BUDAYA NYI RORO KIDUL DALAM TAUHID RUBUBIYAH DAN ULUHIYAH DI LAUT SELATAN PULAU JAWA
BUDAYA NYI RORO KIDUL DALAM TAUHID
RUBUBIYAH DAN ULUHIYAH DI LAUT SELATAN PULAU JAWA
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Pendidikan Agama Islam
yang dibina oleh Ibu Dra. Situ Malikhah
Thowaf, M.A., Ph.D
Oleh :
1. Nindita
Apriliana (140731600121)
2. Rizal
Zaky Abidin (140731600486)
3. Yuliarti
Kurnia Pramai Selli (140731606196)

UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
JURUSAN
SEJARAH
PRODI
S1 PENDIDIKAN SEJARAH
Februari
2015
KATA PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan
tugas matakuliah Pendidikan Agama Islam dengan makalah yang berjudul “ Budaya
Nyi Roro Kidul dalam Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah di Laut Selatan Pulau Jawa ”.
Penulis
mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Kepada Ibu Dra. Siti Malikhah Thowaf, M.A., Ph.D selaku
pembimbing, yang senantiasa memberikan pengarahan kepada penulis dalam
penyelesaian tugas makalah ini. Tidak lupa kepada teman-teman yang telah
memberikan informasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah yang
dibuat masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat berguna
bagi penulis untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini berguna untuk
menambah pengetahuan tentang Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah.
Malang,
Februari 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................
i
DAFTAR ISI.......................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang................................................................................................
1
1.2 Rumusan
Masalah...........................................................................................
2
1.3 Tujuan
Penulisan.............................................................................................
2
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tauhid Rububiyah dan Tauhid
Uluhiyah .................................... 3
2.2
Hubungan Penyembahan Nyi Roro Kidul dalam Kaitannya dengan Tauhid Rububiyah dan
Tauhid ..........................................................................................
6
2.3 Solusi Masyarakat dalam menyikapi hal
tersebut........................................... 14
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .................................................................................................... 16
3.2 Saran .............................................................................................................. 16
DAFTAR RUJUKAN......................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sesungguhnya segala puji bagi Allah kita
memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kita berlindung
kepada-Nya dari kejahatan diri kita sendiri dan keburukan amal kita. Barang siapa
yang diberi petunjuk oleh Allah SWT, tidak akan ada orang yang sanggup
menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan tidak akan ada yang sanggup
menunjukinya.
Sesungguhnya tiada ilah yang hak melainkan
Allah SWT semata, tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad
SAW adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga
Allah SWT merahmati kita, ketahuilah bahwa perkara terbesar berhubungan dengan diutusnya para rasul dari yang pertama
hingga terakhir adalah perintah untuk ibadah kepada Allah semata yang tidak ada
sekutu bagi-Nya (Tauhid), serta memperingatkan dan melarang peribadatan kepada
selain Allah SWT.
Demikianlah
al-Qur’an dalam berbagai pembicaraan dan cerita yang dikemukakannya selalu
menjelaskan bahwa tauhid adalah persoalan pokok yang diserukan oleh semua
rasul. Setelah itu, baru turun hukum-hukum dan syari’at, turun penjelasan tentang
halal dan haram. Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan semua manusia untuk
melakukan ibadah tersebut, bahkan penciptaan manusia adalah hanya untuk
beribadah kepada Allah SWT saja, sebagaimana firman Allah :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ [الذاريات 65]
Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Al-Qur’an membicarakan tentang al-Amr
(perintah) dan Anbiya’ Allah SWT (nabi-nabi Allah SWT) karena kedua-duanya ada
kaitan dengan penciptaan dan kekuasaan Allah SWT terhadap makhluk-Nya.
Al-Qur’an menerangkan segala bentuk balasan baik (pahala) untuk mereka yang
mentaati Allah SWT, Rasul dan Syariat-Nya. Semua ini untuk mengajak
mereka menegakkan Tauhid al-Uluhiyyah dan
Tauhid al-Rububiyyah. (Sumber : El-Hady, Hanifudin. 2011,
(Online),http://khotimhanifudinnajib.blogspot.com/2011/07/apakah-tauhid-uluhiyah-dan-rububiyah.html).
Maka, dalam hal ini kelompok akan membahas lebih rinci tentang Tauhid Rububiyah
dan Tauhid Uluhiyah dalam pengaplikasiannya di masyarakat beserta dampak/akibat
(negatif), serta solusi apa yang akan dilakukan dalam mengatasi hal tersebut.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah ?
2. Bagaimana
hubungan penyembahan Nyi Roro Kidul dalam kaitannya dengan Tauhid Rububiyah dan
Tauhid Uluhiyah ?
3. Bagaimana
solusi yang bisa kita lakukan dalam menyikapi hal tersebut ?
1.3
Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
arti dan penjelasan yang lebih rinci tentang Tauhid Rububiyah dan Tauhid
Uluhiyah.
2. Menjelaskan
hubungan penyembahan Nyi Roro Kidul dalam kaitannya dengan Tauhid Rububiyah dan
Tauhid Uluhiyah.
3. Menganalisa
solusi yang bisa kita lakukan dalam menyikapi hal tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah
Tauhid
diambil dari kata wahhada-yuwahhidu-tauhidan,
yang berarti “ Mengesakan”. Satu asal kata dengan kata wahid yang berarti “satu”, atau kata ahad yang berarti “esa”. Dalam ajaran Islam, tauhid berarti
keyakinan akan keesaan Allah SWT. Kalimat tauhid adalah la ilaha illa Allah, yang berarti ” Tiada Tuhan selain Allah SWT ”,
seperti dinyatakan dalam Q.S. al-Baqarah :163 yang berarti “ Tuhanmu adalah
Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang”.
Tauhid
merupakan inti dari seluruh tata nilai dan norma Islam. Karenanya, Islam
dikenal sebagai agama Tauhid, yaitu agama yang mengesakan Allah SWT. Bahkan
gerakan-gerakan pemurnian agama Islam dikenal dengan nama gerakan Muwahhidin. Dalam perkembangannya,
tauhid telah menjelma menjadi salah satu dari cabang ilmu dalam Islam.
Begitu
pentingnya doktrin tauhid ini, Nabi Muhammad SAW selalu menyampaikan dan
menekankannya kepada semua orang, suku dan bangsa tanpa terkecuali. Setiap
perbuatan yang bertentangan dengan visi
dan esensi tauhid divonis sebagai syirik. Itulah yang dinamakan syirik Akbar ( syirik besar), yang
mengakibatkan amal kebaikannya tidak diterima dan sia-sia. Tidak kalah
berbahaya adalah syirik Asghar (
kecil).
Tauhid
adalah intisari Islam yang merupakan pesan semua nabi sejak Nabi Adam AS sampai
Nabi Muhammad SAW. Sebagai agama terakhir, Islam datang bukan untuk membawa
tradisi baru, tetapi untuk menegaskan kembali pesan tauhid yang telah
didakwahkan para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad SAW. ( Sumber : Tim Dosen
Pendidikan Agama Islam Universitas Negeri Malang (UM). 2014, Pendidikan Islam Transformatif (Membentuk
Pribadi Berkarakter), Malang: Penerbit Dream Litera).
Tauhid
adalah meyakini keesaan Allah SWT dalam Rububiyah,
ikhlas beribadah kepada-Nya, serta menetapkan bagi-Nya nama-nama dan
sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, tauhid ada 3 macam :
1.
Tauhid
Rububiyah
Adalah
mengesakan Allah SWT dalam segala perbuatan-Nya, dengan meyakini bahwa Dia
sendiri yang menciptakan segenap makhluk hidup yang terdapat dalam Surah
az-Zumar : 62 yang mengartikan “ Bahwasanya, Dia adalah Pemberi Rezeki bagi
setiap manusia, binatang, maupun makhluk lainnya “. Dalam surah Hud : 6 mengartikan bahwa “ Dan tidak ada satu
binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya,... “.
Dan bahwasanya Dia adalah Penguasa alam dan Pengatur semesta, Dia yang
mengangkat dan menurunkan, Dia yang memuliakan dan menghinakan, Mahakuasa atas
segala sesuatu. Pengatur rotasi siang dan malam, Yang menghidupkan dan Yang
mematikan. Hal tersebut dalam Surat Ali Imron : 26-27.
Allah
SWT telah menafikan sekutu atau pembantu dalam kekuasaan-Nya. Sebagaimana Dia
menafikan adanya sekutu dalam penciptaan dan pemberian rezeki. Hal tersebut
dalam Surat Luqman : 11. Allah menyatakan pula tentang kekuasaan-Nya dalam Rububiyah-Nya atas segala alam semesta
(Surat Al-Fatihah : 2 dan Surat Al-A’raf : 54). Allah SWT menciptakan semua
makhluk-Nya di atas fitrah pengakuan terhadap Rububiyah-Nya. Bahkan, orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah
SWT dalam ibadah juga mengakui keesaan Rububiyah-Nya.
Jadi,
jenis tauhid ini diakui semua orang. Tidak ada umat manapun yang menyangkalnya.
Adapun orang yang paling dikenal pengingkarannya adalah Fir’aun. Begitu pula
orang-orang yang mengingkarinya di zaman ini, seperti komunis. Mereka hanya
menampakkan keingkaran karena kesombongannya. Maka, mengingkari dalam akal dan
hati terhadap pencipta semua itu, sama halnya mengingkari ilmu itu sendiri dan
mencampakkannya, keduanya tidak berbeda.
Adapun
pengingkaran adanya Tuhan oleh orang-orang komunis saat ini hanyalah karena
kesombongan dan penolakan terhadap hasil renungan dan pemikiran akal sehat.
Siapa yang seperti ini sifatnya, maka dia telah membuang akalnya dan mengajak
orang lain untuk menertawakan dirinya sendiri.
Hal
ini berarti siapa yang mengakui tauhid Rububiyah
untuk Allah SWT, dengan mengimani tidak ada pencipta, pemberi rezeki, dan
pengatur alam, kecuali Allah SWT. Dan itulah tauhid Uluhiyah. Yang berarti tauhid ibadah, karena ilah maknanya adalah ma’bud (yang
disembah). Jadi, tauhid Rububiyah adalah
bukti wajibnya tauhid Uluhiyah.
Allah
SWT memerintahkan mereka bertauhid Uluhiyah,
yaitu menyembah-Nya dan beribadah kepada-Nya. Maka, jalan fitri untuk
menetapkan tauhid Uluhiyah adalah
berdasarkan tauhid Rububiyah. Dia
berdalil dengan tauhid Rububiyah-Nya
atas hak-Nya untuk disembah. Tauhid Uluhiyah
inilah yang menjadi tujuan dari penciptaan manusia.
Hal
semacam ini banyak sekali dikemukakan dalam Al-Quran. Karena sesungguhnya ia
hanya mengakui sesuatu yang diharuskan, dan meninggalkan sesuatu yang
mengharuskan, atau berhenti hanya sampai pada dalil tetapi ia meninggalkan isi
dan inti dari dalil tersebut. Di antara kekhususan Ilahiyah adalah kesempurnaan-Nya yang mutlak dalam segala segi,
tidak ada celah atau kekurangan sedikit pun. Juga secara akal, syara’, dan
fitrah, tidak mungkin hal itu boleh ditujukan kepada selain-Nya.
2.
Tauhid
Uluhiyah
Uluhiyah adalah
ibadah. Tauhid Uluhiyah adalah
mengesakan Allah SWT dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub yang diisyaratkan seperti doa,
nadzar, qurban, raja’ (pengharapan),
takut, tawakal, raghbah (senang), rahbah (takut), dan inabah (kembali/taubat). Dan jenis tauhid ini adalah inti dakwah
para rasul, mulai rasul yang pertama hingga yang terakhir.
Jadi,
jelaslah bahwa tauhid Uluhiyah adalah maksud dari dakwah para rasul. Juga
disebut “tauhid ibadah”, karena ubudiyah adalah sifat ‘abd (hamba) yang wajib menyembah Allah SWT secara ikhlas, karena
ketergantungan mereka kepadanya. Tauhid ini adalah inti dari dakwah para rasul,
karena ia adalah asas dan pondasi tempat dibangunnya seluruh amal.
3.
Tauhid
Asma’wa Sifat
Adalah
beriman kepada nama-nama Allah SWT dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang
diterangkan dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya menurut apa yang pantas bagi
Allah SWT, tanpa ta’wil dan ta’thil, tanpa takyif, dan tamtsil, berdasarkan
Surat Asy-Syura : 11. Allah SWT menafikan jika ada sesuatu yang menyerupai-Nya,
dan Dia menetapkan bahwa Dia adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka Dia
diberi nama dan disifati dengan nama dan sifat yang Dia berikan untuk diri-Nya
dan dengan nama dan sifat yang disampaikan oleh Rasul-Nya.
Maka,
barangsiapa yang mengingkari nama-nama Allah SWT dan sifat-sifat-Nya atau
menamakan Allah SWT dan menyifati-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat
makhluk-Nya, atau men-ta’wil-kan dari
maknanya yang benar, maka dia telah berbicara tentang Allah SWT tanpa ilmu dan
berdusta terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya. (Sumber : Dr. Shalih bin Fauzan bin
Abdullah Al-Fauzan. 2000, Kitab Tauhid 1,
Jakarta : Penerbit Yayasan Al-Sofwa).
2.2
Hubungan
Penyembahan Nyi Roro Kidul dalam Kaitannya dengan Tauhid Rububiyah dan Tauhid
Uluhiyah
Sebelum
kita membahas hubungan penyembahan Nyi Roro Kidul dalam kaitannya dengan Tauhid
Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah, kita jelaskan dulu bagaimana asal muasal dan
sejarah dari Nyi Roro Kidul atau Kanjeng Ratu Selatan.
Kanjeng Ratu Kidul adalah
tokoh legenda yang
sangat populer di kalangan masyarakat Pulau
Jawa dan Bali.
Sosok ini secara umum sering disamakan dengan Nyi Roro Kidul,
meskipun sebenarnya beliau berdua sangatlah berbeda. Kanjeng Ratu Kidul adalah
Roh Suci yang mempunyai sifat mulia dan baik hati, beliau berasal dari tingkat
langit yang tinggi, pernah turun di berbagai tempat di dunia dengan jati diri
tokoh-tokoh suci setempat pada zaman yang berbeda-beda pula. Pada umumnya, beliau
menampakkan diri hanya untuk memberi isyarat/peringatan akan datangnya suatu
kejadian penting.
Dalam
mitologi Jawa, Kanjeng Ratu Kidul merupakan ciptaan dari Dewa Kaping Telu.
Ia mengisi alam kehidupan sebagai Dewi Padi (Dewi
Sri) dan dewi-dewi alam yang lain. Sedangkan, Nyi
Rara Kidul awalnya
merupakan putri Kerajaan Sunda yang
diusir ayahnya karena ulah ibu tirinya. Cerita-cerita yang terkait antara
"Ratu Kidul" dengan "Rara Kidul" bisa dikatakan berbeda
fase tahapan kehidupan menurut mitologi Jawa.
Kanjeng
Ratu Kidul memiliki kuasa atas ombak keras samudra Hindia dari
istananya yang terletak di jantung samudra. Menurut kepercayaan Jawa, ia
merupakan pasangan spiritual para sultan dari Mataram dan Yogyakarta,
dimulai dari Panembahan Senapati hingga
sekarang. Ia juga menjadi istri spiritual Susuhunan Surakarta.
Kedudukannya berhubungan dengan Merapi Keraton
Laut Selatan yang
berpusat di Kesultanan Solo dan Yogyakarta. Pengamat sejarah kebanyakan
beranggapan, keyakinan akan Kanjeng Ratu Kidul memang dibuat untuk melegitimasi
kekuasaan dinasti Mataram.
LEGENDA
Tidak diketahui dengan pasti sejak kapan legenda mengenai penguasa laut
selatan dimulai. Namun, legenda mengenai penguasa mistik pantai selatan
mencapai puncak tertinggi karena pengaruh kalangan penguasa keraton dinasti Mataram Islam (Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta). Dalam kepercayaan
tersebut, Kanjeng Ratu Kidul merupakan "istri spiritual" bagi
raja-raja kedua keraton tersebut.
Pada saat tertentu, keraton memberikan persembahan di Pantai Parangkusuma, Bantul, dan di Pantai Paranggupita, Wonogiri. Panggung Sanggabuwana di komplek kraton Surakarta dipercaya
merupakan tempat bercengkerama antara Sunan (raja) dengan Kanjeng Ratu. Konon,
Sang Ratu tampil sebagai perempuan muda dan cantik pada saat bulan muda hingga
purnama, terapi berangsur-angsur menua pada saat bulan menuju bulan mati.
Kanjeng
Ratu Kidul dan Nyi Roro Kidul
Dalam keyakinan orang Jawa,
Kanjeng Ratu Kidul memiliki pembantu setia bernama Nyai atau Nyi
Rara Kidul. Nyi Rara Kidul menyukai warna hijau dan dipercaya suka
mengambil orang-orang yang mengenakan pakaian hijau yang berada di pantai
wilayahnya untuk dijadikan pelayan atau pasukannya. Karena itu, pengunjung
pantai wisata di selatan Pulau Jawa, baik di Pelabuhan Ratu, Pangandaran,
Cilacap, pantai-pantai di selatan Yogyakarta, hingga Semenanjung Purwa di ujung
timur, selalu diingatkan untuk tidak mengenakan pakaian berwarna hijau.
Di kalangan masyarakat Sunda berkembang anggapan bahwa Ratu Kidul
merupakan titisan dari seorang putri Pajajaran yang bunuh diri di laut selatan karena
diusir oleh keluarganya karena ia menderita penyakit yang membuat anggota
keluarga lainnya malu. Dalam kepercayaan Jawa, tokoh ini dianggap bukanlah Ratu
Laut Selatan yang sesungguhnya, melainkan diidentikkan dengan Nyi
Rara Kidul, pembantu setia Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini berdasarkan
kepercayaan bahwa Ratu Kidul berusia jauh lebih tua dan menguasai Laut Selatan
jauh lebih lama sebelum sejarah Kerajaan Pajajaran
Menurut pengalaman seorang spiritualis pada tahun 1998, ia bertemu
dengan Kanjeng Ratu Kidul di pantai Parang Tritis, Yogyakarta.
Saat itu, Eyang Ratu Kidul didampingi oleh Nyi
Roro Kidul. Keduanya persis tetapi Eyang Ratu Kidul kulitnya kuning
langsat, sementara Nyi Roro Kidul agak coklat. Selain itu, Eyang ratu Kidul
mempunyai aura putih jernih dan gemerlapan seperti berlian, bulat mengelilingi
seluruh tubuhnya. Sedangkan aura Nyi Roro Kidul berwarna putih susu seperti
cahaya lampu neon, tipis putih mengikuti postur tubuhnya. Ia diberi penjelasan
bahwa Nyi
Roro Kidul adalah patih atau
kepala pengawalnya. Nyi Roro Kidul adalah makhluk halus jenis jin yang mengabdi
dan berguru kepada Eyang ratu. Nyi Roro Kidul ditugaskan untuk mengontrol dan
meredam angkara murka dari makhluk-makhluk gaib jenis jin dan kekuatan gaib
serta ilmu gaib yang berada disepanjang pantai selatan Pulau Jawa. (Sumber : Wikipedia. 2014, (Online),
http://id.wikipedia.org/wiki/Kanjeng_Ratu_Kidul).
Salah satu musibah besar yang menimpa kaum
muslimin dewasa ini adalah karena ketidakpedulian mereka terhadap urusan agama
dan sibuk dengan urusan dunia adalah banyaknya kaum muslimin yang terjerumus ke
dalam hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala.
Hal ini bisa terjadi akibat sedikitnya pemahaman mereka tentang ajaran
agama Islam yang hanif ini.
Jurang keharaman terdalam yang mereka masuki, yaitu
lembah hitam kemusyrikan. Perbuatan dosa yang paling besar ini pun begitu samar
bagi kebanyakan manusia karena kebodohan mereka dan rajinnya setan dalam
meyesatkan manusia. Sebagaimana yang dikisahkan Allah Ta’ala tentang sumpah Iblis (yang artinya),“Karena
Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan
(menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus“. (QS. Al-A’raf [7]: 16).
Bahkan, kalau kita teliti secara seksama, ternyata
kemusyrikan hasil tipu daya iblis yang terjadi pada masa kita sekarang ini
justru lebih parah daripada kemusyrikan yang terjadi di kalangan kaum musyrikin
pada masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Dulu Dalam Hal Uluhiyyah Saja
Orang-orang musyrik yang diperangi oleh
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah
masyarakat yang memiliki keyakinan bahwa Allah SWT-lah satu-satunya Dzat Yang
Maha Mencipta, Maha Pemberi Rezeki, dan bahwa tidak ada yang mengatur segala urusan
kecuali Allah Ta’ala saja, serta seluruh langit dan bumi
beserta segala isinya, semuanya adalah hamba-Nya dan berada di bawah pengaturan
dan kekuasaan-Nya. Inilah yang disebut dengan istilah tauhid rububiyah.
Salah satu dalil yang menunjukkan hal itu
adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Katakanlah, ’Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika
kamu mengetahui ? ’Mereka (kaum
musyrikin) akan
menjawab, ‘Kepunyaan
Allah’. Katakanlah,
’Maka apakah kamu tidak ingat?’ . Katakanlah, ’Siapakah yang memiliki
langit yang tujuh dan yang memiliki ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan
menjawab, ’Kepunyaan Allah’.
Katakanlah, ’Maka apakah kamu tidak bertakwa ? ’Katakanlah,
’Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang dia
melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu
mengetahui ?. ’Mereka akan menjawab, ’Kepunyaan
Allah’. Katakanlah,
’(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu ?’ ”. (QS. Al-Mu’minuun [23]: 84-89).
Demikianlah kondisi kaum musyrikin dahulu. Mereka
tidak pernah memiliki keyakinan bahwa Latta, Uzza, Manat, dan sesembahan mereka
lainnya adalah yang menciptakan, memberi rezeki, atau yang menguasai alam
semesta ini. Mereka meyakini bahwa berhala pujaan mereka itu hanyalah [simbol]
hamba-hamba Allah Ta’ala yang shalih yang dijadikan sebagai
perantara dalam ibadah mereka kepada Allah Ta’ala.
Lalu bagaimana dengan kondisi kaum musyrikin
pada zaman sekarang ?. Maka akan kita jumpai kondisi yang lebih parah dari kaum
musyrikin pada zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Karena
di samping beribadah kepada selain Allah Ta’ala (kemusyrikan dalam hal uluhiyyah), mereka juga
menyekutukan Allah Ta’ala dalam hal rububiyyah. Salah satu bukti yang
menunjukkan kemusyrikan dalam masalah rububiyyah adalah keyakinan sebagian
masyarakat tentang Nyi Roro Kidul sebagai “penguasa” laut selatan.
Keyakinan ini dapat dilihat dari “budaya” atau
kebiasaan mereka ketika melakukan tumbal berupa sembelihan kepala kerbau,
kemudian di-larung (dilabuhkan)
ke Laut Selatan dengan keyakinan agar laut tersebut tidak ngamuk (“marah”). Menurut keyakinan
mereka, tumbal tersebut dipersembahkan kepada penguasa Laut Selatan, yaitu jin
Nyi Roro Kidul.
Padahal, menyembelih merupakan salah satu
bentuk ibadah, karena di dalamnya terkandung unsur ibadah, yaitu perendahan
diri dan ketundukan. Barangsiapa yang memalingkan ibadah kepada selain Allah SWT,
maka dia telah jatuh dalam perbuatan syirik
akbar dan pelakunya keluar dari Islam. Sehingga dalam kasus tersebut
terjadi kemusyrikan dalam dua perkara sekaligus.
Pertama, dalam tauhid rububiyyah, karena mereka meyakini adanya
penguasa atau pengatur alam (yaitu Laut Selatan) selain Allah Ta’ala. Kedua, dalam
tauhid uluhiyyah, karena mereka menujukan ibadah
penyembelihan kepada Nyi Roro Kidul tersebut dengan disertai pengagungan dan
perendahan diri kepadanya.
Demikianlah realita sebagian umat Islam pada
zaman sekarang. Mereka tidak hanya menyekutukan Allah SWT dalam hal uluhiyyah saja, namun mereka juga menyekutukan
Allah SWT dalam hal rububiyyah. Suatu keadaan buruk yang tidak
pernah kita jumpai pada kaum musyrikin di zaman Rasulullah yang notabene
“hanya” menyekutukan Allah SWT Ta’ala dalam uluhiyyah-Nya
saja.
(Sumber : Daw, Muhammad. 2011, (Online), https://mohammaddow.wordpress.com/2011/02/14/page/2/).
Dulu di Waktu Lapang Saja
Realita kedua yang menunjukkan bahwa kondisi
kemusyrikan zaman sekarang lebih parah daripada kemusyrikan pada zaman
Rasulullah adalah: kemusyrikan zaman Rasulullah dahulu hanya terjadi ketika
dalam kondisi lapang. Adapun, kalau sedang ditimpa kesusahan, musibah, atau
terancam bahaya, mereka mengikhlaskan/memurnikan ibadah mereka kepada Allah Ta’ala semata.
Salah satu bukti/dalil yang menunjukkan bahwa
kemusyrikan orang musyrik jahiliyyah hanya di waktu lapang saja adalah firman
AllahTa’ala (yang
artinya),“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah
(datangnya). Dan
bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta
pertolongan. Kemudian
apabila dia telah menghilangkan kemudharatan itu dari kamu, tiba-tiba sebagian
dari kamu mempersekutukan Rabb-nya dengan (yang lain)”. (QS. An-Nahl [16]: 53-54)
Dengan merenungkan ayat tersebut dan ayat-ayat
lain yang semisal (QS. Yunus [10]: 22-23; QS. Al-Isra’ [17]: 67; QS.
Al-‘Ankabuut [29]: 6; dan QS. Luqman [31]: 32), jelaslah bagi kita bahwa orang
musyrik jahiliyyah berbuat kemusyrikan hanya di waktu lapang. Namun, apabila
apabila mereka sedang tertimpa musibah atau terancam bahaya, mereka
mengikhlaskan doa dan ibadah mereka kepada Allah Ta’ala dan melupakan segala sesembahan
selain Allah. Mereka
tidak menyeru atau berdoa kepada selain Allah Ta’ala,
karena mereka mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang dapat menyelamatkan
mereka dari bahaya tersebut kecuali Allah Ta’ala saja.
Berbeda dengan kaum musyrikin zaman sekarang,
kemusyrikan mereka terus-menerus berlangsung, baik dalam kondisi lapang maupun
sempit. Mereka tidak mengikhlaskan ibadah mereka kepada Allah Ta’ala, meskipun sedang ditimpa
kesempitan dan kesusahan. Bahkan, setiap kali kesusahan dan kesempitan yang
mereka alami semakin parah, semakin parah pula kemusyrikan yang mereka lakukan dengan
mendatangi dukun, makam para wali dan orang shalih untuk meminta kepada mereka
agar dihilangkan musibah yang menimpa. Lihatlah, ketika terjadi musibah
meletusnya Gunung Merapi beberapa waktu yang lalu, dalam kondisi kesusahan
seperti itu, mereka justru menyembelih kerbau sebagai persembahan (tumbal)
kepada jin penunggu Gunung Merapi.
Oleh karena itu, tidak ragu lagi bahwa
kemusyrikan zaman sekarang ini lebih parah daripada kemusyrikan pada zaman
dahulu. Karena orang musyrik zaman sekarang berbuat kemusyrikan dalam dua
keadaan (yaitu dalam kondisi lapang dan sempit), sedangkan orang musyrik zaman
dahulu hanya berbuat syirik dalam satu keadaan saja (yaitu dalam kondisi
lapang), dan mentauhidkan Allah Ta’ala dalam kondisi sempit.
Sesembahan Dulu “Lebih Mending”
Kemusyrikan yang pertama kali terjadi di muka
bumi ini adalah kemusyrikan yang dilakukan oleh kaum Nuh ‘alaihis salaam. Kemusyrikan tersebut terjadi
karena sikap mereka yangghuluw (berlebih-lebihan
dalam memuji) terhadap orang-orang shalih. Allah Ta’alaberfirman (yang
artinya), “Dan mereka berkata, ’Janganlah sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) terhadap tuhan-tuhan kamu dan jangan pula
sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) terhadap Wadd, dan jangan pula
Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr’”. (QS.
Nuh [71]: 23)
Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma menjelaskan
tentang sesembahan-sesembahan kaum Nuh dalam ayat di atas, “(Itu
adalah) nama-nama orang shalih di kalangan umat Nuh. Ketika
mereka meninggal, setan membisikkan kepada kaum Nuh untuk membuat patung-patung
di tempat-tempat mereka beribadah, serta menamai patung-patung tersebut dengan
nama-nama mereka. Kaum Nuh pun menuruti bisikan tersebut, namun patung tersebut
belum sampai disembah. Ketika kaum Nuh tersebut meninggal, dan hilanglah ilmu,
patung-patung itu pun akhirnya disembah” (HR.
Bukhari).
Demikianlah, orang-orang musyrik pada zaman
dahulu menjadikan hamba-hamba Allah Ta’ala yang shalih, baik dari kalangan para
nabi, malaikat, ataupun wali sebagai sekutu bagi Allah Ta’ala. Karena menurut
persangkaan mereka, hamba-hamba Allah Ta’ala yang shalih ini dapat mendekatkan diri
mereka kepada Allah Ta’ala disebabkan kedudukan mulia yang
mereka miliki di sisi Allah Ta’ala.
Sementara, mereka merasa banyak berbuat dosa dan maksiat sehingga tidak pantas
meminta langsung kepada Allah, tetapi harus melalui perantara orang-orang
shalih tersebut.
Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah berkata, ”Orang-orang musyrik
dahulu menyembah hamba-hamba Allah yang shalih dan dekat di sisi Allah, baik
dari kalangan nabi, wali, atau malaikat. Atau mereka menyembah batu dan pohon,
yang merupakan makhluk yang taat kepada Allah dan tidak pernah bermaksiat
kepada-Nya. Sedangkan orang musyrik zaman sekarang, mereka menyembah
manusia yang paling bejat. Orang-orang
yang mereka sembah ternyata adalah orang-orang yang tidak bisa menjaga diri
mereka dari zina, mencuri, meninggalkan shalat, dan maksiat-maksiat lainnya.
Sehingga masyarakat yang memiliki keyakinan
terhadap orang-orang shalih dan makhluk yang tidak pernah bermaksiat (yaitu
kaum musyrik zaman dahul.) lebih ringan (kemusyrikannya) daripada
masyarakat yang memiliki keyakinan terhadap orang-orang yang fasik dan rusak
(yaitu kaum musyrik zaman sekarang.)”.
Marilah kita cocokkan perkataan beliau tersebut
dengan realita yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini. Saking parahnya
keadaan mereka, orang-orang yang telah mereka kenal sebagai orang suka berbuat
maksiat pun mereka sembah dan diharapkan berkahnya. Salah satu buktinya,
banyaknya orang yang “ngalap
berkah” ke makam
Pangeran Samudro dan Nyai Ontrowulan di Gunung Kemukus, Sragen. Konon, mereka
berdua adalah seorang anak dan ibu tiri (permaisuri raja) dari kerajaan
Majapahit yang berselingkuh (baca: berzina) kemudian diusir dari kerajaan dan
menetap di Gunung Kemukus hingga meninggal dunia. Sebelum meninggal, Pangeran
Samudro berpesan bahwa keinginan peziarah makamnya akan terkabul jika mereka
bersedia melakukan seperti apa yang pernah dia lakukan bersama ibu tirinya
(yaitu berzina).
Sehingga sebagai syarat “mujarab” untuk mendapatkan berkah di sana
adalah harus dengan berzina terlebih dahulu. Inilah salah satu sosok sesembahan
orang musyrik zaman sekarang yang ternyata adalah seorang pezina.
Inilah realita kemusyrikan pada zaman ini. Dari
sisi ini, kita dapat melihat bersama betapa orang-orang musyrik zaman dahulu
lebih berakal daripada orang-orang musyrik sekarang ini. Karena maraknya
bentuk-bentuk kemusyrikan dan samarnya hal tersebut, sudah seharusnya bagi
setiap kita untuk mempelajari ilmu tauhid agar dapat menghindarkan diri
sejauh-jauhnya dari segala bentuk kemusyrikan. Semoga Allah menjauhkan kita
dari kemusyrikan dengan segala bentuknya. (Sumber : Qolbussalam. 2011,
(Online), https://qolbussalam.wordpress.com/2011/02/23/kemusyrikan-zaman-dahulu-vs-zaman-sekarang/).
2.3
Solusi
Masyarakat dalam menyikapi hal tersebut.
Dari
penjelasan di atas tentang kasus tersebut, kita dapat menjelaskan bahwa
masyarakat yang sudah melakukan hal menyimpang tersebut telah melakukan dosa
besar, yaitu syirik. Hal tersebut berdampak pada aspek kehidupan di masa depan,
salah satunya dalam hal moral dan perubahan perilaku yang negatif.
Selain
itu, jika dilanjutkan secara terus-menerus, maka masyarakat yang tidak
melakukan penyimpangan akan berdampak juga, yaitu terjadinya perbedaan aliran
dan pemahaman tentang agama atau keyakinannya. Tidak mustahil jika nantinya ada
aliran atau keyakinan yang baru.
Oleh
karena itu, solusi yang harus kita lakukan dalam menyikapi hal tersebut
a. Harus
mengetahui dasar-dasar agama tentang tauhid bagi Islam.
b. Menghindari
perilaku musyrik dengan cara mendekatkan kepada Allah SWT.
c. Meyakini
bahwa Allah SWT ada dan Esa.
d. Mengajak
orang untuk berada di jalur yang benar, bisa dengan berdakwah.
e. Kembali
kepada kitab dan sunnah rasul untuk mengambil aqidah shahihah.
f.
Dalam hal pendidikan,
guru diharapkan juga tidak hanya mengasah pengetahuan peserta didik, tetapi
juga menanamkan perilaku yang baik dan benar, agar terciptanya peserta didik
yang bermoral dan beriman bagi agamanya.
g. Selain
itu, orang tua sangat perlu dalam membimbing anaknya dalam berperilaku terutama
untuk agamanya, agar kelak menjadi anak yang sholeh dan sholehah karena tugas
orang tua adalah mendidik anaknya secara penuh dan keluarga adalah tempat
pertama anak dididik untuk hidup.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari penjelasan tersebut, dapat kita simpulkan
bahwa tauhid itu adalah salah satu tameng atau pelindung yang sangat penting
dalam menjaga keimanan kita kepada Allah SWT. Oleh karena itu, kita harus dapat
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari agar tidak terjerumus ke dalam
hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Sehingga, kehidupan kita akan damai dan
tenteram, serta selalu mendapatkan ridho dari Allah SWT.
3.2
Saran
Dalam
hal ini, penulis masih mempunyai banyak kekurangan. Untuk itu, penulis sangat
membutuhkan kritik dan saran dalam penyempurnaan makalah ini. Untuk para
pembaca makalah ini, diharapkan jangan hanya memahami isinya saja, tetapi juga
mengambil nilai-nilai dari setiap kehidupan sehari-hari agar menjadi pribadi
yang semakin beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.
DAFTAR RUJUKAN
1.
Tim
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Negeri Malang (UM). 2014. Pendidikan Islam Transformatif (Membentuk Pribadi Berkarakter). Malang :
Dream Litera.
2.
Dr.
Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. 2000. Kitab Tauhid 1. Jakarta : Yayasan Al-Sofwa.
3.
El-Hady, Hanifudin. 2011, Apakah Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah Itu ?, (Online), http://khotimhanifudinnajib.blogspot.com/2011/07/apakah-tauhid-uluhiyah-dan-rububiyah.html, diakses
26 Januari 2015.
4.
Wikipedia. 2014, Nyi Roro Kidul, (Online), http://id.wikipedia.org/wiki/Kanjeng_Ratu_Kidul, diakses
26 Januari 2015.
5.
Daw, Muhammad. 2011, Kemusyrikan di Masa Kini, (Online), https://mohammaddow.wordpress.com/2011/02/14/page/2/, diakses
26 Januari 2015.
6.
Qolbussalam. 2011, Kemusyrikan Zaman Dahulu VS Zaman Sekarang, (Online), https://qolbussalam.wordpress.com/2011/02/23/kemusyrikan-zaman-dahulu-vs-zaman-sekarang/, diakses
26 Januari 2015.
Komentar
Posting Komentar