KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DISKRIMINASI MASYRAKAT DI AUSTRALIA (1851-1967)
KEBIJAKAN PEMERINTAH
TERHADAP DISKRIMINASI MASYRAKAT DI AUSTRALIA (1851-1967)
MAKALAH
UNTUK
MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah
Australia
yang
dibina oleh Bapak Najib Jauhari, S.Pd., M.Hum
Disusun
Oleh :
Yuliarti
Kurnia Pramai Selli
(140731606196)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
PRODI S1 PENDIDIKAN
SEJARAH
November 2016
KATA
PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan
tugas matakuliah Sejarah Australia dengan makalah yang berjudul “Kebijakan Pemerintah terhadap Diskriminasi
Masyarakat di Australia (1851-1967)”.
Penulis
mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Kepada Bapak Najib Jauhari, S.Pd., M.Hum selaku
pembimbing yang senantiasa memberikan pengarahan kepada penulis dalam
penyelesaian tugas makalah ini. Tidak lupa kepada teman-teman yang telah
memberikan informasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah yang
dibuat masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat berguna
bagi penulis untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat dan
menambah pengetahuan tentang Sejarah Australia.
Malang,
November 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ............................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
C. Tujuan
Penulisan ............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Proses pelaksanaan
kebijakan White Australia Policy di
Australia (1851-1973) 2
B. Proses
pelaksanaan kebijakan Asimilasi “Half-Castle”
di Australia (1937-1967) 3
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan ................................................................................................... .
5
B.
Saran .............................................................................................................. .
5
DAFTAR RUJUKAN ...................................................................................... .
5
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Australia adalah
salah satu benua yang penduduknya berasal dari dua kebudayaan, yaitu kebudayaan
asli dari suku Aborigin dan kebudayaan Eropa. Tetapi dalam perjalanannya, suku
Aborigin oleh pemerintah sendiri dijadikan nomor kedua setelah orang-orang
Eropa dalam berbagai aspek, salah satunya adanya asimilasi anak suku Aborigin
dan hal tersebut merupakan diskriminasi sosial di dalam negeri tersebut.
Kebijakan tersebut bernama “Half-Caste”
yang nantinya kebijakan tersebut dihapus pada tahun 1967. Diskriminasi tersebut
berlanjut juga kepada orang-orang non-Eropa yang ingin bertempat tinggal di
Australia tetapi hal tersebut kemudian dibatasi oleh pemerintah Australia
dengan tujuan untuk melindungi orang Eropa dari para imigran tersebut. Walaupun
nantinya kedua kebijakan tersebut dihapus, tetapi sampai saat ini dampak dari
adanya kebijakan tersebut masih dirasakan oleh masyarakat baik dari suku
Aborigin maupun masyarakat imigran (orang-orang non-Eropa). Dalam makalah ini,
penulis akan membahas bagaimana awal, proses, akhir, dan dampak dari kebijakan
tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
proses pelaksanaan kebijakan White
Australia Policy di Australia (1851-1973) ?
2. Bagaimana
proses pelaksanaan kebijakan Asimilasi “Half-Castle”
di Australia (1937-1967) ?
C.
Tujuan
Masalah
1. Untuk
mengetahui dan memahami proses pelaksanaan kebijakan White Australia Policy di Australia (1851-1973).
2. Untuk
mengetahui dan memahami proses pelaksanaan kebijakan Asimilasi “Half-Castle” di Australia (1937-1967).
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Proses
Pelaksanaan Kebijakan White Australia
Policy di Australia (1851-1973)
White Australia Policy
adalah suatu kebijakan pemerintah dalam menyikapi besarnya imigran yang masuk
ke wilayah Australia dengan cara melakukan pembatasan terhadap imigran yang
masuk ke Australia terutama imigran-imigran kulit berwarna. Pada awalnya,
kebijakan tersebut ditujukan kepada imigran-imigran dari Cina yang jumlahnya
besar. Tetapi, seiring berjalannya waktu, kebijakan tersebut berlaku untuk
seluruh ras kulit berwarna karena ras kulit putih di Australia lebih
dipriotaskan atau dianggap superior daripada ras kulit lainnya baik suku
Aborigin maupun ras kulit berwarna. Alasan diberlakukannya kebijakan tersebut
didasarkan pada pemerintah Australia yang mayoritas berasal dari Inggris ingin
membentuk sebuah negara yang penduduknya utuh dari ras kulit putih (orang
Eropa) dan kebijakan tersebut mengindikasikan ada rasa ketakutan terhadap
bangsa Asia yang jumlahnya terus menerus meningkat sehingga terdapat
kemungkinan besar di masa mendatang penduduk kulit putih akan menjadi
minoritas.
Dalam kebijakan
ini, ada instrumen yang bernama “Dictation
Test” yang wajib dilalui para imigran yang tes tersebut berupa tes tulis
dan wawancara dalam mengetes kemampuan para imigran terhadap kemampuan bahasa
mereka di salah satu negara Eropa. Dari penjelasan tersebut, sudah diketahui
bahwa pemerintah Australia secara langsung menghendaki orang-orang yang berasal
dari Eropa untuk masuk ke wilayah mereka dan otomatis mengeliminasi orang-orang
non-Eropa. Hal tersebut sudah dijelaskan di atas karena dimaksudkan agar
keturunan Eropa bisa tetap berkembang di wilayah Australia tanpa dirusak oleh
pertumbuhan ras non-Eropa. Selain itu, imigran kulit berwarna akan menyebabkan
kurangnya lapangan pekerjaan buruh bagi masyarakat kulit putih sehingga
kebijakan tersebut menjadi sebuah ideologi yang rasis. Pelaksanaan kebijakan
ini pada masa yang dikenal dengan “Gold
Rush” atau demam emas dimana ditemukan banyak emas di Australia pada tahun
1851 dan hal tersebut mengundang banyak imigran baik dari Eropa maupun
non-Eropa seperti Asia berpindah ke Australia. Persebaran berita tentang demam
emas membuat jumlah pendatang banyak, yaitu Asia (pada abad ke-19 yang bekerja
di perkebunan dan peternakan) dan terutama Cina secara besar-besaran. Pada
tahun 1973, kebijakan White Australia
Policy dihapuskan karena banyak imigran yang masuk ke negara ini sehingga
kebijakan tersebut tidak lagi dianggap sesuai dengan situasi dan kondisi yang
ada sehingga kebijakan ini nantinya diganti dengan kebijakan Multikulturalisme (Poetri, 2013: 10-11,
(Online)).
B.
Proses
Pelaksanaan Kebijakan Asimilasi “Half-Castle”
di Australia (1937-1967)
Asimilasi
merupakan suatu proses sosial yang terjadi apabila terdapat golongan-golongan
manusia dengan latar kebudayaan yang berbeda berinteraksi secara intensif dalam
waktu yang sangat lama sehingga golongan-golongan tersebut masing-masing
berubah sifat khasnya dan unsur-unsur budayanya berubah menjadi unsur
kebudayaan campuran (Koentjaraningrat, 1990: 225). Kebijakan ini tidak lepas
dari dampak adanya kebijakan White
Australia Policy yang lebih mengunggulkan ras kulit putih. Istilah Half-Caste awalnya digunakan dalam
silsilah Kekaisaran Romawi kepada rakyatnya yang setengah murni. Tetapi pada
perkembangannya, istilah tersebut ditujukan untuk semua keturunan ras campuran.
Di Australia, penggunaan istilah ini ditujukan untuk anak-anak Aborigin yang
memiliki orang tua kulit putih dan Aborigin (entah dari pihak laki-laki maupun
pihak perempuan). Permasalahan Aborigin Half-Caste
di Northern Territory mendapatkan perhatian lebih besar daripada negara-negara
bagian Australia lainnya karena jumlah orang kulit pada masa itu masih sedikit
sehingga menjadi suatu ancaman bagi ras kulit putih di masa depan nantinya. Persoalan
yang berkaitan dengan Aborigin khususnya Northern Territory akhirnya mulai dibahas
pertama kali pada tingkatan nasional pada tahun 1937 di Australia dengan hasil
melakukan asimilasi berbasis Half-Caste
terhadap suku Aborigin ke dalam masyarakat kulit putih. Tetapi, pada akhirnya
asimilasi tersebut membutuhkan pengawasan ketat atas kehidupan orang-orang
Aborigin dan ada suatu gagasan tersembunyi di antara orang-orang kulit putih
yang menganggap bahwa kebudayaan suku Aborigin tidak memiliki nilai sehingga
tidak perlu dipertahankan lagi keberadaannya (HREOC, Opt. Cit, hlm. 120). Pada
awalnya asimilasi dilakukan melalui unsur biologi dan pendidikan tetapi hal
tersebut tidak bertahan lama dimana pada tahun 1939, John Mcewen dengan
kebijakannya yang dikenal dengan “New
Deal” sehingga asimilasi ini kemudian digantikan dalam hal ekonomi dan
sosial. Tetapi kebijakan Mcewen terkendala dengan adanya Perang Dunia II dimana
Jepang melakukan pengeboman di Darwin pada tahun 1942 yang menyebabkan
terjadinya evakuasi anak-anak Aborigin Half-Caste
dari tempat penampungan milik misionaris dan reservasi ke rumah penampungan dan
lembaga-lembaga sosial di South Australia, New South Wales dan Victoria.
Setelah perang, pemindahan anak-anak Aborigin secara paksa tetap berlanjut.
Cara lain pemerintahan dalam memindahkan anak-anak Aborigin Half-Caste dari keluarganya adalah
dengan cara mengadopsi anak tersebut. Selain itu, anak-anak Aborigin yang
diambil dari keluarganya umumnya langsung ditempatkan di rumah-rumah
penampungan milik pemerintah maupun misi-misi Kristen. Anak-anak yang
meninggalkan pekerjaan atau rumah penampungannya akan dianggap bersalah dan
dapat diadili di pengadilan anak-anak.
Pasca Perang Dunia
II Northern Territory dan negara-negara bagian memberikan kewarganegaraan
Australia kepada orang-orang Aborigin untuk mempermudah proses penyerapan
orang-orang Aborigin ke dalam ras kulit putih. Pada tahun 1953 dikenalkannya
suatu gerakan asimilasi terhadap anak-anak Aborigin melalui hukum umum
kesejahteraan anak, yaitu “Welfare
Odinance”. Pada tahun 1960-an kebijakan asimilasi tidak berjalan
sebagaimana yang diinginkan pemerintah karena masih banyaknya orang-orang
Aborigin yang menolak untuk berasimilasi. Selain itu juga, asimilasi tidak
berjalan lancar karena adanya tekanan dari dunia internasional baik dari PBB
maupun masyarakat internasional dimana Majelis Umum PBB melakukan resolusi pada
tanggal 11 Desember 1946 dan
diratifikasi oleh Australia pada tahun 1949. Kemudian dilanjutkan oleh PBB
melalui Deklarasi Universal (Universal
Declaration). Adanya tekanan dari masyarakat internasional dibuktikan
dengan adanya pers yang melaporkan tentang adanya diskriminasi terhadap
orang-orang Aborigin. Dengan adanya tekanan tersebut, maka kebijakan asimilasi Half-Caste dihapuskan pada tahun 1967.
Dampak dari adanya kebijakan asimilasi ini adalah pemerintah Australia membuat
perundang-undangan terhadap orang-orang Aborigin salah satunya adalah
pembentukan Commonwealth Department of
Aboriginal Affairs, masyarakat Aborigin kehilangan hak atas tanahnya,
kehilangan identitas sukunya, kesulitan mendapat peran dalam komunitas Aborigin
(dampak paling signifikan), lunturnya bahasa tradisional Aborigin, munculnya
istilah “The Stolen Generations”
(Generasi yang dicuri) (Fitriani, Amalia, 2010: 32-75).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan asimilasi di Australia bisa
dibilang sangat fatal karena dampaknya sampai sekarang masih terasa baik di
dalam negara Australia sendiri maupun dunia internasional, yaitu masih
dirasakan adanya diskriminasi sosial walaupun tidak sejelas dan seekstrim
sebelumnya. Secara langsung, kebijakan asimilasi ini merugikan masyarakat
maupun pemerintah Australia.
B.
Saran
Semoga makalah ini berguna
untuk kedepannya dan penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran agar
nantinya dalam pembuatan makalah selanjutnya terjadi kemajuan yang berarti.
Terima kasih.
DAFTAR
RUJUKAN
Poetri,
Sandy, T.R. 2013. Diskriminasi Imigran Kulit Putih Berwarna dalam Masa
Kebijakan Multikulturalisme Pasca Penghapusan White Australia Policy. Jurnal Kajian Sastra dan Budaya,
(Online), 1 (2): 8-16, (journal.unair.ac.id/download-fullpapers-mksb2d09a0224ffull.pdf),
diakses tanggal 18 November 2016.
Koentjaraningrat.
1990. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Fitriani,
Amalia. 2010. Penerapan Kebijakan
Asimilasi terhadap Anak-Anak Aborigin “Half-Caste” di Australia (1937-1967). Skripsi tidak
diterbitkan. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Komentar
Posting Komentar