LINGKUNGAN ALAM DAN KEHIDUPAN MANUSIA PADA MASA PRASEJARAH DI KAWASAN GUNUNG SEWU

LINGKUNGAN ALAM DAN KEHIDUPAN MANUSIA PADA MASA PRASEJARAH DI KAWASAN GUNUNG SEWU

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Prasejarah Indonesia
yang dibina oleh Bapak Drs. Slamet Sujud Purnawan Jati, M.Hum

Disusun Oleh :
Yongky Choirudin                  (140731605864)
Yuliarti Kurnia Pramai Selli   (140731606196)
Zafriadi                                   (140731600044)


UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
PRODI PENDIDIKAN SEJARAH
Oktober 2014


KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan tugas matakuliah Dasar-Dasar Arkeologi dengan makalah yang berjudul “Lingkungan Alam dan Kehidupan Manusia pada Masa Prasejarah di Kawasan Gunung Sewu”.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Kepada Bapak Drs. Slamet Sujud Purnawan Jati, M.Hum selaku pembimbing, yang senantiasa memberikan pengarahan kepada penulis dalam penyelesaian tugas makalah ini. Tidak lupa kepada teman-teman yang telah memberikan informasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah yang dibuat masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat berguna bagi penulis untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini berguna untuk menambah pengetahuan tentang Prasejarah Gunung Sewu.
Malang, Oktober 2014

Penulis


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang ...............................................................................................
1.2  Rumusan Masalah ..........................................................................................
1.3  Tujuan ............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Sejarah dan Lingkungan Alam Gunung Sewu .....................
2.2 Menjelang Akhir Plestosen ............................................................................
2.2.1 Hunian Gua dan Ceruk : Trend Baru di Akhir Plestosen ................
2.2.2 Song Keplek, Hunian Akhir Plestosen – Holosen ..........................
2.2.3 Gua Braholo, Hunian yang Ideal di Bagian Barat Gunung Sewu ...
2.3 Manusia dan Kronologi Hunian Gunung Sewu .............................................
2.3.1 Manusia Prasejarah Gunung Sewu .................................................
2.3.2 Kronologi Hunian di Gunung Sewu ...............................................
2.3.3 Gunung Sewu : Eksploitasi Sejak Masa Silam (Kesimpulan) ........
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................
3.2 Saran ..............................................................................................................
DAFTAR RUJUKAN ..........................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gunung Sewu, bagian dari Pegunungan Selatan Jawa merupakan salah satu daerah terpenting untuk penelitian prasejarah. Manusia prasejarah telah mendiami daerah ini sejak masa purba dan berlangsung dalam jangka waktu yang sangat panjang – ratusan ribu tahun – hingga akhir masa prasejarah.
Manusia mengeksploitasi berbagai sumber daya alam yang tersedia di lingkungan daerah ini dan mengembangkan berbagai teknologi untuk pembuatan alat. Terdapat suatu evolusi yang sangat progresif dari cara-cara yang paling sederhana di masa lalu sampai dengan yang lebih kompleks hingga mendekati periode sejarah.
Perkembangan budaya ini telah bermula pada masa paleolitik dan berlanjut pada preneolitik, neolitik hingga paleometalik. Sisa-sisa pemukiman tersebar secara luas dalam bentuk situs dan kandungan artefak maupun ekofaknya.
Makalah ini menyajikan sebuah sintesa hasil-hasil penelitian multidisipliner di Gunung Sewu. Disusun dalam format yang mudah dicerna, makalah ini terdiri dari kumpulan artikel pendek yang mendiskusikan berbagai topik dan dilengkapi dengan ilustrasi yang menarik. Tema utama menyangkut manusia, kebudayaan, dan lingkungannya.  
Makalah ini menyajikan pandangan komprehensif tentang prasejarah Gunung Sewu secara diakronik. Bagi pembaca yang membaca makalah ini dari awal akan segera mengenali sejarah okupasi daerah ini dari periode yang paling awal hingga akhir masa prasejarah.
Oleh karena itu, makalah ini memberikan pandangan-pandangan baru bagi suatu pemahaman yang lebih baik tentang prasejarah Gunung Sewu secara khusus dan prasejarah Indonesia secara umum.

1.2  Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah :
1.      Apa latar belakang dari sejarah dan lingkungan alam Gunung Sewu ?
2.      Bagaimana kehidupan manusia prasejarah pada masa menjelang akhir plestosen di Gunung Sewu?
3.      Bagaimana manusia dan kronologi hunian Gunung Sewu ?

1.3  Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.      Mengetahui latar belakang dari sejarah dan lingkungan alam Gunung Sewu.
2.      Dapat mendeskripsikan kehidupan manusia prasejarah pada masa menjelang akhir plestosen di Gunung Sewu.
3.      Dapat menjelaskan manusia dan kronologi hunian Gunung Sewu.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang Sejarah dan Lingkungan Alam Gunung Sewu
Gunung Sewu sebagai bagian dari Pegunungan Selatan Jawa terletak antara Teluk Pacitan di sebelah timur dan Kali Oyo di sebelah barat. Gunung Sewu adalah tempat ideal bagi hunian masa lalu, bukit-bukitnya sangat sering didatangi oleh manusia prasejarah.
Alat-alat bifasial, kapak, dan aneka ragam alat padat merupakan karya dan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh Homo erectus, sebagai pembawa keterampilan teknis dan kebudayaan Acheulean (sekuen kebudayaan Paleolitik Bawah yang dicirikan oleh perkakas kapak genggam dan kapak pembelah). Benda-benda padat Acheulean yang juga ditemukan orang di Eropa, Afrika, negara-negara Iran-Irak, India, Nepal dan Cina lalu Indonesia menunjukkan bukti kedatangan Homo erectus. Dan justru di alur Kali Baksoka, yang terletak tidak jauh dari kota Pacitan inilah perkakas Acheulean ini ditemukan. Situs ini kemudian dikenal dengan nama kebudayaan Pacitanian.
Di wilayah Gunung Sewu telah ditemukan 135 situs prasejarah. Situs-situs tersebut menampakkan corak budaya dari paleolitik, mesolitik (preneolitik), neolitik, dan paleometalik. Hal ini menunjukkan daerah sekitar Gunung Sewu telah di huni dalam jangka waktu yang panjang. Diyakini Homo erectus adalah pencipta budaya Pacitanian.
1.      Masa Paleolitik
Awal kehidupan paleolitik di sekitar Gunung Sewu belum diketahui secara pasti. Sebagian peneliti memperkirakan pada Plestosen Tengah dan ada juga yang mengatakan menjelang akhir Plestosen, sekitar 50.000 tahun yang lalu (Heekeren, 1972; Bartstra, 1985). Masa ini ditandai dengan kehidupan yang berkisar di sepanjang aliran sungai. Peralatan yang digunakan terbuat dari batu dan alat-alat serpih berukuran besar.
2.      Masa Mesolitik (Preneolitik)
Berlangsung sekitar 40.000-2.000 tahun yang lalu. Pada masa ini terjadi perubahan dari pengembaraan ke hunian gua dan ceruk. Alat dari batu dan serpih masih digunakan, namun terdapat juga alat dari tulang, cangkang kerang, dan tanduk rusa. Sistem penguburan sudah ada pada masa ini.
3.      Masa Neolitik
Berlangsung sekitar 1.000 tahun yang lalu. Kehidupan beralih pada dataran dan lereng perbukitan. Pada masa ini muncul dan berkembangnya gerabah dan beliung batu.
4.      Masa Paleometalik
Berlangsung sekitar 700 tahun yang lalu. Lahan terbuka masih digunakan sebagai pusat kegiatan. Hal yang paling menonjol adalah munculnya alat dan senjata logam, khususnya besi dan manik-manik. Di Indonesia, kebudayaan Paleolitikum banyak ditemukan di Desa Ngandong dan Pacitan, Jawa Timur. Para ahli purbakala pun sepakat membaginya ke dalam kebudayaan Ngandong dan Pacitan. Pada awalnya, mayoritas kapak genggam ditemukan di permukaan bumi sehingga tidak diketahui pasti berasal dari lapisan tanah yang mana. Namun hasil penelitian pada 1990-2000 di Pegunungan Seribu atau Sewu dengan cara penggalian atau ekskavasi yang dilakukan oleh tim Indonesia-Prancis memastikan bahwa kapak genggam digunakan oleh manusia jenis Homo erectus.
Daerah penemuan kapak genggam selain di Punung (Pacitan) Jawa Timur juga ditemukan di daerah Jampang Kulon, Parigi (Jawa Timur), Tambang Sawah, Lahat, dan Kal ianda (Sumatra), Awangbangkal (Kalimantan), Cabenge (Sulawesi), Sembiran dan Terunyan (Bali).
(Sumber : http://www.wacananusantara.org/kapak-genggam/)
Kawasan Karst Gunung Sewu mempunyai bentang alam yang sangat khas, dengan luas area kurang lebih 1.730 km2 berupa puluhan ribu bukit batu gamping dengan ketinggian antara 20-50 meter yang membujur dari bagian Selatan Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Gunungkidul), Jawa Tengah dan Jawa Timur. Fenomena permukaan meliputi bentukan positif, seperti perbukitan karst yang jumlahnya kurang lebih 40.000 bukit yang berbentuk kerucut. Puncak kerucut bisa membulat (Sinusoida) atau lancip (Karst Connical). Lekuk-lekuk di antara perbukitan batu gamping membentuk dolina, baik terbuka maupun tertutup.
Sungai yang mengalir di permukaan Kawasan Karst sangat jarang. Begitu hujan air akan masuk ke lubang (sink) atau gua, sungai permukaan segera berubah menjadi sungai bawah tanah. Di bawah permukaan Karst air mengalir di sepanjang lorong gua membentuk jaringan sistem tata air tanah yang lebih rumit.
Keberadaan sungai bawah tanah dapat dicirikan melalui lubang-lubang tegak hasil peruntuhan sering disebut dengan istilah Luweng di daerah Gunung Sewu (Hanang Samodra, 2001:46).

2.2 Kehidupan Manusia Prasejarah pada Masa Menjelang Akhir Plestosen di Gunung Sewu
2.2.1 Hunian Gua dan Ceruk :Trend Baru pada Akhir Plestosen
Rentang waktu menjelang berakhirnya masalah plestosen (Late pleistosen)  sekitar 40.000 tahun hingga 12.000 tahun yang lalu, merupakan periode yang sangat penting dalam evolusi manusia dan budaya. Suatu fenomena baru memasuki periode baru di wilayah Gunung Sewu. Pusat aktivitas yang sebelumnya berorientasi di wilayah dekat sungai, kini mereka mulai menetap di dalam gua.
Kronologi pertengahan radio karbon yang diperoleh dari Song Keplek menunjukkan bahwa gua ini telah dihuni sejak 24.0000 hingga 800 tahun yang lalu. Eksploitasi gua dan ceruk menjadi salah satu trend yang telah terlihat dalam periode ini, tidak merata di Gunung Sewu, tetapi merata di seluruh Asia Tenggara.
Beberapa temuan yang didapatkan di gua-gua itu merupakan hasil dari daerah pantai, bukan dari daerah pedalaman, seperti peralatan dan perhiasan dari cangkang kerang laut dan juga adanya temuan hasil eksploitasi daerah pantai di situs-situs pedalaman tetapi belum diketahui bagaimana temuan itu dapat sampai di pedalaman. Dari hasil barter antara komunitas pantai dan pedalaman, atau hasil eksploitasi komunitas pedalaman di daerah pantai. Dengan terungkapnya bagaimana hubungan itu terjadi maka data tersebut berguna untuk memahami proses penghunian dan migrasi manusia purba di Jawa dan Indonesia (Tanudirjo dkk,2003:1–2). (Sumber : http://balarmedan.wordpress.com/2008/06/18/tipe-hunian-gua-dan-ceruk-arkeologis-masa-prasejarah-di-kecamatan-tanjungsari-gunungkidul-sebuah-analisis-pendahuluan/)
Sejauh ini belum ditemukan sisa manusia dalam kala plestosen. Kemungkinan sudah mengenal penguburan di dalam gua ataupun di dalam gua. Di bidang teknologi kegiatan yang menonjol adalah pembuatan alat-alat dari batu, yang alat pembuatannya umumnya dibuat dari batuan rijang.
Dibanding dengan hunian kala holosen, teknologi litik belum begitu berkembang pada zaman ini. Secara garis besar, artefak litik terdiri atas tiga kelompok, yaitu kelompok alat serpih, serpih-serpih buangan, dan kelompok alat-alat kasar. Ciri dari alat ini adanya penerusan intensif yang dapat mengubah bentuk atau menciptakan tajaman hingga membentuk kelompok tersendiri dengan karakter yang khas.
Selain alat-alat litik manusia penghuni gua sudah dimulai membuat peralatan dari tulang-tulang tulang binatang, walaupun belum seintensif pada kala masa holosen. Keberadaan sisa fauna sekaligus juga menggambarkan lingkungan di kala itu. Pada Akhir Plestosen fauna besar lebih menonjol, seperti Bovidae, Cervidae, Elephantidae, Rhinocerintidae.
Besar kemungkinan penghuni telah mengubur si mati di dalam gua itu sendiri. Dugaan itu didasarkan pada penemuan-penemuan di gua lain di Asia Tenggara antara lain di Gua Niah, Sarawak dan di Gua Tabon. Alat serpih yang ditemukan di Gua Tabon (Palawan) dan Gua Niah (Serawak) diperkirakan berlangsung sekitar 30-40 ribu tahun lalu, yakni pada tingkat akhir Plestosen. (http://www.wacananusantara.org/alat-serpih/)

2.2.2 Song Keplek, Hunian Akhir Plestosen – Holosen
Song Keplek merupakan salah satu gua terpenting dari sekitar 70 gua di Gunung Sewu, yang terletak di desa Pagersari, Punung. Song Keplek merupakan nama lokal (Song merupakan ceruk atau gua yang memiliki dua pintu tembus, biasanya pada bagian depan dan belakang, sedangkan Keplek merupakan sejenis permainan judi yang menggunakan kartu).
Lapisan 1 atau lapisan yang paling atas merupakan neolitik bercampur dengan unsur-unsur budaya resen. Lapisan 2 s/d 4 yang merupakan preneolitik Holosen yang khas dan lebih tepat disebut ‘Lapisan Keplek’. Lapisan Keplek agaknya indentik dengan budaya “INDUSTRI TULANG  SAMPUNG”, terminologi yang diajukan oleh Van Heckeren (1972), berdasarkan penemuan pertama di Goa Lawa, Sempung dekat Ponorogo.
Lapisan Keplek memiliki ciri-ciri yang khas, antara lain tinggalan, yang sangat beragam, khususnya sisa fauna, industri tulang dan industri litik. Sisa industri tulang tidak sepadat indusri litik namun keberadaanya arti kultural tersendiri mengingat kekhasannya tidak ditemukan di daerah lain.

2.2.3 Gua Braholo, Hunian Ideal di Bagian Barat Gunung Sewu
Di antara belasan gua di bagian barat Gunung Sewu, Gua Braholo menjadi pilihan utama untuk di teliti secara intensif, berdasarkan hasil pengujian terhadap beberapa variabel hunian gua. Dari sudut keruangan, Gua Braholo sangat ideal untuk hunian dengan segala kondisi yang dimilikinya.
Tinggalan budaya yang sangat padat terdapat pada lapisan-lapisan berumur Holosen atau yang lebih dikenal dengan sebutan lapisan budaya preneolitik. Industri litik memiliki bahan yang sangat bervariasi, tetapi miskin dalam tipologi.
Alat-alat tulang dapat diklasifikasikan menjadi lancipan, spatula, dan jarum. Alat-alat dari cangkang kerang terdiri dari serut dan lancipan dan dibuat dari serpihan hasil pemecahan.

2.3 Manusia dan Kronologi Hunian Gunung Sewu
2.3.1        Manusia Prasejarah Gunung Sewu
1.      Manusia Song Keplek
Bukti-bukti pertama sisa manusia di kawasan Gunung Sewu ditemukan pada tahun 1992 di Song Keplek (Punung, Pacitan) :
a.       Individu ke 1
Sisa yang ditemukan terbatas pada bagian belakang calva (parietal kanan, temporal kanan, dan bagian kanan occipital), bagian kiri temporal, fragmen rahang atas dari bagian kiri arcus alveolaris dengan beberapa gigi-geliginya.
b.      Individu ke 2
Sisa individu ini terdiri atas fragmen temporal kiri yang meliputi processus mastoideus, fossa mandibularis, eminentia arcuata, dan tegmen tympani.
c.       Individu ke 3
Individu ini diwakili oleh sebuah calva yang terdiri atas parietal kanan dan kiri, serta bagian kanan occipital yang mencakup pula bagian planum occipitalis dan planum nuchalis.
d.      Individu ke 4
Individu ini tergolong lengkap, ditemukan pada kotak LU2 dalam konteks serpih-serpih dan sisa fauna. Dilihat dari kecilnya, ukuran processus mastoideus, bentuk orbit mata, dan relatif tajamnya margo supra-orbitalis, maka individu ini tergolong perempuan.
e.       Individu ke 5
Sebuah rangka manusia yang terkonservasi sangat bagus merupakan individu V yang ditemukan pada Situs Song Keplek, dari kotak H9 - I9. Aspek muka individu ini terkesan jauh lebih datar dan rata. Aspek infra-tengkorak tidak kalah lengkapnya dengan aspek tengkorak, masing-masing komponen masih berada pada posisi anatomisnya. Eksplorasi aspek-aspek budaya dan biologisnya tidak hanya berguna untuk mengetahui “osteobiografi” rangka tersebut, namun juga untuk meningkatkan pemahaman kita tentang kondisi kehidupan selama pertengahan Holosen di Jawa, pasa masa awal penghunian penutur bahasa Austronesia di pulau tersebut.(Sumber : http://arkeologika.wordpress.com/)
2.      Manusia Gua Braholo
Sisa manusia yang ditemukan dari Gua Braholo berasal dari 8 individu : sebagian menunjukkan penguburan primer dengan bagian tubuh yang tergolong lengkap dan dalam susunan anatomis, sebagian lainnya merupakan sisa penguburan sekunder dengan bagian tubuh yang terbatas. Dari ketigabelas individu tersebut, sembilan diantaranya menampakkan ras Australomelanesid dan satu lainnya (individu V dari Song Keplek) menghadirkan karakter ras Mongolid, sementara terdapat 3 individu, yaitu individu 3, 7, dan 8 yang dari situs Braholo yang belum dapat diidentifikasi jenis rasnya karena minimnya data yang diperoleh.

2.3.2 Kronologi Hunian di Gunung Sewu
Wilayah perbukitan Gunung Sewu telah dihuni manusia sejak masa yang tua. Besar dugaan bahwa kolonisator wilayah ini adalah Homo erectus yang hidup di kala Plestosen Tengah. Fenomena penting tampak di kala itu, dimana kawasan ini termasuk Australia dan Melanesia barat telah dihuni Homo sapiens secara kontemporer (Simanjuntak, 1997).
Rentang hunian gua di atas terlampaui oleh hasil terbaru penelitian tim Indonesia-Prancis di Song Terus, Punung. Kronologi hunian di atas mengingatkan kita pada budaya “pacitanian” Kali Basoka yang hingga saat ini pertanggalannya masih dalam perdebatan.
Di samping eksploitasi gua, karakter budaya lainnya yang menonjol adalah eksploitasi fauna. Budaya Holosen Gunung Sewu pada umumnya merupakan bagian dari budaya regional yang meliputi wilayah Wonosari hingga Jawa Timur. Di Gua Braholo, mayat dikuburkan terlentang, sedangkan di Song Keplek dikuburkan dalam posisi miring.

2.3.3 Gunung Sewu : Eksploitasi Sejak Masa Silam (Kesimpulan)
Gunung Sewu sebagai suatu kesatuan geografis yang dicirikan oleh ribuan perbukitan karst dengan bentuk-bentuk yang khas – setengah bulatan atau kerucut – telah memiliki sejarah hunian yang panjang. Menjelang akhir Plestosen, sekitar 40.000-30.000 tahun yang lalu, atau kemungkinan sebelumnya, terjadi fenomena penting dalam evolusi hunian.
Kembali ke kala Holosen yang merupakan periode paling penting dalam sejarah hunian Gunung Sewu, dicirikan oleh dinamika budaya yang cepat dengan revolusi dari preneolitik ke neolitik hingga paleometalik (periode IV-VI). Sejak periode ini Gunung Sewu telah dihuni oleh Ras Australomelanesid dengan ciri-ciri fisik, dinding pariental yang vertikal, aspek prognatisma yang menonjol pada mukanya (rahang atas dan bawah yang menjorok ke depan dengan palatin yang lebar dan dalam), kekekaran alat-alat pengunyah dan kekekaran tulang tubuh secara keseluruhan.
Ciri ras budaya Gunung Sewu ini antara lain :
1.      Eksploitasi relung alam.
2.      Eksploitasi batuan yang ada di lingkungan sekitar.
3.      Eksploitasi berbagai jenis fauna.
4.      Eksploitasi biji-bijian.
5.      Praktek penguburan terlipat pada bagian tertentu.
Dalam kaitan ini menarik dikemukakan terminologi baru “fase Keplek” untuk menyebut budaya ini, berdasarkan penemuan dari Song Keplek yang telah terdefinisikan lebih baik dalam hal karakter budaya dan pertanggalan. Hal yang menarik dicatat, bahwa kehidupan neolitik di bentang alam terbuka sejauh ini hanya ditemukan di bagian timur Gunung Sewu. Paleometalik berlangsung sekitar 700 BP atau sekitar 1.000 BP yang dicirikan oleh pengenalan benda-benda logam (terutama besi) dan manik-manik.
Mengamati perkembangan budaya di wilayah ini, tampak suatu retardasi yang cukup signifikan sejak awal neolitik dan hingga paleometalik. Kondisi daerah Gunung Sewu yang terdiri dari wilayah perbukitan dengan dataran dan lembah yang sangat terbatas menjadi faktor penghambat untuk masuknya pengaruh budaya luar (Truman Simanjuntak).


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Rekaman proses alami yang masih dapat “dibaca” dan dicermati hingga sekarang, hanyalah satu keunikan Gunung Sewu pada ranah fisik kebumian. Bukan itu saja, bentukan-bentukan major seperti aliran sungai purba, lorong gua (cave), dan ceruk (rockshelter), ternyata juga menyimpan jejak-jejak budaya dan kehidupan purba yang pernah berlangsung.
Karst Gunung Sewu memiliki potensi yang luar biasa bagi penunjang kehidupan manusia. Berdasarkan sifat fisiknya, kawasan karst memiliki fungsi utama sebagai akuifer air yang memenuhi air baku bagi ratusan ribu masyarakat yang hidup di dalamnya, kawasan ini juga berfungsi sebagai penjaga keseimbangan ekosistem regional.
Sumber:http://speleoside.wordpress.com/2011/11/27/mengenal-fungsi-kawasan-karst-dan-upaya-perlindungannya/
3.2 Saran






DAFTAR RUJUKAN
1.      Simanjuntak, Truman; Handini, Retno; Prasetyo, Bagyo.0000. Prasejarah Gunung Sewu. Jakarta: IAAI.
3.      http://eprints.uny.ac.id/8098/2/bab%201%20-%2008308144023.pdf, diakses  05 Oktober 2014. 17:02.
4.      Sofwan Noerwidi. ARKEOLOGI INFORMATIKA (Online), http://arkeologika.wordpress.com/, diakses 05 oktober 2014, 17:25.
5.      Taufiqurrahman Setiawan. TIPE HUNIAN GUA DAN CERUK ARKEOLOGIS MASA PRASEJARAH DI KECAMATAN TANJUNGSARI, GUNUNGKIDUL (Sebuah Analisis Pendahuluan) (Online), http://balarmedan.wordpress.com/2008/06/18/tipe-hunian-gua-dan-ceruk-arkeologis-masa-prasejarah-di-kecamatan-tanjungsari-gunungkidul-sebuah-analisis-pendahuluan/, diakses 05 oktober 2014, 17:47, diposkan tahun 2008.
6.      A. B. Rodhial Falah & Akhmad Zona Adiard. Mengenal Fungsi Kawasan Karst dan Upaya Perlindungannya (Online), http://speleoside.wordpress.com/2011/11/27/mengenal-fungsi-kawasan-karst-dan-upaya-perlindungannya/, diakses 05 Oktober 2014, 17:31, diposkan tahun 2011.
7.      http://www.wacananusantara.org/alat-serpih/, wacana nusantara, diposkan 2013, diakses 27 Oktober 2014, jam 14:29, Alat Serpih, Peninggalan Masa Palaeolitikum.
8.      http://www.wacananusantara.org/kapak-genggam/, wacana nusantara, diposkan 2009, diakses 27 Oktober 2014, 14:55, Kapak Genggam, Peninggalan Masa Palaeolitikum.
















Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH MASUKNYA AGAMA KONGHUCU DI INDONESIA

Kamu yang Kusayang

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BERBASIS NILAI