima di kawasan utara Gunung Penanggungan.
Van
Bemmelen mencatat bahwa letusan dahsyat Gunung Merapi sehingga meruntuhkan
lereng baratnya terjadi di awal abad ke – 11 M, bukan ke – 10 M, karena Van
Bemmelen menghubungkan peristiwa meletusnya Merapi itu dengan peristiwa pralaya
hancurnya kerajaan Dharmawangsa Teguh dalam tahun 1016 M.
Pendapat
tersebut dibantah oleh Boechari bahwa lokasi kerajaan Dharmawangsa Teguh yang
berlokasi di lembah Sungai Berantas sangat jauh dengan Gunung Merapi, jika
benar terjadi letusan Gunung Merapi yang luar biasa, maka sebenarnya dapat
terjadi sebelum Pu Sindok membangun kedatonnya di Tamwlang (Boechari 1976 : 15
- 16). Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa alasan perpindahan pusat
kerajaan adalah untuk mendapat persetujuan para dewata yang bersemayam di
puncak Mahameru yang damai, yaitu Pawitra.
3.
Prasasti
– Prasasti Aus : Terpupus atau Dipupus
Banyak
prasasti batu yang aksaranya sudah tidak terbaca lagi, aus, bahkan beberapa
telah halus permukaan batunya sehingga dianggap sebagai batu calon prasasti
belaka. tempat-tempat temuan prasasti
batu yang aksaranya aus tersebut antara lain di wilayah yang diperkirakan
pernah menjadi area konflik zaman Airlangga.
Prasasti-prasasti
batu Airlangga yang ditemukan relatif utuh justru ditemukan di luar wilayah Lamongan selatan dan Jombang.
Di area itu pula diperkirakan wilayah kerajaan Janggala setelah Airlangga
membagi kerajaannya. Hal yang menarik adalah uraian prasasti raja – rajanya
selalu berkenaan dengan perang dan konflik melawan musuh – musuhnya.
Peristiwa
peperangan di Jawa Kuno, misalnya terbukti dalam prasasti raja Kadiri yang
berhasil dikalahkan oleh Tentara Tumapel, yang akhirnya muncul Singhasari
sebagai kerajaan baru. Peristiwa peperangan sejenis dan dampaknya tentu terjadi
pula di tempat lain di dunia.
v Dampak
peperangan yang kerapkali terjadi secara umum dalam Sejarah Indonesia Kuno,
yaitu :
a. Apabila
ada dua pihak yang berselisih dan berperang, maka wilayah negara atau kerajaan
yang dikalahkan lalu disatukan menjadi wilayah kerajaan pemenang (pihak yang
menang).
b. Pihak
pemenang akan menghancurkan semua simbol-simbol kekuasaan yang kalah
(pembakaran bendera, pemusnahan panji-panji kebesaran, penghancuran
simbol-simbol negara, penghancuran bangunan-bangunan simbol kekuasaan (istana),
dan sebagainya).
c. Semua
keputusan atau perintah dari raja(-raja)
terdahulu dari pihak telah dikalahkan akan diabaikan, dianggap tidak
berlaku lagi, dan harus dibuat ketetapan baru oleh penguasa baru dari pihak
pemenang.
d. Tentunya di masa silam semua pembesar kerajaan yang
kalah akan dihukum mati, dibuang, dipenjara, kecuali segera menyatakan sumpah
setia kepada penguasa baru.
Dari uraian tersebut, juga terjadi
dan dapat diterapkan dalam konflik dan peperangan antarkerajaan pada masa Jawa
Kuno. Dapat dijelaskan, bahwa prasasti – prasasti batu yang dikeluarkan oleh
seorang raja akan menjadi salah satu “sasaran
penghancuran oleh raja pemenang jika saja terjadi peperangan”.
v Prasasti
dapat dipandang sebagai :
a. Tanda
kebesaran seorang raja yang berkuasa.
b. Perintah
raja yang harus ditaati hingga akhir zaman (dlaha ning dlaha).
c. Menjadi
bukti kekuasaan dan kewibawaan raja.
d. Sebagai
penanda wilayah yang dikuasai oleh seorang raja pembuat prasasti.
e. Merupakan
dokumen struktur kuasa sebab mencantumkan nama jabatan dan pejabatnya.
Dapatlah dipahami apabila banyak
prasasti batu dari masa Jawa Kuno yang sekarang telah aus aksara, bahwa keausan
tersebut sangat mungkin bukan karena perbuatan alam (lapuk karena panas dan
hujan), melainkan sengaja diauskan, dipupus atau digerus aksaranya sehingga
tidak bisa dibaca lagi. Yang melakukannya adalah pihak pemenang yang tidak suka
lagi kepada keputusan – keputusan atau perintah raja atau dinasti raja yang
dikalahkannya.
Biasanya dalam prasasti-prasasti juga
dicantumkan sejumlah kutukan (sapatha) bagi siapa yang berani melanggar
perintah sang raja atau malah merusak batu prasasti tersebut. Batu kosong tanpa
aksara diduga sebagai batu calon prasasti.
Pemusnahan simbol kuasa raja tersebut
agaknya tidak cukup hanya dengan pengikisan aksara pada batu prasasti, malah
banyak prasasti yang kemudian dipecahkan menjadi dua bagian atau dipecahkan
berkeping-keping menjadi beberapa bagian. Contohnya : pada Masa Kadiri yang
langka ditemukan bangunan suci atau candi-candi, dan pada kenyataannya dari
masa Kadiri banyak dihasilkan karya
susastra yang bermutu, misalnya Harivangsa,
Bharatayuddha, Gatotkacaśraya, dan Smaradahana. Kelangkaan tersebut sengaja terjadi karena
dihancurkan oleh masyarakat zaman Singhasari
Contoh
lainnya adalah pada sejarah Bali zaman pertengahan antara abad ke 16 – 19, yang
acaranya juga banyak terpenggal atau rusak yang disengaja dibacok atau
dipenggal dengan senjata tajam, dan jejaknya masih terlihat pada beberapa arca
yang disimpan dalam pura – pura tertentu.
Demikianlah bahwa pengrusakan
terhadap simbol-simbol kerajaan yang kalah oleh pihak kerajaan pemenang sudah
menjadi suatu keniscayaan, dan itu memang layak dilakukan untuk menunjukkan
keunggulan pihak pemenang.
4.
Tafsir
Pararaton à Ken Angrok dan Ken Dedes
Kisah Ken Angrok-Ken Dĕdĕs sebenarnya
metafora dari perpaduan dua agama besar yang dikenal dalam masyarakat Jawa Kuno
masa itu. Ken Angrok adalah metafora dari agama Hindu-śaiva, dan Ken Dedes
adalah metafora dari agama Buddha Mahāyana.
Dalam Pararaton Ken Dĕdĕs disebut oleh Danghyang Lohgawe sebagai strî
nāreśwarî, seorang
perempuan utama yang dari rahimnya akan dilahirkan raja-raja, jika ada pria walaupun dari kalangan orang papa, apabila memperistri perempuan itu ia
akan menjadi raja besar penguasa dunia (Padmapuspita 1966: 18).
Dapat disamakan dengan Mahayama,
ibunda Pangeran Sidharta dan Kapilawastu, yang dari rahimnya lahirlah tokoh
besar yang dikenal oleh manusia seluruh dunia hingga dewasa ini, yaitu Sidharta
Gautama. Dan dengan demikian, Ken Dedes sepenuhnya lambang agama Budha
Mahayana.
Perkawinan antara Ken Angrok dan Ken
Dĕdĕs apabila dipandang dari sudut keagamaan dapat dinyatakan merupakan
metafora pertemuan antara agama Hindu-śaiwa dan Buddha Mahāyana.
Konsep paralelisme menjelaskan bahwa
kedua agama itu mungkin tidak tepat, sebab memberi kesan seolah – olah kedua
sistem keagamaan tersebut dicampurbaurkan menjadi satu yang lebur.
Demikianlah riwayat Ken Angrok dan
Ken Dĕdĕs sejatinya merupakan perlambang
dari koalisi agama Hindu-saiva dan Buddha Mahayana. Kedua agama tersebut masih
berkembang secara terpisah dan sendiri – sendiri.
Hal yang menarik dan belum pernah
terjadi dalam masa Pra Singhasari adalah pembangunan candi – candi dengan nafas
perpaduan dua agama, yaitu candi Siwa – Budha.
v Candi
– candi yang bernafaskan agama Hindu – Budha dari zaman Singhasari – Majapahit
yang masih berdiri hingga sekarang :
a. Candi
Singasari à Malang.
b. Candi
Jawi (Jajawi) à
Pasuruan.
c. Candi
Jago (Jajaghu) à
Malang.
d. Candi
Jabung (Bajrajinaparamitapura) à
Probolinggo.
Dapat diasumsikan bahwa candi-candi
tersebut dibangun sebagai pendharmaan
(tempat untuk memuliakan dan memuja seseorang yang telah meninggal) keturunan
langsung Ken Angrok--Ken Dedes yang memang memeluk agama Hindu-saiva dan
Buddha. Tradisi pemujaan kepada Śiva dan Buddha sekaligus yang dilakukan oleh
seorang tokoh raja atau keluarga raja kemudian berlangsung terus hingga masa
Majapahit menjelang keruntuhannya.
5.
Lokasi
Ibu Kota Sriwijaya di Jambi.
Sampai sekarang pendapat yang
menyatakan bahwa lokasi “kota” Śrīvijaya berada di Palembang, Sumatera Selatan,
masih kokoh kuat tiada tergoyahkan. Seiring dengan temuan-temuan baru di
wilayah Muaro Jambi dan juga pembacaan dan tafsir ulang terhadap catatan
musafir Cina yang datang ke Śrīvijaya dalam abad ke-7 M, maka timbul gagasan
yang mempertanyakan kemungkinan ibu kota Sriwijaya, berlokasi di Jambi, bukan
di Palembang.
v Para
ahli arkeologi sejarah dewasa ini timbul keraguan mengenai lokasi Sriwijaya di
Palembang, beberapa keraguan disebabkan oleh :
a. Tidak
banyaknya peninggalan arkeologis berwujud monumen yang ditemukan di kawasan
Palembang.
b. Prasasti-prasasti
Śrīvijaya yang ditemukan di Palembang adalah tentang berita pembangunan wanua/desa
(Prasasti Kedukan Bukit), prasasti kutukan, dan prasasti perjalanan yang
berjaya (jayasiddhayatra).
Uraian
tentang ancaman dan kutukan memang memenuhi isi prasasti, dengan demikian tidak
keliru jika para ahli menyebutnya sebagai “prasasti persumpahan kerajaan
Śrīvijaya”. Selain uraian persumpahan juga terdapat prasasti-prasasti pendek
yang menyebutkan adanya “perjalanan
ziarah yang berhasil” (Jayasiddhayatra).
c.
Berita
dari bhiksu I-Tsing yang singgah ke Śrīvijaya, antara lain menyatakan bahwa “pada tengah hari di bulan
September di Śrīvijaya orang tidak mempunyai bayangan”.
Terdapat
pemikiran bahwa ibu kota Sriwijaya berada di Jambi sejak awal berdirinya hingga
keruntuhannya dalam abad ke – 12, ibu kota itu tidak pernah berpindah tempat.
Hipotesa tersebut mendukung pendapat Soekmono.
v Berikut beberapa tafsir baru yang memperkuat pendapat
Soekmono antara lain sebagai berikut:
a. Menurut berita I-Tsing tatkala ia singgah di Śrīvijaya terdapat sekitar 1000 orang bhiksu yang siap melayani
ummat Buddha.
b. Berita I-tsing tersebut didukung oleh kenyataan temuan
arkeologis di situs Muarojambi yang luar biasa.
c. Butir 1 dan 2 menunjukkan adanya aktivitas agama Buddha
yang luas dan ramai, 1000 orang bhiksu itu harus mengemis meminta sedekah makan
sehari 2 x kepada penduduk desa.
d. Menurut I-Tsing pula, pada tengah hari (kebetulan ia
singgah di Śrīvijaya dalam bulan September tahun 671 M sebelum melanjutkan
perjalanan ke India), seseorang yang berdiri tidak mempunyai bayangan, artinya
matahari tepat di atas kepala.
e.
Jambi
merupakan kawasan pilihan dalam konsep Buddhisme, beberapa toponimi dapat
dihubungkan dengan konsep keagaamaan:
-
Sungai Batanghari berarti “sungai milik Avalokitesvara”.
-
Kata jambi atau jambe adalah nama lain untuk tanaman pinang.
f.
Konsep Angso Duo (dua angsa) warisan kisah Hamsajataka dari
Buddha. Di kota Jambi terdapat pasar dengan nama Angso Duo. Kisah
Hamsajataka tidak mungkin dikenal dalam masyarakat yang tidak akrab
dengan perkembangan agama Buddha.
g.
Kisah tentang Sumatera sebagai salah satu pusat
pendidikan Buddha di Asia masih dikenal dalam sejarah perkembangan agama
Buddha.
Demikianlah beberapa argumentasi yang dapat dikemukakan
sehingga pendapat yang menyatakan bahwa Palembang sebagai ibu kota Śrīvijaya perlu dipertanyakan lagi kebenarannya, mengingat
sekarang telah ditemukan banyak bukti arkeologis baru yang membawa kepada
interpretasi baru yang menyokong bahwa ibu kota Śrīvijaya sejak awal hingga keruntuhannya tetap di Jambi.
v Lazimnya
dalam ilmu sejarah kuno atau arkeologi sejarah, suatu pendapat ahli akan
disikapi dengan 4 cara :
a. Menerima sepenuhnya pendapat itu, karena logis dan
didukung data yang memadai.
b. Menolak pendapat yang dikemukakan terdahulu dengan
menyajikan pendapat sendiri, menjadi interpretasi sanggahan.
c. Memperhatikan pendapat baru seraya menunggu perkembangan
lebih lanjut, apakah tidak ada penolakan atau ada bantahan dari ahli lain.
d.
Tidak peduli dengan pendapat baru, karena telah setia dan
setuju pada suatu pendapat yang dianggapnya paling benar.
Komentar
Posting Komentar