MASA PEMERINTAHAN WANGSA ISYANA PADA MASA KERAJAAN MATARAM KUNO DI JAWA TIMUR
MASA
PEMERINTAHAN WANGSA ISYANA PADA MASA KERAJAAN MATARAM KUNO DI JAWA TIMUR
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Indonesia Kuno
yang dibina oleh Bapak Denny Yudo Wahyudi,
S.Pd., M. Hum
Oleh :
Yuliarti Kurnia Pramai Selli
(140731606196)

UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
JURUSAN
SEJARAH
PRODI
S1 PENDIDIKAN SEJARAH
November
2014
KATA
PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan
tugas matakuliah Sejarah Indonesia Kuno dengan makalah yang berjudul “Masa
Pemerintahan Wangsa Isyana pada Masa Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur”.
Penulis
mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Kepada Bapak Deny Yudo Wahyudi, S.Pd., M.Hum selaku
pembimbing, yang senantiasa memberikan pengarahan kepada penulis dalam
penyelesaian tugas makalah ini. Tidak lupa kepada teman-teman yang telah
memberikan informasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah yang
dibuat masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat berguna
bagi penulis untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini berguna untuk
menambah pengetahuan tentang Wangsa Isyana.
Malang,
November 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah .......................................................................................... 1
1.3 Tujuan
Penulisan ............................................................................................ 1
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Asal Usul
Wangsa Isyana .............................................................................. 2
2.2 Masa Pemerintahan Dharmawangsa Teguh
dalam Wangsa Isyana ............... 8
2.3 Masa Pemerintahan Airlangga dalam Wangsa Isyana ................................... 10
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .................................................................................................... 13
3.2 Saran .............................................................................................................. 13
DAFTAR RUJUKAN ........................................................................................ 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kerajaan Mataram Kuno adalah kerajaan zaman hindu yang
banyak meninggalkan sejarah melalui prasasti yang ditemukan. Sejak abad 10
kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dimulai dari pemerintahan Mpu Sindok. Secara
umun kerajaan Mataram Kuno pernah di pimpin oleh 3 dinasti yang pernah ssberkuasa
pada waktu itu, yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Sailendra, dan Wangsa Isyana.
Wangsa Isyana merupakan dinasti yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno setelah
berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Pendiri dari dinasti Isyana adalah
Mpu Sindok, baru membangun kerajaannya di Tamwlang tahun 929 M. Kerajaan yang
didirikan Mpu Sindok merupakan lanjutan dari kerajaan mataram. Dengan demikian,
Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu Wangsa Isyana.
Perpindahan kerajaan ke Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena
sejak masa Dyah Balitung, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno telah meluas hingga
ke Jawa Timur. (Dwi, Shindy. 2013, (Online), http://encuss26.blogspot.com/)
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana asal usul dari Wangsa
Isyana ?
2. Bagaimana masa pemerintahan
Dharmawangsa Teguh dalam Wangsa Isyana ?
3. Bagaimana masa pemerintahan
Airlangga dalam Wangsa Isyana ?
1.3
Tujuan Penulisan
1. Dapat memahami asal usul dari Wangsa
Isyana.
2. Dapat menjelaskan masa pemerintahan
Dharmawangsa Teguh dalam Wangsa Isyana.
3. Dapat menjelaskan masa pemerintahan
Airlangga dalam Wangsa Isyana.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal Usul Wangsa Isyana
Istilah Wangsa Isyana dijumpai di
dalam prasasti Pucangan, di bagian yang berbahasa Sansekerta. Prasasti ini
dikeluarkan oleh raja Airlangga pada tahun 963 Saka (1041 M) yang berisikan
tentang silsilah raja Airlangga dan di dalamnya Mpu Sindok termasuk ke dalam
silsilah tersebut. Dapat dilihat, bahwa pendiri Wangsa ini adalah Mpu Sindok
Sri Isyanawikramma Dharmmotunggadewa.
Sebelumnya, munculnya Wangsa Isyana
ini dipicu oleh letusan Gunung Merapi yang mahadahsyat yang dianggap sebagai
pralaya pada masa Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Masalah ini tidak dapat
di selesaikan oleh Rakai Wawa. Ia wafat mendadak, dan kedudukan itu
selanjudnya digantikan oleh Mpu Sindok yang waktu itu menjadi Rakryan I Hino.(Yangtersendir92.
2013, (Online), http://yangtersendir92.wordpress.com/2013/01/04/kerajaan-medang-kahuripan-panjalu-dan-kediri/)
Sehingga oleh Mpu Sindok pusat
kerajaan tersebut dipindahkan dan dibangun kembali di Jawa Timur, dan yang
nantinya memunculkan wangsa baru, yaitu Wangsa Isyana.
Banyak pendapat yang mencoba menjelaskan mengapa pusat
kerajaan (Mataram) berpindah dari wilayah Jawa bagian tengah ke Jawa bagian
timur pada sekitar abad ke-10 M. Perpindahan tersebut terbukti dilakukan sebab
berdasarkan data arkeologis dapat diketahui bahwa dalam abad ke-
8-10 banyak monumen keagamaan,
arca, prasasti dan sebagainya yang merupakan penanda kebudayaan Hindu-Buddha
ditemukan di Jawa bagian tengah, namun mulai akhir abad ke-
10-15, temuan yang bercorak arkeologi Hindu-Buddha justru
banyak dijumpai di wilayah Jawa Timur.
Berikut adalah beberapa pendapat
tentang penyebab perpindahan pusat kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke
Jawa Timur :
a.
N.J.Krom
seorang ahli kebudayaan Hindu-Buddha berkebangsaan Belanda, ia menjelaskan
bahwa perpindahan tersebut disebabkan oleh sesuatu yang tidak dapat diatasi,
mungkin timbul wabah penyakit yang mengharu-biru penduduk Mataram Kuno,
sehingga mereka harus pindah menyelamatkan diri ke wilayah lain yang tidak
terjangkiti penyakit tersebut (Krom 1954:
106—7).
b. Schrieke secara garis besar berpendapat bahwa perpindahan
itu terjadi akibat merosotnya kehidupan ekonomi rakyat di wilayah Jawa Tengah.
Akibatnya kerajaan di wilayah Jawa bagian tengah runtuh
dengan sendirinya dan muncul pusat-pusat kerajaan baru di wilayah Jawa bagian
timur (Schrieke 1957: 300—1).
c. J.G.de Casparis
(1950) yang menyatakan bahwa
perpindahan itu terjadi karena adanya konflik antara Mataram di Jawa dengan
Śrîvijaya sebagai kerajaan maritim di Sumatera. De Casparis selanjutnya mengembangkan pendapatnya bahwa
pindahnya ibu kota ke wilayah Jawa bagian timur juga didasarkan kepada alasan
ekonomis akibat adanya faktor eksternal.
Atas dasar itulah pusat kerajaan dipindahkan ke Jawa
bagian timur, maka terbuktilah di masa selanjutnya di wilayah itu berkembanglah
pusat-pusat kerajaan yang dikenal di wilayah Asia Tenggara karena mempunyai
hubungan yang relatif mudah ke daerah pantai utaranya (De Casparis 1958: 9).
d.
Boechari
(1976), ia menyatakan bahwa pindahnya pusat kerajaan disebabkan adanya pralaya
(bencana besar) yang menimpa wilayah Jawa bagian tengah. Dalam tradisi Jawa terdapat kepercayaan bahwa apabila
kedaton lama yang telah terkena bencana atau pernah diduduki musuh tidak layak
lagi untuk ditempati terus sebagai persemayaman raja. Dengan demikian
berpindahlah pusat kerajaan Jawa Tengah ke Jawa Timur (Boechari 1976: 14—16).
Berbagai pendapat tersebut menunjukkan bahwa masalah perpindahan pusat kerajaan
dari wilayah Jawa tengah ke Jawa Timur cukup menarik untuk didiskusikan, dan
alasan perpindahan itu juga masih tetap menjadi wacana ilmiah yang patut
ditinjau ulang berdasarkan data baru sehingga mengemukalah tafsiran baru.
(Munandar, Aris, Agus. 2014. Makalah disajikan dalam Kuliah Tamu Kajian Terkini
Berbagai Permasalahan Sejarah Indonesia Kuno).
Kerajaan baru itu tetap bernama Mataram, terbukti dari
Prasasti Paradah tahun 865 Saka (943 M) dan prasasti Anjukladang tahun 859 Saka
(937 M). Dalam prasasti Turyyan tahun 851 Saka (929 M), ibu kota pertamanya
adalah Tamwlang yang dimungkinkan di dekat Jombang di Desa Tambelang.
Kedudukan Mpu Sindok dalam keluarga
raja – raja yang memerintah di Mataram Kuno memang dipermasalahkan. Berdasarkan
prasasti Cunggrang, Mpu Sindok adalah menantu Wawa (R. Ng. Poerbatjaraka,
1930:171 - 183).
Pendapat tersebut dibantah oleh
Stutterheim bahwa pertama nama Bawa itu harus dibaca Bawang, karena jelas ada anuswara di atas huruf wa, dan raja Wawa sendiri tidak pernah
bergelar Rakaryan Wawa, tetapi Rakai Sumba atau Rakai Pangkaja dyah Wawa (W. F.
Stutterheim, 1932:618 - 621).
Mpu Sindok pernah memangku jabatan
Rakai Halu dan Rakryan Mapatih i Hino, yang menunjukkan bahwa ia adalah pewaris
takhta yang sah, siapapun ayahnya. Sehingga, ia tidak perlu kawin dengan putri
mahkota untuk menjadi raja.
Mpu Sindok sekurang – kurangnya
memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan 948 M. Dari masa pemerintahannya,
didapatkan sekitar 20 prasasti yang sebagian besar tertulis di atas batu. “C.
C. Berg berpendapat bahwa semua prasasti yang didapatkan pada masa
pemerintahannya adalah palsu dan dibuat oleh pujangga raja Dharmawangsa
Airlangga yang dikarenakan ia memerlukan pengesahan (legitimasi) dengan
menciptakan leluhur (wangsakara)....”
(C. C. Berg, 1963:24 - 25).
Pendapat tersebut dibantah oleh
Boechari karena prasasti – prasasti yang dikeluarkan oleh seorang raja mempunyai
ciri – ciri yang sama agar dapat dibedakan dengan prasasti – prasasti yang
dikeluarkan oleh raja lain (Boechari, 1968:15) Dalam prasasti Kamalagyan dan
Pucangan menyebutkan bahwa tempat pendarmaan Mpu Sindok adalah Isyanabhawana
yang menunjukkan bahwa Mpu Sindok benar – benar ada dalam sejarah.
Sebagian besar prasasti Mpu Sindok
berkenaan dengan penetapan syima bagi
suatu bangunan suci, kebanyakan atas permintaan pejabat atau rakyat suatu desa.
Dalam prasasti Anjukladang tahun 859 Saka (937 M) dikatakan bahwa raja Mpu
Sindok telah memerintahkan agar tanah sawah kakatikan
di Anjukladang dijadikan syima,
dan dipersembahkan kepada bhatara di sang hyang prasada kabhaktyan di Sri
Jayamerta, dharmma dari Samgat Anjukladang.
Rupa-rupanya Rakryan Hujung, yang
ternyata bernama Pu Madhuralokaranja, amat besar amalnya di bidang keagamaan.
Terbukti dalam prasasti Jeru-Jeru tahun 852 Saka (930 M), yang isinya memohon
kepada raja agar diperkenankan menetapkan Desa Jeru-Jeru menjadi tanah wakaf
berupa sawah bagi bangunan sucinya, yaitu Sang Sala di Himad, dan permohonan
itu dikabulkan raja.
Bangunan suci di Walandit yang
memperoleh beberapa daerah sima atas persetujuan dan perintah Mpu Sindok itu
ternyata masih ada dalam zaman Majapahit, yaitu pada prasasti Himad atau
Walandit. Prasasti Turyyan tahun 851 Saka (929 M) memberi keterangan tentang
permohonan Dang Atu pu Sahitya untuk memperoleh sebidang tanah bagi pembuatan
bangunan suci. Prasasti ini sampai sekarang berada di Dukuh Watu Godeg,
Kelurahan Tanggung, Kecamatan Turen (nama asli), Kabupaten Malang.
Ada juga prasasti yang memperingati
pembuatan bendungan, yaitu prasasti Wulig tahun 856 Saka (935 M) yang di
dalamnya ada permaisuri atau selir dari Mpu Sindok. Prasasti lain yang juga
memunculkan permaisuri Mpu Sindok adalah prasasti Geweg tahun 855 Saka (933 M)
dan prasasti Cunggrang tahun 851 Saka (929 M).
Ada juga penetapan sima yang bukan merupakan perintah raja,
melainkan oleh Rakryan Kanuruhan Dyah Mungpah. Dapat dilihat bahwa memang tidak
ada peristiwa di bidang politik yang terdapat di dalam prasasti Mpu Sindok.
Prasasti Sumbut tahun 855 Saka (933
M) yang hanya ada dua lempeng yang pertama saja, memberikan keterangan bahwa
Mpu Sindok telah memberi anugerah sima
Desa Sumbut kepada Sang Mapanji Jatu Ireng, karena ikut berjasa dalam menghalau
musuh bersama penduduk Desa dengan tujuan agar raja di atas singgasana dapat
langgeng.
Rupa-rupanya perpindahan pusat
kerajaan ke Jawa Timur tidak perlu disertai dengan penaklukan-penaklukan. Telah
disebutkan bahwa ibu kota kerajaan yang pertama berada di Tamwlang. Tetapi,
menurut prasasti Paradah dan Anjukladang ibu kotanya berada di Watu Galuh yang
sekarang letaknya di dekat Jombang di tepi Kali Brantas.
Dari sekian banyak bangunan suci
yang disebutkan di dalam prasasti-prasasti Mpu Sindok, belum ada satu pun yang
dapat dilokalisasikan dengan tepat. Sebenarnya diharapkan adanya suatu
peninggalan arkeologi yang dapat diidentifikasikan dengan candi kerajaan,
sebagai pengganti percandian Loro Jonggrang, sebagai lambang Mahameru untuk
pusat kerajaan yang baru di Jawa Timur.
Sumber sejarah Kerajaan Medang
Kamulan berasal dari berita asing dan benda-benda berupa prasasti, candi.
1.
Benda
a. Prasasti
Beberapa prasasti yang mengungkapkan Kerajaan Medang Kamulan antara lain :
Beberapa prasasti yang mengungkapkan Kerajaan Medang Kamulan antara lain :
1) Prasasti dari Mpu Sindok, dari Desa
Tangeran (daerah Jombang) tahun 933 M menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah bersama
permaisurinya Sri Wardhani Pu Kbin.
2) Prasasti Mpu Sindok dari daerah
Bangil menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah pembuatan satu candi sebagai
tempat pendharmaan ayahnya dari permaisurinya yang bernama Rakryan Bawang.
3) Prasasti Mpu Sindok dari Lor (dekat
Nganjuk) tahun 939 M menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah pembuatan
candi yang bernama Jayamrata dan Jayastambho (tugu kemenangan) di Desa Anyok
Lodang.
4)
Prasasti Calcuta, prasasti dari Raja Airlangga yang
menyebutkan silsilah keturunan dari Raja
2.
Berita
Berita asing tentang keberadaan Kerajaan Medang Kamulan di
Jawa Timur dapat diketahui melalui berita dari India dan Cina. Berita dari
India mengatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan persahabatan dengan
Kerajaan Chola untuk membendung dan menghalangi kemajuan Kerajaan Medang
Kamulan pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa.
Berita Cina berasal dari catatan-catatan yang ditulis pada
zaman Dinasti Sung. Catatan-catatan Kerajaan Sung itu menyatakan bahwa antara
kerajaan yang berada di Jawa dan Kerajaan Sriwijaya sedang terjadi permusuhan,
sehingga ketika Duta Sriwijaya pulang dari Cina (tahun 990 M), terpaksa harus
tinggal dulu di Campa sampai peperangan itu reda. Pada tahun 992 M, pasukan
dari Jawa telah meninggalkan Sriwijaya dan Kerajaan Medang Kamulan dapat
memajukan pelayaran dan perdagangan. Di samping itu, tahun 992 M tercatat pada
catatan-catatan negeri Cina tentang datangnya duta persahabatan dari Jawa. (Rahmawati,
Aulya. 2012, (Online), http://aulya-rahmawati.blogspot.com/2012/09/kerajaan-dynasti-isyana-di-jawa-timur_3952.html).
Mengenai jalannya pemerintahan Mpu Sindok tidak diketahui
secara pasti. Namun diperkirakan berjalan tertib dan aman. Hal ini dapat diketahui
dari usaha-usaha yang dia lakukan seperti pembangunan irigasi, menghimpun kitab
agama Budha Tantrayana “sang hyang
kamahayanikan” yang tertulis oleh sambara suryawarana. Dari keterangan
diatas dapat diambil kesimpulan bahwa toleransi beragama waktu itu cukup baik,
sebab Mpu Sindok yang hindu ternyata mengijinkan ditulisnya kitab agama budha san hyang kamahayanikan.
Untuk mengetahui silsilah dan
keturunan Mpu Sindok dapat dilihat dalam prasasti Airlangga yang disebut
prasasti Calcuta tahun 1042 M. Silsilahnya adalah sebagai berikut : Raja
sesudah mpu sendok adalah Sri Ishanatunggawijaya yang kawin dengan Lokpala
mempunyai anak bernama Makutawangsawardana. Makutawangsawardana punya anak
Mahendradata yang kawin dengan udayana dari Bali. Dari perkawinan tersebut
lahir lah Airlangga. Airlangga punya anak bernama Samarawijaya dan Panji
Garakasan yang nantinya menjadi penumbuh berdirinya kerajaan Kediri. (Hidayatullah,
Aditya. 2013, (Online), http://aditya-hidayatullah.blogspot.com/2013/11/kerajaan-mataram-di-jawa-timur-isyana-v.html).
2.2 Masa
Pemerintahan Dharmawangsa Teguh dalam Wangsa Isyana
Setelah pemerintahan Mpu Sindok ada
masa gelap sampai masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga. Dalam masa 70 tahun
itu hanya tiga prasasti berangka tahun yang ditemukan, yaitu prasasti Hara –
Hara tahun 888 Saka (966 M), prasasti Kawambang Kulwan tahun 913 Saka (992 M),
dan prasasti Lucem tahun 934 Saka (1012 – 1013 M).
Dapat dikatakan gelaplah masa antara
Mpu Sindok dan Dharmawangsa Airlangga. Hanya dari prasasti Pucangan diketahui
bahwa Mpu Sindok mempunyai anak perempuan yang cantik bernama Sri
Isyanatunggawijaya, yang bersuamikan Sri Lokapala dan mempunyai anak yang
bernama Sri Makutawangsawarddhana.
Mengenai masa pemerintahan Sri
Isyanatunggawijaya dan suaminya, demikian pula masa pemerintahan
Makutawangsawarddhana, tidak ada sumber apapun yang lain yang dapat memberi
keterangan. Baru dalam dasawarsa terakhir dari abad X M, muncul beberapa
keterangan sejarah, yaitu kitab Wirataparwwa
yang terdapat angka tahun, yaitu tahun 918 Saka (996 M).
Yang disebutkan nama raja yang
memerintah waktu itu adalah Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama. Dari prasasti
raja Jayawarsa Digwijaya Sastraprabhu tahun 1126 Saka (1204 M) yang menyebutkan
bahwa dirinya adalah cucu anak Sang Apanji Wijayamertawarddhana, yang kemudian
bergelar abhiseka sebagai raja Sri
Isyana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa.
Jelas bahwa memang ada raja yang
bernama Sri Isyana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa, yang
berdasarkan kitab Wirataparwa, memerintah dalam dasawarsa terakhir abad X M,
dan mungkin sampai tahun 1017 M. Bali pada waktu itu ada di bawah pengaruh
Jawa. Terbukti dengan sejak munculnya suami istri Udayana dan
Gunapriyadharmmapatni prasasti – prasasti di Bali mulai menggunakan bahasa Jawa
Kuno.
Dharmawangsa Teguh begitu berambisi
untuk meluaskan kekuasaannya sampai ke luar pulau Jawa ternyata mengalami
keruntuhan di tangan seorang raja bawahannya sendiri (Prasasti Pucangan). Dalam
bahasa Sansekerta, keruntuhan disebabkan tidak lama sesudah perkawinan
Airlangga dengan putri Teguh yang ibu kotanya sekian lama melebihi keindahan
istana Dewa Indra, sehingga ibu kotanya dihancurkan oleh ulah dari Dewi Kali.
Dan menyebabkan Airlangga masuk ke hutan tanpa diiringi hamba – hambanya,
kecuali Narottama.
Dalam bahasa Jawa Kuno mengatakan
bahwa di bagian sambhandha, yaitu
pada waktu Haji Wurawari maju menyerang Lwaram yang menjadikan seluruh Pulau
Jawa tampak lautan, banyak pembesar yang meninggal, pertama – tama Sri Maharaja
(Dharmawangsa Teguh), yang kemudian dicandikan di dharmma parhyangan di Wwatan pada bulan Caitra tahun 939 Saka
(antara 21 Maret dan 21 April 1017 M). Jadi, bagian yang berbahasa Jawa Kuno
lebih banyak memberi keterangan tentang akhir masa pemerintahan Dharmawangsa
Teguh, yaitu karena diserang oleh raja bawahan dari Wurawari. Dari prasasti
Pucangan, dapat dilihat bahwa Dharmawangsa Teguh dicandikan di Wwatan.
Pusat kerajaan Dharmawangsa Teguh di
daerah Madiun, sedangkan Mpu Sindok mula – mula di daerah Malang, dan kemudian
di dekat Jombang, dan Airlangga di sekitar daerah Ngimbang, di sebelah utara
Jombang – Mojokerto. Perpindahan pusat kerajaan tersebut memang suatu hal yang
biasa, seperti yang telah dikemukakan. Akan tetapi, mengenai perpindahan pusat
kerajaan dari daerah Jombang ke daerah Maospati pada masa pemerintahan
Dharmawangsa Teguh sama sekali tidak ada sumber yang dapat memberi penjelasan.
2.3 Masa Pemerintahan Airlangga
dalam Wangsa Isyana
Prasasti Pucangan menyebutkan bahwa
Dharmawangsa Airlangga dapat menyelamatkan diri dari serangan Haji Wurawari,
dan masuk hutan dengan hanya diikuti seorang hambanya yang bernama Narottama.
Selama di hutan, Airlangga tidak pernah melupakan pemujaan terhadap dewa-dewa
siang dan malam. Pada tahun 941 Saka (1019 M), ia direstui oleh para pendeta
Siwa, Budha, dan Mahabrahmana sebagai raja dengan gelar Rake Halu Sri Lokeswara
Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa, karena dinobatkan di Halu
setelah membuat patung piutnya yang dicandikan di Isyanabajra.
Mengenai tahun penobatan Airlangga
tidak ada perbedaan antara bagian yang berbahasa Sansekerta dan bagian yang
berbahasa Jawa Kuno. Mengenai masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga lebih
banyak keterangan didapatkan karena banyak prasasti yang ditemukan kembali,
meskipun belum seluruhnya diterbitkan.
Pada tahun 943 Saka (1021 M) raja
Airlangga telah memberi anugerah syima
kepada penduduk Desa Cane yang masuk wilayah tinghal pinghay, karena mereka telah berjasa menjadi “benteng” di
sebelah barat kerajaan, senantiasa memperlihatkan ketulusan hatinya
mempersembahkan bakti kepada raja, tiada gentar mempertaruhkan jiwa raganya
dalam peperangan, agar Sri Maharaja memperoleh kemenangan. Dalam parasasti
Kakurugan, tahun 945 Saka (1023 M) berisikan tentang raja memberi anugerah
kepada Dyah Kaki Ngadu Lengen berupa penetapan Desa Kakurugan sebagai syima, dengan bermacam-macam hak
istimewa. Prasasti Pucangan memberikan keterangan tentang
penyerangan-penyerangan raja atas musuh-musuhnya mulai tahun 951 Saka (1029 M)
sampai tahun 959 Saka (1037 M).
Pada tahun 951 Saka (15 Februari
1030 M), Airlangga menyerang ke Wuratan dan mengalahkan rajanya yang bernama
Wisnuprabhawa pada bulan phalguna. Pada tahun 954 Saka (1032 M), tiba giliran
Haji Wurawari mendapat serangan Airlangga. Pada tahun yang sama ada peristiwa
yang lain, yaitu kekalahan yang dialami Airlangga, sehingga ia terpaksa
meninggalkan keratonnya di Wwatan Mas dan melarikan diri ke Patakan, dan
peristiwa tersebut diperingati dengan prasasti Terep tahun 954 Saka (21 Oktober
1032 M).
Ada suatu peristiwa yang
rupa-rupanya tidak dicantumkan di dalam prasasti Pucangan, yaitu ditaklukkan
dan dibunuhnya raja Hasin yang peristiwa tersebut diperingati dengan prasasti
Baru tahun 952 Saka (28 April 1030 M). Penaklukan raja Hasin itu tentulah
terjadi sebelum tanggal 28 April 1030 M.
Pada tahun 957 Saka (20 Agustus 1035
M) raja Airlangga dengan tentaranya yang tidak terbilang banyak menyerbu ke
arah barat. Raja yang diserbu bernama Wijaya (warmma). Akan tetapi, baru pada
tahun 959 Saka (3 November 1037 M) dengan menggunakan taktik yang diajarkan
oleh Wisnugupta, raja Wijayawarmma ditangkap oleh rakyatnya sendiri, lalu
dibunuh.
Dengan terbunuhnya raja Wijayawarman
dari Wengker itu, selesailah kampanye penaklukan raja Airlangga. Seminggu
setelah terbunuhnya raja Wijayawarmma dari Wengker, Airlangga mengadakan pasowanan besar dengan dihadap oleh
semua raja bawahan yang telah berhasil ditaklukkannya lagi.
Sehari sesudah itu, keluarlah
prasasti Kamalagyan yang memperingati pembuatan bendungan di Waringin Sapta,
yang mengatakan bahwa raja telah menetapkan pengurangan pajak-pajak yang harus
diserahkan ke kas kerajaan dari Desa Kamaglayan sewilayahnya, yang masuk
wilayah Pangkaja. Prasasti ini juga memuat tentang puji-pujian terhadap raja
sebagai ratu cakrawati (penguasa dunia) yang menyirami dunia ini dengan air
amerta yang penuh kasih sayang, menghujankan jasa dan kemahsyuran, dengan memperbaiki
semua bangunan dan tempat-tempat suci serta daerah-daerah yang merupakan syima, sebagai pendewasaan keremajaan
masa pemerintahannya di mandala Pulau Jawa.
Keadaan itu memperkuat dugaan bahwa
putri mahkota, anak perempuan Dharmawangsa Teguh, ikut terbunuh di dalam
serbuan Haji Wurawari. Keterangan yang menarik di dalam prasasti Kamalagyan
adalah bahwa ketentuan-ketentuan mengenai pengurangan pajak itu berlaku sejak
Airlangga bertakhta di Kahuripan. Setelah pada tahun 1032 M diserbu musuh, raja
memindahkan pusat kerajaannya ke Kahuripan, sekalipun ia dapat mengalahkan lagi
musuhnya yang menyerbu Wwatan Mas itu.
Pada prasasti Pamwatan tahun 964
Saka (19 Desember 1042 M) dituliskan dengan huruf kuadrat yang besar di sisi
depan atas kata dahana, yang mungkin
sekali menunjukkan nama pusat kerajaan yang baru lagi, yaitu Dahanapura.
Sebetulnya prasasti Turun Hyang A, yang diperkirakan berasal dari tahun 958
Saka (1036 M) telah menyebutkan bahwa tidak ada lagi musuh, dan karena itu
Airlangga menepati janjinya untuk menetapkan Desa Turun Hyang sebagai syima.
Mulai dari prasasti Cane sampai
dengan prasasti Kamalagyan menyebutkan sebagai rakryan mahamantri i hino seorang putri, yaitu Sri Sanggramawijaya
Dharmmaprasadottunggadewi. Akan tetapi, di dalam prasasti Pucangan, demikian
pula di dalam prasasti Pandan tahun 964 Saka (19 Desember 1042 M) yang menjabat
hino ialah Sri Samarawijaya
Dhamasuparnnawahana Teguh Uttunggadewa, seorang laki-laki. Rupa-rupanya antara
11 November 1037 M dan 6 November 1041 M Sanggramawijaya digantikan oleh
Samarawijaya karena hal-hal yang belun jelas.
Suatu hal yang menarik perhatian
adalah bahwa Samarawijaya memakai nama dengan unsur Teguh. Yang perlu
dikemukakan di sini adalah kenyataan bahwa bahasa Jawa kuno di dalam
prasasti-prasasti Airlangga merupakan bahasa prosa yang indah, berbeda dengan
bahasa Jawa Kuno di dalam prasasti-prasasti yang sebelumnya. Ini kelihatan dari
satu-satunya hasil karya sastra dari masa pemerintahan Airlangga yang sampai
kepada kita, yaitu kitab Arjunawiwaha.
Kitab ini berisi gubahan dari satu
episode Mahabharata, yaitu pada waktu
Arjuna disuruh bertapa oleh saudara-saudaranya untuk mohon senjata yang ampuh
yang dapat memberi kemenangan kepada para Pandawa di dalam perang Bharata yang
akan terjadi. C. C. Berg berpendapat bahwa kitab Arjunawiwaha itu digubah untuk melambangkan riwayat raja Airlangga
sendiri. Bahasa dari kitab Arjunawiwaha
memang boleh dikatakan yang terindah di antara karya-karya sastra Jawa Kuno, di
samping kitab Ramayana Kakawin.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Dinasti
Wangsa Isyana berada pada masa Mataram Kuno di Jawa Timur yang raja pertama
dipimpin oleh Mpu Sindok yang dalam pemerintahannya bijaksana. Raja yang kedua
adalah Dharmawangsa Teguh yang dalam pemerintahannya mempunyai pandangan yang
luas dan perhatian terhadap kekuasaannya. Raja yang terakhir adalah Airlangga,
seseorang yang dengan susah payah bisa menyatukan bekas kekuasaan Dharmawangsa
Teguh.
3.2 Saran
Untuk bisa memahami Wangsa Isyana
ini perlu dibaca dan harus bisa mengerti maksud atau penjelasan tentang Masa
Pemerintahan pada Masa Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur. Oleh karena itu,
pembaca diharapkan bisa memahami dan menjelaskan materi tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
1. Dwi,
Shindy. 2013, Makalah PERKEMBANGAN
KERAJAAN MATARAM JAWA TIMUR PADA WANGSA ISYANA DAN DHARMAWANGSA TEGUH,
(Online), http://encuss26.blogspot.com/, diakses 23 Oktober 2014.
2. Hidayatullah,
Aditya. 2013. RANGKUMAN KERAJAAN MATARAM
DI JAWA TIMUR (DINASTI ISYANA), (Online), http://adityahidayatullah.blogspot.com/2013/11/kerajaan-mataram-di-jawa-timur-isyana-v.html,
diakses 23 Oktober 2014.
3. Munandar,
Aris, Agus. 2014. Kajian Terkini Terhadap
Beberapa Permasalahan Sejarah Indonesia Kuno. Makalah disajikan dalam
Kuliah Tamu Kajian Terkini Berbagai Permasalahan Sejarah Indonesia Kuno,
Jurusan Sejarah FIS UM, Malang, 13 Oktober.
4. Poesponegoro, Djoened, Marwati;
Notosusanto, Nugroho. 2010. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
5. Rahmawati,
Aulya. 2012, kerajaan dynasti isyana di
jawa timur , (Online),
http://aulya-rahmawati.blogspot.com/2012/09/kerajaan-dynasti-isyana-di-jawa-timur_3952.html,
diakses 23 Oktober 2014.
6. Yangtersendir92.
2013, kerajaan medang, kahuripan, panjalu
dan kediri , (Online), http://aditya-hidayatullah.blogspot.com/2013/11/kerajaan-mataram-di-jawa-timur-isyana-v.html,
diakses 23 Oktober 2014.
Komentar
Posting Komentar