LINGKUNGAN ALAM DAN KEHIDUPAN MANUSIA PADA MASA PRASEJARAH DI KAWASAN GUNUNG SEWU
LINGKUNGAN
ALAM DAN KEHIDUPAN MANUSIA PADA MASA PRASEJARAH DI KAWASAN GUNUNG SEWU
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Prasejarah Indonesia
yang dibina oleh Bapak Drs. Slamet Sujud
Purnawan Jati, M.Hum
Disusun Oleh :
Yongky Choirudin (140731605864)
Yuliarti Kurnia Pramai Selli (140731606196)
Zafriadi (140731600044)

UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
JURUSAN
SEJARAH
PRODI
PENDIDIKAN SEJARAH
Oktober
2014
KATA
PENGANTAR
Dengan memanjatkan
puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan tugas
matakuliah Dasar-Dasar Arkeologi dengan makalah yang berjudul “Lingkungan Alam
dan Kehidupan Manusia pada Masa Prasejarah di Kawasan Gunung Sewu”.
Penulis
mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Kepada Bapak Drs. Slamet Sujud Purnawan Jati, M.Hum selaku pembimbing, yang senantiasa memberikan pengarahan kepada
penulis dalam penyelesaian tugas makalah ini. Tidak lupa kepada teman-teman
yang telah memberikan informasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Penulis menyadari bahwa
makalah yang dibuat masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
sangat berguna bagi penulis untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
berguna untuk menambah pengetahuan tentang Prasejarah Gunung Sewu.
Malang,
Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR
ISI ....................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ...............................................................................................
1.2 Rumusan
Masalah ..........................................................................................
1.3 Tujuan
............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Latar Belakang Sejarah dan Lingkungan Alam Gunung Sewu .....................
2.2
Menjelang Akhir Plestosen ............................................................................
2.2.1 Hunian Gua dan Ceruk : Trend Baru di Akhir Plestosen ................
2.2.2 Song Keplek, Hunian Akhir Plestosen – Holosen ..........................
2.2.3 Gua Braholo, Hunian yang Ideal di Bagian Barat Gunung
Sewu ...
2.3
Manusia dan Kronologi Hunian Gunung Sewu .............................................
2.3.1
Manusia Prasejarah Gunung Sewu .................................................
2.3.2
Kronologi Hunian di Gunung Sewu ...............................................
2.3.3
Gunung Sewu : Eksploitasi Sejak Masa Silam (Kesimpulan) ........
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan ....................................................................................................
3.2
Saran ..............................................................................................................
DAFTAR RUJUKAN ..........................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gunung Sewu, bagian
dari Pegunungan Selatan Jawa merupakan salah satu daerah terpenting untuk
penelitian prasejarah. Manusia prasejarah telah mendiami daerah ini sejak masa
purba dan berlangsung dalam jangka waktu yang sangat panjang – ratusan ribu
tahun – hingga akhir masa prasejarah.
Manusia
mengeksploitasi berbagai sumber daya alam yang tersedia di lingkungan daerah
ini dan mengembangkan berbagai teknologi untuk pembuatan alat. Terdapat suatu
evolusi yang sangat progresif dari cara-cara yang paling sederhana di masa lalu
sampai dengan yang lebih kompleks hingga mendekati periode sejarah.
Perkembangan
budaya ini telah bermula pada masa paleolitik dan berlanjut pada preneolitik,
neolitik hingga paleometalik. Sisa-sisa pemukiman tersebar secara luas dalam
bentuk situs dan kandungan artefak maupun ekofaknya.
Makalah ini
menyajikan sebuah sintesa hasil-hasil penelitian multidisipliner di Gunung
Sewu. Disusun dalam format yang mudah dicerna, makalah ini terdiri dari
kumpulan artikel pendek yang mendiskusikan berbagai topik dan dilengkapi dengan
ilustrasi yang menarik. Tema utama menyangkut manusia, kebudayaan, dan
lingkungannya.
Makalah ini
menyajikan pandangan komprehensif tentang prasejarah Gunung Sewu secara
diakronik. Bagi pembaca yang membaca makalah ini dari awal akan segera
mengenali sejarah okupasi daerah ini dari periode yang paling awal hingga akhir
masa prasejarah.
Oleh karena itu,
makalah ini memberikan pandangan-pandangan baru bagi suatu pemahaman yang lebih
baik tentang prasejarah Gunung Sewu secara khusus dan prasejarah Indonesia
secara umum.
1.2
Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Apa latar belakang dari
sejarah dan lingkungan alam Gunung Sewu ?
2. Bagaimana
kehidupan manusia prasejarah pada masa menjelang akhir plestosen di Gunung Sewu?
3. Bagaimana
manusia dan kronologi hunian Gunung Sewu ?
1.3
Tujuan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Mengetahui latar belakang
dari sejarah dan lingkungan alam Gunung Sewu.
2. Dapat
mendeskripsikan kehidupan manusia prasejarah pada masa menjelang akhir
plestosen di Gunung Sewu.
3.
Dapat menjelaskan manusia
dan kronologi hunian Gunung Sewu.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Latar Belakang
Sejarah dan Lingkungan Alam Gunung Sewu
Gunung
Sewu sebagai bagian dari Pegunungan Selatan Jawa terletak antara Teluk Pacitan
di sebelah timur dan Kali Oyo di sebelah barat. Gunung Sewu adalah tempat ideal bagi
hunian masa lalu, bukit-bukitnya sangat sering didatangi oleh manusia
prasejarah.
Alat-alat bifasial, kapak, dan aneka
ragam alat padat merupakan karya dan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh Homo erectus, sebagai pembawa
keterampilan teknis dan kebudayaan Acheulean
(sekuen kebudayaan Paleolitik Bawah yang dicirikan oleh perkakas kapak genggam
dan kapak pembelah).
Benda-benda
padat Acheulean yang juga ditemukan
orang di Eropa, Afrika, negara-negara Iran-Irak, India, Nepal dan Cina lalu
Indonesia menunjukkan bukti kedatangan Homo
erectus. Dan justru di alur Kali Baksoka, yang terletak tidak jauh dari
kota Pacitan inilah perkakas Acheulean
ini ditemukan. Situs ini kemudian dikenal dengan nama kebudayaan Pacitanian.
Di
wilayah Gunung Sewu telah ditemukan 135 situs prasejarah. Situs-situs tersebut
menampakkan corak budaya dari paleolitik, mesolitik (preneolitik), neolitik,
dan paleometalik. Hal ini menunjukkan daerah sekitar Gunung Sewu telah di huni
dalam jangka waktu yang panjang. Diyakini Homo
erectus adalah pencipta budaya Pacitanian.
1. Masa Paleolitik
Awal
kehidupan paleolitik di sekitar Gunung Sewu belum diketahui secara pasti.
Sebagian peneliti memperkirakan pada Plestosen Tengah dan ada juga yang
mengatakan menjelang akhir Plestosen, sekitar 50.000 tahun yang lalu (Heekeren,
1972; Bartstra, 1985). Masa ini ditandai dengan kehidupan yang berkisar di
sepanjang aliran sungai. Peralatan yang digunakan terbuat dari batu dan
alat-alat serpih berukuran besar.
2. Masa Mesolitik (Preneolitik)
Berlangsung
sekitar 40.000-2.000 tahun yang lalu. Pada masa ini terjadi perubahan dari
pengembaraan ke hunian gua dan ceruk. Alat dari batu dan serpih masih
digunakan, namun terdapat juga alat dari tulang, cangkang kerang, dan tanduk
rusa. Sistem penguburan sudah ada pada masa ini.
3. Masa Neolitik
Berlangsung
sekitar 1.000 tahun yang lalu. Kehidupan beralih pada dataran dan lereng
perbukitan. Pada masa ini muncul dan berkembangnya gerabah dan beliung batu.
4. Masa Paleometalik
Berlangsung
sekitar 700 tahun yang lalu. Lahan terbuka masih digunakan sebagai pusat
kegiatan. Hal yang paling menonjol adalah munculnya alat dan senjata logam,
khususnya besi dan manik-manik. Di Indonesia, kebudayaan Paleolitikum banyak ditemukan di Desa Ngandong
dan Pacitan, Jawa Timur. Para ahli purbakala pun sepakat membaginya ke dalam
kebudayaan Ngandong dan Pacitan. Pada awalnya, mayoritas kapak genggam
ditemukan di permukaan bumi sehingga tidak diketahui pasti berasal dari lapisan
tanah yang mana. Namun hasil penelitian pada 1990-2000 di Pegunungan Seribu
atau Sewu dengan cara penggalian atau ekskavasi yang dilakukan oleh tim
Indonesia-Prancis memastikan bahwa kapak genggam digunakan oleh manusia jenis Homo erectus.
Daerah
penemuan kapak genggam selain di Punung (Pacitan) Jawa Timur juga ditemukan di
daerah Jampang Kulon, Parigi (Jawa Timur), Tambang Sawah, Lahat, dan Kal ianda
(Sumatra), Awangbangkal (Kalimantan), Cabenge (Sulawesi), Sembiran dan Terunyan
(Bali).
(Sumber : http://www.wacananusantara.org/kapak-genggam/)
Kawasan Karst
Gunung Sewu mempunyai bentang alam yang sangat khas, dengan luas area kurang
lebih 1.730 km2 berupa puluhan ribu bukit batu gamping dengan
ketinggian antara 20-50 meter yang membujur dari bagian Selatan Daerah Istimewa
Yogyakarta (Kabupaten Gunungkidul), Jawa Tengah dan Jawa Timur. Fenomena
permukaan meliputi bentukan positif, seperti perbukitan karst yang jumlahnya
kurang lebih 40.000 bukit yang berbentuk kerucut. Puncak kerucut bisa membulat
(Sinusoida) atau lancip (Karst Connical). Lekuk-lekuk di antara
perbukitan batu gamping membentuk dolina,
baik terbuka maupun tertutup.
Sungai yang
mengalir di permukaan Kawasan Karst sangat jarang. Begitu hujan air akan masuk
ke lubang (sink) atau gua, sungai
permukaan segera berubah menjadi sungai bawah tanah. Di bawah permukaan Karst
air mengalir di sepanjang lorong gua membentuk jaringan sistem tata air tanah
yang lebih rumit.
Keberadaan sungai bawah
tanah dapat dicirikan melalui lubang-lubang tegak hasil peruntuhan sering
disebut dengan istilah Luweng di daerah Gunung Sewu (Hanang Samodra, 2001:46).
2.2 Kehidupan Manusia
Prasejarah pada Masa Menjelang Akhir Plestosen di Gunung Sewu
2.2.1 Hunian Gua dan Ceruk :Trend Baru pada
Akhir Plestosen
Rentang waktu menjelang
berakhirnya masalah plestosen (Late
pleistosen) sekitar 40.000 tahun
hingga 12.000 tahun yang lalu, merupakan periode yang sangat penting dalam
evolusi manusia dan budaya. Suatu fenomena baru memasuki periode baru di
wilayah Gunung Sewu. Pusat aktivitas yang sebelumnya berorientasi di wilayah
dekat sungai, kini mereka mulai menetap di dalam gua.
Kronologi pertengahan radio karbon yang diperoleh dari Song
Keplek menunjukkan bahwa gua ini telah dihuni sejak 24.0000 hingga 800 tahun
yang lalu. Eksploitasi gua dan ceruk menjadi salah satu trend yang telah
terlihat dalam periode ini, tidak merata di Gunung Sewu, tetapi merata di
seluruh Asia Tenggara.
Beberapa temuan yang didapatkan di gua-gua itu
merupakan hasil dari daerah pantai, bukan dari daerah pedalaman, seperti
peralatan dan perhiasan dari cangkang kerang laut dan juga adanya temuan hasil
eksploitasi daerah pantai di situs-situs pedalaman tetapi belum diketahui
bagaimana temuan itu dapat sampai di pedalaman. Dari hasil barter antara
komunitas pantai dan pedalaman, atau hasil eksploitasi komunitas pedalaman di
daerah pantai. Dengan terungkapnya bagaimana hubungan itu terjadi maka data
tersebut berguna untuk memahami proses penghunian dan migrasi manusia purba di
Jawa dan Indonesia (Tanudirjo dkk,2003:1–2). (Sumber : http://balarmedan.wordpress.com/2008/06/18/tipe-hunian-gua-dan-ceruk-arkeologis-masa-prasejarah-di-kecamatan-tanjungsari-gunungkidul-sebuah-analisis-pendahuluan/)
Sejauh ini belum ditemukan sisa manusia dalam kala plestosen.
Kemungkinan sudah mengenal penguburan di dalam gua ataupun di dalam gua. Di
bidang teknologi kegiatan yang menonjol adalah pembuatan alat-alat dari batu,
yang alat pembuatannya umumnya dibuat dari batuan rijang.
Dibanding dengan hunian kala holosen, teknologi litik belum
begitu berkembang pada zaman ini. Secara garis besar, artefak litik terdiri
atas tiga kelompok, yaitu kelompok alat serpih, serpih-serpih buangan, dan
kelompok alat-alat kasar. Ciri dari alat ini adanya penerusan intensif yang
dapat mengubah bentuk atau menciptakan tajaman hingga membentuk kelompok
tersendiri dengan karakter yang khas.
Selain alat-alat litik manusia penghuni gua sudah dimulai
membuat peralatan dari tulang-tulang tulang binatang, walaupun belum seintensif
pada kala masa holosen. Keberadaan sisa fauna sekaligus juga menggambarkan
lingkungan di kala itu. Pada Akhir Plestosen fauna besar lebih menonjol,
seperti Bovidae, Cervidae, Elephantidae, Rhinocerintidae.
Besar kemungkinan penghuni telah mengubur si mati di dalam
gua itu sendiri. Dugaan itu didasarkan pada penemuan-penemuan di gua lain di
Asia Tenggara antara lain di Gua Niah, Sarawak dan di Gua Tabon. Alat serpih yang ditemukan di Gua Tabon (Palawan) dan Gua
Niah (Serawak) diperkirakan berlangsung sekitar 30-40 ribu tahun lalu, yakni
pada tingkat akhir Plestosen. (http://www.wacananusantara.org/alat-serpih/)
2.2.2
Song Keplek, Hunian Akhir Plestosen – Holosen
Song Keplek merupakan salah satu gua terpenting dari sekitar
70 gua di Gunung Sewu, yang terletak di desa Pagersari, Punung. Song Keplek
merupakan nama lokal (Song merupakan ceruk atau gua yang memiliki dua pintu
tembus, biasanya pada bagian depan dan belakang, sedangkan Keplek merupakan
sejenis permainan judi yang menggunakan kartu).
Lapisan 1 atau lapisan yang paling atas merupakan neolitik
bercampur dengan unsur-unsur budaya resen. Lapisan 2 s/d 4 yang merupakan
preneolitik Holosen yang khas dan lebih tepat disebut ‘Lapisan Keplek’. Lapisan
Keplek agaknya indentik dengan budaya “INDUSTRI TULANG SAMPUNG”, terminologi yang diajukan oleh Van
Heckeren (1972), berdasarkan penemuan pertama di Goa Lawa, Sempung dekat
Ponorogo.
Lapisan Keplek memiliki ciri-ciri yang khas, antara lain
tinggalan, yang sangat beragam, khususnya sisa fauna, industri tulang dan
industri litik. Sisa industri tulang tidak sepadat indusri litik namun
keberadaanya arti kultural tersendiri mengingat kekhasannya tidak ditemukan di
daerah lain.
2.2.3
Gua Braholo, Hunian Ideal di Bagian Barat Gunung Sewu
Di antara belasan gua di bagian barat Gunung Sewu, Gua
Braholo menjadi pilihan utama untuk di teliti secara intensif, berdasarkan
hasil pengujian terhadap beberapa variabel hunian gua. Dari sudut keruangan,
Gua Braholo sangat ideal untuk hunian dengan segala kondisi yang dimilikinya.
Tinggalan budaya yang sangat padat terdapat pada
lapisan-lapisan berumur Holosen atau yang lebih dikenal dengan sebutan lapisan
budaya preneolitik. Industri litik memiliki bahan yang sangat bervariasi,
tetapi miskin dalam tipologi.
Alat-alat tulang dapat diklasifikasikan menjadi lancipan,
spatula, dan jarum. Alat-alat dari cangkang kerang terdiri dari serut dan
lancipan dan dibuat dari serpihan hasil pemecahan.
2.3 Manusia
dan Kronologi Hunian Gunung Sewu
2.3.1
Manusia
Prasejarah Gunung Sewu
1.
Manusia Song Keplek
Bukti-bukti
pertama sisa manusia di kawasan Gunung Sewu ditemukan pada tahun 1992 di Song
Keplek (Punung, Pacitan) :
a.
Individu ke 1
Sisa yang
ditemukan terbatas pada bagian belakang calva
(parietal kanan, temporal kanan, dan bagian kanan occipital), bagian kiri temporal, fragmen rahang atas dari bagian
kiri arcus alveolaris dengan beberapa
gigi-geliginya.
b.
Individu ke 2
Sisa individu ini
terdiri atas fragmen temporal kiri yang meliputi processus mastoideus, fossa
mandibularis, eminentia arcuata, dan
tegmen tympani.
c.
Individu ke 3
Individu ini
diwakili oleh sebuah calva yang
terdiri atas parietal kanan dan kiri, serta bagian kanan occipital yang mencakup pula bagian planum occipitalis dan planum
nuchalis.
d.
Individu ke 4
Individu ini
tergolong lengkap, ditemukan pada kotak LU2 dalam konteks serpih-serpih dan
sisa fauna. Dilihat dari kecilnya, ukuran processus
mastoideus, bentuk orbit mata, dan relatif tajamnya margo supra-orbitalis, maka individu ini tergolong perempuan.
e.
Individu ke 5
Sebuah rangka
manusia yang terkonservasi sangat bagus merupakan individu V yang ditemukan
pada Situs Song Keplek, dari kotak H9 - I9. Aspek muka individu ini terkesan
jauh lebih datar dan rata. Aspek infra-tengkorak
tidak kalah lengkapnya dengan aspek tengkorak, masing-masing komponen masih
berada pada posisi anatomisnya. Eksplorasi aspek-aspek
budaya dan biologisnya tidak hanya berguna untuk mengetahui “osteobiografi” rangka tersebut, namun
juga untuk meningkatkan pemahaman kita tentang kondisi kehidupan selama
pertengahan Holosen di Jawa, pasa masa awal penghunian penutur bahasa Austronesia di pulau tersebut.(Sumber : http://arkeologika.wordpress.com/)
2.
Manusia Gua Braholo
Sisa manusia yang
ditemukan dari Gua Braholo berasal dari 8 individu : sebagian menunjukkan
penguburan primer dengan bagian tubuh yang tergolong lengkap dan dalam susunan
anatomis, sebagian lainnya merupakan sisa penguburan sekunder dengan bagian tubuh
yang terbatas. Dari ketigabelas individu tersebut, sembilan diantaranya
menampakkan ras Australomelanesid dan satu lainnya (individu V dari Song
Keplek) menghadirkan karakter ras Mongolid, sementara terdapat 3 individu,
yaitu individu 3, 7, dan 8 yang dari situs Braholo yang belum dapat
diidentifikasi jenis rasnya karena minimnya data yang diperoleh.
2.3.2 Kronologi Hunian di
Gunung Sewu
Wilayah perbukitan
Gunung Sewu telah dihuni manusia sejak masa yang tua. Besar dugaan bahwa
kolonisator wilayah ini adalah Homo
erectus yang hidup di kala Plestosen Tengah. Fenomena penting tampak di
kala itu, dimana kawasan ini termasuk Australia
dan Melanesia barat telah dihuni Homo sapiens secara kontemporer
(Simanjuntak, 1997).
Rentang hunian gua
di atas terlampaui oleh hasil terbaru penelitian tim Indonesia-Prancis di Song
Terus, Punung. Kronologi hunian di atas mengingatkan kita pada budaya
“pacitanian” Kali Basoka yang hingga saat ini pertanggalannya masih dalam
perdebatan.
Di samping
eksploitasi gua, karakter budaya lainnya yang menonjol adalah eksploitasi
fauna. Budaya Holosen Gunung Sewu pada umumnya merupakan bagian dari budaya
regional yang meliputi wilayah Wonosari hingga Jawa Timur. Di Gua Braholo,
mayat dikuburkan terlentang, sedangkan di Song Keplek dikuburkan dalam posisi
miring.
2.3.3 Gunung Sewu :
Eksploitasi Sejak Masa Silam (Kesimpulan)
Gunung Sewu
sebagai suatu kesatuan geografis yang dicirikan oleh ribuan perbukitan karst
dengan bentuk-bentuk yang khas – setengah bulatan atau kerucut – telah memiliki
sejarah hunian yang panjang. Menjelang akhir Plestosen, sekitar 40.000-30.000
tahun yang lalu, atau kemungkinan sebelumnya, terjadi fenomena penting dalam
evolusi hunian.
Kembali ke kala
Holosen yang merupakan periode paling penting dalam sejarah hunian Gunung Sewu,
dicirikan oleh dinamika budaya yang cepat dengan revolusi dari preneolitik ke
neolitik hingga paleometalik (periode IV-VI). Sejak periode ini Gunung Sewu
telah dihuni oleh Ras Australomelanesid dengan
ciri-ciri fisik, dinding pariental yang vertikal, aspek prognatisma yang menonjol pada mukanya (rahang atas dan bawah yang
menjorok ke depan dengan palatin yang lebar dan dalam), kekekaran alat-alat
pengunyah dan kekekaran tulang tubuh secara keseluruhan.
Ciri
ras budaya Gunung Sewu ini antara lain :
1.
Eksploitasi relung alam.
2. Eksploitasi
batuan yang ada di lingkungan sekitar.
3. Eksploitasi
berbagai jenis fauna.
4. Eksploitasi
biji-bijian.
5.
Praktek penguburan
terlipat pada bagian tertentu.
Dalam kaitan ini
menarik dikemukakan terminologi baru “fase Keplek” untuk menyebut budaya ini,
berdasarkan penemuan dari Song Keplek yang telah terdefinisikan lebih baik
dalam hal karakter budaya dan pertanggalan. Hal yang menarik dicatat, bahwa
kehidupan neolitik di bentang alam terbuka sejauh ini hanya ditemukan di bagian
timur Gunung Sewu. Paleometalik berlangsung sekitar 700 BP atau sekitar 1.000
BP yang dicirikan oleh pengenalan benda-benda logam (terutama besi) dan
manik-manik.
Mengamati
perkembangan budaya di wilayah ini, tampak suatu retardasi yang cukup signifikan sejak awal neolitik dan hingga
paleometalik. Kondisi daerah Gunung Sewu yang terdiri dari wilayah perbukitan
dengan dataran dan lembah yang sangat terbatas menjadi faktor penghambat untuk
masuknya pengaruh budaya luar (Truman Simanjuntak).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Rekaman proses alami yang masih dapat “dibaca” dan dicermati
hingga sekarang, hanyalah satu keunikan Gunung Sewu pada ranah fisik kebumian.
Bukan itu saja, bentukan-bentukan major seperti aliran sungai purba, lorong gua
(cave), dan ceruk (rockshelter), ternyata juga menyimpan
jejak-jejak budaya dan kehidupan purba yang pernah berlangsung.
Karst
Gunung Sewu memiliki potensi yang luar biasa bagi penunjang kehidupan manusia.
Berdasarkan sifat fisiknya, kawasan karst memiliki fungsi utama sebagai akuifer air yang memenuhi air baku bagi
ratusan ribu masyarakat yang hidup di dalamnya, kawasan ini juga berfungsi
sebagai penjaga keseimbangan ekosistem regional.
Sumber:http://speleoside.wordpress.com/2011/11/27/mengenal-fungsi-kawasan-karst-dan-upaya-perlindungannya/
3.2
Saran
DAFTAR
RUJUKAN
1. Simanjuntak, Truman; Handini,
Retno; Prasetyo, Bagyo.0000. Prasejarah
Gunung Sewu. Jakarta: IAAI.
2. http://geoarkeologi.blog.ugm.ac.id/files/2014/03/2014_EGI_napak-tilas.pdf, diakses 03 Oktober 2014, 22:33
4. Sofwan
Noerwidi. ARKEOLOGI
INFORMATIKA (Online), http://arkeologika.wordpress.com/, diakses
05 oktober 2014, 17:25.
5. Taufiqurrahman Setiawan. TIPE
HUNIAN GUA DAN CERUK ARKEOLOGIS MASA PRASEJARAH DI KECAMATAN TANJUNGSARI,
GUNUNGKIDUL (Sebuah Analisis Pendahuluan) (Online), http://balarmedan.wordpress.com/2008/06/18/tipe-hunian-gua-dan-ceruk-arkeologis-masa-prasejarah-di-kecamatan-tanjungsari-gunungkidul-sebuah-analisis-pendahuluan/, diakses 05 oktober 2014, 17:47,
diposkan tahun 2008.
6. A. B. Rodhial Falah & Akhmad
Zona Adiard. Mengenal Fungsi Kawasan
Karst dan Upaya Perlindungannya (Online), http://speleoside.wordpress.com/2011/11/27/mengenal-fungsi-kawasan-karst-dan-upaya-perlindungannya/, diakses 05 Oktober 2014, 17:31, diposkan tahun 2011.
7. http://www.wacananusantara.org/alat-serpih/, wacana nusantara, diposkan 2013,
diakses 27 Oktober 2014, jam 14:29, Alat
Serpih, Peninggalan Masa
Palaeolitikum.
8. http://www.wacananusantara.org/kapak-genggam/,
wacana nusantara, diposkan 2009, diakses 27 Oktober 2014, 14:55, Kapak Genggam, Peninggalan Masa
Palaeolitikum.
Komentar
Posting Komentar