PERGERAKAN PEREMPUAN DI ERA KEBANGSAAN INDONESIA (1908-1942)

PERGERAKAN PEREMPUAN DI ERA KEBANGSAAN INDONESIA (1908-1942)

Oleh :
Faiz Nurhabib Fanani (140731604199/ Off. B), Farah Atikah Setia Wijayaputri (140731603445/Off. B), Martyn Dirgantara (140731604820/ Off. B 2014), Yuliarti Kurnia Pramai Selli (140731606196/ Off. B 2014)

Jurusan Sejarah
Universitas Negeri Malang

Abstrak:  Timbulnya golongan Intelegensia pada tahun 1908 membuat suatu perubahan dalam hal pendidikan, politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Banyak pergerakan yang sudah dilakukan warga negara Indonesia apalagi para pemuda, diantaranya adalah munculnya Gerakan Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1912), Indische Partij (1912), Perhimpunan Indonesia (1922), Kongres Pemuda I dan II, dan lain-lain. Dalam artikel ini, penulis lebih membahas tentang pergerakan yang dilakukan oleh kaum wanita, yaitu “Gerakan Wanita”. Gerakan ini dibagi menjadi 3 babak, yaitu Babak Pertama (1908-1920), Babak Kedua (1920-1930), dan Babak Ketiga (1930-1945) tapi hanya mengambil sampai tahun 1942. Munculnya kaum intelegensi di Indonesia dilatarbelakangi adanya pendidikan yang sengaja dipelopori oleh penjajah Belanda.

Katakunci: Gerakan Wanita, Pendidikan, Perkumpulan Wanita, Belanda, Indonesia.

Awal Belanda mendirikan pendidikan di Indonesia adalah hanya untuk mencetak pegawai atau tenaga rendah dan menengah yang nantinya membantu Belanda dalam pemerintahannya. Dimana, terdapat dua macam sekolah yang didirikan oleh pemeritah Belanda, yaitu sekolah-sekolah yang memakai bahasa Melayu (bahasa Indonesia) dan sekolah-sekolah yang memakai bahasa Belanda dan semuanya sebagai bahasa pengantar (Sagimun, MD. 13: 1989). Tetapi, Belanda tidak menyadari bahwa dengan mendirikan sekolah-sekolah untuk anak pribumi menyebabkan munculnya para pemuda yang nantinya memunculkan pergerakan-pergerakan nasional Indonesia. Melalui pergerakan nasional yang disebutkan di atas, para pemimpin bangsa Indonesia termotivasi untuk mengangkat derajat bangsa ke tingkat yang lebih terhormat. Tumbuhnya pergerakan nasional di Indonesia tidak langsung muncul begitu saja, tetapi terdapat beberapa faktor yang bias kita bagi menjadi dua, yaitu adanya Faktor dalam Negeri dan adanya Faktor Luar Negeri.
Berikut adalah Faktor dalam Negeri :
a.       Catatan sejarah kejayaan/kemegahan Kerajaan Sriwijaya (abad 7-12 M) dan Kerajaan Majapahit (abad ke 13-16 M).
b.      Penderitaan Rakyat dimana penjajahan di Indonesia menimbulkan penderitaan, kemelaratan, dan kemiskinan. Faktor inilah yang menjadi penyebab utama timbulnya perasaan senasib sependeritaan di kalangan rakyat Indonesia.
c.       Saminisme, yaitu suatu gerakan protes para petani di Blora (Jawa Tengah) yang timbul pada tahun 1890 dengan tokoh Kiayi Samin alias Surantiko melakukan perlawanan pasif (bertujuan untuk menolak membayar pajak).
d.      Adanya Volksraad, yaitu suatu dewan perwakilan yang anggota-anggotanya sebagian dipilih dan sebagian lagi diangkat sebagai gubernur jenderal berdasarkan Undang-Undang tanggal 16 September 1916 sehingga adanya Volksraad ini memunculkan sikap tokoh-tokoh pergerakan nasional, yaitu taktik cooperative dan non cooperative.
Berikut adalah Faktor Luar Negeri :
a.       Kemenangan Jepang atas Rusia tahun 1905.
b.      Berdirinya Partai Kongres di India.
c.       Perjuangan Joe Rizal di Philipina.
d.      Republik Cina Nasionalis (Panyarikan, S., K. 1993).
Jika kita kaji lebih dalam, kehidupan kaum wanita Indonesia pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 tidak dapat digeneralisasikan karena adanya keragaman kehidupan di berbagai wilayah Indonesia saat itu yang mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, dan agama. Mereka juga mempunyai pengaruh yang menentukan dalam hal persoalan-persoalan rumah tangga. Salah satu fakta sejarah mengatakan bahwa wanita Indonesia pada saat itu mendapat kedudukan, wewenang, dan kekuasaan tertinggi dalam negara, yaitu kepala negara. Kita bisa ambil contoh pada zaman Kerajaan Majapahit (1294-1525) terdapat raja putri Tribuana Tungga Dewi yang merupakan ibu Hayam Wuruk (1328-1350) terkenal mempunyai kedudukan sebagai permaisuri raja bukan sekedar menjadi istri raja, tetapi juga berperan dalam menentukan jalannya pemerintahan. Contoh yang kedua adalah antara tahun 1641-1699 Kesultanan Aceh dipimpin oleh seorang sultanah (sultan perempuan), yaitu Sultanah Sri Tajul Alam Safiatuddin Shah yang di bawah kepemimpinannya, Kesultanan Aceh mengalami kemajuan pesat dalam hal sosial, ekonomi, dan budaya. Contoh ketiga adalah Laksamana Hayati yang terkenal dengan keberanian dan kemampuan beliau dalam memimpin armada Aceh untuk menghadapi kapal-kapal Belanda di bawah bendera VOC dan armada Portugis. Contoh lainnya adalah tokoh-tokoh pejuang Aceh, yaitu Cut Mutia, Cut Nyak Dien, dan Pocut Baren.
Setelah kekuasaan Pocut Baren, Aceh dikuasai oleh Sultanah Nurul Alam Naqiatudin Syah (1673-1678), Inayat Zakiyahtudin Syah (1678-1688), dan Kolamat Zainatudin Syah. Di wilayah Sulawesi Selatan terdapat Siti Aisyah We Tenriolle yang diangkat menjadi datuk (raja) pada tahun 1856 di Kerajaan Tanette. Di Maluku, khususnya di wilayah Pulau Saparua ada seorang wanita yang bernama Martha Christina Tiahahu dimana beliau ikut berjuang melawan Belanda. Akhir abad ke-19 di Jawa terdapat tokoh-tokoh wanita yang menentang pemerintah jajahan, yaitu Nyai Ageng Serang dan Ratnaningsih. Pada masa masuknya abad ke-20, kaum wanita mulai berjuang dalam hal meningkatkan kedudukan dan perannya dalam masyarakat seperti memperjuangkan emansipasi wanita (meningkatkan status dan peran dalam masyarakat termasuk bidang politik) (Notosusanto, N. & Poesponegoro, D., M. 2010).
Dari semua tokoh wanita,  menurut penulis wanita yang paling berpengaruh adalah Raden Ajeng Kartini dimana beliau memperjuangkan kedudukan wanita di dalam masyarakat seperti perkawinan, hidup keluarga, emansipasi. R. A. Kartini merupakan ibu dari Gerakan Wanita Indonesia. Salah satu bentuk perjuangannya adalah dengan membuat surat-surat yang dikirimkan kepada teman-temannya orang Belanda, yaitu Estella Zoehandelaar dan Ny. Ovink Westenek. Surat-surat yang dikirimkan menggambarkan perasaan beliau tentang rendahnya martabat wanita pada masa Kartini. Sehingga, surat-surat tersebut dikumpulkan menjadi satu buku yang diberi judul “Door Duisternis to Lich” atau yang biasa kita kenal dengan sebutan “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Kemudian, cita-cita Kartini mendapat perhatian dari perkumpulan yang didirikan oleh kaum wanita, seperti Putri Mardika (1912), Perkumpulan Keutamaan Istri (1913), Pawijatan Wanito (Magelang 1915), Wanito Susilo (Pemalang 1918), Wanito Hadi (Jepara 1915), dan lain-lain. Perkumpulan-perkumpulan di atas bisa dibilang sebagai Babak Pertama yang lebih menitikberatkan pada usaha perbaikan kedudukan wanita dalam kehidupan perkawinan dan keluarga, memperluas kepandaian istri, perbaikan pendidikan, dan mempertinggi kecakapan khusus wanita yang semuanya bersifat lamban, tidak agresif menentang agama (Islam), kaum laki-laki, dan pemerintah jajahan.
Adanya Kongres Perempuan Indonesia pertama pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta membuka Babak Kedua Gerakan Wanita. Kongres tersebut diselenggarakan oleh Wanito Utomo, Wanito Muljo, Puteri Indonesia, Wanito Katholik, Aisjah, Jong Java bagian wanita, Wanita Taman Siswa. Kongres tersebut mengambil keputusan untuk mendirikan perkumpulan wanita yang bernama “Perikatan Perempuan Indonesia (PPI)” dan diubah namanya pada tahun 1929 menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII).  Menurut A. K. Pringgodigdo (1960), penggantian nama dari PPI ke PPII adalah karena adanya penggabungan atau federasi dari organisasi-organisasi wanita yang banyak itu. Jadi, sudah jelas bahwa PPII terdiri dari campuran aliran gerakan-gerakan wanita, yang tentunya tidak dapat diharapkan bahwa perkumpulan ini akan melakukan tindakan-tindakan yang tegas radikal (Dekker, Nyoman. 1997).
Dalam Babak Ketiga ini, Gerakan Wanita Indonesia berusaha untuk meningkatkan martabat kaumnya dengan secara terang-terangan masuk ke dunia politik yang terlihat jelas dalam Kongres Perempuan Indonesia ketiga di Bandung tahun 1938 dimana membicarakan soal pilih-memilih badan-badan perwakilan dan tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai “Hari Ibu”. Pada babak ini muncul perkumpulan-perkumpulan seperti Putri Indonesia (Indonesia Muda bagian Wanita) tahun 1938, Istri Sedar tahun 1930 di Bandung, Putri Budi Sedjati tahun 1936 di Surabaya, dan Istri Indonesia tahun 1932. Dengan tumbuhnya perkumpulan-perkumpulan Wanita yang ada pada tiga babak tersebut menunjukkan bahwa wanita Indonesia telah menyadari kedudukannya dalam hal memajukan bangsa Indonesia (Panyarikan, S., K. 1993).
Memasuki abad ke-20 kaum perempuan mulai bergerak untuk meningkatkan kedudukan dan perannya dalam masyarakat. Mereka memperjuangkan emansipasi yaitu meningkatkan statusnya dan meraih peran-peran dalam masyarakat. Pada umumnya mereka ini adalah kaum perempuan dari kalangan atas (elite) yang pernah mengenyam pendidikan Barat. Mereka memperjuangkan kemajuan yang berarti menghapus segala hambatan agar mendapat kesempatan untuk mengembangkan bakat dan aspirasinya; diantaranya adalah mendapat pendidikan formal di sekolah-sekolah dan bekerja di luar rumah tangga. Hal ini berdasarkan anggapan bahwa cara hidup yang demikian akan lebih bermanfaat dan lebih sesuai dengan cita-cita peri kemanusiaan dan keadilan daripada menurut sistem feodal dan tradisional yang membatasi lingkungan hidup kaum perempuan
Sebelum masa kolonial, kaum perempuan Indonesia sudah tentu mendapat pendidikan secara tidak formal. Di bawah asuhan dan pengawasan orang tuanya, gadis-gadis di didik agar bisa menjadi ibu dan istri yang baik. Mereka umumnya menikah di usia yang sangat muda. Sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan hanya diperuntukkan bagi anak laki-laki. Keadaan berubah ketika datang kekuasaan kolonial Belanda. Politik etis yang diusulkan oleh J. Th van Deventer khususnya di bidang edukasi membawa pengaruh yang besar bagi pendidikan kaum perempuan. J.H Abendanon dan istrinya Rosa mendorong dibukanya kesempatan pendidikan untuk perempuan, namun pemerintah Hindia Belanda tidak memberi dukungan pada usulnya itu. Karena itu, dengan bantuan oleh beberapa temannya Abendanon dan istrinya membuka sekolah yang dinamakan Kartini pada tahun 1913. Sekolah ini lalu berkembang menyebar ke Jakarta (1913), Madiun (1914), Malang, Cirebon (1916), Pekalongan (1917), Indramayu, Surabaya, dan Rembang (1918), (Poesponegoro, 404:2010).
Memasuki tahun 1910-an semakin banyak perempuan Indonesia memasuki dunia pendidikan Barat dan menjadi anggota elite modern, jumlah mereka lebih kecil dibanding dengan jumlah seluruh populasi perempuan di Hindia Belanda. Namun peran mereka dalam usaha memajukan bangsa dan meningkatkan semangat kebangsaan khususnya di kalangan perempuan tidaklah kecil. Tahun 1904 anak gadis yang bersekolah di sekolah desa berjumlah 3.097 orang; tahun 1914 menjadi 19.455 dan terus meningkat pada tahun 1919 berjumlah 36.649. Selain sekolah Kartini, kita juga mengenal sekolah yang dibuka oleh Dewi Sartika di Jawa Barat, Rohana Kudus, dan Rahmah El Yunusiyah di Sumatera Barat, dan Maria Walanda Maramis di Sulawesi Utara.
Untuk para gadis dari kalangan bawah, pendidikan keterampilan sangat dibutuhkan agar dapat mencari nafkah tambahan untuk keluarganya. Akan tetapi, pendidikan juga diperlukan oleh semua perempuan sebagai bekal kehidupan sebagai istri dan seorang ibu. Pendidikan adalah kunci bagi kemajuan, membuka jalan untuk hidup lebih baik dan kesempatan melihat dunia yang lebih luas. Dorongan untuk memajukan pendidikan pendidikan bagi perempuan antara lain bertujuan untuk mencegah gadis-gadis mendapat pendidikan yang cukup, mereka akan menyadari tentang keadaan dan lingkungannya. Mereka mempunyai kemampuan untuk mandiri sehingga akan memungkinkan untuk mereka menentukan jalan hidupnya. Apakah akan menjadi ibu rumah tangga, meniti karir yang menjadi tujuan hidupnya, atau mencari nafkah bagi dirinya dan keluarganya. Memang terjadi perdebatan tentang asas minimal usia bagi seseorang untuk menikah, khususnya bagi seorang gadis. Pada masa itu, umumnya para gadis tidak diajak untuk berunding dalam menentukan nasibnya. Misalnya di kalangan kelas atau bangsawan, gadis yang mencapai usia akil balig akan dipingit atau dikurung di rumah. Dan mereka sudah biasa dinikahkan pada usia 12 atau 13 tahun.
Pada tahun 1914 diterbitkan laporan dari komisi Mindere Welvaart yang berisi antara lain pendapat dari beberapa tokoh perempuan tentang pernikahan di bawah umur. Mereka semua menolak perkawinan anak-anak yang masih dibawah umur dan mengusulkan pada pemerintah Hindia Belanda agar menghapuskannya. Salah satu organisasi perempuan yang gigih memperjuangkan penghapusan pernikahan usia bawah tahun adalah organisasi Istri Sedar. Dalam majalahnya berjudul sedar dikemukakan masalah-masalah pernikahan anak-anak dan bahwa perempuan memiliki hak untuk kebebasan atas tubuhnya. Tambahan lagi banyak bukti bahwa pernikahan anak-anak membawa akibat buruk bagi perempuan dan juga anak yang akan dilahirkannya itu sendiri. Selain perkawinan bawah umur, kaum perempuan juga menaruh perhatian untuk menghilangkan ketidakadilan yang dialami oleh kaum hawa, yaitu poligami, kawin paksa, dan perceraian. Persoalan-persoalan yang berhubungan dengan perkawinan dibahas dan dibicarakan dalam setiap Kongres Perempuan Indonesia (KPI) dan juga dalam organisasi-organisasi perempuan itu masing-masing. KPI sejak tahun 1928 dalam setiap pertemuannya selalu memasukkan masalah perkawinan dalam agendanya. Selain itu juga mengusulkan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mengeluarkan peraturan pernikahan, seperti menawarkan rancangan ordonansi pada tahu 1937. Rancangan ordonansi tersebut berisi bahwa mereka yang mencatat perkawinan mereka secara sukarela diberlakukan asas monogami. Tetapi beberapa organisasi KPI yang berdasarkan Islam menolaknya. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menarik rancangan undang-undang tersebut.
Organisasi perempuan di zaman pergerakan nasional berkembang sebelum tahun 1920. Salah satu faktor pendorong hal ini adalah pendidikan barat yang menghasilkan elite baru dalam masyarakat kolonial yang disebut elite modern. Gerakan kaum perempuan ini lebih menekankan pada perbaikan status sosial di dalam keluarga. Organisasi itu juga menekankan pada pentingnya pendidikan dan masih bersifat kedaerahan. Organisasi-organisasi perempuan yang muncul tersebut bertujuan untuk membantu bimbingan dan penerangan pada gadis bumiputera dalam menuntut pelajaran dan mengemukakan pendapat di muka umum, serta memperbaiki hidup perempuan sebagai manusia yang mulia. Para kaum elite modern perempuan inilah yang memiliki kesadaran akan situasi dan kondisi hidup dalam masyarakat yang terjajah, yang memiliki jiwa yang sama oleh kaum lelaki. Pendidikan barat seperti yang telah diterima oleh R.A Kartini, Dewi Sartika, Maria Walanda, Maramis, dan Rahma El Yunussiyah telah membantu kaum perempuan Indonesia untuk berusaha mendapatkan apa yang harus didapatkan oleh kaum perempuan berdasarkan persepsi mereka sendiri.
Pada awal abad ke-20 ini gerakan perempuan sering juga dianggap bentuk nasionalisme, padahal jika dilihat dari apa yang mereka lakukan lebih menekankan pada semangat emansipasi perempuan. Oleh karena gerakan ini didirikan oleh para perempuan muda yang telah mendapat pendidikan barat, maka gerakan-gerakan ini tumbuh dan berkembang di wilayah perkotaan yang telah mendapat pendidikan barat seperti jawa, Sumatra, dan di Sulawesi utara. Yang bias dianggap sebagai pelopor organisasi perempuan pertama adalah Putri Mahardika yang dibentuk di tahun 1912, di Jakarta atas bantuan Budi Utomo. Pembentukan organisasi ini memiliki tujuan memberi bantuan, bimbingan, dan penjelasan kepada para gadis pribumi dalam menuntut pelajaran. Melalui sebuah majalah yang mereka terbitkan yang juga bernama sama Poetri Mahardika dikemukakan hal-hal yang berguna bagi kaum perempuan untuk menghilangkan rasa rendah diri dan meningkatkan derajatnya. Disamping itu juga dibangkitkan kesadaran perempuan untuk berani bertindak di luar rumah dan menyatakan pendapat di muka umum. Organisasi ini memberikan beasiswa bagi para perempuan yang ingin maju dan juga menerima laki-laki (Pesponegoro, 412:2010). Ketuanya adalah R.A Theresia Sabarudin dan dibantu oleh Sadikun Tondokusumo, R.A Sutinah Joyopranoto, dan Rr. Rukmini. Walaupun organisasi ini singkat berdiri, tetapi memberi pengaruh besar kepada kaum perempuan pribumi yang berpendidikan.
Berikut adalah beberapa daftar tentang organisasi pergerakan perempuan yang muncul saat era pergerakan nasional di Indonesia.
1) Putri Mardika (1912)
Putri Mardika adalah organisasi perempuan tertua dan merupakan bagian dari Budi Utomo. Organisasi ini didirikan di Jakarta pada tahun 1912, yang bertujuan untuk memberikan bantuan, bimbingan dan penerangan kepada perempuan-perempuan pribumi dalam menuntut pelajaran dan dalam menyatakan pendapat di muka umum. Kegiatan di dalam organisasi ini antara lain memberikan beasiswa untuk menunjang pendidikan dan menerbitkan majalah perempuan bulanan Putri Mardika. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam organisasi ini adalah R.A Sabarudin, R.A Sutinah Joyopranoto, R.A Rukmini, dan Sadikun Tondokusumo.
2) Kartini Fonds (Dana Kartini)
Organisasi ini didirikan oleh Tuan dan Nyonya C. Th. Van Deventer, tokoh politik etis. Organisasi ini di dirikan untuk mengurusi pendidikan berbahasa belanda bagi kaum perempuan Jawa, dan kemudian pemerintah kolonial memberikan subsidi. Sekolah-sekolah Kartini yang didirikan oleh yayasan ini di jawa memainkan peranan-peranan penting pada masa-masa mendatang, dan Kartini di kenang sebagai tokoh emansipasi perempuan yang pertama dan tokoh kebangkitan nasional. Sekolah Kartini pertama didirikan di Semarang dan Jakarta pada tahun 1913. Sekolah ini mendidik gadis-gadis dalam berbagai pengetahuan dan keterampilan perempuan. Melalui sekolah-sekolah itu, kemudian muncul para kader yang membentuk perkumpulan perempuan-perempuan lainnya. Seperti di madiun tahun 1914, Malang dan Cirebon 1916, pekalongan 1917, dan di Surabaya, Indramayu, juga Rembang tahun 1918.
3) Kautamaan Istri
Sekolah Kautamaan Istri, yang sekarang menjadi Sekolah Dewi Sartika didirikan oleh Raden Dewi Sartika pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda. Tepatnya pada 16 Januari 1904, sekolah ini berdiri dengan nama “Sakola Istri”. Sebelum mendirikan sekolah, Raden Dewi memang sudah senang mengajar, meski tanpa dinaungi lembaga resmi berlabel sekolah. Kurikulum yang diberikan di sekolah pimpinan dewi sartika ini sama dengan kurikulum Sekolah Kelas Dua atau Tweede Klasse Indlandshe School dan sekitar tahun 1902, Dewi Sartika mulai mengajarkan keterampilan-keterampilan seperti merenda, memasak, menjahit juga membaca dan menulis kepada saudara-saudaranya. 
Sakola Istri akhirnya berdiri dengan 60 siswi yang berasal dari masyarakat kebanyakan. Pengajar sekolah ini adalah Dewi sartika sendiri, dibantu saudara misannya Nyi Poerwa dan Nyi Oewit. Semakin lama sekolah ini semakin berkembang. Murid semakin bertambah, pelajaran pun beragam, seperti membatik dan bahasa Belanda. Ruangan kelas pun tak lagi cukup, hingga sekolah ini dipindah ke Jalan Ciguriang-Kebon Cau (sekarang Jalan Kautamaan Istri) setahun setelah berdiri.
Tahun 1910 sekolah ini berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri. Diambil dari nama perkumpulan bentukan Residen Priangan yang mendukung pengembangan dan pembangunan sekolah perempuan bumi putera saat itu. Nama ini pula yang sekarang dipakai sebagai nama jalan tempat sekolah ini berada. Sekolah ini menyebar di berbagai kota dan kabupaten, antara lain Garut, Tasikmalaya, dan Purwakarta. Pada tahun 1912 tercatat bahwa sudah ada 9 sekolah yang serupa yang berarti 50% dari  jumlah seluruh sekolah di tanah sunda. 
4) Kerajinan Amal Setia (KAS)
KAS didirikan di Kota Gadang Sumatra Barat oleh Rohana Kudus tahun 1914. Tujuannya adalah untuk meningkatkan derajat kaum perempuan dengan mengajarkan baca tulis huruf Arab dan lati, mengatur rumah tangga, membuat kerajinan tangan, bahkan mengatur pemasarannya. Untuk itu KAS mendirikan sekolah perempuan pertama untuk anak perempuan di Sumatera.  Dari sekolah ini juga banyak muncul kader-kader perempuan yang bersama Rohana Kudus memberikan berbagai kursus yang memberikan pengetahuan umum dan keteramplan kepada para wnita yang sudah bersuami. Dari organisasi ini terbentuk pula surat kabar yang dinamakan Sunting Melayu dan Tjahaya Sumatera yang berisikan gagasan-gagasan pembentukan perkumpulan untuk mencapai kemajuan bagi perempuan.
5) Aisyiah (1917)
Aisyiah didirikan pada 22 April 1917 dan merupakan bagian dari Muhammadiyah. Pendirinya adalah H. Siti Walidah Ahmad Dahlan. Kegiatan utamanya adalah memajukan pendidikan dan keagamaan bagi kaum perempuan, memelihara anak yatim, dan menanamkan rasa kebangsaan lewat kegiatan organisasi agar kaum perempuan dapat mengambil peranan aktif dalam pergerakan nasional.
6) Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT)
PIKAT didirikan pada bulan Juli 1917 oleh Maria Walanda Maramis di Menado, Sulawesi Utara. Perkumpulan ini berdiri atas prakarsa dan usaha keras dari Maria dan beberapa nyonya yang memperhatikan pekembangan anak usia sekolah. Tujuannya adalah memajukan pendidikan kaum perempuan dengan cara mendirikan sekolah-sekolah rumah tangga (1918) sebagai calon pendidik anak-anak perempuan yang telah tamat Sekolah Rakyat. Di dalamnya diajari cara-cara mengatur rumah tangga yang baik, keterampilan, dan menanamkan rasa kebangsaan. Gagsan Maria di sebar luaskan melalui surat kabar Tjahaya Siang yang mempunyai oplaag besar di daerah Minahasa.
7). Persatuan Tarbiyah Islamiyah
            Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) adalah nama sebuah organisasi massa Islam nasional yang berbasis di Sumatera Barat, bagian perempuannya bernama Perempuan PERTI. Organisasi ini didirikan pada 20 Mei 1930 di Sumatera Barat, dan berakar dari para ulama Ahlussunnah wal jamaah. Kemudian organisasi ini meluas ke daerah-daerah lain di Sumatera, dan juga mencapai Kalimantan dan Sulawesi. Perti ikut berjuang di kancah politik dengan bergabung ke dalam GAPI dalam aksi Indonesia Berparlemen, serta turut memberikan konsepsi kenegaraan kepada Komisi Visman (Depdikbud, 1992).

KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa Gerakan Perempuan sangat berpengaruh dalam memajukan martabat kaum perempuan yang juga berdampak langsung terhadap pergerakan nasional di Indonesia dimana kedudukan, harkat, dan martabat perempuan bisa lebih dihargai dan dinilai. Dalam artian, kaum perempuan tidak dipandang sebelah mata lagi dimana hanya kaum laki-laki yang berhak mendapatkan kedudukan padahal kaum perempuan juga bisa diandalkan hingga bisa berkedudukan di bidang politik. Jadi, dapat disimpulkan juga bahwa perjuangan kaum perempuan dalam menjunjung emansipasi berhasil dan dampaknya di zaman sekarang sudah ada dimana kaum laki-laki dan kaum perempuan sama atau sederajat dalam hal kedudukan dan kita tidak boleh lupa bahwa meskipun derajat atau kedudukan antara kaum laki-laki dan perempuan sama, tetapi sesuai kodrat alam kaum laki-laki dan kaum perempuan berbeda.

DAFTAR RUJUKAN
Depdikbud. 1992. Peranan Perempuan Indonesia Dalam Masa Pergerakan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Notosusanto, N. & Poesponegoro, D., M. 2010. Sejarah Nasional Indonesia V : Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka.
Panyarikan, S., K. 1993. Sejarah Indonesia Baru dari Pergerakan Nasional sampai Dekrit Presiden. Malang: IKIP MALANG.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Penerbit Serambi.
Sagimun MD. 1989. Peran Pemuda dari Sumpah Pemuda sampai dengan Proklamasi. Jakarta: PT MELTON PUTRA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH MASUKNYA AGAMA KONGHUCU DI INDONESIA

Kamu yang Kusayang

MENGINAP SAMBIL MENGENANG MASA LALU: FENDI’S GUEST HOUSE MALANG