Tugas UTS Sejarah Lokal

Nama               : Yuliarti Kurnia Pramai Selli
Kelas/Off.       : B
Prodi               : S1 Pendidikan Sejarah
NIM                : 140731606196
Makul              : Sejarah Lokal
Tugas UTS Sejarah Lokal

1.      Unsur-unsur Lokalitas dalam Kategori Kajian Sejarah Lokal.
Sejarah lokal adalah sejarah tentang daerah tertentu yang biasanya kita kenal dengan sebutan babad, riwayat, hikayat, dan lain-lain berisikan tentang asal-usul daerahnya yang terkadang prinsip penulisan dengan menggunakan sumber yang sesuai sering diabaikan. Tradisi penulisan sejarah di atas masih terbilang amatiran oleh para ahli sejarawan karena dianggap kurang bermutu dalam hal disiplin ilmu sejarah. Sejarah lokal bisa dikatakan sebagai suatu bentuk penulisan sejarah dalam lingkup yang terbatas meliputi suatu lokalitas tertentu dalam artian terbatasnya lingkup tersebut yang dikaitkan dengan unsur wilayah (spasial). Di Indonesia sejarah lokal disebut pula sebagai sejarah daerah. Salah satu tokoh, yaitu Taufik Abdullah tidak setuju jika sejarah lokal disamakan dengan sejarah daerah. Hal tersebut dikarenakan daerah identik dengan politik dan bisa mengabaikan etnis kultural yang sebenarnya (lebih mencerminkan unit lokalitas sebagai suatu perkembangan sejarah). Sedangkan, Jordan berpendapat bahwa sejarah lokal adalah keseluruhan lingkungan sekitar yang bisa berupa kesatuan wilayah seperti desa, kecamatan, kabupaten, kota kecil, dan lain-lain. Dari penjelasan di atas, maka penulis mencoba menganalisis bahwa unsur-unsur lokalitas dalam sejarah lokal dipengaruhi oleh wilayah dan suatu wilayah identik dengan kebudayaan, etnik, bahasa yang nantinya mempengaruhi proses kajian penulisan sejarah lokal dimana kita merujuk pada pengertian di atas, bahwa sejarah lokal lebih membahas kepada sejarah yang ada di wilayah tersebut dan masih dipengaruhi oleh unsur-unsur lokalitas tadi yang berupa babad, hikayat, dan lain-lain. Sehingga, bisa dibilang bahwa sejarah lokal sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur lokalitas di atas dan pastinya sejarah lokal tidak akan lepas dari unsur-unsur tersebut (Widya, I Gde. 1989).

2.      Hubungan Sejarah Lokal dengan Sejarah Nasional.
Dalam penulisan sejarah, terdapat dimensi makro dan mikro yang salah satu permasalahan yang dihadapi adalah dalam hal penentuan kesatuan kerangka peristiwa yang menjadi pusat perhatiannya dalam melihat proses persambungan peristiwa-peristiwa yang dalam hubungan ini dikenal dengan istilah unit-unit sejarah. Sehingga, sejarawan perlu menentukan pembatasan-pembatasan yang akan memungkinkan terjadinya pembatasan ruang lingkup kegiatan. Jadi, dengan dasar tersebut, para sejarawan dapat membedakan antara “kejadian biasa” dan “kejadian istimewa” dan membedakan antara “kejadian non-historis (untuk yang biasa)” dan kejadian historis (untuk yang istimewa). Unit sejarah adalah suatu bagian dari pengetahuan sejarah yang merupakan suatu kategori dan bidang yang dapat dipahami. Unit tersebut juga merupakan suatu kompleks problem-problem tema-tema, dan topik-topik yang semuanya ditempatkan dalam “pasangan waktu” (time setting) (Kartodirdjo, Sartono, 1982: 31). Hubungan unit historis dengan aspek kesatuan temporal, yaitu menyangkut babakan waktu atau periodisasi didasarkan atas kriteria tertentu dimana umumnya bersifat relatif (tergantung pada dimensi-dimensi historis yang dipegang oleh sejarawan). Sedangkan untuk hubungan unit historis dengan aspek kesatuan spasial, yaitu berkaitan dengan usaha membuat kategori-kategori batas lingkungan kompleks peristiwa sejarah yang bervariasi dari unit dengan ruang lingkup yang sangat luas sampai kepada unit-unit yang sangat terbatas. Jadi, unit-unit historis terwujud dari berbagai kategori yang menyebabkan adanya variasi lingkup sejarah (dari arah melebar/meluas sampai ke arah menyempit terbatas).
Sejarawan dan ahli filsafat Inggris bernama A.J. Toynbee mengatakan bahwa walaupun mengakui adanya unit historis (merupakan kesatuan negara bangsa/nation state) tetapi lebih cenderung pada unit historis makro. Sedangkan, untuk kelompok sejarawan praktis dalam melakukan kegiatan sejarah di lapangan tidak terikat dengan pikiran-pikiran spekulatif dan biasa berhadapan langsung dengan sumber-sumber sejarah yang terkandung di dalamnya (sesuai konteks) dengan melihat kesatuan lapangan studi sejarah yang bisa dipahami (intelligible) berada pada lingkungan sejarah makro. Perkembangan sejarah boleh dianggap bersumber pada lingkungan makro, yaitu pada realitas-realitas yang bersifat khusus (unik). Hubungan antara sejarah lokal dengan sejarah nasional secara umum dirumuskan bahwa dalam sejarah nasional ditekankan pada gambaran yang lebih luas, menyeluruh dari suatu lingkungan bangsa dengan tidak terlalu memperhatikan detail-detail peristiwa lokal (kecuali untuk mendukung gambaran dalam rangka sejarah nasional). Sedangkan, dalam sejarah lokal yang mendapat perhatian utama justru peristiwa-peristiwa di lingkungan sekitar suatu lokalitas sebagai suatu kebulatan dan menempatkan sejarah nasional sebagai latar belakang dari peristiwa-peristiwa khusus di lokalitas tersebut (Alif, Dokter. 2014, (Online)).
Kita mengetahui bahwa sejarah nasional adalah suatu konsep resmi negara dan lebih bersifat konsepsi umum yang mendukung penanaman nilai nasionalisme. Dalam hal sejarah lokal, sumber-sumber sejarah lokal dianggap memiliki pengaruh secara nasional atau kebangsaan dan sejarah nasional kajiannya terpusat di pulau Jawa. Fakta mengatakan bahwa studi sejarah lokal diperlukan untuk mencari bahan sebagai penyusun nasional yang akhirnya hanya menghasilkan sejarah nasional versi lokal dimana realitas di daerah-daerah dapat berubah sehingga kadang-kadang peristiwa nasional yang penting dalam kategori sejarah nasional bisa saja tidak memiliki arti apa-apa pada sejarah lokal. Sejarah lokal melengkapi sejarah nasional dimana sejarah nasional hanya membahas sesuatu secara umum sehingga sifatnya terbatas dan sejarah lokal memberikan detail sehingga mampu melengkapi kekurangan sejarah nasional. Contoh sejarah nasional adalah membahas tentang proklamasi 1945 dimana pembahasan terfokus di Jakarta. Sedangkan, fungsi sejarah lokal sendiri menjadi pelengkap sejarah nasional dimana pembahasan terfokus pada ikhwal proklamasi di daerah atau lokal.
Contoh kedua, penulis mengambil pembahasan tentang sejarah terbentuknya Reog di Ponorogo dimana terdapat tiga versi cerita, yaitu dari Bantar Angin, Ki Ageng Suryangalam atau Demang Kutu, dan Batara Katong. Cerita di atas sudah pasti dipengaruhi faktor kekuasaan dan politik. Selain itu, dipengaruhi oleh para pakar atau ahli sejarawan terhadap munculnya Reog di Ponorogo. Tetapi, jika dilihat dari bukti-bukti yang ada versi Batara Katong yang benar. Tapi, menurut sumber dari masyarakat setempat mengatakan bahwa Reog berasal dari versi Bantar Angin. Banyak perdebatan yang muncul dari pembahasan tersebut. Tetapi, kita sebagai pembaca harus bijak dalam menanggapi suatu sumber. Karena perbedaan tersebut dipengaruhi oleh faktor kekuasaan, politik, maupun kebudayaan yang sudah dijelaskan di atas. Dari penjelasan di atas,dapat dikatakan bahwa hal-hal di tingkat yang lebih luas (nasional) hanya menggambarkan pola-pola serta masalah umum, sedangkan situasinya yang lebih konkret dan mendalam baru dapat diketahui melalui gambaran sejarah lokal. Hal di atas merupakan penjelasan tentang hubungan sejarah lokal dengan sejarah nasional (Kompasiana. 2014, (Online)).
                                                                                                           
3.      Pengaruh Otonomi Daerah terhadap Penulisan Sejarah.
Otonomi daerah disahkan pasca Reformasi 1998 dimana banyak perdebatan tentang otonomi daerah sebagai manifestasi dari desentralisasi kekuasaan pemerintahan mendorong pemerintah untuk secara sungguh-sungguh merealisasikan konsep otonomi daerah secara jujur, penuh kerelaan, dam konsekuen mengingat wacana dan konsep ekonomi daerah memiliki sejarah yang sangat panjang seiring berdirinya Republik ini. Menurut aspek yuridis formal terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1945 sampai dengan UU No. 5 Tahun 1974 dimana semangat otonomi daerah sudah kelihatan dan menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintah di daerah. Tetapi, semangat para penyelenggara masih jauh dari idealisme konsep otonomi daerah itu sendiri (Marbun, 2005: 45). Dengan adanya otonomi daerah, maka suatu provinsi memiliki pengakuan yang berbeda secara kultural baik dari seni, bahasa, suku, agama, maupun sejarahnya. Sehingga, dari penjelasan di atas penulis menemukan penjelasan bahwa seiring dengan berjalannya era demokratisasi dan otonomi daerah membuat daerah-daerah tersebut ingin mengaktualisasikan diri sehingga sejarah lokal menjadi sangat penting karena dengan adanya aktualisasi diri suatu daerah, maka daerah tersebut minimal harus mempunyai keunggulan yang terdapat dalam wilayah tersebut entah itu dari aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, maupun keamanan. Contohnya adalah kesenian Reog di Ponorogo dimana kesenian tersebut hanya ada di wilayah Ponorogo. Hal tersebut mencerminkan salah satu kelebihan atau aktualisasi diri dari wilayah Ponorogo dalam hal sosial budaya yang didalamnya terdapat sejarah yang membahas atau berkaitan dengan sejarah munculnya kesenian Reog di Ponorogo. Sejarah tersebut merupakan sejarah lokal yang tidak ditemui di wilayah lain dan dalam perkembangan budayanya sendiri juga disesuaikan dengan otonomi daerah tersebut sehingga kebijakan pemerintah di wilayah ini berbeda dengan kebijakan wilayah atau daerah lainnya.

4.      Persoalan Sumber Sejarah dalam Mengkaji Sejarah Lokal.
Dalam hal ini, penulis mencoba menjelasakan latar belakang persoalan sumber sejarah yang masih menjadi tantangan terberat dari sejarawan. Karena kita ketahui sendiri bahwa di masa lampau melalui cerita yang diteruskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Sumber sejarah sendiri ada yang berbentuk primer maupun sekunder dimana nantinya memunculkan tradisi lisan dengan tradisi tulisan. Dalam sumber lisan kita akan menemui tradisi lisan dimana tradisi ini maksudnya cerita yang dipengaruhi oleh pendapat masyarakat. Istilahnya sebagai cerita rakyat. Dengan adanya cerita rakyat biasanya terdapat perbedaan-perbedaan pendapat yang membuat bingung para sejarawan. Tetapi, hal tersebut bisa ditepis dengan adanya tradisi tertulis dimana biasanya dalam suatu peninggalan sejarah terdaoat suatu benda atau barang yang mempunyai atau mengandung tulisan mengungkapkan suatu fakta dan hal tersebut bisa disebut sebagai sumber bukti utama. Dari sumber utama tersebut, maka para sejarawan dapat melengkapi atau menemukan fakta baru yang benar dari peninggalan sejarah tersebut. Contoh, penulis mengambil sejarah berdirinya Reog di Ponorogo yang terdiri dari tiga versi cerita, yaitu versi Bantar Angin, Demang Kutu, dan Batara Katong. Perbedaan cerita tersebut memunculkan perdebatan dari awal dan ada yang mengatakan versi Batara Katong lah yang benar karena terdapat bukti-bukti seperti adanya penemuan batu yang tertulis tentang wisuda Batara Katong sendiri. Tetapi, masyarakat mengatakan versi Bantar Angin sendirilah yang benar. Nah, dari sini penulis bisa melihat ada dampak positif maupun negatif yang didapat dari adanya peran sejarah lisan, yaitu dapat membenarkan, menambah, maupun melengkapi suatu sumber peristiwa sejarah dan sejarah lisan juga dapat menjadikan suatu sumber sejarah menjadi lebih bingung dan tidak menuju titik puncak permasalahan karena tadi sudah dibahas bahwa sejarah lisan berasal dari opini atau pendapat masyarakat dari masa tersebut sampai sekarang yang nantinya memunculkan tradisi lisan dalam suatu masyarakat. Jadi, peran atau kontribusi sejarah lisan dalam persoalan di atas bisa menguntungkan maupun merugikan.

Daftar Rujukan :

Widya, I Gde. 1989. Sejarah Lokal suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta: Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Alif, Dokter. 2014. Sejarah Lokal dan Beberapa Aspeknya, (Online), (https://dokteralif.wordpress.com/2014/03/01/sejarah-lokal-dan-beberapa-aspeknya/), diakses tanggal 16 Oktober 2016.
Kompasiana. 2014. Hubungan Sejarah Lokal dengan Sejarah Nasional, (Online), (http://www.kompasiana.com/juffrouw/hubungan-sejarah-lokal-dengan-sejarah-nasional_54f5fa56a333116c058b46f9), diakses tanggal 16 Oktober 2016.
Marbun, B. 2005. Otonomi Daerah 1945-2005 : Proses dan Realita Perkembangan Otda sejak Zaman Kolonial sampai Saat ini. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH MASUKNYA AGAMA KONGHUCU DI INDONESIA

Kamu yang Kusayang

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BERBASIS NILAI