TUGAS MATAKULIAH SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA-AGAMA DI INDONESIA


TUGAS MATAKULIAH SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA-AGAMA DI INDONESIA

Nama               : Yuliarti Kurnia Pramai Selli.
Kelas/Off.       : B.
Prodi               : S1 Pendidikan Sejarah.
NIM                : 140731606196.
Makul              : Sejarah Perkembangan Agama-Agama di Indonesia.

JAWABAN :

1.      Cara-Cara Pendeta Belanda pada Zaman VOC dalam Melakukan Pemeliharaan Rohani Kekristenan secara Teratur di Ambon, Maluku.
Pada tahun 1605 angkatan laut VOC merebut benteng-benteng Portugis di Banda dan Ambon yang pada saat itu, orang-orang Kristen di wilayah tersebut merupakan sekutu dari orang-orang Portugis. Sedangkan, orang-orang Islam di Hitu menjadi sekutu VOC. Tetapi, dengan datangnya orang-orang Belanda membawa keberuntungan bagi seluruh wilayah Ambon dan Lease dengan berhasil melakukan perjanjian perdamaian antara semua kampung di pulau tersebut sehingga peperangan pun berhasil dihentikan. Kita ketahui sendiri bahwa Belanda adalah badan perdagangan yang bertujuan untuk memonopoli wilayah jajahannya dengan cara melakukan jual-beli rempah-rempah dan memproduksinya di pusat wilayah tersebut. Kebijakan tersebut menuai serentetan perang dimana daerah-daerah yang tidak patuh terhadap perintah dari VOC akan dibuat tidak berdaya. Sehingga, mau tidak mau orang-orang Kristen di Ambon-Lease takluk terhadap kebijakan tersebut. Selain itu, kebijakan tersebut membawa angin segar bagi orang-orang Kristen di wilayah Ambon-Lease dan Banda karena VOC mendukung pemeliharaan orang-orang Kristen dan pekabaran Injil di daerah tersebut dan daerah tersebut menjadi pusat agama Kristen di Maluku. Pada masa VOC, agama Kristen lebih meluas di wilayah Maluku Selatan daripada di Maluku Utara karena VOC menganggap bahwa daerah tersebut tidak mempunyai arti bagi VOC sehingga dibiarkan saja. Dalam hal ini, orang-orang Kristen yang ditaklukkan oleh VOC diharuskan masuk agama Protestan karena agama Kristen yang dulu sama dengan agama dari orang Portugis dan VOC tidak menerima hal tersebut. Sehingga, untuk sementara waktu tidak ada lagi ibadah dan sekolah diberhentikan yang dilatarbelakangi VOC belum mempunyai tenaga untuk memelihara orang-orang bukan-Kristen. Maka dari itu, dengan kegigihan orang-orang Kristen Ambon dalam beragama pendeta Belanda mencoba melakukan pemeliharaan rohani Kekristenan secara teratur dengan cara seperti berikut :
a.       Adanya “penghibur orang-orang sakit” yang ditempatkan di setiap kapal dan benteng VOC yang setiap hari Minggu membacakan khotbah dengan tulisan seorang pendeta Belanda. Pada saat itu, orang-orang Ambon meminta anak-anaknya untuk dibaptis dan kebetulan orang “penghibur orang-orang sakit” sudah mendapat izin dalam melayani sakramen Baptisan, sehingga orang tersebut dapat memenuhi permintaan mereka.
b.      Selang dua tahun, sekolah dibuka kembali yang pada saat itu mantri kesehatan dari kapal-kapal Belanda menjadi guru sekolah di Ambon dan pengajarannya berupa membaca, menulis, menghitung (semuanya menggunakan bahasa Belanda), hafalan Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, serta Dasatitah (dalam bahasa Belanda maupun Melayu).
c.       Pada masa peralihan VOC sibuk mencari tenaga pendeta di tanah air. Pertama, datanglah pendeta ke Ambon tahun 1612 dan sejak itu datanglah pendeta Belanda sampai enam orang yang tinggal di kota Ambon. Ketika jumlah pendeta di sana sudah mencukupi, maka pendeta tersebut ditempatkan di wilayah lain. Jemaat-jemaat yang tidak dilayani secara tetap oleh pendeta akan mendapat kunjungan dari pusat walaupun hanya dua atau tiga kali per tahun. Orang-orang Kristen yang berada di luar pusat tidak hanya mendapatkan pemeliharaan rohani saja, tetapi kehidupan gerejani di jemaat-jemaat tersebut dijalankan oleh guru-guru sekolah (merangkap sebagai guru jemaat tetapi tidak berkhotbah hanya sebagai penghibur orang-orang sakit). Sehingga, atas permintaan tersebut, Belanda membangun sekolah di luar pusat yang nantinya jumlah sekoah bertambah dengan cepat. Selain itu juga, tiga kali seminggu mereka mengucapkan doa malam.
d.      Dibentuklah suatu majelis gereja di Ambon (1625) setelah keadaan tertib yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan rohani di kota Ambon maupun jemaat-jemaat di luar kota Ambon. Setelah itu, dibentuk juga majelis di Haruku dan Saparua yang didalamnya terdapat orang-orang Belanda, pegawai Kompeni atau lain-lain, dan juga orang-orang Ambon.
Dengan cara-cara yang sudah dijelaskan di atas, Kekristenan di Ambon-Lease berkembang dengan baik dan dalam jumlah yang bertambah besar. Dengan keadaan yang damai juga mempengaruhi jumlah penduduk yang orang-orang Kristennya dari 16.000 menjadi 33.000 orang. Tidak lama kemudian, kota Ambon mempunyai tiga gedung gereja yang besar dan indah.
2.      Cara-Cara Penyebaran Agama Kristen di Jawa yang Dilakukan oleh Orang-Orang Eropa Non-Gereja.
Berikut adalah tokoh-tokoh penyebar agama Kristen di Jawa, baik Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, yaitu :
a.       Bapa Emde (1774-1859).
Bapa Emde adalah seorang pietis dari Jerman yang berlayar ke Indonesia dalam rangka ingin melihat kebenaran dari perkataan di Kej. 8 : 22 sehingga beliau akhirnya menetap di Surabaya, Jawa Timur dan bekerja sebagai tukang arloji. Saat itu, Bapa Emde dikunjungi Joseph Kam yang sedang melakukan perjalanan ke Maluku dan hal tersebut membangkitkan semangat misioner beliau dengan mendirikan suatu perkumpulan p.I. (1815) dan mengadakan pertemuan-pertemuan keagamaan di rumahnya. Hal tersebut dibantu oleh Bruckner, seorang pekabar injil yang juga bersama Kam diutus ke Jawa dengan mengarang selebaran-selebaran dan menterjemahkan P.B. dalam bahasa Jawa. Tetapi, terjemahan tersebut disita langsung oleh pemerintah dan hal itu tidak membuat Bapa Emde berputus asa, beliau sebelumnya sudah menerima dalam bentuk salinan dan salinan tersebut disebarkan bersama istri dan anak-anak perempuan beliau dengan diberikan kepada orang-orang yang lewat dan menempelkannya di tempat-tempat ramai. Hal tersebut mengundang kecurigaan pendeta GPI di Surabaya sehingga beliau pun dipenjara selama beberapa minggu. Tetapi, pada tahun 1820, GPI lebih bersikap positif terhadap beliau walaupun di kalangan orang-orang Jawa pekerjaan Bapa Emde tidak mendapatkan sambutan yang baik.
b.      Coolen (1775-1873).
Setelah Bapa Emde, muncullah pusat penyiaran agama Kristen yang kedua yang berada di Ngoro dan pemimpinnya adalah Coolen. Beliau lahir dari bapak Belanda dan ibu dari putri bangsawan Jawa sehingga tidak mengherankan kalau beliau menguasai tradisi kebudayaan Jawa. Di kota Ngoro dalam hal agama tidak dipaksakan yang terbukti dengan pembangunan sebuah masjid atas prakarsa Coolen walaupun dalam memimpin tetap sebagai orang Kristen. Contoh dalam hal seseorang yang akan membajak sawah Coolen diminta untuk membuka alur pertama dan beliau menyanyikan tembang yang intinya berisikan pujian dan meminta keberkatan yang tiada tara. Pada hari Minggu, Coolen mengadakan kebaktian di pendopo rumah beliau yang isinya berdoa dan membacakan suatu pasal dari Alkitab dan dinyanyikan doa tersebut melalui tembang serta sepanjang hari Minggu waktu dihabiskan dengan bermain gamelan dengan wayang dan dzikir, mengajarkan agama Kristen, rumus-rumus Kristen. Dengan cara tersebut, terbentuklah suatu jemaat Kristen yang disebut Kyai penghulu dan dua orang penatua.
c.       Kelompok Wiung (Rumah Pak Dasimah).
Tepatnya di Desa Wiung terdapat sekelompok orang yang taat dalam beragama dan berkumpul di rumah modin desa bernama Pak Dasimah. Pak Dasimah dan teman beliau menemui Coolen karena buku kecil yang mereka kenal berasal dari Ngoro. Oleh Coolen mereka disambut baik dan diajarkan agama Kristen selama 10 hari. Dari pengajaran tersebut, setiap tahun mereka kembali ke Ngoro dan Pak Dasimah menyebarkan ilmu tersebut dengan melalui “wayang”. Setelah lima tahun berguru, akhirnya Coolen menyuruh mereka untuk berkunjung ke Nyonya Emde dan Pak Dasimah menemui Bapa Emde yang dalam pengajarannya menggunakan adat istiadat Eropa. Di Surabaya, Pak Dasimah dan teman beliau mendapat ilmu tentang baptisan dan ilmu tersebut belum diberikan oleh Coolen. Pada bulan Desember 1813 tiga puluh lima orang dibaptis oleh pendeta GPI Surabaya. Salah seorang diantaranya adalah Paulus Tosari (1813-1882).
3.      Cara-Cara Penyebaran Agama Kristen di Jawa yang Dilakukan oleh Orang Pribumi Jawa.
Berikut adalah tokoh-tokoh penyebar agama Kristen di Jawa, yaitu :
a.       Paulus Tosari (1813-1882).
Setelah Paulus Tosari dan murid yang pernah diajar Coolen dibaptis oleh PGI Surabaya, Coolen tidak tahan melihat hal tersebut sehingga mereka diusir dari Ngoro dan di kawasan hutan yang angker, mereka mendirikan sebuah desa yang bernama Mojowarno pada tahun 1844. Tosari menjadi guru jemaat dengan pimpinan yang terdiri dari orang-orang Jawa saja yang dalam tata kenaktian memakai bentuk-bentuk dari Barat. Pada saat itu datanglah Jellesma yang diutus Belanda (NZG) ke Mojowarno (1851) dari Surabaya, Jawa Timur dan melakukan kerja sama dengan Tosari seperti Jellesma membaptis dua ribu orang lebih, menyelenggarakan sekolah rakyat, mendidik sejumlah pemuda menjadi guru sekolah yang merangkap jadi guru jemaat, bersama Tosari mendirikan “Lumbung Orang Miskin”, dan Jellesma juga membantu Tosari dalam menerbitkan riwayat-riwayat Alkitab dan sebuah bundel Nyanyian Rohani dalam bahasa Jawa.
b.      Tunggul Wulung (sek. 1803-1885).
Ia berasal dari daerah Juwono (dekat dengan Gunung Muria). Pada masa ini, Tunggul Wulung mengenal agama Kristen dan pada tahun 1853 Tunggul Wulung ke Mojowarno selama dua tahun yang kemudian dibaptis oleh Jellesma dan diberi nama Ibrahim. Setelah itu, Tunggul Wulung melakukan perjalanan p.I., a.I. ke Pasuruan, Rembang, daerah Malang, kawasan Gunung Muria, dan di Jawa Barat. Zendeling Janz mengecam cara-cara yang ditempuh Tunggul Wulung, tetapi hal tersebut tidak bisa menghentikan kegiatan beliau dan selama dua puluh tahun beliau berkeliling terus. Pada saat kematian beliau, jumlah pengikut dalam arti sempit ditaksir melebihi seribu orang.
c.       Sadrach (1840-1924).
Setelah kematian Tunggul Wulung, jemaat-jemaat yang dipimpin oleh Tunggul Wulung beralih kepada Zending Mennonit dan ada juga yang masih meneruskan tradisi Tunggul Wulung di Jawa Tengah bagian Selatan yang dipimpin oleh muridnya, yaitu Sadrach. Sadrach bekerja di Jawa Barat kemudian menjadi pembantu Ny. Philips di Purworejo. Jemaat yang telah dikumpulkan oleh Ny. Philips menerima Sadrach sebagai pemimpin menggantikan Ny. Philips yang meninggal pada tahun 1876. Pada masa Sadrach juga masuk NGZV yang bersikap lebih keras terhadap agama Kristen Jawa sehingga terjadilah keretakan yang tidak dapat dipulihkan yang terjadi tahun 1880-an. Sadrach menggabungkan diri dengan Gereja Kerasulan.
4.       Tiga Contoh Penjelasan adanya Sinkritisme dalam Agama Kristen di Jawa.
Berikut contoh penjelasan adanya Sinkritisme agama Kristen di Jawa, yaitu :
a.       Penjelasan pada masa Coolen (1775-1873).
Dalam cara penyebaran agama Kristen di Ngoro, Jawa Timur oleh Coolen disesuaikan dengan kebudayaan Jawa itu sendiri dan ajarannya disesuaikan dengan agama Kristen itu sendiri. Perpaduannya seperti saat akan membajak sawah menyanyikan tembang Jawa yang berisikan “O Gunung Semeru, O Dewi Sri, berkatilah karya tangan kami. Dan di atas segala-galanya kami pohonkan karunia dan kekuatan dari Yesus, yang kekuasaan-Nya tiada bertara ”, berdoa dan membacakan suatu pasal dari Alkitab, lalu orang mengangkat nyanyian serta doa dengan gaya tembang, sepanjang hari Minggu orang menghabiskan waktunya dengan bermain gamelan, dengan wayang, dzikir (mengulang-ulang rumus-rumus Kristen seperti Doa Bapa Kami dan sebagainya) dengan cara yang dipakai juga oleh santri-santri Islam, serta tidak lupa dalam buku kecilnya sudah menggunakan bahasa Jawa, sehingga bisa dipahami. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam penyebaran agama Kristen di Jawa, khusunya Jawa Timur (Ngoro) Coolen melakukan pendekatan tradisi kebudayaan Jawa sehingga mudah diserap dan dimaknai oleh masyarakat Jawa pada masa itu.
b.      Penjelasan pada masa Paulus Tosari (1813-1882).
Dalam proses dan cara penyebarannya, kita ketahui bahwa Jellesma berpendapat bahwa yakin jika kegiatan jemaat dan penyiaran injil harus diselenggarakan oleh orang-orang Jawa sehingga nantinya ajarannya sesuai dengan lingkungan Jawa. Dalam hal ini, Jellesma mengambil garis tengah antara Bapa Emde dan Coolen, yaitu Jellesma tidak keberatan kalau orang Kristen berambut panjang, tidak mau melepaskan destarnya dalam kebaktian, berusaha untuk menyederhanakan tata ibadah, tidak setuju ketika para sesepuh Mojowarno mengadakan pesta tarian dengan wanita-wanita, dilakukan disiplin kerja, menerbitkan riwayat-riwayat Alkitab dan sebuah bundel Nyanyian Rohani dalam bahasa Jawa.
c.       Penjelasan pada masa Tunggul Wulung (sek. 1803-1885).
Pada masa Tunggul Wulung, cara penyebarannya cukup membuat Jansz terkejut oleh unsur Jawa dalam Kekristenan gaya Tunggul Wulung karena menurut Jansz, beliau menyajikan injil sebagai suatu “ilmu”, pengikut-pengikutnya berdzikir bahwa pemimpin mereka memakai cara-cara seorang dukun dalam mengobati orang sakit dan menggunakan rumus-rumus Kristen seperti Doa Bapa Kami dan sebagainya dalam usaha pengobatan. Menurut beliau peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam Alkitab, termasuk kelahiran Yesus Kristus tidak perlu ditafsirkan secara harfiah tetapi mempunyai arti rahasia yang diwujudkan dalam batin orang-orang yang percaya. Dalam hal ini bisa dibilang bahwa ajaran Tunggul Wulung dalam menyebarkan agama Kristen di Jawa mengalami sinkritisme (percampuran agama).

Sumber: End, d.,v,. RAGI CARITA Sejarah Gereja di Indonesia 1. Jakarta: PT BPK GUNUNG MULIA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH MASUKNYA AGAMA KONGHUCU DI INDONESIA

Kamu yang Kusayang

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BERBASIS NILAI